MEMAHAMI keberadaan televisi (TV) sebagai sebuah kekuatan ekonomi-politik, akan membantu kita menjelaskan berbagai macam kejadian seputar keberadaan media berteknologi audio-visual. TV, yang telah terbukti membawa dampak sangat besar bagi kehidupan masyarakat, akhir-akhir ini memang mewarnai pergulatan sosial-politik yang ada.
Masyarakat pun resah. Mencontoh tayangan smack down yang menampilkan estetika kekerasan, sebagian anak-anak sekolah dasar (SD), menderita luka-luka bahkan ada yang menemui ajalnya. Sebagian kelompok massa, juga menggelar aksi protes dengan cara-cara kekerasan, karena tayangan TV dianggap melecehkan standar moral dan relijius mereka. Beberapa tokoh ikutan menghujat si kotak pintar ini, karena telah membentuk budaya gosip yang vulgar di kalangan kaum borjuis artis-selebritis.
Beberapa kasus tersebut menggambarkan protes yang berasal dari masyarakat sipil dan bukan dari negara (pemerintah). Memang, sempat ada oknum pemerintah yang merasa gerah dengan tayangan TV. Ambillah misal, ketika beberapa bulan berselang, mantan Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Jalil, melakukan somasi terhadap acara parodi politik di sebuah stasiun TV. Acara itu dianggap melecehkan pemerintahannya.
Yang menarik adalah kejadian yang terjadi belakangan, tetapi bukan di negeri kita. Merasa bahwa TV telah bertindak diskriminatif dan tidak berimbang menyangkut kebijakan pemerintahannya, Presiden Venezuela Hugo Chavez Frias, memutuskan untuk tidak memperpanjang ijin siaran stasiun TV swasta RCTV (Radio Caracas Television). Keberanian dan kenekatan Chavez, muncul bukan karena RCTV tidak mendukung upaya perubahan rakyat, bukan pula karena RCTV menjadi TV yang banyak dikenal masyarakat (bahkan internasional), karena tayangan opera sabun atau telenovela-nya. Penonton yang kritis terhadap keberadaan komunikasi tentu paham, bahwa tayangan opera sabun hanya menyajikan drama kalangan borjuis yang di dalamnya diwarnai kisah cinta dan kebencian orang-orang yang hidupnya mewah, dengan pria tampan yang dikerubungi perempuan cantik dan seksi.
Tayangan semacam ini, jelas tidak mewakili realitas sejati masyarakat Venezuela yang mayoritas miskin, mereka yang sedang berjuang menuntaskan program-program kerakyatannya. Tayangan yang mengasingkan realitas sosial, tentu tidak melulu berwujud opera sabun. Ada banyak sekali ragam tayangannya. Menelisik tayangan TV di negeri kita sendiri, kita bisa melihat bahwa TV selalu saja menggambarkan dunia borjuis. Memang ada sedikit menampilkan rakyat miskin tapi, kebanyakan adalah gambaran kaum kriminal (sebagaimana dalam berita kriminal) dan juga kaum fatalis (orang miskin dan susah yang berserah diri semata pada dunia gaib: minta pertolongan Tuhan sebagai solusi di satu sisi, tapi juga memelas bantuan setan atau thuyul di sisi lainnya dalam titik ekstrim). Hegemoni yang membodohkan rakyat miskin dengan ide(ologi) fatalisme dan hedonisme semacam itu memang mendapatkan gugatan-gugatan tetapi, tidak mampu menggoyahkan nafsu TV untuk menayangkan program-program yang dipandang memundurkan cara berpikir dan bertindak masyarakat.
Yang dilakukan Chavez adalah memutus lingkaran buruk yang disebabkan oleh tayangan TV. Tindakannya konkrit, dampaknya juga sangat nyata. Itu sebabnya, ia menuai banyak protes dan kecaman: anti demokrasi, memangkas hak rakyat atas informasi. Dalam seketika, citra Chavez di mata dunia merosot drastis.
Sikap kita
Kita memang tidak bisa memandang tindakan Chavez secara hitam-putih. Kita harus mempertimbangkan aspek ekonomi-politik, misalnya, merunut sejarah konflik politik di Venezuela sejak awal, yang disebut oleh Walden Bello (2003) sebagai “konflik kelas.” Konflik kelas ini menggambarkan pertentangan antara Hugo Chavez dan pendukungnya, yang terdiri dari mayoritas rakyat miskin dan kaum oposisi, yang mewakili kalangan konglomerat atau pemilik modal swasta yang merasa rugi jika Chavez meninggalkan resep neoliberalisme yang berpilar pada sistem privatisasi dan pasar bebas.
