Arianto Sangaji
Kompas, 17 Juli 2006
Komando Operasi Keamanan atau Koopskam mengakhiri tugasnya di Sulawesi Tengah, 4 Juli 2006, setelah bekerja enam bulan. Pertanyaannya, bagaimana masa depan Poso?
Pemerintah pusat membentuk institusi ini setelah terjadi berbagai kekerasan, seperti bom Tentena (28/5/2005), mutilasi tiga siswi (30/10/2005), bom Maesa Palu (31/12/2005), dan beberapa kekerasan lain. Koopskam dipimpin seorang perwira tinggi Mabes Polri berpangkat Inspektur Jenderal. Payung hukumnya adalah Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tentang percepatan pemulihan keamanan Poso.
Di luar kritik terhadap institusi ini, Koopskam dianggap sukses dalam dua hal.
Pertama, penangkapan Andi Azikin Suyuti (eks Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Tengah) dengan tuduhan korupsi dana bantuan pengungsi. Koopskam juga menangkap Aminuddin Ponulele, bekas Gubernur Sulawesi Tengah (2001-2006), dengan sangkaan sama.
Kedua, penangkapan sejumlah warga sipil yang menurut versi polisi terlibat beberapa kekerasan. Di antaranya, kasus mutilasi, bom Tentena, penembakan, dan perampokan bersenjata lainnya.
Kendati sukses, tidak ada jaminan masa depan Poso lebih aman. Indikasinya sudah terlihat, ketika pada akhir masa tugas Koopskam warga Poso dikagetkan dengan sejumlah kekerasan. Ada penembakan dan pengeboman di beberapa tempat di Kota Poso. Kendati tidak memakan korban jiwa, peristiwa itu mengisyaratkan tetap adanya ancaman kekerasan di sana.
Kegagalan
Pesimisme itu berpangkal dari kegagalan aparat keamanan mengungkap aktor dan motif di balik kekerasan. Penyebabnya, aparat keamanan menganggap kekerasan Poso sebagai problem antarkomunitas. Padahal, merupakan kombinasi antara kekerasan yang melibatkan masyarakat, aparat keamanan, birokrasi sipil, politisi, dan pengusaha. Motifnya beragam, mulai dari kemarahan korban, eksploitasi terhadap doktrin agama yang keras, hingga eksploitasi atas hal itu untuk menarik keuntungan ekonomi dan politik dari kekerasan.
Kegagalan, baik karena ketidakmampuan maupun ketidakmauan, memberi citra buruk aparat keamanan. Di mata sebagian warga, kekerasan dipandang sebagai upaya melanggengkan citra Poso sebagai daerah tidak aman. Karena itu, aparat keamanan dianggap hendak menarik keuntungan dari berbagai operasi pemulihan keamanan, baik secara personal maupun institusional.
Bom waktu
Karena itu, sebuah penyelesaian kekerasan secara tuntas memerlukan pendekatan lain. Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Independen (TGPFI) menjadi urgen karena menggunakan titik pandang berbeda tentang kekerasan Poso. Bahwa aktor dan motif di balik kekerasan lebih rumit dari sekadar kekerasan antarkomunitas.
Masa depan keamanan Poso juga tergantung beberapa hal pokok yang justru merupakan bom waktu. Pertama, adanya diskriminasi penanganan kasus kekerasan. Banyak muncul komplain di tengah warga dalam penuntasan sejumlah kasus. Mereka mempersoalkan penegakan hukum dalam kasus tertentu, tetapi menutup-nutupi kasus lain.
Situasi ini berpotensi menyulut kekerasan baru. Warga yang merasa tidak mendapat perlakuan adil, mudah dieksploitasi untuk terlibat kekerasan baru.
Kedua, pemerintah belum menyentuh masalah sosial dan ekonomi. Paling menonjol, “balkanisasi” Poso. Kini kota Poso identik dengan penduduk beragama Islam dan Kota Tentena dengan warga Kristen. Segregasi berlanjut karena para pengungsi memilih tidak kembali ke kampungnya. Mereka menghadapi problem rendahnya jaminan rasa aman. Juga problem rekonstruksi karena dana yang dialokasikan untuk mereka telah dikorupsi aparat birokrat.
Hal lain adalah hak keperdataan pengungsi. Karena, tetap bertahan di tempat pengungsian, banyak di antara hak milik (tempat tinggal dan tanah pertanian) pengungsi jatuh di bawah penguasaan pihak lain. Baik melalui mekanisme jual beli dengan harga di bawah harga pasar maupun pendudukan atau pemanfaatan hasil pertanian secara sepihak.
Di luar itu, aktivitas ekonomi merupakan soal besar. Kekerasan mengakibatkan perekonomian lumpuh. Akibatnya, banyak di antara kaum muda yang menganggur. Repotnya, sebagian di antara mereka adalah eks kombatan yang terlatih dalam kekerasan.
Segregasi, hak-hak keperdataan, dan pengangguran menjadi soal serius. Eksploitasi terhadapnya berpotensi memicu kekerasan baru. Sudah saatnya pemerintah khusus memerhatikan masalah ini, sama pentingnya dengan aspek keamanan.
Ketiga, penyelesaian masalah korupsi dana bantuan. Sebelum adanya Inpres No 14/2005, korupsi dana bantuan pengungsi merajalela tanpa tersentuh hukum. Masalahnya, aparat penegak hukum tercemari dalam jejaring korupsi. Juga karena korupsi melibatkan dan mendapat proteksi politik dari para pejabat. Teror juga dipakai untuk melanggengkan praktik ini.
Inpres No 14/2005 dipandang sebagai rahmat karena dapat menyeret dua mantan pejabat di Sulawesi Tengah sebagai tersangka. Tetapi, sangkaan korupsi itu hanya berhubungan dengan dua item dana bantuan senilai Rp 20 miliar. Padahal, korupsi besar-besaran justru terjadi dalam item dana bantuan sekitar Rp 180 miliar. Masa depan penanganan korupsi dana sebanyak itu yang diragukan karena pengalaman buruk. Bagaimanapun, penanganan kasus ini menjadi penting karena kasus-kasus korupsi kerap terkait serangkaian kekerasan Poso.
Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mengambil alih penanganan kasus itu. Pertimbangannya, korupsi dana bantuan pengungsi tergolong kasus luar biasa, baik jumlah maupun modus operandinya.