Saya diminta untuk membicarakan soal analisis kelas. Tapi, sebelum sampai ke sana, saya akan menyambung apa yang tadi disebut George Aditjondro, bahwa jangan hanya analisis kelas, kita juga harus mengerti soal etnis, dan jender. Peringatan semacam itu disampaikan, karena orang yang menggunakan analisis kelas menganggap, dimensi kelas itu penting—kalau bukan yang paling penting—di dalam kenyataan sosial. Saya tidak termasuk jenis itu.
Bagi saya, analisis kelas, jender, etnis, dan segala macam adalah cara kita mengorganisasi pengetahuan. Kita lihat suatu masyarakat, dimensi apa yang mau kita perhatikan: bisa kelas, bisa jender, bisa apapun. Dalam kesempatan yang satu, dimensi kelas sangat menonjol dibanding dimensi yang lain, sementara dalam kesempatan lain tidak. Dengan kata lain, analisis kelas merupakan satu dari sekian banyak cara untuk melihat masyarakat.
Jadi, analisis kelas bukan untuk dihadap-hadapkan, dipertentangkan dengan macam-macam pendekatan atau analisis yang lain. Memang, ada kekhususan dari analisis kelas: membayangkan bahwa gerak sejarah dari masa lalu sampai sekarang aspek kelas sangat menonjol. Penting untuk dicatat, aspek tersebut bukan yang paling penting, tetapi sangat menonjol, dan banyak menentukan dimensi kehidupan yang lain. Kurang lebih itu awalan untuk membicarakan analisis kelas.
Mendudukkan Analisa Kelas
Dalam tulisan berjudul “The Class Question in Indonesian Social Science” (Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae, “Social Sciences and Power in Indonesia,” p. 167—196), ada dua hal yang dibahas. Pertama, tentang sejarah teori, karena tujuan dari tulisan itu adalah berbicara tentang hubungan ilmu sosial dengan kekuasaan. Hubungan itu ternyata tidak mulus. Kita tahu, selama Orde Baru banyak ilmuwan sosial dipekerjakan oleh pemerintah untuk membuat proyek-proyek penelitian yang kesimpulannya akan mendukung kebijakan pemerintah. Sampai sekarang, hal itu masih ada. Departemen-departemen merekrut peneliti-peneliti sosial, untuk membuat studi yang rekomendasinya untuk mendukung kebijakan pemerintah.
Jika dilihat dari segi perkembangan ilmu sosial di Indonesia dari tahun 1970-an, sempat populer apa yang disebut teori modernisasi. Teori tersebut membayangkan bahwa masyarakat seperti Indonesia yang bekas jajahan, miskin, yang biasanya disebut Dunia Ketiga, harus mengejar ketertinggalan. Ada keyakinan di sana bahwa perkembangan umat manusia itu sebetulnya sama saja: dari tradisional ke modern, dan yang perlu dilakukan oleh ilmuwan sosial adalah mencari pola-pola tersebut. Teori modernisasi di beberapa universitas mungkin masih dipelajari. Tetapi, teori tersebut umumnya sudah ketinggalan, ada salahnya, dan banyak bias-nya. Namun demikian, teori tersebut sempat dominan. Hal yang menarik dan penting dicatat, teori modernisasi menjadi dominan di Indonesia dikarenakan tidak ada alternatifnya. Jika kita membaca tulisan di tahun 1970-an, hampir semua menganggap teori modernisasi adalah ilmu sosial itu sendiri. Jadi, ilmu sosial tidak terdiri atas macam-macam pendekatan, tetapi satu saja: teori modernisasi. Teori itulah yang diajarkan dan dipahami sebagai kebenaran.