Komposisi itu tampak dari barisan penentang Chavez, yang terdiri dari para pengusaha, artis-selebritis (pemain opera sabun), sekelompok mahasiswa, serta kelompok demokrat liberal pendukung neoliberalisme, yang terbukti merugikan rakyat Amerika Latin dan kini mulai ditinggalkan oleh banyak negara di kawasan ini.
Menurut Chavez, tindakan tidak populer yang diambilnya itu karena RCTV dianggap sering menyiarkan program yang tidak bermoral, dan cenderung pro-Amerika Serikat (AS). Selain itu, Chavez menuduh RCTV mendukung aksi kudeta terhadap pemerintah Venezuela pada 2002. Sebagai gantinya, Chavez mendirikan TVes yang dikuasai pemerintah. TV internasional yang berkiblat pada Amerika Serikat (AS), juga harus dipandang sebagai kelompok kepentingan, jika kita ingin menilai apa yang terjadi di Venezuela secara objektif dan realistis.
Tuduhan Chavez bahwa TV yang dututupnya itu melakukan intrik-intrik kotor, juga harus dipertimbangkan. Sejak awal pemerintahannya, pemberitaan media yang mewakili kepentingan oposisi terus memainkan opininya untuk menyerang Chavez dan pengikutnya. Termasuk berita tentang pemogokan dan kejadian seputar penggulingan terhadap Chavez oleh kelompok oposisi (pengusaha). Setiap kali kita membaca sebuah berita, kita akan dapat melihat sudut pandang dari mereka yang menulis berita itu. Media pendukung Chavez, selain masih gagal mendominasi, juga akan dihalangi untuk mengumandangkan berita-berita yang mengandung sudut pandang rakyat miskin.
Brian Ellsworth, wartawan Houston Chronicle pada edisi 20 Desember 2002, telah melaporkan bahwa pertarungan politik Venezuela juga berlangsung sengit dalam bidang pemberitaan, terutama di media televisi. Ia menulis bahwa televisi swasta di Venezuela, berpihak tanpa syarat pada gerakan anti-Chavez sementara, stasiun televisi pemerintah berpihak tanpa syarat pada Chavez. Ia melaporkan, liputan dari saluran televisi swasta penuh “propaganda,” sementara saluran televisi pemerintah “menyatakan kebenaran.”
Fakta tersebut memberikan keyakinan pada kita, bahwa TV memang bukan produk teknologi yang netral. Kehadiran TV itu sendiri didasari oleh, selain digunakan untuk mencari keuntungan jika dikelola oleh pengusaha, juga digunakan untuk memundurkan cara berpikir rakyat. Bisa jadi, kehadiran TV justru memundurkan budaya masyarakat. Misalnya, karena dominasi budaya tonton, TV telah memundurkan budaya literer (membaca dan menulis) di kalangan rakyat.
Di negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat (AS) sendiri, hubungan antara TV, prestasi belajar, kecerdasan, dan kemampuan baca tulis telah dipelajari sejak tahun 1960-an. Hasilnya sungguh menyedikan. Sebagaimana diungkapkan Michael R. LeGault (1996), televisi telah menjadi biang kerok resmi dan tumpuan kesalahan dari beberapa generasi pendidik dan orangtua yang mengkhawatirkan pengaruh buruk dari si “kotak bodoh” pada anak-anak muda yang mudah terpengaruh. Reputasi TV tenggelam, semakin rendah dalam tahun-tahun terakhir, sampai-sampai TV dianggap buruk untuk otak. Sebuah studi yang dilakukan oleh The National Opinion Research Center dari tahun 1974 sampai 1990 menemukan, “menonton televisi memperburuk kosakata, sedangkan membaca buku dan koran memperbaikinya” .
Penilaian kritis terhadap keberadaan TV dari kasus Venezuela, justru akan memperkaya cara pandang kita. Saya sendiri tidak mempunyai hak untuk menawarkan pilihan setuju atau tidak dengan apa yang dilakukan Hugo Chavez. Tetapi, kita dapat membandingkannya dengan keberadaan TV di negara kita, tentunya dalam situasi ekonomi-politik yang berbeda. Yang jelas, keberadaan TV semakin digugat dan dihujat (dikritik). Kita tentu bertanya, ada apa ini?***
Nurani Soyomukti, peneliti di Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jember dan pernah menjadi peneliti tamu di ICIP ( International Center for Islam and Pluralism) Jakarta ; penulis buku “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal”; Sarjana Ilmu Hubungan Internasional.