Diskusi Lingkar Muda Indonesia
Kalau ada kata yang mampu merumuskan rasa mayoritas warga tentang Indonesia, kata itu adalah “prihatin”. Bayangkan, sewindu reformasi belum juga tampak tanda-tanda Indonesia menepi dari keterpurukan. Yang terjadi justru sebaliknya, ketidakjelasan arah dan agenda kebangsaan. Tidak mengherankan kalau belakangan ini beragam unjuk keprihatinan mendominasi ruang publik.
Salah satu wujud keprihatinan datang dari kaum muda yang menamakan diri Lingkar Muda Indonesia (LMI). Namanya memang baru, tetapi sejatinya gerakan kaum muda ini adalah wujud konsolidasi dari kelompok muda NU, Muhammadiyah, akademisi, dan Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) dalam menyikapi situasi yang berkembang di negeri ini.
Di saat massa rakyat menggelar pawai budaya Bhinneka Tunggal Ika di jalanan Ibu Kota pada 22 April 2006 di Bentara Budaya Jakarta, kaum muda itu membaca dan menyuarakan Indonesia dari sudut lain.
Duduk Soal
Indonesia dikaruniai kekayaan alam dan kekayaan budaya, bahasa, adat istiadat, agama, etnis, dan berbagai komponen keberagaman lainnya. Bukannya mendatangkan rahmat dan kesejahteraan, dalam banyak hal kekayaan itu justru menjadi sumber bencana. Limpahan kekayaan itu tampaknya belum dijadikan modal Indonesia untuk bangkit dari krisis.
Yang terjadi, di tengah limpahan kekayaan yang sepantasnya disyukuri, utang negara menumpuk, busung lapar meluas, pemiskinan meningkat, korupsi dan pengangguran kian telanjang, hukum dan pelayanan sosial diperdagangkan, serta berbagai kelompok masyarakat saling berhadapan dan bertikai atas nama agama, etnis, dan kepentingan kelompok. Mayoritas rakyat dipaksa menanggung beban berat salah urus negara sedemikian rupa sehingga Indonesia sebagai entitas politik dan cita-cita hidup bersama semakin kehilangan makna dan relevansinya.
Dalam paparannya, kaum muda itu membaca adanya dua kekuatan dengan kecenderungan fundamentalis, yang mengancam keberlangsungan hidup bersama yang disebut Indonesia.
Pertama, kekuatan korporasi global dengan fundamentalisme pasarnya tengah melahirkan pemiskinan, ketidakadilan sosial, pendangkalan hidup, penyeragaman, dan mengancam kedaulatan negara lewat jebakan utang dan kesepakatan global yang tak adil. Kekuasaan korporasi global telah melumpuhkan kekuasaan negara dan pemerintahan.
Pemerintah sebagai lembaga utama negara semakin kehilangan kapasitas untuk mengurus kepentingan publik. Pemerintah juga kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan melindungi rakyat dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi. Yang terjadi, kebijakan pemerintah cenderung memihak dan melayani yang kuat.
Kedua, di tengah melemahnya kekuasaan negara, kekuatan kelompok sektarian mengambil kesempatan untuk menjalankan agenda politiknya dengan paksaan. Yang memprihatinkan, agenda politik yang didesakkan kelompok-kelompok ini kurang relevan dan tak menjawab masalah mendasar yang tengah dihadapi mayoritas rakyat negeri ini, yaitu meluasnya pemiskinan, pengangguran, kelaparan, korupsi, wabah penyakit, kerusakan alam, dan beragam bencana lainnya. Selain tak menjawab masalah mendasar yang dihadapi mayoritas rakyat, agenda politik kelompok sektarian juga bertentangan dengan prinsip keindonesiaan.
Bentuk regulasi
Hadirnya berbagai bentuk regulasi yang mengutamakan nilai moral kelompok tertentu, baik dalam skala lokal maupun nasional, maraknya tindak kekerasan dengan mengatasnamakan nilai- nilai agama, konflik horizontal antarkelompok berlabel agama, etnis, dan golongan, merupakan indikasi adanya kekuatan fundamentalisme kelompok sektarian.
Dua kekuatan fundamentalisme itu sama-sama menjalankan agenda “pemurnian”. Di satu sisi, korporasi global yang menjarah kekayaan alam dan memandang Indonesia hanya sebagai pasar terus dan akan terus menjadikan kelompok miskin sebagai tumbal praktik fundamentalisme pasar. Sementara praktik fundamentalisme kelompok sektarian cenderung memerangi individu dan kelompok yang dinilai tak bermoral, menyimpang, murtad, berbeda keyakinan, aliran, dan pandangan.