Pertanyaannya, mengapa bisa sampai seperti itu? Mengapa bisa satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sosial dianggap sebagai ilmu sosial itu sendiri? Itu ada sejarahnya. Pada titik itulah pembahasan tentang sejarah teori menjadi sangat penting. Kita tahu di Indonesia ada peristiwa G30S/1965 dan pembasmian PKI (Partai Komunis Indonesia). Bersamaan dengan itu terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam kajian-kajian ilmu sosial. Banyak sekali orang yang ditangkap, tidak boleh berekspresi dan kemudian negara membuat pembatasan-pembatasan sampai pada tingkat yang tidak masuk akal. Dalam konteks itu, tidak ada hubungan antara kebenaran dengan praktik pelarangan.
Pembatasan yang dilakukan Orde Baru berdampak sangat luas, termasuk di lingkungan universitas. Orang tidak mau mengajar teori-teori tertentu karena alasan keamanan. Jadi, perkembangan ilmu sosial di Indonesia, memang sangat dikontrol oleh negara. Akibatnya, kita tidak pernah—paling tidak dalam ilmu sosial tahun 1970-an—mengenal wacana kelas. Sementara, di belahan lain, orang bebas berbicara tentang kelas. Tidak ada yang aneh dengan itu. Karena kelas sangat sentral. Namun, dalam percakapan sehari-hari di Indonesia, hal itu praktis tidak dikenal. Ada semacam pengikisan mental (mental eraser), yang membuat orang tidak bisa berpikir tentang kelas. Dan ini berlangsung cukup lama.
Wacana kelas mulai muncul kembali di awal 1980-an, ketika ada banyak orang Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Amerika, di “dunia bebas.” Begitu kembali, mereka mencoba mengembangkan apa yang mereka pelajari. Di antara mereka adalah almarhum Farhan Bulkin, Dawam Raharjo dan Arief Budiman. Mereka mengembangkan apa yang mereka namakan ilmu sosial kritis, atau ilmu sosial historis. Jurnal utamanya adalah Prisma. Itu pertama kalinya analisis kelas kembali ke Indonesia. Namun, analisis kelas yang berkembang waktu itu masih terbatas, dalam arti, mereka menggunakan konsep kelas, tetapi fokus utamanya adalah mencari siapa subjek revolusioner; siapa agen yang bisa membawa perubahan di era Orde Baru.
Di situ diskusi tentang kelas terkait dengan diskusi dalam rangka mencari siapa yang menjadi agen perubahan. Dari situ mulai dilihat mana kelas yang paling berkepentingan atas perubahan. Sebagian menyebutkan—mengikuti analisis Marxis dari Barat—adalah kelas pekerja atau buruh. Dari sana lalu muncul perhatian terhadap buruh dan orang pun menulis tentang buruh. Sebagian lainnya menganggap, yang paling berkepentingan adalah kelas menengah. Diskusi itu berlangsung terus, dan terkait dengan usaha demokratisasi melawan Orde Baru.
Sampai kira-kira tahun 1990-an, isu kelas kembali menghilang, diganti oleh satu konsep yang awet hingga kini, civil society. Istilah itu dikemukakan bermacam-macam, seperti civil society, masyarakat sipil, masyarakat madani. Tapi, intinya, civil society, yang tidak jelas bentuknya itu, dianggap sebagai agen perubahan. Ilmu sosial praktis didominasi oleh pembicaraan seperti itu, dengan pertanyaan dasar: siapa yang menjadi agen perubahan. Jadi, bisa dikatakan, analisis kelas—kalaupun dia muncul di era Orde baru—pada dasarnya dilakukan secara sambil lalu saja. Pembahasan tentang kelas bukan karena ada keinginan untuk memahami masyarakat secara lebih lengkap melalui perspektif kelas, melainkan berangkat dari kehendak untuk mencari aktor perubahan dalam iklim politik Orde Baru yang otoriter.
