Refleksi Peringatan Hari Buruh Sedunia
Setiap tanggal 1 Mei, seperti biasanya, seluruh dunia akan kembali diramaikan dengan Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day). Di Indonesia, pada 2006 yang lalu, di bawah kepemimpinan berbagai organisasi buruh, momentum May Day diperingati oleh jutaan kaum buruh di berbagai wilayah dengan melancarkan aksi massa besar-besaran. Tuntutannya agar pemerintah Menghentikan Revisi Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 (UUK. 13/2003) dan Menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional. Kekuatan gerakan massa kaum buruh terbesar pasca tumbangnya Rejim Orde Baru (Orba) ini –kalau bisa disebut demikian—sukses memaksa pemerintah memenuhi tuntutan tersebut.
Menyambut peringatan May Day tahun ini, dengan sangat terbatas, penulis mencoba mengemukakan suatu pandangan mengenai prospek masa depan gerakan buruh, dengan mengamati kecenderungan karakter gerakan buruh di Indonesia saat ini. Khususnya dalam situasi politik yang relatif lebih ‘liberal’ dibandingkan pada masa pemerintahan Orba. Dengan menguraikan karakteristik gerakan buruh di Indonesia pasca Orba, akan coba ditunjukkan bahwa neoliberalisme sebagai satu sistem ekonomi yang di dalamnya mengandung kontradiksi-kontradiksi, pada akhirnya akan melahirkan berbagai bentuk perlawanan, terutama dari kaum buruh.
Konteks Ekonomi Politik Makro
Pemahaman yang lebih baik terhadap karakteristik gerakan buruh pasca Orba, hanya dapat diperoleh dengan mengaitkannya secara langsung dengan konteks ekonomi politik yang turut mempengaruhi karakteristik gerakan buruh itu sendiri. Konteks ekonomi politik yang dimaksud di sini, adalah terjadinya sejumlah perubahan-perubahan politik di Indonesia sejak berakhirnya kekuasaan rejim Orba pada 1998. Membaca kecenderungan ekonomi politik yang terjadi selama sembilan tahun terakhir, mengantar kita pada kesimpulan bahwa semangat dan arah dari seluruh episode perubahan itu tidak lain, untuk memperkuat dominasi kekuatan kapitalisme-neoliberal di Indonesia.
Baik dari segi orientasi maupun strategi pembangunan yang ada, sejatinya merupakan wujud nyata dari proses pembentukan negara neoliberal. Pencabutan subsidi pada sektor non-produktif (BBM, pupuk, pendidikan, kesehatan, listrik dll), privatisasi perusahaan milik negara (telkom, indosat, dll), dan pembebasan pasar untuk produk-produk impor), adalah beberapa bukti nyata dari proses neoliberalisasi tersebut. Dukungan terhadap neoliberalisme, juga dijalankan melalui upaya Amandemen UUD 1945, penetapan Undang-undang Sumber Daya Air, Kehutanan, Mineral dan Batu Bara, Perkebunan, dan yang terakhir Undang-undang Penanaman Modal.
Praktek Neoliberalisme di Lapangan Industri
Di lapangan industri, neoliberalisme dijalankan melalui skema hubungan industri yang disebut sistem Labour Market Flexibility (LMF) atau sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sistem LMF ini dimaksudkan untuk mempermudah dan memberikan keleluasaan kepada para pengusaha untuk mengakumulasi keuntungan setinggi-tingginya. Dengan sistem ini, pengusaha bebas mengembangkan modalnya tanpa harus dibebani dengan biaya produksi yang tinggi dan tanggungjawab sosial terhadap tenaga kerja (buruh).
Sistem LMF ini memungkinkan pengurangan sebanyak mungkin jumlah pekerja tetap di dalam suatu perusahaan, dengan dijalankannya skema outsourcing atau sistem kerja kontrak. Bagi pengusaha, dengan pengurangan jumlah tenaga kerja tetap, secara otomatis akan turut meminimalisasi biaya produksi agar keuntungan yang lebih maksimal bisa dikeruk. Pihak pengusaha tidak perlu lagi membayar bonus, jaminan sosial tenaga kerja, dana pensiun atau biaya pesangon kepada buruh, ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pada saat bersamaan, penerapan sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel ini akan memperlemah kekuatan posisi tawar dan perlindungan terhadap hak-hak buruh. Melalui skema outsourcing dan sistem kerja kontrak ini, setiap saat pihak pengusaha dengan mudah mengganti buruh yang dianggap mengancam atau mengganggu keberlangsungan usahanya. Apalagi supply tenaga kerja begitu mudah diperoleh melalui perusahaan-perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang saat ini sudah menjamur di mana-mana. Penerapan sistem LMF ini didesain agar (di pasar tenaga kerja tentunya), tercipta persaingan yang tajam antar buruh atau pencari kerja, sehingga di sisi lain akan memperkuat posisi tawar pihak pengusaha dalam menentukan nominal besaran upah buruh.
