Istilah kuasa lunak (soft power) telah dipopulerkan sejak penghujung 1980 oleh Joseph S Nye Jr, guru besar Kennedy School of Government Universitas Harvard, Amerika Serikat . Dalam dua karyanya, Bound to Lead (1990) dan The Paradox of American Power (2001), Nye lalu mengembangkan ide kuasa lunak ini dan bagaimana relevansinya dengan Amerika.
Tetapi, penjelasan Professor Nye yang lebih terperinci mengenai kuasa lunak ditulisnya secara menarik dalam “Soft Power: The Means to Success in World Politics” (2004). Dalam buku tersebut Nye mendefinisikan “dimensi ketiga” kuasa ini sebagai kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni kemampuan memikat pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya. Dalam buku itu Nye, yang pada masa pemerintahan Bill Clinton menjabat sebagai Asisten Sekretaris Pertahanan, menyebutkan, kuasa lunak suatu negara terdapat terutama dalam tiga sumber: kebudayaan, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negerinya.
Perbedaan antara kuasa lunak dan kuasa keras (hard power) dapat dilihat dalam tiga hal: ciri, instrumen dan implikasinya. Kuasa lunak berciri mengkooptasi dan dilakukan secara tidak langsung, sedangkan kuasa keras bersifat memaksa/memerintah dan diopersikan secara langsung. Instrumen kuasa lunak berupa nilai, institusi, kebudayaan, kebijakan, sementara kuasa keras antara lain militer, sanksi, uang, suap, bayaran. Karenanya, tidak seperti kuasa lunak yang berimplikasi mengkooptasi, kuasa keras kerap mengundang lahirnya perlawanan.
Afirmasi kita terhadap demokrasi, kebebasan, hak-hak asasi manusia, keterbukaan, misalnya, adalah bukti bahwa kita telah terkooptasi pada nilai-nilai yang acap dikampanyekan Barat itu. Tak ada yang salah, sebab kita memang memandang nilai-nilai tersebut sebagai “kodrat” masyarakat modern. Kita juga memuji etos kerja masyarakat Barat secara umum, mengakui disiplin masyarakatnya, menyadari efisiensi sistem birokrasinya; dan kita pun berupaya meniru (mimikri) mereka. Citra Barat yang melekat di benak kita yang demikian itu adalah kuasa lunak Barat atas kita.
Amerika, selain dengan budayanya yang telah masyhur di penjuru “kampung global”, kerap mencuri hati masyarakat dunia dengan demokrasi. Sebagian besar penghuni bumi pun terpikat nilai demokrasi ini. Layaknya Alexis de Tocqueville di abad ke-19 yang terpesona oleh “demokrasi di Amerika,” sebagian besar mereka yang pernah studi di Amerika cenderung akan “terseduksi” negeri Paman Sam itu.
Mantan menteri luar negeri (secretary of state) AS, Colin Powell, pernah mengakui kenyataan ini. Menurutnya, proses pertukaran budaya lewat program beasiswa belajar merupakan aset yang besar bagi negerinya, terutama sebagai sarana menjadikan para “alumni Amerika” itu sebagai “diplomat Amerika” kelak (Nye, 2004: 44). Tokoh politik Prancis, Hubert Vérdin dan Dominique Moisi, dalam “France in an Age of Globalization” (2001) juga mengakui “efek Tocqueville” dalam program beasiswa ini, yang menjadikan Amerika mudah menciptakan hasrat-hasrat masyarakat dunia melalui citra globalnya.
Penyebaran hasrat dan upaya penciptaan citra juga dilakukan pusat-pusat kebudayaan asing di negeri kita, seperti CCF (Prancis), Goethe Institut (Jerman), British Council (Inggris), atau Erasmus Huis (Belanda). Pusat-pusat kebudayaan ini merupakan sekian di antara lembaga asing yang berkepentingan menyosialisasikan budaya, seni, citra, nilai, dan kebijakan negerinya kepada masyarakat kita. Dengan berbagai cara, lembaga-lembaga ini melakukan “seduksi budaya”: kursus bahasa, pemutaran film, pertunjukan seni, pemberian beasiswa, dsb. Sementara agenda politik dan tekanan kebijakan diperankan lembaga-lembaga penyandang dana.
Dalam memperbaiki citranya di negeri ini, sejak 2004 pemerintah Amerika “menyusup” dengan membuka ruang khusus perpustakaan, “American Corner”, di beberapa perguruan tinggi penting: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (Jakarta), Universitas Indonesia (Depok), Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), UIN Walisongo (Semarang), UIN Sumatera Utara (Medan), Universitas Muhammadiyah (Malang), Universitas Airlangga (Surabaya), dan Universitas Hasanuddin (Makasar).
“Perpus Bush”itu menyediakan buku, majalah, internet, bahan-bahan audio-visual dan sumber-sumber sambungan langsung (online database) yang berkaitan dengan informasi terkini mengenai Amerika dan relasinya dengan Islam, tentang pemerintahan Amerika, dan seputar kehidupan masyarakat di Amerika. Upaya ini tak lebih dari hegemoni yang tak henti-hentinya dilakukan Amerika, meski tentu saja manfaat penggunaan perpus itu tetap bergantung pada kita.
Bagaimanapun, Amerika sadar bahwa citranya di mata internasional kini tengah memburuk. Memang, seperti dinyatakan Nye, kuasa lunak suatu negara tidaklah konstan; ia terus-menerus fluktuatif dan tak stabil. Kuasa lunak dan citra Amerika saat ini, seperti tampak dalam setiap jajak pendapat dan survey mutakhir, kini kian memudar bahkan mundur kembali hingga pada tingkat masa Perang Vietnam. Keputusan Bush yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto tentang pemanasan global, yang karenanya ia diledek sebagai ” Toxic Texan” (orang Texas beracun), serta invasinya ke Irak, adalah di antara citra yang melunturkan daya pikat Amerika.
“Saat ini,” demikian Nye menutup pengantar bukunya, “kuasa yang cerdas bukanlah yang lunak ataupun yang keras, melainkan gabungan keduanya .” Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa memproduksi serta merawat kekuasaan membutuhkan biaya dan energi yang amat besar. Dan kita menyaksikan Amerika, melalui lembaga-lembaga penyandang dananya, program “American Corner”, “Voice of America”, beasiswa Fulbright, dll, terus-menerus berupaya mencipta serta merawat kuasa lunaknya.
Fahmi Panimbang , aktivis Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Bogor; mengasuh jurnal kajian perburuhan SEDANE.
Fahmi Panimbang