MOMEN peringatan Sumpah Pemuda yang lalu menjadi ajang kampanye elit kaum muda Jakarta. Wacana publik tentang kepemimpinan kaum muda dilontarkan tanpa henti melalui media massa. Ini adalah puncak dari kegelisahan para anak muda itu tentang lambannya transformasi sosial politik di Indonesia.
Secara substantif, tidak ada yang salah dari lengkingan suara kelompok muda itu. Wajar kiranya mereka menggugat waktu yang tersia-sia oleh elit tua pasca reformasi, yang semakin kehilangan orientasi. Tetapi, begitupun banyak hal yang perlu dikritik dari kampanye yang mereka, elit muda, itu wacanakan. Persepsi yang muncul adalah seolah-olah pergantian kekuasaan adalah seperti bertukar tempat duduk di bioskop atau konser musik. Kaum tua tinggal bergeser ke belakang karena menghalangi pemandangan atau mengganggu ruang gerak orang muda yang hendak trence. Ini pikiran aneh, semudah itukah?
Persepsi lainnya adalah, muncul kesan meminta-minta peran dan posisi. Apalagi, jika dikaitkan dengan proposal yang dilontarkan salah satu tokohnya, Sunardi Rinakit, tentang komposisi kesebelasan kaum tua dan muda dalam pemerintahan dan kabinet. Tak terelakkan, banyak yang menganggap bahwa ini adalah strategi tersembunyi untuk mengangkat posisi tawar para penggiat kampanye itu. Meskipun, belum tentu demikian.
Sebagai sebuah gerakan, saya kira ini akan gagal sebab tidak memiliki kapital sosial politik yang memadai. Seharusnya para elit muda itu menunjukkan dulu track record dan kapasitasnya lalu secara alamiah muncul dalam kompetisi elit. Mereka juga harus mengajak serta kamu muda dari berbagai penjuru seperti birokrasi, partai politik, perguruan tinggi, organisasi sosial keagamaan, kepemudaan, dan institusi-institusi lain yang memiliki peran strategis dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka harus membangun visi bersama, membuat peta jalan (road map) serta skenario-skenario untuk, lalu kembali ke habitat masing-masing guna berkarya dan merebut kekuasaan. Bagi yang sudah kebelet karena sudah berusia di atas 40 tahun, cobalah berkarya secara luar biasa. Masih ada 2 tahun sebelum 2009.
Kampanye tanpa dukungan substansial seperti ini, menurut saya, hanyalah onani politik yang menjemukan. Bukankah kita harus melihat dulu apa yang dilakukan Anis Baswedan di Paramadina atau Chalid Muhammad di WALHI? Apakah mereka bisa lebih besar dari itu dan lebih besar dari dirinya sendiri? Kalau ya, tentu perlu didukung. Kalau biasa-biasa saja, nanti dulu! Tidak ada jaminan bahwa mereka bisa keluar dengan gagasan-gagasan otentik dan terobosan-terobosan efektif dalam mengurai dan menyelesaikan masalah bangsa. Siapa yang bisa menjamin orang-orang seperti Sunardi Rinakit, tidak akan terjerembab dalam lumpur politik kita yang ganas?
Saya tidak hendak mengatakan kepada para elit muda itu supaya jangan muncul atau berteriak soal regenarasi. Itu perlu bahkan, harus. Tetapi, lebih dari itu, mereka harus bergerak secara otentik baik dari segi gagasan maupun gerakan. Harus ada orkestrasi untuk mensinergikan kekuatan-kekuatan kaum muda di seluruh penjuru secara inklusif. Dibutuhkan kepemimpinan dan pengorganisasian yang jelas dengan agenda yang sistematis melalui aksi-aksi dan karya yang kongkrit.
Saatnya orang muda untuk “berproduksi” sambil bicara! Bukan cuma teriak dan merengek.***
Deddy Sitorus, Kontributor IndoPROGRESS.
Artikel ini sebelumnya dimuat di http://deddy1970.blog.com/Thursday, November 08, 2007.