Kasus Hernando de Soto
Majalah Tempo Edisi 10 September 2006, melansir publikasi khusus untuk menyambut kedatangan Hernando de Soto, pakar pembangunan dari Peru. De Soto datang ke Indonesia pada September itu atas sponsor Bank Danamon. Laporan yang dibuat bekerjasama dengan Bank Danamon, menghabiskan enam halaman (halaman 75 – 81). Termasuk dua halaman tulisan Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Naskah dibuka dengan foto berwarna wajah Hernando de Soto, yang enak dipandang. Foto itu mau mencitrakan seorang pemikir kaliber dunia. Di bagian bawah gambar, tertera judul “Hernando de Soto: Gagasan Kontroversial dari Dunia Ketiga,” yang disertai kalimat yang dibuat untuk mengalasi “kehebatan” dari gagasan De Soto itu. Begini bunyinya: “Kapitalisme acap kali dituding sebagai penyebab kesengsaraan mayoritas penduduk dunia. Jurang perbedaan antara negara kaya dan miskin lebar, bahkanketimpangan antara kaum berpunya dan terpinggirkan di semua negara pun memburuk.” Halaman berikutnya dimuat suatu rubrik dengan judul “Benarkah dugaan ini?”
Tulisan ini tidak hendak membahas isi dari liputan itu, yang kebanyakan adalah promosi kesuksesan program Bank Danamon, memberikan kredit pada usaha kecil. Tidak juga untuk mengulas esai dua halaman dari Joyo Winoto, yang mencoba melengkapi gagasan “reformasi aset ala de Soto” dengan “reformasi akses ala Amartya Zen.” Naskah enam halaman itu sekadar kami jadikan pintu masuk untuk membahas sosok Hernando De Soto, bagaimana gerak langkahnya, serta orientasi ideologis dari pemikirannya.
Puja-puji terhadap de Soto
Ekonom dan ilmuan sosial dunia ketiga, nicaya mengenal karya Hernando de Soto. De Soto saat ini merupakan konsultan dan konseptor ternama kelas wahid pada skala dunia. Tenaganya banyak digunakan oleh badan pembangunan/dana internasional seperti Bank Dunia, Inter-American Development Bank, Asian Development Bank, Komisi Eropa, dan USAID. Belum lama ini, ia diangkat sebagai ketua kehormatan dari the High Level Commission on Legal Empowerment of the Poor (HLCLEP), sebuah badan bentukan antar-pemerintahan Negara-negara Nordic (Denmark, Finland, Iceland, Norwagia, dan Sweden). Badan ini juga didukung oleh pemerintah Kanada, Mesir, Guatemala, Tanzania, Inggris, dan sejumlah badan internasional seperti, UN Economic Commission for Europe (UNECE). De Soto telah pula mendapatkan beragam pujian dari berbagai orang ternama di dunia, misalnya, George H.W. Bush, Bill Clinton, Hamid Karzai, Alberto Fujimori, Milton Friedman, Javier Pérez de Cuéllar, dll. The Institute for Liberty and Democracy (ILD, lembaga penelitiannya de Soto) juga mendapatkan penghargaan istemewa dari lebih dari 20 universitas, badan pembangunan internasional, hingga perusahaan-perusahaan transnasional. Sejarah, karya-karya dan berbagai puja-puji ini dapat ditemukan dalam situs maya ILD (http://www.ild.org.pe).
Reputasinya sebagai pemikir pembangunan makin tersohor, sejak mempromosikan resep sederhana dan sangat menggoda: integrasi aset rakyat miskin dalam sektor informal kota ke dalam sistem pasar melalui program legalisasi besar-besaran oleh pemerintah. Basis reputasinya ini dibangun dari ILD di Peru, dimana ia menjadi direktur pertamanya pada 1980. Sepanjang masa kepemimpinannya, ILD melakukan penelitian, implementasi, pelatihan, dan advokasi agar pemerintah Peru mengadopsi usulan kebijakan, membiayai dan menjalankan legalisasi aset rakyat miskin kota secara massif yang ia maksudkan. Kerja advokasi ILD ini sukses. Presiden Peru Alan Garcia (1985 – 1990), kemudian mengangkat de Soto sebagai penasehat dan usulan kebijakan de Soto diadopsi menjadi program pemerintah. Hasil penelitian dan kerja ILD, kemudian menjadi dasar dari buku-buku yang ditulisnya. Dua buku utamanya yang mendapat sambutan luas adalah “The Other Path: Invisible Revolution in the Third World” (1989) dan “The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else” (2000). Keduanya merupakan karya yang paling banyak dirujuk oleh ekonom dan ilmuwan sosial Barat mengenai pembangunan di dunia ketiga. Buku pertamanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Masih Ada Jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga,” terbitan Yayasan Obor, 1992.
