Belajar dari Inggris
Tanggal 7/8/06 Channel 4 televisi Inggris, menayangkan dokumentari kontroversial berjudul What Muslims want (Apa yang diinginkan kaum muslim).
Dokumentari ini disusun berdasarkan survei yang dilakukan oleh NOP kepada seribu orang muslim di Inggris secara acak-sistematis untuk menjawab pertanyaan: sejauh mana orang-orang muslim di Inggris menjadi ancaman bagi negara dan nilai-nilai yang dianut di Inggris selama ini?
Tampaknya ada ketakutan bahwa 1,6 juta umat muslim di Inggris kini menolak gagasanmayoritas yang liberal dan toleran dan sebaliknya memilih nilai-nilai Islam dimana radikalisasi dan kekerasan diperbolehkan.
Survei itu menunjukkan bahwa rasa identitas keislaman makin diperkuat oleh perasaan sebagai kelompok yang sedang terancam. Lebih dari separuh responden merasa kebencian pada umat Islam meningkat sejak peristiwa 7/7 (bom bunuh diri di London yang dilakukan oleh warga muslim Inggris yang memprotes kebijakan luar negeri Inggris atas agresi terhadap Irak). Hampir separuh juga yakin bahwa polisi secara tak adil telah memeriksa para muslim, walau kurang dari tiga persennya menyaksikan sendiri hal itu.
Studi itu menyimpulkan bahwa ada gap antara Islamofobia dan realitas ketidaksukaan terhadap Islam di Inggris. Masalahnya, menurut studi itu, terletak pada persepsi berlebihan orang Islam sendiri akan kebencian orang lain terhadap mereka.
Akibatnya, komunitas Muslim lantas memupuk kemarahan dan perlawanan dan membuat mereka makin berorientasi ke dalam (inward looking) dan lebih terbuka pada ekstrimisme religius. Lebih jauh, secara budaya, integrasi budaya muslim kedalam budaya Inggris kini stagnan, mandeg. Dan negeri ini khwawatir akan menghadapi persoalan pelik di masa depan (hasil survei selengkapnya bisa dilihat di www.channel4.com/dispatches).
Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Dan pelajaran apa yang bisa kita petik?
***
Integrasi budaya memang menjadi agenda utama di Inggris Raya. Mengapa? Sudah lama negeri ini dikenal multikultur, dimana beragam budaya tumbuh dan berkembang bersama dan membentuk identitas kolektif. Saking intensifnya proses ini, tak mudah membedakan mana orang Inggris asli dan mana pendatang.
Dengan kebijakan imigrasinya yang cenderung ramah, Inggris menjadi tujuan hijrah banyak orang, terutama dari negara-negara bekas jajahannya, sejak enam hingga tujuh dekade yang lalu. Pada umumnya, mereka datang demi penghidupan yang lebih baik. Dan untuk itu, para pendatang itu rela berbaur: sembari menghidupi cara hidup dan nilai-nilai yang dianutnya, mereka berintegrasi dengan lokalitasnya.
Namun semenjak peristiwa 7/7, seluruh gagasan integrasi budaya ini jadi pertanyaan besar. Sungguhkah terjadi integrasi, khususnya dengan budaya Islam? Apa yang sebenarnya diinginkan para muslim di Inggris? Bagaimana dampaknya pada proses integrasi budaya?
Titik awal diskusi mengenai Islam di Inggris nampaknya didominasi pandangan bahwa kelompok muslim itu berbeda dari lainnya karena soal keyakinannya. Dalam pandangan ini, segala urusan dengan kaum Muslim harus dimulai dari komunitasnya sendiri dan bukan dari luar mereka. Karena itu, saat membela diri ketika pemerintah Inggris dituduh tidak berbuat apa-apa untuk melawan terorisme, PM Tony Blair pun hanya bisa berujar, “Pemerintah tidak bisa menghilangkan ekstrimisme. Saya tidak bisa datang ke komunitas Islam dan menjelaskan pada mereka bahwa pandangan ekstrm bukanlah wajah sejati Islam” (BBC, 8/7/05)
Hasilnya, kebanyakan politisi meninggalkan tanggungjawabnya untuk berhubungan secara langsung dengan komunitas-komunitas muslim. Mereka mengalihkan tanggung jawab ini kepada apa yang disebut pimpinan komunitas (community leaders) muslim. Akibatnya, kelompok-kelompok muslim ini tidak secara aktif terlibat dalam proses politik sebagai warganegara Inggris. Sebaliknya, mereka malah dianggap sebagai orang yang lebih setia pada agamanya dan yang secara politik hanya bisa digerakkan oleh sesama muslim.
Investigasi Channel 4 ini menunjukkan, potret tentang komunitas muslim di Inggris yang dipercaya kebanyakan orang selama ini tidaklah benar. Investigasi itu, sebaliknya, mengajak untuk memikirkan ulang berbagai asumsi tentang kelompok muslim dalam kehidupan budaya dan politik di Inggris selama ini. Mengapa? Karena dalam menanggapi banyak fenomena, nampaknya kaum muslim tidaklah selalu sepakat satu sama lain, kecuali dalam hal pentingnya agama Islam.
Survei itu menggambarkan, sementara 90% responden merasa dirinya sangat Islam, setengahnya tidak pergi ke masjid dan malah kurang dari 10% yang pergi ke masjid setiap hari. Lebih dari setengah responden tidak ingin Inggris menjadi negara Islam, walau sepertiga dari seluruh responden ingin hukum Syariah diberlakukan.
