SIAPAKAH yang bisa menolak ajal? “Ajal semakin akrab”, ujar Soebagio Sastrowadojo dalam salah sebuah puisinya, ketika ia berbicara tentang maut di saat usianya kian melanjut. Matahari akan direnggut malam ditenggelamkan ke hulu sungai atau laut. Bulan pasti dihalau matahari. Bulan dan matahari barangkali berdampingan di belahan kutub bumi sebagai suatu kekecualian. Tapi ajal tidak mengecualikan siapa pun. Dalam menghadapi “ajal yang semakin akbrab ini,” Chairil menjawabnya lantang: “sekali berarti sudah itu mati.”
Hidup selalu akan terlalu singkat untuk seorang penyair, budayawan, sastrawan dan seniman serta bagi seorang pemimpi. Apalagi, jika ajal dilihat sebagai suatu kekalahan tokoh ulet seperti Sysiphus atau Ahasveros yang dikutuk sumpahi Eros. Cinta, mimpi akhirnya suatu usaha penghabisan anak manusia memberi arti pada waktu yang singkat untuk kita bernafas.
“Sekali berarti sesudah itu mati.”
Oey Hay-Djoen alias Samanjaja, dengan cinta dan mimpinya yang seluas “lautan” [hai], dengan maksimal berusaha memberikan arti pada kurun waktu hidup yang singkat dan amat terbatas. Kurun waktu yang selalu terlalu singkat dibandingkan dengan keinginan penyair, sastrawan-seniman, dan budayawan panarung. Memberi arti pada keindonesiaannya. Dengan bertaruhkan kepala, ia mencoba mengejawantahkan nilai-nilai republiken. Maksimal berusaha menjadi anak manusia pemimpi, yang manusiawi. Seorang pencinta konsekwen. Sadar akan keadaan bahwa “maut semakin akrab,” maka Mao Zedong menulis:
“Rebut waktu pagi senja
Seribu tahun terlalu lama”
Hay-Djoen mengucapkan pandangan in dalam kata-kata:
“Betapa manusia kan capai usia senja
Sungguh bijak hidup memberi arti ”
Oey Hay-Djoen alias Samanjaja yang kukenal sejak remaja Yogyakarta, sadar benar akan makna waktu dibandingkan dengan cakrawala cinta dan mimpinya. Hai-Djoen ini jugalah yang mengantarku berangkat dari bandara Kemayoran di subuh pagi Jakarta. Hai-Djoen ini jugalah turut “menekan”ku untuk pergi ke luar negeri sebagai anggota Delegasi Pengarang Lekra ke Republik Rakyat Tiongkok — suatu keberangkatan yang berkelanjutan dengan menjadikan aku sebagai pengembara busur bumi. Aku jadi pengembara, Hai-Djoen menjadi salah seorang penghuni penjara Orde Baru Soeharto dan Buru pulau pembuangan.
Penjara dan pulau pembuangan tidak mematikan kreativitas dan cinta Hai-Djoen, sebagai seorang budayawan dan pemimpi manusiawi. Setelah keluar dari penjara dan pulau pembuangan, Hai-Djoen menerbitkan kusanjak: “Sambitan” dan meneruskan kegiatan lamanya menerjemahkan karya-karya klasik Marxisme seperti karya-karya Marx dan Engels . Tiga jilid Das Kapital karya Karl Marx, bisa terbit dalam bahasa Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari jasa Oei Hai-Djoen. Dalam sejarah gerakan kiri di Indonesia, baru sekarang, berkat antara lain jasa Hai-Djoen, karya penting Karl Marx diterbitkan secara lengkap dalam bahasa Indonesia. Pentingnya dan jasa besar Hay-Djoen dalam hal ini , barangkali bisa dilihat dari pandangan bahwa “tanpa teori revolusioner tidak akan ada gerakan revolusioner.”
Di Tiongkok, ketika Partai Komunis masih kecil dan baru berdiri, karya-karya klasik Marxisme dan karya-karya kiri dan reformis telah dibahasa Tionghoa-kan oleh cendekiawan- cendekiawan reformis-nasionalis Tiongkok. Ini adalah bentuk nyata sumbangan cendekiawan pada masyarakat. Oleh adanya kondisi pemikiran inilah maka Mao Zedong tidak keluar negeri belajar Marxisme, cukup dengan menggunakan perpustakaan Beida (Universitas Beijing), yang waktu itu dipimpin oleh Li Da-chao, mertua Mao.