Berbeda dengan sejumlah pihak yang memuji dan memakai pemikiran de Soto sebagai pembenar atas eksistensi dan signifikansi ekonomi rakyat, tulisan ini hendak menyingkap misi de Soto sebagai bagian dari jaringan intelektual neoliberal yang memuja-muja keutamaan dari sistem hukum dan mekanisme pasar kapitalis untuk memberantas kemiskinan di negara-negara dunia ketiga.
De Soto dan Indonesia: Cerita Anjing yang Menggonggong
Kepedulian utama de Soto, adalah bagaimana sistem-sistem kepemilikan (property systems), dibangun di negara-negara non-Barat. Ia yakin, pada saat ini mayoritas aturan yang menjadi dasar kepemilikan dan transaksi aset-aset di negara-negara non-Barat, terjadi di luar sistem hukum formal. Untuk memodernisasikannya, negera-negara Dunia Ketiga musti mengoonversi dan merajut semua aturan yang ekstra-legal itu ke dalam suatu sistem tunggal yang menjadi pegangan semua pihak. Pendek kata, semua kontrak-kontrak sosial di luar sistem formal, harus diintegrasikan dalam satu kontrak sosial yang mencakup semuanya.
Pertanyaannya “Bagaimana caranya?” Ada “cerita” yang sering sekali disajikan secara berulang-ulang oleh de Soto, untuk meyakinkan para pembaca/pendengarnya mengenai cara mengintegrasikan aset yang masih berada di luar sistem pasar dan juga bagaimana agar pemerintah mengetahui aturan-aturan yang berlaku dan berada di luar hukum (de Soto menggunakan istilah: ektra legal). Yakni, cerita tentang gonggongan anjing, yang muncul dari pengalaman de Soto saat berjalan santai di pematang-pematang sawah di Bali, yang menurutnya salah satu daerah yang paling cantik di dunia. Sewaktu menelusuri pematang-pematang sawah itu, ia sama sekali tidak tahu batas-batas kepemilikan antara satu bidang dengan bidang yang lainnya. Tetapi, anjing-anjing penjaga sawah itu tahu. Setiap kali de Soto melintas batas kepemilikan, anjing yang berbeda mengonggongi dia. De Soto terilhami, “anjing-anjing Indonesia barangkali tidak pernah belajar tentang hukum formal, tetapi mereka sangat terpelajar tentang mana-mana aset yang dikuasai oleh majikannya.” (Sumber: “Hearing the Dogs Bark, Jeremy Clift Interviews Development Guru Hernando de Soto”, Finance & Development, December 2003).
Cerita itu juga pernah dia jelaskan kepada lima menteri Indonesia di awal 1990-an, ketika diundang berbicara mengenai bagaimana pemerintah Indonesia bisa mengetahui siapa yang menguasai apa dari 90 persen rakyat Indonesia yang hidup di sektor ektra-legal. “Anjing-anjing Indonesia ternyata telah mempunyai informasi-informasi dasar yang dibutuhkan untuk membangun sistem kepemilikan formal. Dengan menelusuri jalan-jalan di kota dan di desa dan mendengarkan anjing-anjing yang menggonggong, secara pelan-pelan informasi tersebut diproses mulai dari bawah ke atas, dan kemudian dijalin hingga terintegrasi ke dalam kontrak sosial formal yang berlaku.” “Salah seorang menteri,” demikian tulis de Soto, “dengan semangat menyatakan “Ah, itu kan hukum adat!” De Soto kemudian menyampaikan generalisasi yang berlebihan bahwa bangsa-bangsa Barat membangun sistem kepemilikan formal mereka dengan cara mulai dari aturan-aturan rakyat (de Soto, “Listening to the Barking Dogs: Property Law against Poverty in the non-West”, Focaal – European Journal of Anthropology no. 41, 2003, hal 183).
