Banyak pendapat mengatakan, penindasan terhadap kaum perempuan tidak ditentukan pada kondisi mereka secara biologis. Perbedaan seksual memang sebuah kenyataan biologis tapi, penindasan dan diskriminasi tidak selalu bisa ditambahkan pada perbedaan-perbedaan tadi. Sejalan dengan proses evolusi dari masyarakat tanpa kelas menuju masyarakat berkelas, fungsi perempuan sebagai pengasuh anak selalu sama. Sementara peranan perempuan secara sosial berubah dari bentuk masyarakat yang satu ke bentuk masyarakat lainnya, status sosial mereka tidak selamanya berubah: sebagai pelayan pekerjaan domestik rumah tangga, sebagai subjek dari kontrol dan perintah kaum pria.
Sebelum berkembangnya masyarakat berkelas, selama periode sejarah yang oleh kaum Marxis secara tradisional dikenal sebagai masyarakat komunis primitif (zaman berburu dan bercocok-tanam), produksi sosial terorganisasi secara komunal dan produksinya pun dibagi secara sama. Tidak berarti, perbedaan tugas tidak ada dalam berbagai kelompok kecil yang berdasarkan pada usia, gender, dan yang lainnya di dalam sebuah kelompok besar. Tetapi, kondisi tersebut lebih berarti pada tidak adanya penghisapan dan penindasan dari satu kelompok kecil terhadap kelompok lainnya. Tidak ada landasan material yang membuat berkembangnya penghisapan dalam hubungan sosial. Baik laki-laki maupun perempuan turut-serta dalam produksi sosial, saling membantu untuk mempertahankan kehidupan bersama. Status sosial dari laki-laki dan perempuan sangat diperlukan dan saling berperan dalam proses produksi untuk keberlangsungan kelompok secara keseluruhan. Perbedaan sosial tidak menyebabkan ketidakadilan.
Asal-usul penindasan terhadap kaum perempuan, jalin-jemalin dalam transisi dari masyarakat tak berkelas ke masyarakat berkelas. Proses inilah yang terus menjadi bahan penelitian dan diskusi di antara mereka yang berpandangan materialis-historis. Betapapun, secara mendasar telah diketahui dengan pasti, sebab utama penindasan terhadap kaum perempuan. Perubahan status sosial kaum perempuan berkembang sejalan dengan pertumbuhan corak produksi masyarakat dari bercocok-tanam, beternak, dan berburu; perkembangan dari pembagian kerja baru, kerajinan, dan perdagangan; kepemilikan pribadi terhadap modal dan keuntungan; dan perkembangan dari sistem yang memungkinkan umat manusia dimiskinkan oleh penghisapan atas pekerjaannya.
Dalam kondisi sosial-ekonomi seperti ini, dimana penghisapan terhadap manusia lain menjadi sebuah keuntungan oleh sebagian kecil orang saja, kaum perempuan – karena peranan mereka secara biologis dalam proses produksi (contohnya, produksi sosial untuk menjaga keberlangsungan sebuah generasi serta menciptakan generasi berikutnya) – kemudian menjadi sebuah benda berharga yang memiliki nilai. Seperti budak dan sapi perahan, mereka merupakan simbol dari kemakmuran.
Mengapa kapitalisme menindas kaum perempuan?
Kemampuan secara alamiah yang dimiliki kaum perempuan untuk menciptakan generasi baru itu pun ternyata begitu menakutkan. Pasalnya, generasi baru itu bisa saja di kemudian hari menjadi pemberontak-pemberontak terhadap sistem yang menindas. Kemudian, muncullah sistem perdagangan kaum perempuan, sejalan dengan berkembangnya institusi ekonomi dan sosial yang berdasarkan pada kepemilikan pribadi. Peran utama kaum perempuan pun makin terperosok sebagai pengasuh anak dan rumah tangga.
Begitulah, penindasan terhadap kaum perempuan tidak terjadi secara “alamiah.” Tetapi, karena sistem yang ada menginginkan hal ini terjadi. Dalam perkembangan masyarakat sebelumnya, kecuali pada masyarakat komunal primitif, peran seorang perempuan selalu dikaitkan dengan keluarga yang ia miliki dan seorang laki-laki sebagai “kepala” rumah tangganya. Dalam masyarakat seperti ini, keluarga memainkan peranan penting untuk mengatur pembagian kelas, memastikan bahwa kekayaan tidak ada bagi kemakmuran mereka dan memiskinkan kemanusiaannya.
Sistem keluarga pun pada akhirnya menjadi institusi yang menindas perempuan. Jika kita tilik dari asal katanya, family atau keluarga memang berasal dari bahasa Latin, famulus, yang berarti budak, dan familia, budak yang sepenuhnya mengabdi pada seorang tuan.
