Ketika mayoritas fraksi di DPR RI, menyetujui Rancangan Undang Undang Penanaman Modal (RUUPM) menjadi Undang Undang Penanaman Modal (UUPM) pada akhir Maret lalu, sebenarnya yang samar-samar telah menjadi terang. Kepentingan mayoritas rakyat, telah dikudeta dan dibikin terkapar di hadapan kepentingan mayoritas “wakilnya.”
Disahkannya UUPM, jelas sangat keliru dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak yang tidak mengerti ancaman liberalisasi investasi bagi kehidupannya. Tengok saja, belum juga RUU ini dibuat, paket undang-undang invetasi yang lama, yaitu UU Penanaman Modal Asing No. 1/1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri No. 6/1968, kerap banyak menimbulkan masalah. Sejumlah persoalan, dari mulai konflik agraria, pencemaran lingkungan oleh korporasi asing/domestik, hingga eksploitasi Sumber Daya Alam yang tidak memberikan manfaat ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, adalah sebagian contohnya.
Masalah investasi memang terlanjur menjadi momok bagi setiap pemerintahan yang berkuasa. Sejak pemerintahan di era Orde Baru hingga sekarang, citra negatif selalu dialamatkan kepada siapa saja presiden yang gagal mendatangkan investor, terutama asing, untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Begitupun nasib pemerintahan sebelumnya, harus rela dicaci maki berbagai kalangan karena gagal mendatangkan investasi. Di tengah situasi demikian, biasanya, pemerintah kerap mengeluarkan berbagai regulasi yang intinya memberi kemudahan bagi masuknya investasi di Indonesia. Dalam era Habibie, Abdurahman Wahid hingga Megawati, tidak sedikit regulasi yang berkaitan dengan soal pertanahan, pajak, zona ekonomi khusus, dibuat untuk mengobral potensi ekonomi Indonesia kepada investor.
Pencapaian pemerintahan SBY-JK dengan menggolkan RUU Penanaman Modal di DPR, harus dibaca dalam konteks perbedaan mazhab orientasi pengelolaan ekonomi nasional. Pertama , kelompok neoliberal penganjur pasar bebas, yang sejak lama berkomitmen dan penuh kesungguhan untuk mengubah berbagai regulasi yang menghambat terciptanya kesempurnaan ekonomi pasar di Indonesia. Bahkan, kelompok ini menilai bahwa kemacetan liberalisasi ekonomi di Indonesia, bersumber pada pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 yang belum dihilangkan. Mereka adalah satu kelompok ekonom beraliran neoklasik yang berkuasa menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama hampir 41 tahun nyaris tanpa henti dari 1966-2007. Dalam sejarahnya, cikal bakal kelompok tersebut dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965), sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia.
Kelompok kedua adalah nasionalis-populis, yang secara aktif menganjurkan pelaksanaan amanat konstitusi dan ideologi Pancasila dalam pengelolaan ekonomi, khususnya pasal 33 UUD 1945. Bagi kelompok ini, pengelolaan ekonomi nasional secara konsisten harus bersendikan demokrasi ekonomi yang merupakan ijtihad para pendiri bangsa, untuk mengkoreksi warisan struktural ekonomi kolonial di Indonesia. Penjabaran demokrasi ekonomi, sebagaimana tercermin dalam konstitusi, adalah sebagai berikut: pertama, keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi; kedua, keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati hasil-hasil produksi; dan ketiga, merupakan inti dari pengertian demokrasi ekonomi, penyelenggaraan produksi dan pembagian hasil-hasilnya itu harus berlangsung di bawah pengawasan anggota-anggota masyarakat.
“Operasi Preman Ekonomi”
Jika demikian adanya, sungguh menjadi mudah bagi rakyat untuk mendudukkan masalah liberalisasi ekonomi saat ini secara lebih jelas dan terang. Apalagi, kalau kita memperhatikan logika yang digunakan dalam penyusunan RUU Penanaman Modal yang baru saja disahkan.
Rangkaian pasal demi pasal dalam RUU Penanaman Modal, sesungguhnya dapat dipahami lewat uraian sederhana. RUU ini dibuat dengan sengaja tidak membedakan sumber pembiayaan investasi, baik yang berasal dari Penanaman Modal Asing atau Modal Dalam Negeri. Langkah ini jelas lebih memudahkan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Mereka diperkenankan menanamkan modalnya hingga 100 persen, di semua sektor tanpa terkecuali. Setelah itu, berbagai fasilitas diberikan oleh negara. Kemudahan pajak, pemanfaatan lahan yang sangat lama, hingga kebebasan mempekerjakan tenaga ahli asing. Walau disebutkan harus mendahulukan tenaga kerja Indonesia, hampir dipastikan buruh Indonesia yang tidak terdidik hanya akan semakin tereksploitasi dengan sistem upah murah dan jaminan ketenagakerjaan yang tidak layak.
Dengan berbagai kemudahan tersebut, hampir tidak ada investor yang tidak tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya, setelah dibiarkan mengeksploitasi ekonomi Indonesia, UUPM memperkenankan investor asing melakukan repatriasi keuntungan yang telah dihasilkan selama berproduksi di Indonesia, ke negara asalnya. Situasi ini mengingatkan saya pada peribahasa orang Betawi: “datang modal dengkul, pulang bawa duit sebakul.”
Apapun yang akan terjadi pasca pengesahan UUPM, yang pasti ekonomi Indonesia semakin dijerumuskan untuk melayani kepentingan korporasi besar internasional dalam mengeruk keuntungan. Dan pola ini juga terjadi ketika DPR RI, pemerintah, dan lembaga kreditor internasional, sejak lama terlibat persekongkolan untuk mengesahkan UU Keuangan Negara, UU Ketenagalistrikan, UU Perkebunan, UU Minyak dan Gas, UU Sumber Daya Air, Peraturan Presiden No 65/2006 tentang tanah, UU Badan Usaha Milik Negara, dan sejumlah regulasi lainnya yang bercorak neoliberal.
Uniknya, di tengah kontroversi ini, selalu saja muncul sejumlah intelektual maupun politisi yang mencoba meyakinkan publik bahwa liberalisasi dan privatisasi tak dapat ditolak. Seraya terus mengampanyekan bahwa nasionalisme ekonomi adalah barang usang dan sudah pantas dibuang.
Kejadian ini mengingatkan kita pada pengakuan John Perkins, seorang Economic Hit Men (EHM) atau preman ekonomi, dalam buku barunya yang berjudul “A Game As Old As Empire: The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption” (2007), yang disunting Steven Hiatt, yang mengungkap lebih jelas petualangan preman ekonomi saat ini. Dalam kata pengantar, Perkins menyebutkan, jika dirinya dulu bekerja sebagai EHM atas kepentingan kapitalisme Amerika Serikat untuk mengontrol negara-negara berkembang dp masa perang dingin berlangsung, kini disebutkannya operasi EHM sudah sangat kompleks. Praktek kotor lewat korupsi dan suap menjadi semakin meresap dan mendalam. Dan yang lebih penting, operasi preman ekonomi telah secara dalam memasuki wilayah ekonomi dan politik dunia saat ini.
Peringatan Perkins ini patut kita garis bawahi. Semakin kita menoleransi praktek penjajahan baru lewat para preman ekonomi, semakin kesejahteraan rakyat hanya tinggal mimpi.***
Dani Setiawan, Program Officer Koalisi Anti Utang (KAU).