De Soto dan Jaringan Neoliberalnya
Ketimbang melihatnya sebagai akademisi tulen, Ray Bromley (professor Geografi dan Perencanaan dari University of Albany, the State University of New York) menilai de Soto adalah usahawan transnasional sangat sukses menjual resep kebijakan baru. “Dia mampu menggunakan latar pendidikan Eropanya, dukungan Amerika yang didapatnya, dan kewarganegaran Perunya untuk bekerja secara internasional dan mengembangkan suatu paket pesan global. Ia sangat fasih bicara bahasa Perancis, Inggeris dan Spanyol, dengan menggunakan nama yang sama dengan contquistador, sang penakluk dari Spanyol yang terkenal, dan dengan perkoncoan pribadinya yang erat dengan lingkaran dalam di Washington dan PBB, dia menjadi seorang selebriti yang dapat memasarkan ide-idenya dengan sangat mudah (“Power, Property and Poverty: Why De Soto’s “Mystery of Capital” Cannot be Solved”, dalam Urban Informality, Transnational Perspectives from Middle East, Latin America and South Asia, Ananya Roy and Nezar AlSayyad, (Eds.), hal. 284).
Misi utamanya untuk memasarkan resep kebijakan “integrasi aset rakyat miskin ke dalam sistem kapitalisme” ini dengan sangat baik ditelusuri sejak awal mula oleh Timothy Mitchell (professor pada Department of Politics, New York University) dalam karyanya “The Work of Economics: How a Discipline Makes its World” yang dimuat dalam European Journal of Sociologyy No. 46/2005, halaman 297-320). Membaca karya ini, akan dengan cepat kita berkesimpulan bahwa De Soto tidak lain adalah intelektual neoliberal yang bermantelkan populisme. Michell mengajak pembacanya untuk melihat jalinan kekuasaan dan skenario yang mendasari proyek yang dikerjakan De Soto dan ILD di Peru. Karya Mitchel tersebut membuka mantel populisme De Soto dengan mula-mula menunjukkan bahwa kerja “pilot project” pendaftaran tanah massif di Peru, bukan hanya merupakan unjuk kerja berbagai pihak di Peru, tetapi juga usaha-usaha dari jaringan neoliberal global, yang meski melibatkan sedikit orang, namun sangat teroganisir rapi. Penjelasan berikut mengenai jaringan intelektual neoliberalnya bersumberkan karya Timothy Michell tersebut.
Asal-Usul Gerakan Neo-Liberal
Gerakan neoliberal dapat ditelusuri riwayatnya dari “Free Market Project” yang dibentuk di musim gugur 1946 di Law School, Universitas Chicago, dan Mont Pelerin Society, suatu perkumpulan dari intelektual neoliberal yang dibentuk pada April 1947, di sebuah desa Mont Pelerin, Swiss. Di tempat inilah, kelompok Chicago ini bertemu dengan kelompok Mont Pelerin Society yang dimotori Friedrich von hayek.
Di tangan kedua kelompok inilah, ideologi neoliberalisme yang merupakan filosofi dari sekelompok kecil kaum intelektual, pelan-pelan berkembang hingga menjadi instrument politik yang sangat efektif. The Free Market Project menjadi contoh (prototype) organisasi think-tank yang meluaskan ideologi neoliberal dengan mengombinasikan produksi pengetahuan dan usulan praktis untuk kebijakan. Project ini bekerja dengan dukungan penuh “penelitian” dan disokong oleh dana-dana perusahaan raksasa yang disalurkan melalui berbagai yayasan. Model Chicago ini kemudian ditiru di luar sekolah hukum oleh the Heritage Foundation, the American Enterprise Institute, the Hudson Institute dan cukup banyak organisasi neoliberal lain yang dibentuk di Amerika Utara dan Eropa, semenjak 1950 sampai sekarang.
Friedrich von Hayek, yang memainkan peran yang utama dalam membentuk dan membangun baik the Free Market Project maupun the Month Pelerin Society, bertemu dengan Hernando de Soto pertama kalinya dalam satu perjalanan ke Lima, Peru, pada 1979. Pada saat itu, apa yang dimulai sebagai gerakan intelektual pinggiran yang kekiri-kirian sudah menjadi ortodoksi yang paling kuat secara politik di Barat. Gerakan neoliberal pada saat itu sedang mencoba memperluas jaringannya ke daerah-daerah lain di dunia. Pada tahun 1981, teman dekat von Hayek, Antony Fisher, membentuk the Atlas Foundation for Economic Research. Tujuan yayasan ini untuk mengoordinasi aktivitas dan dana-dana perusahaan dalam jaringan para pemikir di Eropa dan Amerika, dan untuk memperluas yayasan ini dengan mengembangkan dan membiayai kelompok organisasi neoliberal di luar Eropa Barat dan Amerika Serikat. De Soto adalah hasil pertama dan yang tersukses dari prakarsa ini.
