Mengenang Ong Hok Ham
CIPINANG Muara pada awal tahun 1999. Lelaki tua berkepala plontos dan berkacamata itu, setiap hari selalu lewat di depan kantor saya. Ong Hok Ham namanya. Hari itu, kembali saya menyapanya, dan seperti yang sudah-sudah, ia tampak terkejut melihat orang yang memanggilnya. Ia tak ingat siapa yang menyapanya. Saya lalu memperkenalkan diri sebagai salah seorang muridnya di jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
“Ini kantor apa?” ia balik bertanya sambil melap keringat yang bercucuran di wajahnya.
“Ini kantor Partai Rakyat Demokratik atau PRD pak Ong,” ujar saya, sambil menunjuk plang PRD yang terpasang di depan pintu gerbang.
“Oh partainya anak-anak muda pemberontak itu ya,” ujarnya.
“Iya, saya kan belajar dari pak Ong untuk jadi pemberontak,” ujar saya berkelakar.
“Pak Ong kok jalan kaki, tidak naik mobil?” aku melempar pertanyaan penuh rasa ingin tahu.
“Saya sengaja jalan kaki, ini bagus untuk kesehatan. Saya selalu jalan kaki,” ujarnya.
Kejadian yang agak aneh itu akhirnya menjadi pemandangan yang biasa. Pak Ong sering kali berjalan kaki dari rumahnya melalui jalan Basuki Rahmat (atau biasa disebut juga jalan baru) menuju Kampung Melayu atau ke jalan bypass. Saya biasanya akan menegur pak Ong dan mengajaknya untuk mampir. Dan seperti biasa, pak Ong bisanya hanya menengok sebentar lalu melanjutkan perjalanan.
Saya dan Coen Husain Pontoh, yang kini bermukim di New York, bahkan sempat mendiskusikan untuk mengundang pak Ong sesekali di PRD, untuk berdiskusi soal sejarah. Sayangnya, ide itu gagal terealisir. Kantor kami keburu pindah ke Tebet, Jakarta Timur.
Setelah di Tebet paska pemilu Juni 1999, saya tidak pernah lagi melihat dan bertemu dengan pak Ong. Saya justru beberapa kali bertemu Andi Achdian, yang menjadi asisten pak Ong dan pendiri Ong Hok Ham Institut. Dari Andi juga saya tahu bahwa pak Ong menderita stroke beberapa tahun yang lalu.
Perkenalan pertama saya dengan Pak Ong adalah ketika menjadi mahasiswa baru jurusan Sejarah FSUI sekitar bulan Agustus 1987. Pada saat itu ada tradisi, seluruh mahasiswa baru akan diundang makan siang ke rumah Pak Ong yang unik dan artistik di Cipinang Muara.
Kami semua dikenalkan dengan Pak Ong di beranda rumahnya yang sejuk, yang dipenuhi barang antik di sana-sini. Setelah itu, lkami diajak berkeliling rumah, memasuki ruang tamu, ruang kerja, perpustakaan, dapur, hingga kamar mandi yang terbuka atapnya. Beberapa di antara kami terpana melihat kamar mandi yang beratapkan langit tersebut.
“Apa pak Ong nggak takut diintip bila sedang mandi?”
Setelah berkeliling rumah, kami kemudian diajak melihat koleksi ribuan buku-bukunya yang tertata rapi dalam rak-rak. Pak Ong terlihat sangat kuatir kalau-kalau bukunya ada yang hilang. Karena itu dia lalu menggeledah dan memeriksa tas kami, untuk memastikan tidak ada bukunya yang terbawa. Saya dapat kabar dari beberapa senior saya, bahwa pak Ong sangat mencintai ribuan koleksi bukunya mirip anak-anaknya sendiri. Tradisi kecintaan pada buku ini tampaknya menurun pada banyak anak-anak jurusan sejarah. Saya salah satu yang tertular tradisi ini. Sayangnya ratusan koleksi buku saya disita oleh BIA (Badan Inteljen ABRI), paska kerusuhan 27 Juli 1996. Beberapa di antaranya buku yang diberikan langsung oleh pengarangnya.
