Lawatan Direktur Pelaksana IMF, Rodrigo de Rato Figaredo, ke Indonesia beberapa waktu lalu, menyisakan keputusan penting dari pemerintah Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan, tidak lagi berutang kepada IMF dan menyatakan posisi sebagai equal partner. Selain itu, presiden juga mengeluarkan satu kebijakan penting yakni, membubarkan forum Consultative Groups for Indonesia (CGI) sebagai komitmen untuk kemandirian ekonomi bangsa. Sekaligus, mengungkapkan keinginan untuk mengurangi beban utang dan mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar utang luar negeri.
Keputusan ini, oleh banyak kalangan, dinilai cukup mengejutkan. Mengingat prestasi kebijakan pemerintahan SBY-Kalla selama dua tahun, banyak mengekor pada kepentingan asing.
Keputusan mempercepat pelunasan seluruh utang IMF dan membubarkan CGI, sangat tepat secara ekonomi maupun politik. Berdasar pengalaman, utang IMF yang disertai berbagai kebijakan yang tertuang dalam Letter of Intent, telah menjerumuskan Indonesia ke dalam arus liberalisasi ekonomi yang menjajah dan memiskinkan rakyat. Kondisi tersebut, tercermin dari peningkatan kebangkrutan usaha, kehancuran perbankan nasional, peningkatan pengangguran, serta peningkatan beban utang dalam dan luar negeri dalam selama lima tahun terakhir. Tambahan beban utang dalam dan luar negeri, meningkat menjadi dua kalinya. Kewajiban utang dalam negeri dari semula nol rupiah menjadi Rp 650 triliun (US$ 72 miliar), merupakan bom waktu yang akan menghancurkan perekonomian nasional.
Demikian pula peran CGI di Indonesia. Sejak lama, forum kreditor ini telah sangat dalam mengintervensi kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia. Kehadiran Consultative Group on Indonesia (CGI) yang menggantikan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), telah menjerumuskan Indonesia menjadi negara miskin yang terjebak utang. Kreditur yang tergabung dalam CGI, memberlakukan sejumlah persyaratan untuk memperoleh utang baru yang diajukan pemerintah. Persyaratan ini telah mengambilalih kebijakan anggaran negara (APBN) dan kebijakan strategis lainnya yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Rencana Jahat Mafia Barkeley
Terobosan pembubaran CGI dan percepatan pelunasan utang IMF, sebagai jalan untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi, ternyata tidak dikehendaki oleh Mafia Berkeley (MB) di negeri ini. Mereka adalah sekelompok ekonom beraliran neoklasik, yang berpengaruh besar dalam menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama hampir 41 tahun. Besarnya pengaruh itu nyaris tanpa henti, dari 1966-2007. Dalam sejarahnya, kelompok MB ini dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965). Pembangunan kapasitas intelektual serta jaringan kerjanya, merupakan bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Kelompok ini disebut dengan istilah “Mafia Berkeley,” karena kebanyakan dari generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat. Program ini, dibiayai oleh The Ford Foundation dan The Rockefeller Foundation.
Dalam masa studinya, sebagaimana ditulis David Ransom (Ramparts, Oktober 1970), kelompok ini dicekoki teori-teori ekonomi liberal, yang percaya bahwa ekonomi berorientasi pasar adalah jalan terbaik untuk kemajuan Indonesia. Doktrin ini mengajarkan, Indonesia hanya bisa duduk sejajar dengan negara maju lainnya, jika mengintegrasikan diri ke dalam sistem kapialisme global.
Generasi pertama kelompok MB terdiri dari Sumitro Djojohadikusumo, yang merupakan perintisnya. Berbaris di belakangnya sekitar 40 ekonom, dimana yang paling terkemuka di antaranaya adalah Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh, dan Radius Prawiro. Kaderisasi ini berlanjut dengan memberikan kesempatan akademis dan politis bagi generasi selanjutnya seperti, Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Budiono, Sri Mulyani Indrawati, Mohamad Chatib Basri, Mohamad Ikhsan, dan Rizal Malaranggeng.
Selain kapasitas akademik, kelompok Mafia Berkeley ini juga memiliki jaringan internasional yang kuat dan luas seperti, USAID, IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga akademik dan penelitian yang dikontrol MB, berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional tersebut. Tidak aneh, bila produk hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF-Bank Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor internasional lainnya.
Dalam mengawal arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia, agar sejalan dengan arahan IMF-Bank Dunia, dan USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan Undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia diletakkan sebagai sub-ordinasi kepentingan global. Mekanisme pengaitan utang luar negeri dengan penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah, tak lain adalah bentuk intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Inilah sebabnya, mengapa Mafia Berkeley enggan atau bahkan, menolak mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar utang luar negeri.
Sikap inilah ditunjukkan oleh para kader Mafia Berkeley seperti Menko Ekuin Budiono dan Menkeu Sri Mulyani. Setelah tidak lagi berhubungan dengan CGI, para menteri itu berniat melakukan pembicaraan utang luar negeri dengan negara kreditor secara bilateral (G to G). Mengingat beberapa negara atau lembaga keuangan internasional, seperti JBIC, ADB, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Islam (IDB), masih memiliki keinginan besar untuk memberi pinjaman pada Indonesia. Termasuk China, yang memberikan tawaran pinjaman. Selain itu, Indonesia bisa mengandalkan Surat Utang Negara (SUN) untuk membiayai defisit anggaran.
