Pada 5 November 2006, Nikaragua, sebuah negara miskin dan kecil di kawasan Amerika Tengah, melangsungkan Pemilu demokratis yang kelima kalinya.
Dalam Pemilu tersebut, José Daniel Ortega Saavedra, ketua Frente Sandinista de Liberación Nacional (FSLN) atau disingkat Sandinista yang berhaluan kiri, terpilih sebagai presiden. Kemenangan Ortega ini menambah jumlah pemimpin kiri Amerika Latin yang terpilih sebagai presiden lewat Pemilu. Sebelumnya adalah Hugo Chavez di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, dan Lula Da Silva di Brazil. Sebelumnya pula, jika tidak dicurangi di saat-saat terakhir penghitungan suara, Andrés Manuel López Obrador dari Party of the Democratic Revolution (PRD) yang juga berhaluan kiri, pastimenduduki kursi Presiden Mexico saat ini. Pada 25 November, kita akan menantikan pertarungan antara Rafael Correa yang kiri dengan Alvaro Noboa yang kanan di Ekuador.
Kembali ke kemenangan Daniel Ortega. Bagaimana kita membaca kemenangan itu? Ada duasudut pandang yang bisa digunakan: pertama, secara internal Sandinista merupakan partai yang memiliki sejarah perjuangan panjang yang gemilang. Ketika memimpin Nikaragua pasca kediktatoran Somoza (1979 – 1980), Daniel Ortega dan Sandinista sukses melaksanakan program pembangunan sosial-ekonomi yang radikal. Itu sebabnya, walaupun kalah dalam pemilu 1990 dan dilanda krisis dan perpecahan, Sandinista tetap merupakan salah satu the ruling party.
Kedua, kemenangan Sandinista dan Daniel Ortega, sesungguhnya lebih disebabkan oleh sukses penerapan kebijakan neoliberal di Nikaragua. Sukses neoliberal ini menyebabkan rakyat Nikaragua terpuruk dalam kemelaratan. Itu sebabnya, walaupun AS tetap mengintimidasi rakyat Nikaragua agar tidak memilih Ortega, mereka mengacuhkannya.
Saya sendiri lebih melihat sebab kedua inilah yang menjadi faktor utama kemenangan Ortega dan Sandinista. Kekecewaan rakyat pada rejim neoliberal, sebenarnya merupakan pola umum yang mengantarkan kemenangan kelompok kiri di Amerika Latin. Sukses gerakan kiri, karena mereka berhasil menangkap kekecewaan rakyat tersebut dan melembagakannya dalam sebuah gerakan politik.
Untuk itu, mari kita liha bagaimana kebijakan neoliberal ini diterapkan di Nikaragua.
Arus Balik
Ketika Violeta Barrios de Chamorro dari United Nicaraguan Opposition (UNO), sebuah koalisi dari 14 partai politik, mengambil alih kekuasaan dari tangan Daniel Ortega dan Sandinista pada 1990, dengan segera ia melakukan serangan balik terhadap seluruh kebijakan yang ditempuh pemerintahan Sandinista. Dengan dukungan penuh Washington dan lembaga-lembaga keuangan multilateral, demokrasi neoliberal menjadi panduan dalam membangun wajah Nikaragua yang baru.
Secara umum seluruh paket kebijakan pemerintahan Sandinista seperti land reform, redistribusi kekayaan, reformasi sosial dalam pendidikan dan kesehatan, dukungan luas terhadap gerakan perempuan, serikat buruh-tani, dan pembangunan tentara rakyat, didasarkan pada apa yang disebut logika mayoritas (Logic of the majority). Konsep ini merupakan tandingan dari konsep logika keuntungan (logic of profit), yang merupakan spirit kapitalisme.
Di masa pemerintahan Chamorro, logika keuntungan kembali ditempatkan sebagai mercusuar pembangunan nasional. Pemerintahan Chamorro yang didukung Washington, dengan segera menerapkan kebijakan neoliberal di segala bidang. Gary Prevost dari St. John University mencatat, kebijakan neoliberal pemerintahan Chamorro juga secara khusus ditujukan untuk menyerang basis-basis kebijakan Sandinista. Berikut ini sebagian contoh penerapan kebijakan neoliberal Chamorro.
Reformasi Agraria
Di masa pemerintahan Sandinista, salah satu proyek yang mendapat dukungan penuh rakyat miskin adalah land reform. Jika pada 1978, 52 persen tanah dikontrol oleh tuan tanah besar dan kroni Somoza, pada masa Sandinista 68 persen tanah dikuasai produser skala kecil dan menengah. 12 persen sisanya dikuasai oleh negara di bawah label Area of People’s Property (APP). Komposisi kepemilikan tanah seperti ini menjadikan Nikaragua, sebagai negara dengan tingkat kepemilikan tanah paling merata di Amerika Tengah.