Pertanyaan selanjutnya dan lebih penting: apa sebenarnya isi analisis kelas itu. Jika orang memberi judul atau menggunakan kata kelas dalam tulisannya, tidak berarti dia menggunakan analisis kelas. Demikian juga, sekalipun ada yang mengklaim bahwa dia menggunakan analisis kelas, tidak dengan sendirinya dia betul-betul mengembangkan analisis kelas. Bisa saja dia hanya menggunakan retoriknya, jargonnya, istilahnya, tetapi dengan kerangka yang sama sekali lain dengan analisis kelas.
Di Indonesia, yang paling terkenal berbicara tentang kelas adalah Richard Robison. Bukunya yang sangat terkenal adalah “Indonesia The Rise of Capital.” Buku itu berisi tentang kemunculan kelas kapitalis di Indonesia. Analisis Robison memperhatikan tumbuhnya orang-orang yang dia golongkan sebagai kelas kapitalis atau borjuasi. Ada borjuasi Cina, borjuasi pribumi, domestik, asing dan seterusnya. Dia membuat semacam pemetaan. Cara pemetaan seperti itulah yang paling popular. Kompas, misalnya, pernah membuat survey di jaman Soeharto tentang pemetaan kelas menengah. Berdasarkan survey Kompas, tercatat ada 18 kelas. Jadi, kelas dalam pengertian tersebut—seperti yang dipakai Robison dan Kompas, dan orang-orang Prisma waktu itu—sebetulnya sama, semuanya ingin membuat klasifikasi masyarakat. Jadi, masyarakat hendak dilihat dalam kelas yang berbeda-berbeda. Kemudian dilihat ekspresi politiknya, gaya hidupnya dan berbagai macam kecenderungannya. Mereka melihat berbagai macam pola dari klasifikasi tersebut. Hal itu menarik, karena orang-orang tersebut menganggap bahwa ilmu sosial yang mereka kembangkan itu baru: dianggap sebagai jawaban terhadap ilmu sosialnya Orde Baru yang didominasi teori modernisasi.
Analisis yang mereka kembangkan sangat mirip dengan analisis kelas yang dikembangkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Bandingkan, misalnya, tulisan Aswab mahasin dengan tulisannya D.N. Aidit, ketua CC PKI, tentang kelas menengah. Perbedaannya tipis. Aswab mengatakan, kelas menengah itu para kyai, guru madrasah, yang atribut sosialnya kuat di dalam masyarakat—memiliki pamor, nama baik dan semacamnya. Aidit pun menggunakan cara pembagian kelas seperti itu. Jadi, atribut sosial digunakan sebagai penanda batas-batas kelas. Bukan soal ekonomi semata yang digunakan untuk menandai kelas, tetapi juga soal perilaku sosial. PKI, misalnya, pada jaman land reform awal 1960-an, mengenal istilah tuan tanah baik dan tuan tanah jahat. Pada titik itu, bukan hanya posisi berdasarkan ekonomi yang dikembangkan tapi, juga tentang bagaimana seseorang bersikap dan berperilaku. Jadi, secara metode dan juga metodologi, ada kesamaan antara analisis kelasnya PKI dengan ilmu sosial historis/ilmu sosial kritis.
Demikian juga Richard Robison. Mereka yang membahas kelas waktu itu hampir semuanya masuk dalam cara berpikir yang berusaha mengklasifikasi masyarakat, membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas. Perbedaannya hanya pada apa yang membedakan kelas satu dengan kelas lainnya, sementara cara pandang, cara kerja dari teorinya sendiri sama.
Menurut saya analisis kelas tidak seperti itu. Analisis kelas bukan untuk menentukan kotak-kotak, karena analisis semacam itu akan sangat bermasalah secara teori maupun politik. Secara teori penjelasannya begini: ketika krisis terjadi tahun 1997 banyak buruh dipecat. Bukan hanya buruh, sampai level menejer rendahan yang posisinya di atas blue colar dipecat. Jadi masuk kelas apa mereka? Kebanyakan dari mereka menganggur. Menggunakan tabungan mereka dari pesangon sampai cukup lama, kemudian menjadi pedagang. Buruh, nasibnya lebih buruk lagi, tidak tentu mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi bagian yang sering disebut underclass, paria. Tetapi, ada pula yang lumayan, memiliki tabungan, kemudian membuka warung. Jadi, penyebaran dari orang-orang yang dipecat bermacam-macam.