Advokasi Neo-Liberal ke Negara-negara Non-Barat
Setelah pertemuan mereka di Lima, von Hayek mempertemukan de Soto dengan Fisher. The Atlas Foundation, kemudian membentuk dan membiayai Institue for Liberty and Democracy (ILD) yang didirikan de Soto, sebuah lembaga pemikiran neoliberal pertama di belahan selatan. “Antony memberikan kami banyak sekali informasi dan nasehat bagaimana menjadikan lembaga ini terorganisir,” demikian ingatan de Soto. “Dengan demikian visinya Fisher juga menjadi dasar pembentukan ILD. Dia datang ke Lima, dan menjelaskan pada kami bagaimana menyusun statute, bagaimana merencanakan tujuan kami, bagaimana membangun yayasan, apa yang dapat dihasilkan dalam jangka pendek dan jangka panjang.”
Meskipun sebagai orang Dunia Ketiga yang “ditemukan” Hayek di Lima, de Soto sebenarnya telah memiliki pergaulan dengan gerakan neoliberal. Ia juga memiliki pengalaman profesional yang panjang di organisasi-organisasi yang berkaitan dengan perdagangan dan pembangunan internasional. De Soto dibesarkan di Genewa, keluarganya kemudian pindah ketika ia berumur tujuh tahun, setelah ayahnya bekerja di International Labour Organization (ILO). De Soto pertama-tama kerja pendek di Genewa untuk General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), dari sana ia meloncat sebagai direktur eksekutif dari International Council of Cooper Exporting Countries (CIPEC), suatu organisasi kartel yang dibentuk pada 1867 oleh pemerintahan Peru, Cile, Zaire dan Zambia. Para pendukung de Soto, termasuk seorang jutawan industrialis Swiss bernama Stephan Schmidheiny, juga merupakan orang yang aktif dalam organisasi-organisasi neoliberal.
Pertemuan de Soto dengan von Hayek, terjadi pada tahun dimana ia kembali ke Lima sebagai pengusaha, sebagai wakil para investor yang mempunyai hak membeli deposit pasir-pasir emas. Pengusaha pertambangan itu gagal setelah mereka pergi mengunjungi dan meninjau kembali konsesi-konsesi di hutan tropis dan menemukan adanya ratusan masyarakat lokal, yang sudah menapis pasir dan mengambil emas tanpa hak konsesi. De Soto menemukan masalah dari klaim-klaim kepemilikan informal. Kontak-kontak dia di gerakan neoliberal Eropa dan Amerika Utara, memberikan suatu jawaban pada masalah ini.
Pengalaman de Soto di Eropa, jarang disebut-sebut oleh para pendukung neoliberalnya. Kredibilitas dan otoritasnya sebagai ekonom pembangunan semakin lekat pada identitasnya sebagai orang neoliberal Dunia Ketiga, yang terbuka untuk menjelaskan kemiskinan di belahan dunia selatan sebagai suatu “self-inflicted injury” (luka yang dibikin sendiri), yang tidak berhubungan dengan belahan dunia utara. “Dari pada melihat dunia berkembang sebagai korban kapitalisme, de Soto berargumen, kita sebenarnyalah yang membuat luka kita sendiri,” sebagaimana dilaporkan Andrew Natsios, administrator USAID (US Agency for International Development). “Karena dia adalah orang Peru, dia bisa membuat argument ini menjadi lebih dapat dipercaya.” Kredibilitas ini membuatnya sangat bermanfaat untuk gerakan neoliberal. “Selama bertahun-tahun, saya bersama Antony Fisher di Atlas,” sebagaimana ditulis Alex Taufan (2004), yang menggantikan Fisher sebagai presiden di organisasi itu, “saya tidak bisa ingat adanya perbincangan tentang contoh pemikir yang berhasil tanpa menyebut nama Hernando.”
