Gerakan transformasi sosial Indonesia, mencapai percepatan tertinggi menjelang dan sesudah bulan-bulan kejatuhan Soeharto. Ratusan ribu orang terlibat aktif di dalamnya, menghasilkan ribuan organisasi massa bertuntutan politis, dan melahirkan krisis dalam sistem kapitalis Indonesia. Harapan-harapan revolusioner pun bermunculan. Semua mata gerakan revolusioner sedunia tertuju ke negeri ini.
Selang dua tahun setelahnya, atmosfir politik yang tercipta menggeliatkan raksasa tidur: gerakan buruh Indonesia. Kebebasan politik yang diraih dalam penumbangan Soeharto, diikuti dengan tumbuhnya serikat-serikat buruh. Pemogokan dan demonstrasi menjadi bentuk perjuangan yang normal, menjadi santapan kamera telivisi, dan menghiasi berita utama di berbagai surat kabar nasional dan daerah. Untuk pertama kalinya setelah diberangus Orde Baru, 1 Mei dirayakan dengan demonstrasi ribuan buruh di Jalan MH Thamrin pada 2002.
Meski demikian, kemajuan-kemajuan tersebut belum menghasilkan sebuah kanal politik yang berarti di sistem politik formal (baca: negara dan segala institusinya). Belum ada partai kiri yang mewakili kelas buruh, kelas tani, kaum miskin kota dan kelas-kelas tertindas lainnya di parlemen. Kebebasan berpolitik formal malah terkesan dijauhi, proyek-proyek pembangunan partai politik terbuka dan legal, gagal mewujudkan dirinya menjadi alat kepentingan kelas buruh.
Diskusi-diskusi yang berkembang di kalangan pergerakan mengenai hal ini, sangat sering menggarisbawahi persoalan seputar program politik dan komunikasi massa yang tidak “membumi,” kesadaran politik (dan juga kelas) yang belum “sampai,” dan ketidakmampuan kelas-kelas tertindas mengorganisasikan perlawanan (di dalamnya juga termasuk fakta, mengenai sulitnya menyatukan kekuatan kiri Indonesia).
Hal-hal tersebut memang fakta-fakta yang tak terbantahkan. Tetapi, tulisan ini bermaksud melirik sebuah persoalan lain yang kurang diperhatikan dalam mengajak rakyat terlibat dalam pergerakan: Kesadaran palsu yang kuat di masyarakat.
Kesadaran Palsu
Yang saya maksud dengan kesadaran palsu, adalah segala bentuk informasi yang tertanam secara mental, yang menghalangi seseorang mengenali kepentingan obyektif, bukan perseptif, kelasnya. Kesadaran palsu juga menghalangi seseorang merepresentasikan dirinya (juga secara mental), sesuai dengan kepentingan kelasnya. Diterimanya reformisme, misalnya, gerakan yang hanya menuntut perbaikan kesejahteraan buruh, adalah konsekuensi dari kuatnya kesadaran palsu di kalangan massa buruh. Kesadaran kelas yang menguat, tampak pada peningkatan pesat kalangan buruh terorganisasi dan masuknya partai buruh (baik reformis ataupun revolusioner) dengan konstituen yang besar, ke dalam sistem legal atau bahkan mendorong pemberontakan massa rakyat tertindas.
Persoalan utamanya, kesadaran palsu ini wujudnya sangat kompleks. Ia mengandung unsur-unsur spiritual (agama), keilmuan (sains dan teknologi sosial), ideologi, hingga impian-impian mengenai hidup yang berkembang di masyarakat (jadi kaya, jadi populer, dst). Ia juga menghinggapi semua orang dalam jembatan-jembatan yang berbeda-beda, namun satu jenis: komunikasi massa. Bisa berbentuk iklan, internet, gosip, fotografi, surat, cerita anak, novel, film, sinetron dan seterusnya. Begitu kompleks, karena ada sekian banyak poin kontak dengan setiap kepala rakyat.
Kepungan ini bisa digambarkan seperti 360 derajat berputarnya badan seseorang, maka sistem penginderaannya pun merasakan buaian-buaian kesadaran palsu. Ketika seorang buruh laki-laki berjalan ke pabrik hingga kembali ke rumahnya, elemen-elemen kesadaran palsu terus menghinggapi alam pikirnya. Berganti-ganti, dari mulai rasa nikmat merokok, meminum kopi, memakan kudapan, naik transportasi publik, dan seterusnya.
Bukan hanya untuk dominasi kelas, keseluruhan sistem kapitalisme pada saat ini tidak lagi bergantung pada represi, namun lebih pada elemen-elemen kesadaran palsu. Janji-janji imaginatif yang berhubungan dengan nafsu (yang juga sangat tergantung pada sistem norma sosial dalam setiap moda produksi), adalah roda ekonomi kapitalisme mutakhir, di samping penaklukan dan pembagian teritorial sumber-sumber material dan komodifikasi segi-segi kehidupan manusia. Setiap sudut pandangan kita dan setiap hal yang kita kenakan, di sana terkait janji-janji tersebut. Kita mungkin akan teringat sebuah diktum :”The ruling ideology is the ideology of the ruling class”
Marx pernah berujar, bukanlah kesadaran seseorang yang menentukan keberadaan seseorang, namun keberadaan seseorang yang menentukan kesadaran seseorang. Dalam dunia yang médiatisé (dipenuhi oleh media massa), di mana setiap titik kontaknya dengan kontemplasi dihampiri oleh impian-impian gairah, bukankah semakin sulit untuk seorang buruh memahami secara utuh kepentingan kelasnya? Lebih parah lagi, ia pun sangat mungkin gagal dalam mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelas proletariat.
