KEPOLISIAN RI telah terpuruk menjadi alat mainan kekuasaan. Serentetan peristiwa akhir-akhir ini semakin menguatkan kesimpulan itu. Mulai dari penyerbuan brutal kampus Universitas Nasional 25 Mei lalu hingga pembiaran penyerangan oleh kelompok beratribut KLI/FPI terhadap aksi damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan hari Minggu, 1 Juni lalu, di silang Monas benar-benar membuat publik terperangah.
Bagaimana mungkin kepolisian yang sudah dilengkapi satuan intelijen sampai kecolongan tidak mendeteksi gerakan kelompok penyerang yang sangat tidak beradab di depan Istana Negara? Kok bisa aparat kepolisian yang dibiayai dengan uang rakyat tidak berdaya melindungi warga negara yang sedang mewujudkan hak konstitusional mereka yang jelas-jelas terpatri baik dalam alinea keempat Mukadimah UUD 1945 dan pada Pasal 28 dan 29? Mengapa aparat kepolisian ciut nyalinya berhadapan dengan organisasi yang sudah tersohor keberingasan dan kekerasannya selama ini?
Pada ujung sederet pertanyaan keheran- an ini, sebetulnya ada harapan besar warga masyarakat agar kepolisian RI dikembalikan kepada rakyat sebagai pengayom yang menyejukkan sekaligus menegakkan konstitusi dan sila-sila Pancasila.
Memelihara anak macan
Episode serbuan brutal ke kampus Unas dan penganiayaan perempuan, anak-anak, dan laki-laki peserta aksi damai di kawasan Monas kembali menyegarkan ingatan publik akan praktik zalim serupa pada masa Orde Baru. Pada masa itu, baik intelijen militer maupun kepolisian banyak yang memelihara kelompok ”anak macan” sebagai perpanjangan tangan aparat keamanan. Pemeliharaan kelompok ”anak- anak macan” ini menguntungkan semua yang terlibat. Warga masyarakat yang tergabung dalam berbagai organisasi ”anak macan” ini bukan saja mendapatkan keuntungan material pada saat angka pengangguran di kalangan muda cukup tinggi, tetapi juga gengsi sosial di hadapan kelompok sebaya dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Bagi aparat keamanan yang memelihara organisasi ”anak macan”, resmi atau tidak resmi, juga bak sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau keuntungan dilalui. Pertama, tidak perlu pengeluaran dana khusus untuk penjagaan keamanan karena berbagai organisasi ”anak macan” dapat mencari dana sendiri dengan menakut-nakuti warga masyarakat sembari memamerkan bahwa mereka punya beking kuat di belakang mereka.
Kedua, aparat keamanan, khususnya intelijen, dapat memperoleh banyak informasi berharga tentang gejolak dalam masyarakat dengan hanya ”ongki”, ongkang-ongkang kaki, saja. Ketiga, bila terjadi ekses yang berlebihan dan ada korban jiwa berjatuhan, aparat keamanan dapat cuci tangan dengan berdalih bahwa yang terjadi adalah perang antargang semata, seperti dalam kasus Petrus hampir dua dekade silam.
Terakhir yang tak kurang pentingnya, ulah berbagai organisasi kelompok ”anak macan” peliharaan kepolisian ini dapat dijadikan alat penekan atas pengusaha tempat-tempat hiburan untuk menaikkan tarif upeti keamanan. Praktik-praktik ini sangat marak pada masa Orba dan bukan tidak mungkin tradisi ”budidaya” kelompok ”anak macan” ini terus berlangsung.
Semakin keblinger?
Warisan tradisi memelihara kelompok/ organisasi ”anak macan” ini harus segera dihentikan mengingat beberapa pertimbangan berikut. Pertama, nama baik berbagai penguasa politik dan militer, baik yang sudah mantan maupun yang masih aktif, dapat dimanipulasi oleh berbagai kelompok ”anak macan” yang sudah telanjur ikut dibesarkan itu. Beberapa mantan penguasa pada masa Orde Baru dari pihak militer dan kepolisian yang namanya telanjur tercantum, baik sebagai pendiri maupun dalam susunan pengurus FPI, perlu segera mengambil jarak dan menegaskan bahwa mereka tidak lagi menjadi pelindung FPI yang sering membuat onar dan kekerasan di berbagai tempat itu.
Kedua, rezim pemerintah yang sedang tersudut-panik kehabisan amunisi argumen akal sehat bisa saja dengan mudah mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan pokok yang meresahkan, menggilanya harga-harga yang terpicu oleh kenaikan harga BBM, dengan memanfaatkan kelompok-kelompok ”anak macan” ini sebagai pengalih perhatian. Konflik vertikal masyarakat/mahasiswa versus pemerintah dialihkan jadi konflik horizontal sesama elemen masyarakat. Upaya pengalihan perhatian dengan menciptakan konflik horizontal hanya akan merusak citra pemerintah dan kepolisian RI.
Ketiga, martabat negara, khususnya Presiden dan aparat kepolisian, bisa sangat kedodoran bila ada ”anak macan” yang demikian lantang di depan kamera televisi menantang kepala negara ataupun aparatnya untuk menangkap mereka, dengan mengancam akan mempertahankan diri sampai titik darah penghabisan. Bahkan, ia tega menghina mantan presiden yang dikatakan cacat fisik dan buta hatinya. Bukan itu saja, para kelompok ”anak macan” bahkan menganjurkan pembunuhan atas nama agama terhadap sesama anggota umatnya sendiri.
Sungguh terhina prestise seorang kepala negara dan aparat keamanannya bila sudah secara keblinger ditantang oleh kelompok ”anak macan” yang telanjur dipe- lihara ini. Publik sangat mendukung pernyataan Presiden SBY bahwa negara tidak boleh kalah, apalagi mengalah, kepada kelompok ”anak-anak macan” ini. Namun, masyarakat menunggu bukti, bukan janji atau rapat terus. Tidak mustahil rakyat dapat berprasangka aksi FPI justru sepengetahuan intelijen polisi dan negara!
Keempat, Presiden SBY seyogianya memulihkan martabatnya dan juga martabat negara dengan segera menangkap dan menyeret ke pengadilan para pelaku kekerasan di kampus Unas dan di silang Monas. Jangan pernah biarkan negara dilecehkan habis seperti sekarang ini.
Akhirnya, kelima, negara tidak perlu kikir lagi untuk menyediakan dana rutin dan pengembangan kepolisian semaksimal mungkin agar sama sekali tertutup celah alasan untuk meneruskan tradisi memelihara kelompok ”anak macan” dalam wujud apa pun.
Semakin negara berdaya melindungi dan membela rakyatnya, rakyat pun tidak akan enggan membela negara. Bela negara dan bela rakyat harus diucapkan dan ditegakkan setarikan napas.***
Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog.
Artikel ini sebelumnya dimuat di harian Kompas, 4 Juni 2008.