Atlas mengajarkan de Soto mengenai taktik-taktik advokasi dan penelitian untuk para pemikir. Dukungan dan pelatihan lainnya, datang dari sumber-sumber resmi lain di Washington. Tahun 1983, kaum neoliberal dalam pemerintahan Ronald Reagan, membentuk Center for International Private Enterprise (CIPE), yang dapat tempat di National Endowment for Democracy yang baru, untuk mendukung organisasi-organisasi di dunia sedang berkembang yang memberikan advokasi untuk program-program politik neoliberal. CIPE membentuk suatu paket alat yang menjelaskan taktik-taktik yang bisa dipakai: membentuk suatu tim advokasi, mengidentifikasi masalah-masalah kunci yang cocok pada kelompok sasaran, meneliti masalah-masalah, menetapkan tujuan-tujuan, menyusun pesan dan kampanye-kampanye iklan, membuat para pembela rakyat, bekerja dengan media, dan menjadi bagian dari pada proses-proses pemerintahan (Center for International Enterprise, 2003). Tahun berikutnya, CIPE memberikan hibah pertama kepada Institute for Liberty and Democracy (ILD), untuk mendukung de Soto dan lembaganya, Institute for Liberty and Democracy (ILD).
Puncak-puncak Prestasi de Soto dan ILD
Untuk mengembangkan dukungan popular pada neoliberalisme, ILD mengidentifisir isu-isu politik bukan sebagai masalah kepemilikan tanah yang umum, atau bukan sebagai masalah property rights dari perusahaan-perusahaan tambang atau perusahaan lain, tapi sebagai masalah dari permukiman informal. Kemudian ILD mulai mempelajari komunitas-komunitas informal di Lima, dan membuat kontrak dengan pemerintah kota Lima untuk menjalankan skema pendaftaran tanah (land titling) untuk permukiman informal. Hal ini menjadi langkah pertama dari program 20 tahun yang berpuncak pada program senilai $66 juta, yang dibiayai Bank Dunia. Di tahun 2003, ketika sedang mengkaji ulang dua puluh tahun usaha mendukung organisasi-organisasi neoliberal di Negara-negara berkembang, CIPE di Washington menjelaskan proyek pertama di Peru, sebagai inisiatif yang paling berhasil (Center for International Private Enterprise, 2003).
Dengan dukungan dari luar negeri, lembaga de Soto bertumbuh besar, mengembangkan kampanye advokasinya dan berhasil menyusupkan pengaruhnya ke dalam proses-proses penyusunan kebijakan pemerintah. Selama pemerintahan Alan Garcia, pertengahan kedua 1980-an, lembaga de Soto terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan. Advokat-advokat ILD membuat proposal-proposal untuk kebijakan-kebijakan pertanahan dan perubahan administrasi. Untuk mendukung kebijakan ini, ILD membuat iklan-iklan komersial di televisi, yang meminjam bentuk iklan-iklan loterei sejumlah pemerintah negara bagian di Amerika, yang membangkitkan masyarakat untuk bermimpi: “apa yang akan kamu lakukan bila kamu punya modal?” Pada 1991, Institut ini memiliki staff 100 orang. Victor Endo, seorang advokat ILD yang kemudian bekerja di World Bank, mengatakan, pemikir-pemikir di ILD menjadi “sejenis sekolahan untuk para elite pembuat kebijakan. Hampir semua menteri yang penting, ahli hukum, ekonom dan para wartawan di Peru adalah alumni ILD”.
Tahun 1987, ILD mempublikasikan buku berdasarkan penelitiannya dan program-program pembaruan di bawah judul “El Otro Sendero” (“The Other Path”), dengan subjudul, “The Economic Answer to Terrorism.” Penulis naskah itu adalah de Soto dan dua teman dekatnya, Enrique Ghersi Silva, seorang ekonom dan sarjana hukum yang dipengaruhi oleh gerakan hukum dan ekonomi Chicago dan kemudian menjadi anggota the Mont Pelerin Society, dan Mario Ghibellini, seorang penulis. Tahun 1989 buku itu diterbitkan dalam Bahasa Inggeris di Amerika Serikat, dengan sub judul baru, “The Invisible Revolution in the Third Worlds”. Buku ini mendapat kata pengantar dari penulis Peru, Mario Vargas Llosa, bekas aktivis kiri yang beralih ke neoliberalisme akibat de Soto sendiri, dan hampir menjadi calon presiden yang didukung Amerika Serikat pada saat Pemilu Peru 1990. Buku ini medapatkan sambutan hangat dari Presiden George H.W. Bush, Richard Nixon dan beberapa orang lain, dan mendapatkan Sir Antony Fisher’s Award dari Atlas Foundation, suatu penghargaan yang diberinama setelah mentornya de Soto itu meninggal.
