Surat untuk Presiden
Salam hormat:
KAMI masih ingat janji-janji Bapak semasa kampanye, begitu manis, bagitu indah. “Bersama kita bisa,” slogan itu Pak. Slogan itu masih mengiang di kepala kami. Ya, bersama kita bisa. Tidak ada yang salah dengan slogan itu Pak. Kami juga masih ingat, saat itu bapak tampil tiap saat di televisi. Kami harus akui bapak saat itu sungguh gagah perkasa dan berwibawa. Inilah pemimpin kami, pemimpin pro-perubahan. Kelebihan bapak dari calon yang lain adalah, bapak jago mengemas visi misi dengan bahasa yang rapi dengan kemasan yang sangat bagus. Bapak berjanji akan menciptakan lapangan pekerjaan untuk kami. Bapak berjanji akan membangun rumah untuk kami. Bapak berjanji akan menggratiskan kami untuk berobat. Bapak berjanji akan menjamin anak-anak kami mendapatkan pendidikan gratis. Bapak berjanji akan meningkatkan kesejahteraan kami. Bapak berjanji takkan membiarkan negeri ini digerogoti “tikus-tikus jahanam” pemakan jatah rakyat.
Bapak berjanji, Pak. Kami pun terenyuh. Kami pun membenarkan pilihan kami. Kami pun menjatuhkan pilihan dengan mencoblos gambar Bapak di bilik suara. Kami pun pulang ke rumah dengan beribu harapan. Harapan untuk sebuah perubahan. Harapan untuk kehidupan yang lebih sejahtera.
Tetapi, kami juga ingat setelah Bapak terpilih sebagai Presiden, segera bapak mengingkari janji-jani manis masa kampanye. Tahun ini kembali kami yang Bapak jadikan tumbal. Akhir bulan ini, Bapak akan menaikkan harga BBM. Tiga tahun lalu, Bapak sudah melakukan ini. Tiga tahun lalu, Bapak sudah menambah jumlah saudara-saudara kami yang miskin. Tiga tahun lalu Bapak menaikkan semua harga bahan pangan pokok. Tiga tahun lalu Bapak melanggar janji Bapak sendiri. Apakah pemimpin memang terbiasa melanggar janji-janji yang telah dia ucapkan?
Bapak lalu memberikan solusi kepada kami, solusi sesat: BLT (bantuan langsung tunai). Tahukah Bapak, bahwa BLT menjadikan kami bermental peminta-minta. BLT menjadikan kami membunuh saudara-saudara kami sendiri. BLT menjadikan kami merusak fasilitas umum. BLT menjadikan kami benci terhadap saudara-saudara kami. BLT menjadikan kami pengemis di tanah air kami sendiri. BLT membunuh saudara-saudara kami karena antre. Ini yang kami terima, Pak. Ini yang kami dapatkan dari janji-janji manis kampanye Bapak.
Tahun ini kebijakan itu akan kami rasakan kembali. Mengulang kebijakan gagal dan mengharapkan hasil yang lebih bagus, itu gila namanya Pak. Edan. Kadang kami berpikir, kami ini kalian anggap sebagai apa. Sapi perah saja selalu diberikan Tuannya makanan terbaik untuk mendapatkan susu terbaik. Apa yang sudah kami terima, Pak? Apa yang sudah kami dapatkan?
Wakil Bapak juga tidak kalah edannya. Wakil Bapak itu berkomentar bahwa “… setiap ada demonstrasi menyatakan tak setuju (kenaikan harga BBM), sama dengan mengurangi rezeki orang miskin” Dia sudah mengadu domba kami. Kami jadi takut, Pak. Kami takut negeri ini akan berubah menjadi negeri dimana sesama kami kaum tertindas akan saling menghancurkan, saling mencurigai. Wakil Bapak itu mungkin pernah mendengar bahwa mulutmu adalah harimau. Wakil Bapak itu mungkin pernah mendengar bahwa kata adalah senjata. Jangan salahkan kami kalau ternyata kami berkesimpulan bahwa watak pemerintah kami memang demikianlah adanya. Watak pemerintah kami hanya akan memberikan subsidi ketika harga BBM naik.
Ada apa di balik semua ini, Pak? Apa yang salah dengan negeri ini? Apa sebenarnya yang kalian lakukan?
