OBITUARI
TAK setiap email yang masuk ke mail-box, saya baca satu per satu dengan teliti. Salah satunya adalah beberapa email yang mengabarkan bahwa Oey Hay Djoen, meninggal pada 17 Mei yang lalu. Baru pagi ini saya “ngeh” bahwa yang meninggal adalah Pak Oey, yang selalu datang dengan rutin ke Utan Kayu. Saya menyesal agak terlambat menyadarinya.
Saya selalu memanggilnya Pak Oey, setiap ketemu di kedai Tempo di Utan Kayu. Teman-teman yang lain lebih akrab memanggilnya Om Oey. Saya tak terlalu mengenal dekat Pak Oey. Tetapi, setiap datang ke Utan Kayu, saya selalu menyapanya, kadang dia yang menyapa saya duluan. Tak ada pembicaraan yang berarti. Hanya basa-basi singkat. Saya hanya tahu secara samar-samar saja mengenai sosok Oey ini. Informasi umum yang saya ketahui mengenai Pak Oey sejak ia sering datang ke Utan Kayu adalah bahwa ia aktivis Lekra, dan pernah dipenjara bertahun-tahun di Pulau Buru. Lebih dari itu, saya tak tahu apa-apa.
Orangnya begitu hangat dan sangat baik sekali. Setiap saya sapa atau menyapa saya, ia menyambut dengan senyum-sumringah yang sangat khas. Wajahnya keriput, uban menyebar di seluruh kepalanya. Tapi setiap kali berhadapan dengannya, saya tak merasa sedang melihat “umur yang sedang merosot.”
Saya selalu melihatnya rajin mendatangi sejumlah diskusi yang diadakan di Teater Utan Kayu. Saya juga kadang melihat Pak Oey datang dalam diskusi yang diadakah oleh JIL (Jaringan Islam Liberal). Ia tampaknya juga memiliki minat pada isu agama.
Terakhir saya melihat Pak Oey adalah saat diadakan bedah buku Das Kapital karya Karl Marx, di Teater Utan Kayu. Saya lupa kapan persisnya diskusi itu diadakan. Kalau tak salah, waktu saya pulang liburan musim panas tahun lalu (2007). Buku tebal yang menjadi “bibel” bagi kaum kiri di seluruh dunia itu diterjemahkan oleh Pak Oey dalam bahasa Indonesia.
Buat saya, menerjemahkan Das Kapital adalah prestasi tersendiri yang harus diacungi jempol. Saya benar-benar heran, bagaimana orang pada umur lanjut seperti Pak Oey, masih tabah dan telaten menghabiskan waktu untuk menerjemahkan karya klasik yang tak mudah dikunyah itu. Yang pernah membaca Das Kapital pastilah tahu, ini bukan buku yang bisa dibaca dengan santai. Meskipun Pak Oey menerjemahkan buku ini dari versi bahasa Inggris (waktu diskusi di Utan Kayu itu, dia bercerita bahwa dia memakai edisi Penguin, kalau tak salah saya ingat), tidak langsung dari bahasa aslinya, yaitu bahasa Jerman, tetap saja apa yang ia lakukan itu bukanlah pekerjaan ringan.
Jika pun Pak Oey tak melakukan hal-hal lain di muka bumi ini selain usahanya menerjemahkan buku Marx itu, dia sudah menyumbangkan sesuatu yang besar bagi Indonesia, terutama bagi dunia gerakan dan dunia ilmiah. Saya tak tahu bagaimana sambutan kalangan akademik atas terbitnya Das Kapital dalam edisi Indonesia. Meskipun saya tahu kalangan kesarjanaan di Indonesia tak terlalu akrab, atau tepatnya tak bersahabat dengan teori-teori sosial Karl Marx, tetapi dilihat dari kepentingan akademik, sumbangan Pak Oey itu tetaplah perlu diberikan penghargaan yang tinggi oleh kalangan sarjana. Siapapun yang belajar teori-teori sosial modern, pasti tak bisa mengabaikan mazhab teori sosial yang dikembangkan oleh Karl Marx dan kaum sosialis pada umumnya.
Saya bukanlah pembaca yang rajin teori-teori Karl Marx. Perkenalan saya secara akademis dan “sistematis” atas teori Marx, adalah waktu saya mengambil kelas pendekatan teoritis atas studi agama di Universitas Boston dua tahuan lalu yang diampu ole Prof. Adam Seligman, sarjana yang dikenal di beberapa kalangan di Indonesia melalui bukunya “The Idea of Civil Society” itu. Salah satu teks yang mendapatkan perhatian khusus waktu itu adalah On the Jewish Question (Zur Judenfrage).
Banyak khazanah teks klasik yang sudah semestinya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia–bukan terjemahan “komersial” tetapi, terjemahan yang digarap dengan dedikasi tinggi seperti dilakukan oleh Pak Oey itu. Langkah yang ditempuh oleh Pak Oey untuk menerjemahkan teks babon Karl Marx, adalah langkah yang perlu dilanjutkan oleh pihak lain.
Kalau belajar dari tradisi yang berkembang di lingkungan akademik di Barat, kita akan melihat sejumlah teks filsafat besar di Barat diterjemahkan berkali-kali. Sebagai contoh, teks Immanuel Kant, terutama trilogi kritik akalnya, diterjemahkan oleh beberapa sarjana. Begitu juga teks Hegel, atau kalau mau mundur lebih ke belakang, teks Plato dan Aristoteles. Tampaknya beberapa sarjana berlomba menyuguhkan terjemahan yang paling baik. Ini adalah tradisi yang layak ditiru di Indonesia. Setelah itu, publiklah yang akan membuat penilaiannya sendiri, mana terjemahan yang dianggap paling otoritatif; dalam hal ini, tentu publik ilmiah.
Terima kasih Pak Oey atas terjamahan Das Kapital anda. Anda telah memperkaya khazanah bacaan bangsa Indonesia. Selamat jalan!***
Ulil Abshar-Abdalla, Department of Near Eastern Languages and Civilizations Harvard University