Lebih dari itu, upaya pengurangan jumlah tenaga kerja tetap dan pengembangan skema kerja outsourcing atau sistem kerja kontrak, sesungguhnya juga dimaksudkan untuk mengurangi (atau bahkan menutup) kemungkinan bagi kaum buruh, untuk memperjuangkan hak-haknya melalui organisasi atau serikat-serikat buruh yang sifatnya permanen, karena mayoritas dari mereka memang bukanlah buruh tetap.
Membangun Perlawanan
Dengan uraian di atas, dapat dibayangkan bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh praktek neoliberalisme di lapangan industri melalui penerapan Labour Market Flexibility (LMF). Namun demikian, situasi yang dirancang dan diterapkan secara sistematik di lapangan industri ini, bukan tidak disadari kaum buruh Indonesia. Dalam kenyataannya, sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel ini di sisi lain, justru telah berhasil mendidik kesadaran kelas di kalangan kaum buruh. Mulai dari persoalan kepentingan siapa yang diuntungkan, bagaimana sistem itu bekerja, dan yang lebih penting lagi, bagaimana dan dengan cara apa sistem itu harus dihadapi.
Kaum buruh Indonesia hari ini, adalah kelas pekerja yang terdidik kesadarannya dari kerja-kerja dinamis berproduksi di kawasan-kawasan industri dengan upah yang rendah dan tidak dilindungi hak-haknya secara layak, baik oleh pengusaha maupun pemerintah. Di tangan mereka, sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel (LMF), yang semula dimaksudkan oleh pemilik modal untuk mematahkan kekuatan kolektif kaum buruh, justru dijadikan alat untuk membangun organisasi atau serikat-serikat di berbagai tingkatan: dari pabrik-pabrik, di kawasan-kawasan industri, di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, Nasional sampai ke level internasional.
Semakin fleksibel sistem ketenagakerjaan yang dijalankan, semakin mendorong perkembangan organisasi-organisasi buruh, secara kuantitatif maupun kualitatif. Kalau kita amati secara seksama, perkembangan gerakan buruh di Indonesia pasca tumbangnya rejim Orba, sesungguhnya sedang tumbuh dalam situasi yang tidak pernah terduga sebelumnya di bawah penerapan sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sebaran jangkauan kerja organisasi-organisasi buruh di Indonesia saat ini, dibangun secara sungguh-sungguh dari waktu ke waktu, hingga menjangkau hampir seluruh wilayah, terutama di tingkatan provinsi. Sekedar menyebut contoh, hanya dalam jangka waktu beberapa tahun proses konsolidasinya, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), salah satu organisasi gerakan buruh tingkat nasional yang didirikan di awal tahun 2005, kini telah memiliki struktur organisasi di 13 Provinsi dan 19 Kota, dengan jumlah anggota tidak kurang dari 100 ribu orang.
Melihat perkembangan dinamis aksi-aksi kolektif dan kerja-kerja konsolidasi yang mereka jalankan selama beberapa tahun terakhir, memberikan satu harapan besar akan tumbuhnya kesadaran kelas di kalangan kaum buruh Indonesia . Gerakan yang di bangun kaum buruh Indonesia saat ini, sesungguhnya telah berkembang menjadi satu gerakan rakyat yang lebih sistematis dan terorganisasi secara baik, didasarkan atas analisis sosial yang tepat, memiliki cita-cita dan tujuan, sampai pada kejelasan rumusan strategi-taktik dan program perjuangan yang akan dijalankan.
Dengan demikian, penerapan Labour Market Flexibility (LMF), yang pada dasarnya merupakan wujud nyata dari dominasi sistem ekonomi neo-liberal di Indonesia , telah mendidik dan menuntun kaum buruh Indonesia untuk sampai pada satu kesimpulan: “menghadapi kekuatan neoliberalisme sebagai satu sistem ekonomi global, persatuan kaum buruh di seluruh dunia merupakan satu-satunya pilihan.”
Hidup Kaum Buruh!!!
Firdaus adalah Koord. Bidang Aksi-aksi Kolektif & Konsolidasi Gerakan Rakyat – PERGERAKAN — Perhimpunan Penggerak Advokasi Kerakyatan.