Rencana berutang kembali, sebenarnya telah dikemukakan jauh hari oleh para menteri perekonomian ini. Pada pertengahan Desember 2006, pemerintah merencanakan untuk kembali berutang dalam jumlah besar. Pada periode 2006-2009, pemerintah mengusulkan untuk menambah utang sebesar 30-35 miliar dolar AS. Bahkan, dalam pemberitaan terakhir angkanya sudah mencapai 40 miliar dolar AS (Tajuk Media Indonesia, 01 Februari 2007). Itu berarti jauh di atas rata-rata utang per tahun yang sebesar tiga miliar dolar AS. Daftar shopping list tersebut diajukan sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Beberapa di antaranya adalah kebutuhan untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Departemen Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia, sebesar 4,5 miliar dolar AS, serta kebutuhan investasi PLN 13,3 senilai miliar dolar AS sampai 2009 (Republika, 18 Desember 2006).
Kebijakan tersebut, justru makin menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang yang lebih berat. Parahnya lagi, anggaran negara juga harus menanggung beban berat dari SUN, yang masa jatuh temponya pendek dan suku bunganya tinggi. Sikap ini patut dicurigai sebagai agenda jahat atas keputusan pembubaran CGI, yang dimaksudkan untuk menegakkan kedaulatan ekonomi dan politik bangsa Indonesia.
Mengubah Paradigma
Penyelesaian persoalan utang di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan ideologi yang melatarbelakangi para pembuat keputusan dalam mengelola perekonomian. Keinginan untuk mandiri hanya menjadi retorika, jika tidak diiringi dengan perubahan haluan ekonomi nasional, dari yang bercorak neoliberal menjadi antineoliberal. Sebab, segala bentuk transaksi utang, terutama yang berasal dari luar negeri, sejatinya dibuat sebagai bentuk transaksi jual-beli yang hanya menguntungkan pembuat keputusan di negara-negara industri maju dan para elit di negara penerima utang. Selain itu, pinjaman luar negeri juga menyangkut bentuk bantuan teknis, yang diarahkan pada perubahan undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintah. Tujuannya, memudahkan aliran barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang ke negara penerima utang. Termasuk melapangkan jalan bagi perusahaan-perusahaan asing yang berasal dari negara pemberi utang, untuk menguasai perekonomian nasional. Singkatnya, utang luar negeri sudah sejak lama digunakan sebagai upaya sistematis pusat-pusat kapitalisme dunia, dalam menjalankan kolonialisme di berbagai negara dunia ketiga.
Sejalan dengan prinsip kemandirian ekonomi, langkah kongkret yang harus dilakukan pemerintah adalah mengoreksi kebijakan yang telah meliberalisasi sektor keuangan seperti, kebijakan rezim devisa bebas dan nilai tukar bebas mengambang. Liberalisasi sektor keuangan ini telah mematikan peran intermediary yang melekat pada institusi keuangan termasuk perbankan. Dampaknya telah mematikan potensi sektor riil domestik dan membuat Indonesia semakin tergantung pada kekuatan ekonomi dan produk asing. Keuangan negara juga semakin terbebani, karena harus menanggung bukan saja bunga obligasi rekap tapi, juga pembayaran bunga surat berharga seperti Seritifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Republik Indonesia (ORI). Beban ini semakin berat karena pembayaran utang luar negeri (cicilan pokok dan bunganya), sudah sangat membebani alokasi belanja pemerintah dalam APBN.
Kedaulatan dan kemandirian tersebut, hanya mungkin diperoleh jika pemerintah melakukan penghapusan utang Indonesia, membatalkan segala produk kebijakan yang lahir dari hasil intervensi lembaga-lembaga kreditor, meninjau kembali keanggotaan Indonesia di lembaga-lembaga kreditor, dan mulai memikirkan upaya mencari alternatif pembiayaan pembangunan yang tidak berasal dari utang luar negeri.
Berbagai skema penghapusan utang sudah banyak ditawarkan oleh berbagai kalangan. Salah satunya, membatalkan komitmen utang luar negeri yang belum dicairkan senilai US$203,75 miliar. Pembatalan tersebut berkorelasi dengan penghentian kewajiban pemerintah, untuk membayar biaya komitmen atas utang yang belum dicairkan. Berdasarkan perhitungan Koalisi Anti Utang sampai tahun 2005, jumlah yang belum dicairkan itu mencapai lebih dari US$24 miliar. Jika hal ini dilakukan pemerintah, terdapat peluang yang cukup leluasa untuk merumuskan kebijakan anggaran negara yang menyumbang pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Dan tentunya, dapat merealisasikan upaya kemandirian dalam pembiayaan pembangunan, sebagaimana dikemukakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.***
Dani Setiawan, Program Officer Sekretariat Nasional Koalisi Anti Utang (KAU).