Kedua kekuatan itu abai terhadap masalah hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Keduanya juga mengingkari cita-cita Indonesia yang dibangun demi kesejahteraan seluruh rakyat berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Kebingungan publik
Dalam seruannya, kaum muda itu menyesalkan bahwa dua kekuatan fundamentalisme itu telah menciptakan situasi dilematis bagi bangsa ini. Fundamentalisme kelompok sektarian cenderung merampas hak-hak privat dari kehidupan sosial, sementara fundamentalisme pasar cenderung mengabaikan hak-hak publik di bidang ekonomi dengan melemparkan perkara publik menyangkut hidup mati rakyat menjadi urusan privat individual. Yang satu menekankan komunalisasi dan menepikan subyek, yang lain menekankan individualisasi dan mengabaikan kesosialan.
Fundamentalisme kelompok sektarian cenderung menekankan dan memaksakan satu sistem nilai moral yang tak dapat ditawar bahkan oleh mereka yang tidak menganutnya. Sementara fundamentalisme pasar cenderung mengabaikan nilai-nilai moral mana pun. Pendek kata, kedua kekuatan fundamentalisme itu sama-sama menggilas ruang publik yang bercirikan keberagaman. Yang satu menggilas ruang publik dengan menyerap yang privat, yang lain dengan mengabaikan yang publik. Pada akhirnya keduanya sama-sama melahirkan penyeragaman dan karenanya harus dilawan.
Masalahnya, dalam kondisi serba terbatas sekarang ini, mana yang mesti dilawan duluan? Melawan kekuatan yang satu berarti membiarkan kekuatan yang lain terus berkuasa dan meremuk hidup bersama. Sementara melawan keduanya sekaligus, energi yang dibutuhkan terlalu besar. Terlebih dalam situasi masyarakat terfragmentasi ke dalam berbagai kelompok, golongan, dan kepentingan politik seperti sekarang ini.
Entah fundamentalisme pasar atau fundamentalisme kelompok sektarian, orang-orang kecillah yang selalu dan lebih dulu menjadi korban. Bisa dibayangkan, kehidupan macam apa yang akan dihadapi orang-orang kecil di negeri ini seandainya dua kekuatan itu terus membayangi hidup bersama bangsa ini. Sekarang ini saja kita sudah bisa membaca apa dampak dari berlangsungnya dua kekuatan itu di negeri ini.
Kebijakan pemerintah yang banyak didikte oleh kekuatan kapitalisme global dan karenanya tidak berpihak kepada kepentingan dan potensi rakyat semakin mempersempit ruang hidup rakyat kecil. Pada saat yang sama, pemerintah—atas desakan kekuatan fundamentalisme kelompok sektarian—membuat berbagai aturan menyangkut soal moral, kesusilaan, dan ketakwaan warga, yang mengarah bukan pada perlindungan rakyat kecil dari pemiskinan dan kekerasan, tetapi cenderung memosisikan kelompok miskin, khususnya perempuan, sebagai akar masalah dari krisis mendalam yang dihadapi bangsa ini. Krisis mendalam yang berakar pada salah urus negara ditanggapi sekadar persoalan kebertubuhan. Di banyak kasus, aparat negara juga membiarkan kelompok-kelompok sektarian itu melakukan pemaksaan dan tindak kekerasan terhadap mereka yang berbeda pendapat dan keyakinan. Padahal, prinsip negara hukum tak membiarkan siapa pun bertindak anarki.
Dihadapkan pada kekuatan kapitalisme global, agenda kelompok sektarian yang cenderung fundamentalis itu terbukti tidak menyentuh problem mendasar yang dihadapi bangsa ini, seperti utang, korupsi, penjarahan kekayaan alam oleh kekuatan asing, pemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, dan masalah mendasar lainnya. Dengan memaksakan agendanya itu, kekuatan fundamentalisme kelompok sektarian, sengaja atau tidak, telah membiarkan bangsa ini menjadi bulan-bulanan korporasi global yang memperluas kekuasaannya lewat agenda utang dan kesepakatan global. Korporasi global dengan leluasa menguasai negeri ini karena pemiliknya tengah berkonflik, bertikai, dan sibuk mengurus tetek bengek persoalan.