Keluarga dalam kapitalisme
Pada awalnya, kapitalisme memang tidak serta merta membuang hal-hal baik. Meningkatnya keuntungan dengan cepat pada sistem kapitalisme awal, dicapai berkat dipekerjakannya kaum perempuan dan anak-anak di pabrik-pabrik mereka. Tetapi, kapitalis pun kemudian segera belajar bahwa menempatkan perempuan di rumah dan melayani keluarga jauh lebih menguntungkan. Buruh domestik tanpa upah ini – istilah bagi kaum perempuan di rumah tangga yang memasak, bersih-bersih, mengasuh anak – hingga kini pun menjadi bagian yang sangat besar dalam masyarakat kita.
Dasarnya, kapitalisme membutuhkan tenaga kerja yang murah dari sistem keluarga yang mereka ciptakan. Bayangkan, berapa besar keuntungan kapitalis yang akan hilang jika perusahaan-perusahaan mereka menyediakan tempat pengasuhan anak dan makanan yang berkualitas!
Yang tak kalah pentingnya, keluarga juga mengabdi pada norma-norma sosial yang melekat pada sistem kapitalisme. Norma-norma yang kemudian menciptakan kebiasaan pada anak-anak untuk mematuhi penguasa, menghormati hal-hal yang bersifat superior, bersikap kompetitif dalam segala hal, menjadi yang “paling hebat” dan “selangkah lebih maju.” Kita saksikan, norma-norma ini telah menjadi pegangan bagi moral masyarakat. Sesuatu yang menindas dan menyalah-kaprahkan seksualitas, menjaga pandangan seksualitas demi “pembangunan sebuah keluarga”.
Pandangan inilah yang kemudian menabukan fakta sosial akan adanya kaum gay dan lesbian. Hanya mereka yang mencintai lawan jenis dianggap “alamiah” karena dari merekalah keluarga bisa dibangun. Sistem yang ada pun kemudian menghendaki kekakuan pandangan ini. Sehingga ekspresi seksual pun ditindas dan dikaburkan maknanya bagi anak-anak yang baru tumbuh. Bukan hal baru lagi jika seksualitas bagi kaum muda dianggap bakal menimbulkan dampak yang mengkhawatirkan, membahayakan, dan patut diwaspadai.
Unit keluarga dalam masyarakat kapitalis pun dikondisikan sebagai tempat berkumpulnya buruh. Kaum perempuan bisa saja sewaktu-waktu dijadikan tenaga kerja, seperti saat perang, dan kemudian bisa dengan sewaktu-waktu pula dikembalikan ke rumah “tempat asal mereka,” dimanapun sistem ini diterapkan. Penerapan secara luas ide-ide sexis pun diterapkan untuk memberikan kepada kaum perempuan pekerjaan yang sifatnya kreatif, dengan upah yang serendah-rendahnya.
Kaum perempuan: warga negara kelas dua
Ternyata, kapitalisme tidak memiliki rasa malu dalam mengembangkan cara memperoleh keuntungan. Sexisme yang telah mereka ciptakan kemudian dijadikan ajang untuk menjual “mitos kecantikan.” Kaum perempuan tidak hanya mencuci dan membersihkan rumah, mereka juga harus mengikuti perkembangan industri mode dan kecantikan. Kemudian, perempuan pun harus mengeluarkan banyak uang untuk menurunkan berat badan, meski hal itu bisa mempengaruhi kesehatan mereka, mereka harus berbelanja pakaian-pakaian yang tak ketinggalan jaman, parfum, potongan rambut, perhiasan, dan bahkan pakaian dalam terkini.
Hal seperti ini kemudian makin memantapkan sistem yang ada dengan menempatkan kaum perempuan menjadi objek, menjaga kaum perempuan tetap sebagai warga negara kelas dua. Bahkan, mereka tidak memiliki hak yang mendasar untuk mengontrol tubuh mereka sendiri (seperti aborsi dan hubungan seks).
Feminisme kemudian muncul untuk memperjuangkan persamaan hak bagi kaum perempuan, melawan ketidakadilan yang membuat kelas berkuasa mengambil keputusan dan berperan, yang kemudian memunculkan perlunya kesatuan aksi dari rakyat pekerja di seluruh dunia untuk melawan penindasan yang dimunculkan kapitalisme.
Dalam posisi inilah kaum sosialis memandang perlunya gerakan perempuan yang bukan bertujuan memusuhi laki-laki. Lebih dari itu, gerakan perempuan yang mesti lebih kritis memandang asal-usul munculnya penindasan terhadap mereka. Sebab, seperti telah disebutkan, kapitalismelah yang mesti dimusuhi sebagai sistem yang menjauhkan ketidakadilan. Kaum perempuan dan laki-laki sebagai kelas pekerja, sejatinya berada dalam penindasan yang sama.
Itulah mengapa cita-cita sistem yang adil dalam masyarakat sosialis tidak boleh melupakan pembebasan kaum perempuan. Seperti kata Lenin, kaum buruh tidak akan pernah mampu membebaskan dirinya dari jerat kapitalisme, tanpa lebih dulu membebaskan kaum perempuan dari ketertindasannya. Jadi, tanpa pembebasan kaum perempuan, sosialisme bagai panggang jauh dari api!
*J. Indra Wisudha adalah penulis untuk program olahraga di sebuah stasiun televisi swasta nasional.
http://indrawisudha.blogspot.com