Usai berkeliling rumah, kami duduk di beranda rumah dan mulai memperkenal diri satu persatu, dengan latar belakang daerah asal kami. Bukan bermaksud rasis tapi, pak Ong sengaja ingin tahu latar kedaerahan kami, semata untuk mengetahui apa makanan khas di daerah tersebut. Hebatnya, pak Ong bisa menebak beberapa makanan khas daerah, juga bumbu-bumbu dasarnya. Bila tidak tahu pak Ong akan berkata “nanti saya dikasih resepnya.” Belakangan saya tahu pak Ong juga seorang ahli masak. Salah satu hobinya adalah meracik dan mencoba berbagai jenis masakan yang baru dikenalnya.
Kini, sampailah pada acara pokok, makan siang. Kami diajak ke dapur pak Ong untuk menyaksikan dia memasak masakan yang akan menjadi menu bagi sekitar 30 orang. Ternyata, ia sedang memasak semacam mie ayam. Keringat tampak bercucuran menetes dimuka dan baju kemejanya.
“Mungkin keringat yang menetes itu sebagai salahsatu bumbu masakannya,” pikirku
Masak-memasak telah rampung. Mie ayam itu kini sudah berpindah ke atas meja makan.
“Ini semua masakan halal, tidak ada babinya”.
Ia seperti mengeritik pikiran beberapa orang di antara kami yang muslim, yang masih kuatir jangan-jangan ada campuran babinya disana. Maklumlah stereotip masakan Cina mengunakan babi atau minyak babi, masih cukup kuat di antara kami. Terbukti mie ayam buatan pak Ong memang luar biasa.
Sebagai mahasiswa baru, saya memandang pak Ong sebagai manusia yang unik, dengan gaya bicara yang juga unik, juga rumah yang unik. Gaya bicaranya ini dengan persis sering ditiru-tiru oleh Wasmi, mantan salah seorang asistennya untuk berkelakar di antara kami. Gaya mengomel khas Pak Ong yang paling populer dengan menyebut mahasiswanya “kamu ini bayi-bayi besar,” juga kerap menjadi kelakar Petrus, salah seorang senior sejarah saya di FSUI.
Salah satu joke dia yang saya ingat adalah ketika dia bercerita bahwa ” sebab utama dari kolonialisme itu adalah ibu-ibu. rempah-rempah itukan kebutuhan dapur ibu-ibu, karena kebutuhan rempah-rempah untuk ibu-ibu, Barat menjajah bangsa lain.”
Dari banyak karya tulisnya, salah satu karya pak Ong yang pernah saya baca agak detil adalah skripsi S-1 nya yang diterbitkan menjadi buku “Runtuhnya Hindia Belanda.” Kebetulan saya membuat skripsi tentang perdebatan fasisme ditahun 1930-an, di lingkungan kaum pergerakan. Karya pak Ong sangat membantu untuk menunjukan bagaimana kepanikan rejim kolonial menghadapi perubahan politik di Eropa ditahun 1930-an. Bukannya dengan lebih membuka keran demokratis tapi, dengan menutup ‘politik etis’ dan mengubahnya dengan gaya politik yang semakin konservatif, bahkan mirip-mirip fasis.
Meskipun tidak mengenal dekat, tentu saja pak Ong salah seorang intelektuil teladan bagi bangsa Indonesia. Integritas dan kapasitas intelektuilnya sebagai seorang sejararawan yang kritis, sulit dicari duanya. Sayangnya, komunitas intelektuil di negerinya sendiri, menurut kesan pribadi saya, kurang optimal mengambil manfaat dari sejarawan senior itu selama dia hidup. Pak Ong seperti diluar orbit kaum intelektuil mapan. Bahkan, ada kesan beberapa ‘praktek diskriminasi’ diberlakukan secara diam-diam atas dirinya, semata karena soal-soal ‘kebiasaan personalnya’ yang tidak ada kaitannya dengan kapasitas dan integritas intelektuilnya sebagai seorang sejarawan. Dalam hal ini pak Ong, belum ada duanya.
Pada hari Kamis, 30 Agustus malam saya mendapat telepon mengejutkan dari seorang kawan. “Pak Ong Hok Ham meninggal dunia.” Setengah tidak percaya saya juga menelepon seorang kawan untuk mengkonfirmasi tentang wafatnya Pak Ong, demikian saya menyebutnya.
Bangsa ini kembali kehilangan intelektuil terbaiknya. Sosok seperti pak Ong akan mengingatkan kita bahwa seorang kaum intelektuil harus mempunyai integritas total pada profesi dan keilmuanya, bukan pada penguasa.
Selamat jalan Pak Ong!***
Wilson, alumnus sejarah FSUI 1993