TIDAK ada yang lebih menakutkan Orde Baru daripada Pramoedya Ananta Toer yang kreatif dan Wiji Thukul yang miskin dan bertubuh kurus kering yang seumur hidup bernaung di bawah atap rumah petak di sudut gelap kota Solo (Daniel Dhakidae). Untuk yang pertama disebutkan di atas, tidak ada penerbit yang bersedia menerbitkan karya-karyanya. Pramoedya yang “hanya” penulis roman menjadi “musuh” bersama ketika Orde Baru masih berkuasa. Tidak cukup hanya itu saja. Banyak naskah-naskah Pram (sebutan untuk Pramoedya) dibakar oleh kekuasaan fasis Orde Baru. Ini membuat Pram, dan juga bangsa ini, kehilangan harta paling berharga yang dia punya. Semua karyanya dilarang beredar. Tidak ada satu pun toko buku yang berani menjual bukunya. Sekolah-sekolah di negeri ini nyaris tidak pernah membahas karyanya. Tuduhan subversi (tindakan mengancam keselamatan negara) dilayangkan bagi siapa saja yang ketahuan membaca buku Pram.
Wiji Thukul mengalami hal yang kira-kira sama dengan apa yang dialami Pram. Kalau Pram kehilangan naskah-naskah berharganya, Wiji Thukul harus dihilangkan untuk menghentikan gerak “subversifnya.” Tak satupun yang tahu dimana rimba dari penyair yang berbapakkan seorang pengayuh becak itu. Kemampuannya menghidupkan kata-kata menjadi api semangat perlawanan menentang ketidakadilan mengharuskannya untuk “dibumuhanguskan” dari negeri ini. Baik Pram maupun Wiji Thukul, hanya memproduksi kata-kata. Dan rupanya yang paling ditakuti Orde Baru bukanlah senjata akan tetapi kata-kata.
Puisi yang membumi
Bagi Pram keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi, keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa. Wiji Thukul bukanlah seorang yang terlalu pandai mengutak-atik bahasa. Bahasanya begitu sederhana. Puisi-puisinya tidaklah memenuhi “kaidah-kaidah” penulisan puisi yang “baik.” Thukul menorehkan penanya, menuliskan semua yang dialaminya sehari-hari bersama mereka yang selalu ditindas. Puisi bagi dia adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan dirinya selaku orang kecil, orang-orang yang terpinggirkan. Kemelaratan hidup mewarnai hampir semua karyanya. Kita tidak akan menjumpai kata-kata simbol yang membingungkan pikiran dalam karyanya. Puisinya bagaikan sengatan lebah bagi penguasa lalim, dikarenakan pemilihan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kondisi sosial dengan begitu transparan. Kesederhanaan dalam berbahasa justru memperkuat makna puisinya sehingga kata-katanya akan menghunjam tepat ke sasaran bagaikan peluru.
Puisi yang ditakuti
Dalam semua puisi yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi “Aku Ingin Jadi Peluru,” ada dua puisi yang selalu membuat kuping penguasa memerah mendengarnya. Puisi yang pertama berjudul Bunga dan Tembok.
…
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar bibit-bibit
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Thukul menggunakan kiasan “tembok” untuk penguasa dan “bunga” untuk rakyat yang dirampas tanahnya dan digusur rumahnya. Sejarah dengan baik telah mencatat bahwa di mana ada penindasan, ketidakadilan, pembodohan, di sana akan tumbuh pula “bibit-bibit” untuk berlawan. Di sana bersama “tembok” dan “biji-biji” yang sudah disebarkan akan selalu ada kontradiksi. Kontradiksi yang terjadi adalah kontradiksi tak terdamaikan. Karena kondisinya memang harus demikian, maka “tembok” itu harus hancur. Kemudian yang akan kita saksikan selanjutnya adalah mekarnya “bunga-bunga” yang harum yang di setiap musimnya akan selalu menghasilkan “bibit-bibit” unggul. Bibit-bibit ini selanjutnya akan meneruskan sirkulasi sejatinya: berbuah.
Puisi yang kedua berjudul Peringatan.
…
bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Slogan “hanya ada satu kata: lawan!” hampir bisa kita temui di setiap aksi-aksi mahasiswa maupun aksi-aksi buruh. Slogan ini begitu populer dan juga begitu menakutkan Orde Baru dengan seluruh jajarannya. Slogan ini mempunyai kekuatan yang mampu membakar semangat dan menyatukan kekuatan para aktivis, yang mau menjatuhkan Orde Baru. Slogan “hanya ada satu kata: lawan!” mungkin sama khasiatnya dengan slogan di zaman pra-kemerdekaan: “Merdeka atau Mati!.” Atau slogan Karl Marx yang menjadi “hantu” yang sangat menakutkan bagi para pemilik modal (kapitalis): “workers of the world, unite!”
Orang-orang seperti Pramodya Ananta Toer dan Wiji Thukul dianggap membahayakan keamanan negara karena berpikiran “di luar kerangka” berpikir Orde Baru. Orde Baru dengan semua bala-tentaranya dan juga kaum cendekiawan mengontrol bahasa dan juga pengetahuan. Sehingga ketika ada pihak ataupun individu yang mencoba bergerak di luar kontrol akan segera berurusan dengan alat pengontrol negara: polisi dan tentara. Di samping itu, Orde Baru juga menerapkan solusi super-cepat dan super-efektif, yakni penculikan. Penculikan aktivis pro-demokrasi dan juga orang-orang kritis merupakan alat pembungkam paling berhasil. Padahal, syarat utama membangun demokrasi di sebuah negara adalah berjalannya proses kritik dari berbagai pihak. Dan kritik hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki perspektif berbeda. Keragaman (pluralitas) berdiri setara sebagai bahan bakar dalam proses kritik yang sehat. Jika sudah begitu, mengapa seorang Wiji Thukul yang melakukan kritik kepada pemerintah harus diculik dan dihukum sampai tidak kembali kepada keluarganya?
Wiji Thukul, seperti penyair lain, hanya menjalankan fuingsinya sebagai penyair. Meminjam pendapat Yoseph Yapi Taum, Wiji Thukul, sebagai seorang penyair kerakyatan, mendudukkan fungsi sastra pada tempatnya, yakni sebagai sarana memperjuangkan cita-cita dan visi kemanusiaan. ***
Dian Purba, saat ini adalah mahasiswa semester akhir di Universitas Methodist Indonesia, Fakultas Sastra Inggris, Medan.