Ada beda penting nasib kaum PRT (pembantu rumah tangga) yang bekerja di negeri seperti Malaysia dan Singapura dari mereka yang di Jawa. Ini bukan soal beda gaji yang beberapa kali lipat. Yang membedakan adalah tingkat perkembangan kapitalisme secara material dan kultural di masing-masing tempat.
Di mana pun mereka bekerja, para PRT rentan terhadap perlakuan buruk majikan mereka. Di Tanah Air atau mancanegara ada yang diperlakukan sebagai anggota keluarga sendiri. Tetapi, ini perkecualian yang terbatas lingkupnya dan kecil jumlahnya. Itu semacam hadiah dari majikan, bukan hak sang PRT.
Di Jawa yang ke-feodal-feodal-an, bertahun-tahun PRT menjadi abdi untuk para priayi. Di negeri jiran yang dalam 20 tahun belakangan menjadi negeri kapitalis industrial, para PRT adalah barang dagangan yang dibeli majikan. Perbedaan itu semakin lama semakin kabur berkat pesatnya perkembangan kapitalisme di Jawa sendiri.
Di Jawa, kaum priayi mempertahankan martabat sendiri dengan sedikit bertanggung jawab atas kesejahteraan abdinya. Bahkan juga kesejahteraan keluarga PRT yang di kampung asalnya dan sesekali berkunjung ke rumah majikan. Sebaliknya, PRT diharapkan bukan hanya bekerja, tetapi setia, menghormati, dan menjunjung nama baik keluarga majikan. PRT menggunakan bahasa krama kepada keluarga majikan. Hubungan mereka tidak melulu dan tidak berpusat pada ikatan ekonomis. Banyak PRT memilih bekerja di keluarga yang sama seumur hidup, dan lebih dari 30 tahun, dengan gaji minim.
Di Singapura kedudukan PRT asal Jawa berada di kutub berbeda. Di Malaysia, mungkin mereka berada di tengah kedua kutub. Di Singapura PRT tidak diharapkan menjadi abdi setia, tetapi buruh, pegawai, atau tenaga profesional yang terampil. Mereka adalah komoditas yang dibeli di pasar tenaga secara kontrak yang diatur (walau basi-basi dan berantakan) oleh dua negara. Ikatan sosial-emosi-budaya mungkin sulit dihindarkan, tetapi tidak diharapkan. Kesejahteraan keluarga PRT bukan urusan majikan. PRT saling bertutur dengan majikan dengan satu bahasa yang sama dan setara. Tidak ada tingkat krama dalam bahasa Inggris, Mandarin, atau Melayu.
Secara jumlah, kekerasan kepada kaum PRT di mancanegara lainnya mungkin lebih tinggi ketimbang di Jawa. Bukan karena bangsa lain itu lebih kejam daripada orang Jawa. Selain lebih rentan dan terasing, para PRT di negeri asing sering kali tidak terlatih memberi jasa yang diharapkan majikan. Bahkan tidak cukup apa yang diharapkan majikan mereka. Prioritas mereka yang pertama dan utama menjadi abdi yang baik, bukan menjadi buruh terampil. Majikan mereka sendiri tidak terlatih menjadi patron atau priayi yang santun, tetapi pembeli jasa dalam belantara pasar yang keras dan kejam bernama kapitalisme.
Jumlah penganiayaan PRT di Jawa mungkin lebih sedikit. Tetapi, PRT di Jawa tidak biasa diajak duduk makan semeja dengan majikan. Di Singapura banyak majikan yang berakhir pekan makan malam di restoran mewah, membawa anak-anak dan PRT yang mengasuh anak-anak itu. Semua duduk semeja dan bersantap hidangan yang sama. Walau punya daya beli yang sama, PRT di Jawa biasanya tidak sebebas rekan-rekan mereka di Singapura: masuk-keluar pusat pertokoan yang dikunjungi majikan, dalam busana seksi atau bercengkerama dengan pacar di taman pusat kota.
Tampaknya belum ada teori yang lebih unggul dari marxisme dalam menjelaskan seluk-beluk “buruh”. Jutaan orang Indonesia paham ini sampai tahun 1965. Sejak berkuasanya Orde Baru pada tahun 1966, marxisme diharamkan dalam diskusi publik. Mereka yang paling berkepentingan paham, yakni kaum buruh sendiri, dikorbankan secara berganda: tidak cuma secara politik-ekonomi, tetapi juga intelektual.
Larangan Orde Baru (Tap MPRS No XXV/MPRS/1966) yang kemudian disahkan oleh pemerintahan pasca-Orde Baru tidak diberlakukan untuk kegiatan belajar di universitas. Paling tidak begitulah resminya. Dalam praktiknya, nyali kaum akademik kita menciut karena menyaksikan bagaimana Orde Baru mengganyang siapa saja yang dianggap kekiri-kirian. Akibatnya, pembodohan nasional berlaku semesta.
Itu sebabnya ada banyak komentar lucu dari kaum elite dan cendekiawan yang dibesarkan dari masa kelam Orde Baru. Misalnya, ucapan bahwa marxisme itu sudah kedaluwarsa karena berakhirnya Perang Dingin.
David Harvey, sarjana geografi dari New York, pernah mengatakan justru belum pernah marxisme menjadi sepenting dan serelevan sekarang karena dalam seluruh sejarahnya belum pernah kapitalisme berjaya seperti sekarang. Pendapat ini terlebih penting untuk Asia Tenggara karena baru 20 tahun bangkitnya kapitalisme secara mencolok di kawasan ini, termasuk di Jawa sendiri.***
Ariel Heryanto, pengajar di Asia Institute universitas Melbourne, Australia.
Artikel ini sebelumnya dimuat di kolom ASAL USUL, Kompas, Minggu, 24 Juni 2007.