Nah, jika kita memakai analisis kelas yang sifatnya klasifikasi, kita akan mendapati orang yang berpindah dari kelas satu ke kelas lain dalam kurun waktu yang relatif cepat. Dalam tulisan itu saya beri contoh kawan kerja saya sendiri. Dia kerja kantoran, setelah dipecat menjadi sopir taksi. Dia termasuk kelas buruh. Dari yang tadinya masuk kategori kelas menengah dalam beberapa hari jadi sopir taksi. Setelah menjadi sopir taksi selama tiga bulan, diberi modal oleh orang tuanya kemudian membuka warung. Jadilah dia borjuis kecil. Dari borjuis kecil, kemudian usahanya lumayan jalan sampai kemudian diambil alih istrinya karena mendapat pekerjaan lagi—yang posisinya kurang lebih sama dengan posisinya semula. Jadi, posisinya kembali lagi ke awal menjadi bagian dari kelas menengah.
Jika setiap orang bisa berpindah-pindah kelas dalam kehidupannya yang relatif singkat—katakanlah dua sampai tiga tahun—lalu apa yang mau kita analisis? Itu artinya tidak ada yang namanya struktur. Kita tidak bisa bicara lagi tentang proses sosial yang panjang, apalagi bicara kecenderungan politik. Jadi, analisis kelas yang semacam itu—membuat klasifikasi kelas—sangat terbatas dan sangat bermasalah secara teoretis, karena menganggap kenyataan sosial itu mengikuti kategori-kategori yang kita miliki. Padahal sebaliknya, kita membuat kategori itu untuk lebih memahami kenyataan.
Di samping itu, analisis kelas model pengklasifikasian bermasalah pula secara politik. Dalam pengorganisasian misalnya, kita akan kesulitan menentukan kelompok sasaran, karena perpindahan orang dari satu kelas ke kelas lainnya begitu cepat. Dalam perburuhan, misalnya, sekarang ini paling ruwet. Masuk pengorgasnisasian buruh, begitu buruhnya berubah menjadi pedagang—karena di-PHK atau kontraknya habis—maka dia bukan lagi menjadi kelompok sasaran pengorganisasian. Hal seperti itu saat ini sudah menjadi norma, menjadi aturan, bukan lagi pengecualian. Fleksibilisasi pasar tenaga kerja membuat buruh tidak lagi seperti di jaman lalu, bisa diprediksi keberadaannya di dalam pabrik selama 10, 15 sampai 20 tahun. Oleh sebab itu, analisis kelas model klasifikasi pasti akan kesulitan untuk memahami kenyataan pasar tenaga kerja yang fleksibel seperti sekarang.
Lebih dari itu, untuk waktu ke depan, secara politik organisasi buruh akan kehilangan orang, karena sistem kontrak dan pergantian orang yang begitu cepat. Dengan kalimat lain, serikat buruh tidak bisa berkembang jika menggunakan cara berpikir semacam itu. Jadi, secara politik pengorganisasian masyarakat memiliki kelemahan mendasar jika menggunakan analisis klasifikasi kelas. Sayangnya, atau menariknya, cara pandang tersebut masih dominan.
Bersambung….
Hilmar Farid
Catatan:
Tulisan ini merupakan transkrip presentasi yang disampaikan Hilmar Farid dalam Diskusi Bulanan Akatiga dengan tema Analisis Kelas dan Ilmu Sosial Indonesia, 05 November 2007. Versi yang dimuat ulang ini telah mengalami sedikit perbaikan.
Sumber: http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1439&Itemid=389.