Secara budaya, perasaan menjadi komunitas yang terancam bisa menciptakan iklim ketakutan yang ekspresinya sulit dipahami dan bisa menciptakan teori konspirasi yang berbahaya. Hampir separuh muslim di Inggris percaya bahwa peristiwa 9/11 adalah konspirasi AS-Zionis – hanya seperlima menolak konspirasi apapun dibalik luluh-lantaknya WTC.
Mengapa ini penting? Karena, terkait dengan gagasan konspirasi serupa, gagasan-gagasan ekstrem nampaknya makin luas diterima. Misalnya, lebih dari 10% Muslim kini memaklumi dan bisa menerima aksi bom bunuh diri; hampir seperemepat responden kini berpendapat bahwa peristiwa bom London (7/7) bisa dibenarkan dengan alasan kebijakan luar negeri Inggris; seperlima responden kini menghargai dan menghormati Osama bin Laden.
Hemat saya, hal semacam ini seharusnya tidak dibesar-besarkan. Karena, studi itu juga menunjukkan bahwa mayoritas Islam di Inggris menolak pandangan ekstrem semacam itu dan ada kemauan kuat menuju integrasi. Tetapi memang benar, sumber-sumber pandangan ekstrimis semacam ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Lantas bagaimana caranya menghentikan ekstrimisme semacam ini?
Meletakkan keterlibatan kaum Muslim dalam hidup budaya dan politik semata-mata dalam tangggung jawab para pimpinan komunitas, seperti yang dipercaya selama ini, bukanlah jawaban. Karena studi ini menunjukkan bahwa para pemimpin ini ternyata juga sama berjaraknya terhadap kebanyakan orang Muslim, seperti yang lain. Buktinya? Selama ini politisi dan media memandang Badan Muslim Inggris (Muslim Council of Britain, MCB) sebagai badan yang vokal mewakili suara mayoritas muslim Inggris. Namun, menurut survei itu, haya kurang dari 4% responden yang sependapat dengan mereka. Selain itu, hanya 12 persen yang mengangggap MCB mewakili pandangan politiknya. Karena itu sangat beralasan bahwa hampir 90% muslim di Inggris tidak yakin siapa yang sebenarnya bisa mewakili pandangan mereka dan 80% lebih tidak tahu siapa yang bisa mewakili kepentingan politik mereka di sana.
Dengan kata lain, kaum muslim di Inggris merasa tak punya suara dan tak terwakili kepentingannya. Dengan marjinalisasi politik dan budaya semacam ini, apakah mengejutkan melihat fakta bahwa mereka merasa terasing, percaya pada teori konspirasi, atau punya pandangan ekstrem? Lantas, apa artinya ini semua?
***
Bagi bangsa Indonesia yang majemuk yang kini tengah menghadapi banyak persoalan, salah satunya fenomena radikalisasi Islam, mungkin pemaknaan kembali atas persoalan integrasi budaya muslim ke dalam budaya Inggris bisa menjadi sekedar kelebatan gagasan.
Pertama: Tampaknya masyarakat di Inggris harus berhenti berpikir dan menganggap bahwa muslim itu seolah-olah homogen dan bahwa satu-satunya jalan untuk melibatkan diri dengan mereka adalah dengan melalui agama. Di Indonesia, hal ini tak kalah benarnya bagi semua agama. Bedanya, kelompok-kelompok agama di Indonesia sudah sangat terlibat dalam budaya dan politik. Dan nampaknya, bagi beberapa kelompok, agama malah dijadikan alasan dan pembenaran keterlibatan yang kadang jadi berlebihan itu. Apakah yang kita alami ini sebuah ekstrem yang lain?
Kedua: Di Inggris, masyarakat mayoritas yang nonmuslim perlu berhenti menyuburkan “budaya korban” yang membesar-besarkan sikap antimuslim. Benar bahwa ketidaksukaan itu memang ada. Namun, jarak antara persepsi dan realitas Islamofobia ini justru akan menyuburkan tanah bagi tumbuhnya berbagai teori konspirasi dan pandangan-pandangan ekstrimis.
Bagaimana dengan di Indonesia? Walau mayoritas Muslim, nampaknya Islamofobia ini juga terjadi di Indonesia yang plural ini. Sementara belum tahu persis sejauh mana beda antara persepsi dan realitasn Islamofobia di tanah air, rasanya penting diupayakan dialog kultural antara berbagai kelompok agama mengingat kemajemukan bangsa ini tidak bisa dikorbankan begitu saja, walau atas nama, dan dengan ongkos, agama.
Terakhir: Ini waktunya bagi para politisi di Inggris untuk kembali mengambil tanggungjawab untuk secara serius memikirkan keterlibatan politis dengan konstituennya, terutama dari kelompok Muslim untuk meretas kekecewaan politik mereka.
Hal ini juga bisa menjadi inspirasi di tanah air: tanpa keterlibatan politik yang inklusif semacam ini, yang melibatkan dan membawa kepentingan semua kelompok, kekecewaan politik di dalam komunitas muslim dan nonmuslim di Indonesia hanya akan menjadi lebih dalam dan berpotensi meledak di kemudian hari.
Semoga catatan lepas ini ada gunanya.(*)
Yanuar Nugroho
Penulis bukan budayawan, bukan agamawan. Sementara tinggal di Inggris, tangah mengambil studi doktoral sembari menjadi peneliti di Universitas Manchester, Inggris.
Artikel ini sebelumnya dimuat di harian Media Indonesia edisi cetak, Sabtu, 12 Agustus, 2006.