Orde Baru
Kita mestinya belajar banyak dari salah urus negara oleh pemerintahan Orde Baru yang selama ini memaksakan penyeragaman. Padahal, penyeragaman jelas melawan hukum alam dan hukum Tuhan. Penyeragaman, apa pun modus dan intensinya, hanya akan mendatangkan bencana dalam berbagai rupa: pemiskinan, konflik, renggangnya ikatan sosial, dan pada akhirnya disintegrasi bangsa.
Pada titik inilah Lingkar Muda Indonesia membaca, kita sekarang tengah dihadapkan pada ancaman riil raibnya hidup bersama yang disebut Indonesia.
“Negara sudah keropos dijarah korporasi global, kini jangan biarkan negara dibuat semakin keropos oleh agenda kelompok sektarian yang memaksakan penyeragaman,” demikian seruan yang diangkat Lingkar Muda Indonesia.
Sebuah Ajakan
Setelah membaca peta masalah yang tengah dihadapi bangsa ini, lalu apa yang ditawarkan kaum muda itu? Kaum muda yang datang dari berbagai kelompok sosial itu setidaknya telah memulai langkah konsolidasi. Langkah ini sekaligus menjadi ajakan bagi seluruh komponen bangsa untuk sama-sama berkonsolidasi. Konsolidasi saja tentu tidaklah cukup bila tanpa disertai dengan tindakan konkret kerja bersama untuk mengurai keruwetan yang diderita bangsa ini.
Kerja sama di tengah situasi mengembangnya saling curiga dan menipisnya saling percaya tentu tak mudah. Karena itu, kaum muda itu mengajak seluruh komponen bangsa menemukan kembali nilai-nilai bersama yang memungkinkan dan mendorong setiap kelompok bersedia berkorban berdasarkan sudut pandang “demi kepentingan hidup bersama” dalam wadah Indonesia. Untuk itu, Lingkar Muda Indonesia memandang dekonstruksi dan revitalisasi keindonesiaan sebagai sebuah keniscayaan. Melalui dekonstruksi ini, visi keindonesiaan didekonstruksi/dibongkar, digali, dan didefinisikan kembali dalam konteks tantangan global. Mana yang usang ditinggalkan, yang relevan direvitalisasi.
Dalam seruannya, kaum muda itu menilai dekonstruksi dan revitalisasi keindonesiaan bisa dan semestinya dimulai oleh beberapa komponen vital, seperti:
* Pemimpin dan segenap aparat lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif di antaranya mulai tidak menjadikan birokrasi, parlemen, dan pengadilan sebagai lahan korupsi untuk memperkaya diri, kelompok, dan partai.
* Pemimpin dan tokoh agama, di antaranya mulai bersikap konsisten dalam mewujudkan agama sebagai pembawa rahmat bagi kehidupan; penghilang ketimpangan, ketidakadilan, dan kemiskinan; pembawa kebajikan dan perdamaian, serta tak mengedepankan agama dogmatis yang menghakimi dan memvonis pihak lain.
* Para pemimpin ormas, kelompok profesi, mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya, di antaranya menjadikan diri sebagai penjaga cita-cita reformasi dan kekuatan yang berpihak kepada rakyat lemah.
* Para pendidik dan pengelola lembaga pendidikan, di antaranya menjadikan diri sebagai pelopor pencerdasan bangsa dalam membentuk generasi muda yang berkarakter, cerdas, menghargai nilai-nilai keberagaman, hak asasi, dan demokrasi;
* Pemilik dan pengelola media massa, di antaranya mengambil peran dan tanggung jawab lebih sebagai media pendidikan bagi masyarakat, khususnya generasi muda.
* Pelaku bisnis, di antaranya menjunjung etika, terlibat aktif dalam memerangi korupsi dan pengentasan kemiskinan serta dalam penyelesaian utang swasta yang membebani negara.
Akhir kata, Einstein pernah bilang, ada dua hal yang tidak terbatas: alam raya dan kebodohan manusia. Tentang yang pertama, Einstein tidak yakin. Artinya, kebodohan manusialah yang menurut dia tidak terbatas. Karena itu, mari kita memulai langkah konsolidasi melawan segala bentuk kekuatan yang membodohi dan melahirkan kebodohan.
Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights, Peserta Program Pascasarjana STF Driyarkara
Kompas, 22 Mei 2006