Di masa pemerintahan Chamorro, potret keseimbangan itu diobrak-abrik. Sebuah program reformasi agraria, yang bertujuan menyerang land reform a la Sandinista, digagas. Pada Mei 1990, Chamorro membentuk sebuah komisi untuk meninjau seluruh tanah yang pernah dirampas dari pemiliknya pada masa Sandinista, dengan pengecualian tanah yang dirampas dari keluarga Somoza. Pada saat yang sama, mantan pemilik tanah besar memberi waktu enam bulan kepada Chamorro, untuk mengembalikan tanah milik mereka. Pada akhir Juni1990, pemerintah setuju menerima permintaan 57 bekas tuan tanah untuk menyewa 86 ribu hektar tanah milik negara.
Walaupun mendapat perlawanan sengit dari buruh tani yang bernaung di bawah The Sandinista Led Rural Workers’ Association (ATC), program privatisasi pertanian ini terus berlangsung. Hasilnya, pada akhir 1993, menurut laporan ATC, sektor pertanian yang berada di bawah label APP, 100 persen berhasil diprivatisasi. Privatisasi sektor pertanian juga menyentuh sektor pendanaan. Pemerintah dengan segera melakukan pemotongan kredit kepada keluarga petani dan rakyat miskin pedesaan lainnya, yang selama ini didanai oleh Bank Pembangunan Nasional (BANADES). Jika pada 1970 terdapat 1.600 keluarga petani pedesaan yang mendapat kucuran kredit BANADES, pada 1988 jumlah keluarga yang mendapat bantuan tersebut meningkat menjadi 102.000. Pada masa Chamorro, jumlah tersebut merosot hingga 31 ribu keluarga.
Reformasi Perbankan
Salah satu produk hukum perbankan yang dikeluarkan pemerintahan Sandinista adalah melarang privatisasi perbankan. Untuk menyiasati hukum ini, pemerintahan Chamorro membuat sistem perbankan swasta yang paralel dengan fungsi perbankan milik negara. Pada akhir 1995, 10 perbankan swasta telah eksis.
Dalam waktu singkat, perbankan swasta ini telah mengalahkan kinerja perbankan milik negara. Dua hal penyebabnya: dukungan dana besar-besaran dari dari lembaga keuangan internasional dan dibajaknya bankir-bankir berpengalaman dari Bank milik negara. Akibatnya, kebijakan pembiayaan progresif bank Negara yang mendukung reformasi agraria semasa Sandinista dihapuskan. Bank Pembangunan Nasional kini hanya beroperasi secara terbatas pada sektor komersial.
Reformasi Pasar
Salah satu tujuan utama kebijakan ekonomi Sandinista, adalah membangun ekonomi nasional yang mandiri. Untuk itu Sandinista mengeluarkan kebijakan pasar protektif sembari mendorong dan membantu pertumbuhan produser domestik.
Pada masa Chamorro, kebijakan pasar protektif ini dipangkas, tujuannya agar Nikaragua makin terintegrasi dalam Pasar Bersama Amerika Tengah. Untuk itu, Chamorro memotong penghalang tarif dari 80 persen tinggal 30 persen. Hasilnya, pasar nasional dibanjiri produk-produk asing dari tekstil, sepatu dan barang-barang metal. Produser nasional pun kalah bersaing dan bangkrut.
Pada tahun 1992-1993, 50 persen populasi yang aktif secara ekonomi menganggur. Jumlah ini meningkat menjadi 52 persen pada 1994. Pengangguran terbuka juga meningkat tajam pada 1994 yakni, hampir 24 persen dari angkatan kerja. Jumlah PHK di sektor formal juga meningkat dramatis. Hasil studi PBB pada 1995, menunjukkan 70 persen penduduk Nikaragua, hidup dalam kemiskinan dimana 40 persennya dalam keadaan kemiskinan akut.
Reformasi Sosial
Pada sektor ini, pemerintahan Chamorro terutama mereformasi sektor pendidikan dan kesehatan. Padahal di kedua sektor ini, sukses Sandinista begitu menonjol.
Di lapangan pendidikan misalnya, pada 1980 Sandinista berhasil membawa Nikaragua keluar dari masalah buta hurup massal. Tingkat kesejahteraan guru meningkat pesat. Demikian juga tingkat partisipasinya dijamin dengan terbentuknya serikat guru, ANDEN.
Pada 1990, dibawah menteri pendidikan Humberto Elli, dilakukan reformasi kebijakan pendidikan besar-besaran. Tujuannya, menghancurkan pengaruh Sandinista di sektor ini. Perubahan pertama terjadi pada bidang kurikulum, yang kini diorientasikan pada penekanan masalah moral, dalam hal ini “Moral Kristiani.” Beberapa minggu sesudahnya, atas biaya United States Agency for International Development (USAID), buku-buku baru dicetak secara besar-besaran dan pada tahun ajaran 1991, buku-buku tersebut sudah terdistribusi ke kelas-kelas di seluruh negeri.