Hay-Djoen agaknya menyadari peranan budayawan dan cendekiawan untuk memanusiawikan masyarakat dan kehidupan. Hay-Djoen melihat dunia pemikiran, dunia ide, pola pikir dan mentalitas sebagai faktor kunci dalam usaha pemanusiawian masyarakat dan kehidupan. Dalam usaha mewujudkan Republik Indonesia sebagai suatu rangkaian nilai. Di alur ini, Hai-Djoen tegar tak beranjak sampai akhir hayatnya. Sebelum terjadi Tragedi September 1965, untuk memberikan acuan pada para sastrawan-seniman Indonesia, supaya punya wawasan luas, Hay-Djoen menerjemahkan karya utama Chernischevsky. Hay-Djoen agaknya sangat sadar akan peran buku dan dunia pemikiran dalam penegakkan nilai manusiawi.
Melalui kegiatan-kegiatan selama hidupnya, aku juga melihat kesadaran Hay-Djoen tentang arti hubungan internasional. Bahwa seniman tidak niscaya berpandangan cupet. Seniman adalah suatu misi besar manusiawi. Hubungan internasional menyediakan rangkaian acuan untuk memanusiawikan diri dan merampungkan misi manusiawi.
Hal lain dari Hay-Djoen, yang ingin kucatat, bahwa ia merupakan contoh dari integrasi berbagai etnik dalam nasion Indonesia, di bawah rangkaian nilai republiken berkindonesiaan. Contoh nyata bagaimana kebhinekaan hanyalah suatu kekayaan bagi Republik dan Indonesia. Republik dan Indonesia, adalah mimpi Hay-Djoen. Adalah sumber dari kesetiaan, kreativitas dan pengabdian Hay-Djoen hingga akhir hayatnya. Sumber ini jugalah yang memberikan daya magis pada Hay-Djoen, hingga sanggup menghadapi penjara dan pulau pembuangan Orde Baru yang amis barah dan bangkai manusia, yang membuat nyala mimpinya tidak pernah padam sebagai seorang komunis di dalam Lekra.
“Saya memang seorang komunis, tapi tidak semua anggota Lekra itu komunis. Karena itu Sekretariat Pusat Lekra menolak menempatkan Lekra sebagai organisasi bawahan PKI” [lihat:Joebaar Ajoeb, Sekjen Lekra: “Mocopat Kebudayaan”, 162 hlm., Teplok Press, Jakarta, Desember 2004].
“Cukup kami saja yang komunis di Lekra,” ujar Njoto dalam harian Bintang Timoer, Jakarta.
Dengan kepergian Hay-Djoen untuk selamanya, sejauh pengetahuanku, tak ada ada lagi anggota Sekretariat Lekra yang masih hidup. Yang tersisa adalah konsep budaya mereka, bakti, dan mimpi budaya untuk republik dan Indonesia serta kemanusiaan. Sisa mimpi, wacana, dan praktek yang mungkin masih bisa dijadikan acuan dan bandingan oleh angkatan berikut dan hari ini. Mungkin jika sejarah masih dipandang berharga.
Hay-Djoen meninggalkan kita untuk selamanya secara fisik masih dalam status sejarah budaya, sejarah sastra-seni negeri kita masih mengidap diskriminasi. Kepergian Hai-Djoen, bisa dipahami juga sebagai suatu protes dan gugatan tak diucapkan pada diskriminasi sejarah ini. Diskriminasi yang sering mengatasnamai ilmu, sastra, dan seni padahal menyimpan ketakutan politik dan kepentingan strategis.
Selamat jalan Bung Hay-Djoen. Terimakasih atas segala yang kau berikan, kasih sayang, dan harapanmu padaku. Ketika menuliskan baris-baris ini, dengan bibir terkatup, kepala tegak memandang kepergianmu . Bisakah kau bayangkan, setelah melempar setangkai mawar merah ke peti jenazah Bung, diam-diam kepalan kuangkat setinggi telinga mengucapkan “Selamat Jalan?” Ah, kau tak akan melihatku lagi saat itu. Tinggal aku sendiri menyaksikan sekop demi sekop tanah menimbuni peti jenazahmu dengan diam, sambil merangkai ulang seluruh kebersamaan dan perjumpaan serta saat-saat pahit kita terpisah paksa oleh Tragedi.
Hay-Djoen adalah sebuah nama yang dicatat bumi negeri ini di luar batas suka dan tidak suka. Negeri yang masih tak enggan mendiskriminasikan putera-puterinya — sikap yang memerosotkan diri secara budaya dan intelektualitas. Oey Hay-Djoen, biarkan aku kembali menyebut namamu dan selalu menyebutnya, sambil membaca ulang kata-katamu warna rara menyala:
“Lantangkan sorak perlawanan,
Dendangkan senandung harapan,
Manusia yang berkemanusiaan”
Paris, Mei 2008.
Penulis adalah pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.