Dipromosikan dengan penghargaan, berbagai book review dan tanggapan yang hangat dari jaringan pemikiran dan yayasan neoliberal di Eropa dan Amerika, buku ini dengan cepat menjadi best-seller dunia. Pada1990, Alberto Fujimori dipilih menjadi presiden Peru. De Soto, yang tidak lagi mendukung pencalonan Vargas Llosa, karena lebih memilih calon lain yang popular, menjadi penasehat resmi Fujimori. Pemerintah baru kemudian menetapkan rencana stabilisasi keuangan neoliberal yang sangat drastis, yang membawa negara ini jatuh dalam situasi resesi. Pada 1992, de Soto mengundurkan diri dari pemerintahan ini setelah adanya persengketaan mengenai ketidaksetujuan Fujimori untuk menentang militer. Tetapi, de Soto menjaga terus pilot-program pendaftaran tanah di Lima yang dibiayai dana dari Jepang. Namun pada1994,proyek ini terhenti karena hancurnya hubungan baik antara pemerintah dan ILD.
Pada Maret 1996, pemerintah Peru mengeluarkan hukum mengenai formalisasi tanah dan membentuk suatu badan, COFOPRI (Comision de Formalizacion de la Propiedad Informal), untuk mengambilalih program ILD dan kemudian meningkatkannya menjadi skema nasional, yang mempekerjakan anggota tim ILD. Dalam tahun 1998, Bank Dunia masuk dengan pinjaman agar program ini bisa berakhir sempurna. Penelitian yang didanai Bank Dunia menunjukkan, program ini tidak berhasil mencapai tujuannya karena pendaftaran tanah tidak menghasilkan peningkatan kredit pada kaum miskin. Peduli pada kegagalan itu, pada tahun 2000, Bank Dunia menjalankan suatu survey di kampung-kampung informal. Tujuan utama dari survey ini adalah untuk mendorong bank-bank komersial agar memberi hutang uang pada orang-orang kampung.
Sementara itu, de Soto telah melihat ke pasar luar negeri dan mulai dengan pekerjaan mengadvokasikan program-program untuk mengakhiri kemiskinan dunia melalui pendaftaran kepemilikan di Mesir dan beberapa negara lain. Dia memakai pekerjaan ini sebagai bahan bukunya yang kedua, “The Mystery of Capital, Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else” (New York, Basic Books 2000). Dengan dukungan dari Margaret Thatcher, Milton Friedman, dan orang-orang neoliberal yang terkenal dan dengan penghargaan dari organisasi-organisasi neoliberal, karya de Soto sekali lagi menjadi best-seller di seluruh dunia.
Misi De Soto agar Pasar Diterima dengan Ramah
Satu pelajaran terpenting dari kasus de Soto, adalah bagaimana ideologi neoliberalisme terus diproduksi dan direproduksi melalui jaringan yang melibatkan pengetahuan, ahli, uang, lembaga-lembaga, dan last but not least program Pembangunan (dengan P besar) atas nama pemberantasan kemiskinan di dunia ketiga. Karya Michell (2005, seperti dikutip di atas) telah memberi pelajaran, bagaimana jaringan neoliberal telah menciptakan kondisi agar proyek neoliberalismenya De Soto bersama ILD diterima secara luas, bukan hanya di Negara Peru.
Mereka menciptakan kelembagaan baru, mengerahkan dana-dana, merancang penelitian, menjalankan kerja lapangan, mengumpulkan informasi dan menciptakan pengetahuan, menerbitkan buku-buku, mempromosikannya dan memberinya penghargaan, membentuk sasaran-sasaran perubahan kebijakan, menyelenggarakan latihan-latihan, membangun jaringan, hingga menempatkan diri dalam lingkaran pemerintahan. Semua itu, dalam rangka misi menciptakan kondisi agar perluasan pasar kapitalis diterima dengan ramah, tanpa mempersoalkan bagaimana akumulasi kekayaan terjadi dengan pelepasan aset utama kaum miskin yang berlangsung baik secara brutal maupun secara halus.
Soal siapa yang telah dan dapat berpartisipasi dalam pasar kapitalis dan siapa yang telah dan akan disingkirkan lagi, serta siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, bukan lagi pertanyaan yang penting. Bila hal-hal yang diabaikan ini diurus dengan serius, maka rute yang akan ditempuh tentu akan berbeda. ***)
Noer Fauzi adalah Mahasiswa program doktoral pada Divisi Society and Environment, Departement of Environmental Science, Policy and Management (ESPM), University of California at Berkeley.
Kim Malone, PhD, adalah peneliti Pembangunan dan Southeast Asia Studies.