MASA depan demokrasi, sangat ditentukan oleh sejauh mana tatanan ini memberi manfaat secara langsung kepada rakyat. Bila tidak, secara logis ia rentan terhadap berbagai gugatan, baik dalam bentuk kritik implisit maupun serangan vulgar. Pernyataan seperti “demokrasi kebablasan,” atau “jangan berlindung di balik demokrasi” adalah salah kaprah, karena nilai dasar demokrasi memang memberi jaminan kebebasan dan perlindungan hak politik rakyat. Persoalannya ada pada bentuk demokrasi yang membatasi kebebasan dan tidak memberikan perlindungan hak individu ataupun kelompok masyarakat. Akibatnya, manfaat dari keterbukaan politik selama delapan tahun ini hanya dinikmati segelintir orang.
Lantas, manfaat seperti apa yang paling diidamkan? Jawabannya berpulang pada kenyataan masalah apa yang sedang dihadapi terutama, keterpurukan ekonomi yang menghasilkan dampak berantai pada kondisi sosial lain. Karena sedemikian kompleks, saya boleh nyatakan, tidak akan ada pemerintahan yang sanggup menyelesaikan semua persoalan tersebut tanpa dukungan dan partisipasi aktif seluruh atau setidaknya mayoritas rakyat. Artinya, seluruh rakyat harus menjadi bagian integral dari pemerintahan lewat organisasi atau sarana politik lainnya.
Integrasi antara pemerintahan dengan rakyat ini menyaratkan beberapa hal yang belum eksis dalam tatanan politik kita saat ini. Pertama, adanya pemerintahan yang memahami kehendak rakyat serta, mengetahui bagaimana cara memenuhi kehendak tersebut. Kedua, sebaliknya, rakyat yang memahami dan mendukung rencana pemerintah (karena keberpihakannya), sehingga rakyat sendiri menjadi bagian dari pemerintahan dimaksud (hakekat kedaulatan rakyat). Dan ketiga, sebagai fokus tulisan ini, adalah sebuah tatanan politik yang memungkinkan partisipasi luas masyarakat dalam mendiskusikan, merumuskan, memiliki hak untuk terlibat aktif dalam kekuaasaan –sebagaimana juga hak untuk beroposisi, dan menjalankan misi menuju tatanan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan.
Konsensus dan distribusi wewenang
Ketika masuk pada tatanan politik, kita berbicara mengenai instrumen yang menentukan perwujudannya yaitu, keyakinan terhadap demokrasi yang menjadi spirit dasar (dan) perubahan berbagai regulasi politik. Spirit dasar itu adalah konsensus untuk meninggalkan sistem kediktatoran dan beralih pada sistem demokrasi. Penolakan terhadap otokrasi Orde Baru, yang berpuncak pada jatuhnya Soeharto, sembilan tahun silam, didasari oleh kebutuhan akan keterbukaan. Di samping itu, sebagian elit sipil saat ini menuntut distribusi kekuasaan yang selama itu berpusat pada satu orang (Soeharto) dan satu lembaga (TNI/ABRI). Logika yang diterima umum ketika itu menyatakan, legitimasi politik Orde Baru telah menyurut, karenanya dibutuhkan figur alternatif dari kalangan reformis untuk menciptakan perubahan. Perubahan berbagai regulasi politik yang lebih demokratis pun menjadi jalan bagi tampilnya sejumlah wajah baru di luar tatanan kekuasaan Orde Baru dari level pusat sampai ke daerah-daerah.
Namun, ada hal yang terlupakan. Demokrasi sesungguhnya tidak sekedar keyakinan yang berbuah kesepakatan untuk membagi-bagi kekuasaan di tingkat elit. Demokrasi juga harus memberikan hak kepada setiap individu warga negara untuk menentukan masa depan bangsa dan nasibnya sendiri. Hak untuk bebas memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, misalnya, hanya salah satu dari sekian banyak hak yang harus dipenuhi. Tokoh atau figur politik hendaknya menjadi pemimpin rakyat untuk melakukan perubahan secara bersama-sama. Juga, secara simultan dibutuhkan tradisi politik baru yang mendidik, agar rakyat menjadi cerdas dan membuat pilihan melalui pergulatan alam rasional yang dilengkapi pemahaman atas kondisi sosial ekonomi, politik, dan budaya.
Regulasi politik
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, telah merumuskan Rancangan Paket Undang-Undang Politik dan diserahkan kepada DPR. Mestinya, setiap perubahan regulasi politik, termasuk rencana perubahan sekarang, membuka peluang untuk partisipasi tersebut, dan bukan sebaliknya. Pembatasan jumlah partai politik dan beberapa klausul kontroversial lain di dalam Rancangan Paket UU Politik, tak lain dari upaya menutup partisipasi rakyat, terutama dari kelas sosial yang selama ini dipinggirkan (buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, dsb). Minat masyarakat untuk berpartisipasi akan semakin surut, lantaran pilihan yang semakin terbatas.
Sementara, realitas kemajemukan masyarakat dan kepentingannya belum mampu diartikulasikan oleh spektrum politik yang ada. Sejalan dengan itu, kesepahaman bahwa partisipasi rakyat bukan sekedar dalam ritual pemilu lima tahunan, perlu diwujudkan dalam tatanan regulasi yang konkret. Misalnya, wacana kandidat perorangan kepala daerah atau kepala negara, penguatan fungsi dan peran DPD, partisipasi rakyat dalam penyusunan anggaran negara/pemerintah (contoh partisipatory budgeting di Porto Alerge Brazil), hak rakyat untuk bertanya (fungsi kontrol dari konstituen), mekanisme bertanya kepada rakyat sebelum mengambil keputusan penting melalui referendum, dll. Bahkan, demokratisasi dalam hal membentuk partai politik saja tidak cukup.
Menurut saya, demokrasi tidak perlu dibatasi dengan satu pintu. Pengaturan/regulasi dibutuhkan, sejauh dapat membantu dan menjamin rakyat dalam menggunakan seluruh hak-hak demokratisnya untuk terlibat dan berpartipasi aktif, korektif, dam kritis terhadap praktek kekuasaan.
Transformasi sistem demokrasi dari bentuk yang lama ke yang baru, hendaknya tidak semata-mata atas dasar referensi teoritis atau adopsi mentah dari sistem yang berlaku di negera lain. Kondisi politik dan persoalan sosial yang dihadapi bangsa ini seharusnya menjadi acuan utama. Sehingga dengan demikian, demokrasi memiliki landasan kokoh dan diakui kekuatannya sebagai jembatan solusi.***
Dominggus Oktavianus Tobu Kiik, Ketua Bidang Politik dan Demokratisasi DPP PAPERNAS.