Jalan Keluar
Satu hal yang patut diperhatikan, selimut kesadaran palsu bergerak pada tataran perhatian pikiran seseorang atas persoalan-persoalan hidupnya. Ia menggantikan pengalaman nyata (penindasan yang harus dilawan) dengan “pengalaman” kesadaran palsu. Alih-alih mengorganisasikan dirinya untuk melakukan perlawanan, berbagai elemen kelas-kelas tertindas malah lebih aktif dalam mengorganisasikan dirinya dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi pendukung kesebelasan sepakbola, fans club kendaraan bermotor, dan berbagai macam asosiasi sosial yang miskin aktivitas perjuangan politik kelas. (Bukan berarti saya menolak penggunaan organisasi-organisasi semacam itu untuk jalan masuk pengorganisasian perlawanan ataupun manfaat kehidupan sosial dari organisasi-organisasi tersebut). Akhirnya, massa rakyat tidak punya perhatian yang cukup untuk mengorganisasikan perlawanan di saat-saat yang paling dibutuhkan.
Kompleksitas yang timbul di saat memenangkan perhatian massa rakyat yang lebih luas, menuntut perhatian khusus kalangan pergerakan. Dengan begitu banyaknya “pengalih perhatian,” baik yang disengaja oleh kelas berkuasa ataupun yang merupakan bagian dari kompetisi mereka memperoleh kue-kue ekonomi, perjuangan tidak akan pernah cukup dengan mengandalkan aksi-aksi massa dan media cetak (yang juga jumlahnya sangat terbatas, baik dari segi dana maupun kesempatan memperoleh perhatian masyarakat). Memang dalam saat-saat tertentu, pergerakan dapat memperoleh “publisitas gratis” dari manuver-manuver politik mereka. “Publisitas gratis” tersebut selanjutnya dapat mempermudah pergerakan berbicara kepada rakyat banyak tentang arahan-arahan politik. Dari diperolehnya perhatian yang cukup tersebut, kemudian menggelinding sebuah bola salju yang meretakkan fondasi-fondasi sistem kapitalisme. Namun, di setiap saat itu pula kekuasaan akan segera merestrukturisasi dirinya dan kembali memperkuat fondasi-fondasi yang telah retak tersebut.
Rangkaian peristiwa sosial politik yang dimulai 1996, hingga kejatuhan Soeharto adalah contoh dari pengaruh “publisitas gratis” pada massa rakyat. Melambatnya gerusan pergerakan yang diakhiri dengan terpilihnya SBY, sebagai Presiden Republik ini, adalah contoh bagaimana rekonstitusi kapitalisme Indonesia dalam menjaga kekuasaannya.
Dari fakta tersebut terlihat, kebutuhan mendesak pergerakan rakyat tertindas bukan lagi sebatas mengorganisasikan rakyat. Bukan juga sebatas mengumpulkan testimoni-testimoni mereka yang disikat sistem kapitalisme ataupun sebatas mendirikan serikat-serikat rakyat tertindas. Rakyat sudah cukup belajar dan malahan sangat kreatif dalam melakukan kerja-kerja demikian. Ada sekian ribu organisasi yang terbangun saat ini dalam berbagai bentuk dan tingkat perjuangan. Ada ratusan media reguler dan irreguler yang terbit atau bersiar dengan tema-tema perjuangan rakyat. Yang hilang justru semangat (pengaruh/influence) juang yang sama, yang pernah muncul di saat menjelang jatuhnya Soeharto.
Yang dimaksud di sini bukanlah konsep-konsep sekadar “musuh bersama,” “organisasi persatuan perjuangan (front),” “isu bersama,” dan seterusnya. Lenin, dalam “Where to Begin,” menyatakan: “If we fail, and as long as we fail, to combine our efforts to influence the people and the government by means of the printed word, it will be utopian to think of combining other means, more complex, more difficult, but also more decisive, for exerting influence.” Pada jamannya, media massa yang tersedia untuk keperluan ini memang hanyalah suratkabar.
Jawaban atas problem kesadaran palsu massa, mungkin terletak pada beberapa sumbu yang mengarah kepada perebutan perhatian rakyat. Mengandalkan reaksi spontan rakyat terhadap manuver politik pergerakan, belum tentu mendapatkan momentum yang cukup. Di sisi lain, pengorganisasian rakyat dengan masif jelas membutuhkan massa rakyat yang terus menerus memikirkan relasi antara dirinya dan kepentingan kelasnya.
Di titik inilah kita melihat, tugas utama yang akan selalu ada adalah pembangunan alat-alat yang dapat merebut perhatian rakyat secara luas. Dari sini, kelompok pergerakan kiri Indonesia, harus mulai berpikir bahwa rutinitas agitasi dan propaganda bukan lagi sebatas menyusun/merangkai tulisan-tulisan ke dalam koran organisasi ataupun buku. Tetapi, lebih pada pembangunan alat-alat perebut perhatian massa rakyat. Setelah itu, barulah kita dapat berbicara tentang pembongkaran kesadaran palsu di kelas-kelas tertindas.
Roysepta Abimanyu