ASAL-USUL konsepsi masyarakat sipil bisa ditelusuri hingga ke zaman Yunani Kuno, atau ke masa dimana Hegel, filsuf idealis terbesar, merumuskan gagasannya tentang masyarakat sipil sebagai penyangga sekaligus jembatan penghubung antara rakyat dengan negara (yang merupakan penjelmaan roh absolut). Tapi, dalam kaitannya dengan globalisasi, barangkali yang paling jelas adalah pasca keruntuhan rejim-rejim Stalinis di Eropa Timur dan Tengah dan bangkitnya rejim demokrasi liberal di negara-negara yang sebelumnya diperintah oleh kediktatoran militer.
Di mana letak kesejajarannya itu, dan bagaimana sebenarnya hubungan antara globalisasi dan masyarakat sipil? Globalisasi, sebagai tendensi sistem pemikiran kapitalisme, beroperasi berdasarkan prinsip: kebebasan bergerak modal, pelemahan kekuasaan negara bangsa sebagai sebuah entitas politik, dan pelemahan secara struktural posisi rakyat pekerja. Dasar pemikirannya, “semakin kapital beroperasi secara global, semakin negara nasional terintegrasi ke dalam satu pasar bersama, maka kemakmuran bersama bisa diwujudkan.” Sebagai sebuah paham, globalisasi menemukan momentumnya di era pasca perang dingin. Di atas momentum itu, dikedepankan slogan bahwa “negara kuat adalah berbahaya di dalam dirinya sendiri.”
Di tengah gelombang pasang tendensi globalisasi itu, berkembang pesat pula gagasan tentang masyarakat sipil sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan negara. Gagasan ini bertumpu pada asumsi bahwa negara bukan agen satu-satunya dalam menegakkan martabat manusia. Pengalaman pahit di bawah kediktatoran Stalinis dan kediktatoran militer, menjadi batu tungku yang memanaskan semangat para pengusung gagasan masyarakat sipil. Negara menjadi kuat dan intervensionis, karena ketiadaan kontrol dari masyarakat sipil, yang pada akhirnya membungkam kebebasan sipil dan politik. Itu sebabnya, masyarakat sipil didefinisikan sebagai “masyarakat yang sadar politik tapi tidak berambisi untuk merebut kekuasaan politik.”
Dalam konteks yang demikian, tampak bahwa antara masyarakat sipil dan globalisasi memiliki sikap pandang yang sama: sama-sama menolak negara kuat. Itu pula sebabnya, mengapa para agen dan pendukung globalisasi, sekaligus merasa dirinya adalah pendukung masyarakat sipil. Atau sebaliknya, para pejuang masyarakat sipil tak perlu bersikap ambivalen terhadap arus pasang globalisasi. Bank Dunia, misalnya, sebagai salah satu pilar utama bangunan globalisasi adalah juga pengusung utama gerakan masyarakat sipil.
Sampai di sini, kita tak menemukan alasan untuk menghadapkan masyarakat sipil vis a vis globalisasi. Jika demikian, dari mana dasar konseptualnya sehingga keduanya ditempatkan dalam posisi yang konfliktual?
Seperti saya katakan sebelumnya, dasar berpikir globalisasi adalah kebebasan bergerak bagi kapital. Dalam realisasinya, kebebasan bergerak kapital ini mewujud sebagai: pencabutan subsidi, privatisasi, liberalisasi pasar, dan pemotongan anggaran belanja publik. Masalahnya, asumsi universalis ini (less state more market), prakteknya diletakkan di atas landasan struktur masyarakat yang timpang: mayoritas rakyat miskin yang berhadapan dengan minoritas yang berlimpah. Dengan demikian, ketika kebijakan-kebijakan globalisasi tersebut diterapkan mayoritas yang miskin semakin miskin. Sebaliknya, kekuasaan oligarki kapital semakin kuat dan mencengkeram.
Pada titik ini, kita mendapati dua persoalan. Pertama, soal peran dan fungsi negara. Jika negara tetap lemah, dalam makna memberi ruang sebebas-bebasnya bagi kapital, maka nasib mayoritas kaum miskin semakin terpuruk. Padahal, satu-satunya institusi yang bisa mengatur dan mengontrol laku kapital hanyalah negara. Lalu, untuk apa negara didirikan, untuk apa pemilu diadakan jika pemerintah yang dihasilkan membiarkan kesewenang-wenangan merajalela? Darimana legitimasi moralnya, jika pemerintah yang dipilih oleh rakyat pada akhirnya menindas hak hidup rakyat pemilihnya? Persoalan kedua, dalam kondisi ketimpangan yang memburuk itu, bagaimana kita meletakkan kedudukan masyarakat sipil? Akankah misi suci masyarakat sipil berupa gagasan emoh negara, dan memberi tekanan terus-menerus terhadap perilaku negara yang intervensionis, harus dipegang erat-erat? Lalu, buat apa kita membangun masyarakat sipil yang kuat di atas landasan mayoritas yang miskin? Bukankah kita sedang menggali liang kubur sendiri?
