Beberapa hari ini, kita dikhawatirkan oleh fenomena tak terkendalinya harga beras dan minimnya produksi beras (Kompas, 19/02/07). Ribuan warga miskin di beberapa kota, berbondong-bondong antri membeli beras murah. Pemerintah dipaksa terus menyiapkan puluhan ton beras dalam setiap operasi pasar. Persediaan itu habis dalam hitungan dua atau tiga jam.
Ironisnya, operasi pasar beras selalu berakhir dengan kekecewaan warga miskin. Sebab, kebanyakan beras itu justru diborong para pedagang (Kompas, 15/02/07). Pemerintah berjanji membereskan penyelewengan. Tetapi, rakyat tak akan lupa pada ketidakberesan yang terjadi berulangkali.
Ricuhnya politik beras dan buruknya penanganan sektor pertanian, adalah cermin kegagalan pemerintah secara turun-temurun. Pada saat negeri-negeri tetangga bersiap menghadapi swasembada pangan, kita malah mengimpor pangan dalam jumlah yang sangat besar. Carut-marut permasalahan pangan ini, mengingatkan kita pada wajah janus globalisasi: fenomena semakin menyempitnya dunia telah menuai anugerah sekaligus bencana. Tetapi, di banyak negeri berkembang seperti Indonesia, globalisasi lebih merupakan petaka tiada akhir.
Memang, rezim neoliberal dalam dua dasawarsa terakhir telah mampu mendorong globalisasi ke arah persaingan yang memperlihatkan tingkat kemajuan ekonomi dan produktivitas yang cukup positif. Tetapi, hal ini bukan tanpa masalah. Perdebatan tentang globalisasi, baik sebagai konsep, cakupan, maupun keunikan fenomenanya, memang masih berlangsung sengit. Tetapi, tidaklah sulit untuk melihat kenyataan yang merupakan efek dari globalisasi: gerak modal yang secara dramatis meningkat dalam lebih dari tiga dasawarsa terakhir yang berhadapan dengan negara yang tak bergerak dan tenaga kerja nasional yang umumnya statis, telah menjadikan modal memiliki kekuasaan struktural yang lebih baik.
Dengan kekuasaannya, modal memaksa setiap negara untuk menyediakan iklim investasi yang kondusif, termasuk dengan menekan negara agar membatasi arena yang tersedia bagi masyarakat sipil (Hadiz, 2004). Fenomena inilah yang menjadikan banyak kelompok masyarakat sipil dunia penentang globalisasi, berupaya menggagalkan setiap Forum Ekonomi Dunia, sejak perhelatan itu dilaksanakan di Seattle, AS, pada 2 Desember 1999. Di sebagian kalangan aktivis, akhirnya muncul gagasan untuk melakukan upaya deglobalisasi.
Istilah deglobalisasi makin ramai diperbincangkan setelah Walden Bello, salah seorang aktivis gerakan sosial yang juga guru besar di University of the Philippines, memaparkan ide tersebut. Paparan yang lebih terperinci kemudian ditulis Bello dalam bukunya, “Deglobalization: Ideas for a New World Economy” (2002). Dalam buku itu, ia mendefinisikan deglobalisasi sebagai “upaya melakukan orientasi-ulang perekonomian domestik dari yang menekankan produksi untuk ekspor ke produksi untuk pasar lokal.”
Sebagaimana pernah juga dipikirkan John Maynard Keynes, lebih dari seabad lalu dalam satu tulisan bertajuk “National Self-Sufficiency” (1933), ide Bello tentang deglobalisasi ini pun paralel dengan yang pernah ditawarkan intelektual Mesir, Samir Amin, yang pada 1990 menggagas ide “memutus rantai” ekonomi, dalam bukunya “Delinking: Toward a Polycentric World.” Bagi Amin, idenya itu adalah upaya mensubordinasi hubungan dengan luar dan mengutamakan logika pembangunan di dalam.
Keynes, Amin, dan Bello sama sekali tidak menentang keterkaitan ekonomi antara satu negara dengan negara lain. Mereka hanya menekankan bahwa kepentingan pasar domestik adalah yang utama. Bila Bello menyatakan bahwa deglobalisasi bukanlah menarik diri dari komunitas internasional, Amin menegaskan bahwa “memutus rantai” bukanlah sebentuk autarki. Paradigma deglobalisasi ini memiliki satu ciri mendasar yaitu, tuntutan melakukan produksi barang dan jasa yang merespon kebutuhan masyarakat, bukan merupakan permintaan yang diciptakan budaya konsumtif hasil dorongan korporasi, modal, dan pasar.
Deglobalisasi, demikian Bello, merupakan upaya melakukan produksi, pertukaran, dan distribusi yang baru dalam satu tata-dunia yang baru yang “tidak-global,” yang hanya melibatkan koperasi-koperasi milik masyarakat, perusahaan swasta lokal, dan perusahaan milik negara. Dalam dunia yang “tidak global” itu roda perekonomian sama sekali tidak melibatkan korporasi transnasional.
Bagi pendukung ide deglobalisasi, negara adalah benteng yang amat penting untuk membendung kekuatan korporasi global. Sekali lagi, ini tidak berarti mereka akan menentang keterkaitan dan pertukaran internasional. Paradigma deglobalisasi, dengan demikian, menyediakan satu pendekatan strategis untuk melawan globalisasi ala kaum neoliberal.
Singkatnya, deglobalisasi adalah upaya membongkar kekuatan korporasi dan pasar keuangan global. Di atas abu reruntuhan itu, dibangun kembali hubungan sosial, komunitas, lingkungan, dan ekonomi domestik. Paradigma deglobalisasi ingin membuktikan, dunia yang alternatif atau dunia yang lain adalah mungkin. Itu sebabnya, dalam setiap Forum Sosial Dunia, slogan yang nyaring disuarakan adalah “Another World is Possible.”
Sebagai satu strategi ekonomi-politik, tentu ide deglobalisasi ini masih belum memadai dan perlu kajian yang lebih mendalam, seperti yang sedang dikembangkan Thailand sekarang ini. Kita akhirnya patut bertanya: mengapa negeri agraris seperti Indonesia yang kaya-raya ini, tak kunjung mencapai swasembada pangan, memiliki sistem pertanian yang sangat buruk, dan masih saja terjerat sisi buruk globalisasi?
Jika pengelola negeri ini tidak memiliki visi perbaikan sektor pertanian, juga mengabaikan hak warga atas pangan, sampai kapanpun kita akan terus dibayang-bayangi rasa cemas akan melambungnya harga beras dan minimnya produksi beras nasional. Untuk itu, ide tentang deglobalisasi patut direnungkan bersama, terutama oleh para pengambil kebijakan di republik ini.***
Fahmi Panimbang, aktivis Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Bogor; mengasuh jurnal kajian perburuhan SEDANE