Perubahan kurikulum ini tentu saja mendatangkan penentangan dari ANDEN. Menghadapi itu, pemerintah bertindak keras dengan memecat dan atau memindahkan para guru yang terlibat dalam perlawanan tersebut, jauh dari rumah tempat tinggalnya.
Selain perubahan kurikulum, pemerintahan baru juga memotong belanja untuk sektor ini. Kebijakan ini menyebabkan sektor pendidikan Nikaragua kembali ke masa sebelum revolusi 1979. Jika pada 1979 jumlah anak sekolah yang menyelesaikan sekolah dasarnya hanya sejumlah 22 persen, jumlah yang sama kembali terjadi di masa paska Sandinista. Pada kedua periode itu, jumlah penduduk pedesaan yang bersekolah dasar kurang dari 10 persen. Sementara itu, angka buta huruf pada 1993 sejumlah 54 persen. Angka ini sama dengan yang terjadi pada 1980, ketika program pemberantasan buta huruf mulai digalakkan oleh Sandinista. Data lain menunjukkan, jumlah absolut buta huruf lebih dari setengah juta penduduk, lebih besar ketimbang tahun 1980.
Di sektor kesehatan, privatisasi yang dilancarkan Chamorro tidak berjalan mulus. Pertama, karena ada jaminan UU yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan publik; dan kedua, karena adanya perlawanan keras dari serikat pekerja kesehatan yang sangat terorganisir.
Menghadapi dua kendala ini, pemerintah memberlakukan kebijakan di antaranya: rumah sakit dan klinik umum hanya dikunjungi oleh dokter yang sedang tidak bertugas; seluruh pelayanan, termasuk tes diagnosa dan obat-obatan kini dipungut bayar; seluruh anggaran departemen kesehatan yang pada 1989 mencapai $130 dipangkas hingga sekitar $70 juta pada 1994.
Sebaliknya, pemerintah memberi insentif kepada petugas kesehatan terbaik di sektor publik untuk berpindah ke rumah sakit swasta. Akibatnya, banyak dokter yang semula berkomitmen pada pelayanan kesehatan publik, kini harus membagi waktu untuk bekerja di rumah sakit swasta dengan imbalan insentif keuangan yang menggiurkan. Hasilnya, pendapatan dokter yang bekerja di sektor publik menurun drastis. Hingga 2005, pendapatan dokter publik Nikaragua, dilaporkan hanya sebesar $300 per bulan, 60 persen lebih rendah dari pendapatan yang diterima oleh dokter publik di kawasan lain Amerika Tengah. Kebijakan ini juga membolehkan para dokter untuk menyewakan ruang dan peralatan di rumah sakit publik kepada pasien tertentu. Di beberapa rumah sakit, lebih dari 50 persen tempat tidur kini disediakan bagi pasien yang sanggup membayar. Demikian juga dengan penyediaan obat-obatan, yang semula bersifat publik, kini dioperasikan dengan prinsip bisnis murni.
Hasil dari program privatisasi ini menyebabkan kesehatan penduduk Nikaragua menurun drastis. Dari tahun 1996 sampai 2003, suplai dokter per 10.000 penduduk menurun dari 6 menjadi 3.8. Data departemen kesehatan pada 1994, menunjukkan lebih dari 60 persen anak-anak di bawah umur satu tahun menderita anemia dan 4 persen anak-anak balita mengalami gangguan mental akibat malnutrisi. Kematian dini meningkat, dari 62 kematian per 1000 kelahiran pada 1987 menjadi 107 pada 1994. Jika pada 1988 lebih dari 40 ribu anak-anak menerima nutrisi dari pusat pelayanan kesehatan pemerintah, kini sebagian besar dari pusat pelayanan kesehatan tersebut telah ditutup dan hanya 7000 anak-anak yang menerima perhatian yang sama.
Demikianlah cerita tentang sukses penerapan demokrasi neoliberal. Jika sebelumnya, Ortega dan Sandinista berjuang dan menang melawan kediktatoran militer Somoza, kali ini, meminjam istilah Boltadano, mereka berjuang dan menang melawan kediktatoran neoliberal.
Coen Husain Pontoh
Kepustakaan:
Andrés Pérez Baltodano, “Has a Neoliberal Democracy Been Institutionalized in Nicaragua?” http://www.envio.org.ni/articulo/3326
Ben Beachy, “Swindling the Sick The IMF Debt Relief Sham,” http://www.zmag.org, January 27, 2006
Gary Prevost, “Political Policy: The Sandinista Revolution and Democratization,” International Journal of Economic Development,” 2000.