Persoalan-persoalan ini, menurut saya, menuntut kita untuk mendefinisikan ulang peran dan fungsi negara serta masyarakat sipil di era globalisasi ini. Sesungguhnya, gagasan tentang negara minimalis, yang sering dalam satu tarikan nafas diucapkan sama dengan demokrasi, dalam prakteknya sarat kontradiksi. Pertama, tidak pernah terbukti dalam sejarah bahwa kebebasan bergerak kapital menuntut persyaratan negara minimalis. Justru sebaliknya, perdagangan, dalam hal ini pergerakan kapital, pertama-tama disebabkan oleh penaklukkan politik yang kemudian diiringi oleh penaklukkan ekonomi.
Terintegrasinya secara menyeluruh ekonomi Indonesia ke dalam ekonomi internasional, pertama-tama didahului dengan penaklukkan kekuasaan politik rejim Soekarno, yang populis nasionalis. Secara mikro, agar pabrik-pabrik bisa bekerja tanpa gangguan, maka serikat buruh yang kuat seperti, Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) harus dihancurkan; agar eksplotasi di bidang pertanian berjalan lancar, atau pelaksanaan kebijakan land-reform bisa ditunda, maka serikat tani yang kuat seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), juga harus dilumpuhkan.
Karena perdagangan adalah hasil dari penaklukkan, maka tulang punggung dari kebebasan bergerak kapital adalah kekuatan bersenjata. Dalam bahasa yang lebih canggih, syarat utama kebebasan bergerak kapital atau globalisasi adalah adanya iklim usaha yang stabil. Stabilitas, stabilitas, stabilitas, itulah nabi bagi mereka. Dalam konteks penciptaan iklim yang stabil ini, konsepsi tentang negara tidak pernah tunggal dan tetap. Sebagai contoh, pasca perang dunia kedua dan terpolarisasinya politik internasional ke dalam dua kubu (komunis dan kapitalis), konsepsi tentang negara didefinisikan sebagai agen utama untuk transformasi sosial, dari struktur masyarakat agraris dan terbelakang menjadi struktur masyarakat industrial dan maju. Berdasarkan konsepsi ini, demi kemajuan ekonomi, demi mewujudkan masyarakat industrial dan maju itu, demokrasi boleh ditunda. Masyarakat yang sadar politik dan aktif dalam memperjuangkan aspirasi politiknya, dipandang mengganggu proses transformasi itu. Konsekuensinya, negara harus menjadi kuat agar bisa mengelola dinamika sosial yang muncul dari proses transformasi masyarakat itu.
Dari tilikan historis ini, saya berpendapat konsepsi tentang negara minimalis yang diusung oleh kaum globalis, tak lebih sebagai pembenaran terhadap prinsip kebebasan bergerak kapital dalam bentuk dan formasinya yang baru. Apakah ini berarti kaum globalis tak lagi membutuhkan militer? Sepintas lalu kita bisa mengatakan ya, karena pada satu sisi kaum globalis percaya pada pengakuan akan hak sipil dan politik (kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berorganisasi, dan pengakuan akan hak-hak minoritas). Inilah realisasi konsepsi negara lemah secara politik. Tapi, pemerintahan yang lemah sulit diandalkan untuk mengawal kebijakan neoliberal, yang merupakan rohnya globalisasi, sehingga membuatnya berpaling pada pemerintahan yang kuat dan massa yang apatis. Di sinilah letak peran sentral dari aparatus bersenjata (militer dan polisi), sebagai tulang punggung orde globalisasi.
Dari paparan ini, saya berpendapat kita mesti mendefinisikan masyarakat sipil secara lebih luas. Definisi masyarakat sipil sebagai entitas yang sadar politik tapi, enggan berpolitik praktis, tidak lagi memadai. Pertama, harus didefinisikan siapa yang disebut sebagai masyarakat sipil itu? Apakah ia berbasis kelas atau berbasis identitas; kedua, fokus perhatian masyarakat sipil pada pelemahan peran dan fungsi negara, berdiri pada fondasi yang lemah. Kalau kita hadapkan dengan globalisasi, negara sebenarnya diposisikan sebagai agen globalisasi, fungsinya adalah menjamin terwujudnya disiplin pasar. Dalam hubungan ini, jelas keliru jika sesama agen saling mengontrol, sementara sang tuan bebas berbuat sekehendak hati; dan ketiga, fokus perjuangan masyarakat sipil yang melulu pada kontrol atas kekuasaan negara harus mengarah pada pengambilalihan kekuasaan negara itu sendiri.***
Coen Husain Pontoh