Pelajaran anak-anak kami di sekolah mengatakan, negara kita adalah negara kaya raya. Negara beribu pulau dengan kelapa melambai di pantai. Negara yang sangat kaya dengan hasil lautnya. Negara yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya. Tapi, kenapa semuanya berbanding terbalik dengan itu, Pak? Kenapa?
Itu sudah pasti. Kehidupan kami tidak akan lebih baik. Itu suda pasti. Kehidupan kami akan bertambah susah.
Bapak berdalih bahwa menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir. Bapak mengatakan, perekonomian kita harus diselamatkan, APBN kita harus dijaga. Kami sepakat. Kami setuju. Tapi Bapak kehilangan satu hal: kami tidak sebodoh yang Bapak kira. Para ekonom yang Bapak pekerjakan, sengaja membuat istilah-istilah sesat agar kami maklum dengan kebijakan tersebut. Mereka lupa siapa yang menggaji mereka. Mereka adalah intelektual-intelektual busuk pengkhianat. Mereka hanya tahu “beronani” teori di tengah kesusahan rakyat.
Kami tidak sebodoh yang Bapak kira. Kami tidak bisa lagi kalian kecoh dengan bahasa-bahasa ekonomi halus yang menyesatkan.
Dua kali kenaikan harga BBM sudah cukup membuat mata kami terbuka bahwa Bapak tidak becus mengemban amanat rakyat. Dua kali kenaikan BBM sudah cukup membuat kami mengerti bahwa pemerintahan ini hanyalah pemerintahan yang hanya tunduk kepada pengusaha. Ya, pengusaha merangkap penguasa.
Hari ini kami mau bilang, kalau kami lebih pintar dari Bapak. Kami akan buktikan bahwa kami bisa memberikan solusi jitu. Dijamin mantap.
1. Tolak utang luar negeri
Negeri ini bagaikan surga bagi pengusaha. Mereka berhutang untuk pengembangan usaha mereka namun tidak bisa membayar. Pemerintah sungguh sangat baik. Pemerintah menyehatkan usaha mereka dengan berhutang ke IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia. Dan untuk itu kami harus ikut menderita.
2. Nasionalisasi semua perusahaan tambang
Bapak sama sekali tidak bisa meniru kolega Bapak di Amerika Latin sana. Evo Morales membuat investor asing terkencing-kencing, karena perusahaan mereka disita negara untuk seluruhnya kepentingan rakyat. Demikian juga denga presiden Venezuela, Hugo Chavez. Negeri kita jauh lebih kaya dari negera mereka. Tentunya Bapak mengetahui itu. Sudah waktunya Bapak melakukan hal yang sama dengan yang mereka lakukan. Buat perbandingan 85: 15. 85 persen keuntungan tambang untuk kita dan 15 persen untuk mereka.
3. Tingkatkan Produksi Minyak dalam Negeri
Kita memiliki begitu banyak sarjana-sarjana terampil, yang mengerti tentang pertambangan. Bapak harus mengoptimalkan mereka. Pekerjakan mereka untuk memperbaiki tambang-tambang yang rusak dan membuka ladang-ladang minyak baru.
4. Usir IMF dan Bank Dunia dari negeri ini
Tak ada manfaat yang kita dapatkan dari kehadiran mereka. Permintaan mereka aneh-aneh, Pak. Potong subsidilah, deregulasilah, campur tangan dikurangilah. Bapak harus tegas: “Kami tidak membutuhkan kalian (IMF dan Bank Dunia karena hanya kesusahanlah yang kalian ciptakan. Silakan keluar dari tanah air kami sekarang juga.” Gitu, Pak. Wong dari PBB aja kita pernah keluar kok.
Hari ini kami katakan dengan tegas, Bapak telah gagal mengemban amanat yang kami berikan. Hari ini kami katakan dengan tegas, Bapak hanyalah “anjing penjaga” semua asset-aset rampokan pengusaha asing. Hari ini kami katakan dengan tegas, Bapak tidak akan bisa memenuhi semua janji-janji manis itu. Dengan demikian kami akan menganugerahi Bapak sebuah gelar prestisius: Suka Bohongin rakYat.
Selamat!!***
Dian Purba, saat ini adalah mahasiswa semester akhir di Universitas Methodist Indonesia, Fakultas Sastra Inggris, Medan.