Membicarakan masalah utang luar negeri (ULN), seolah tak ada habisnya. Sebabnya, karena kian lama tak kunjung muncul kebijakan yang bertujuan mengurangi beban ULN ini dalam struktur anggaran belanja negara. Bahkan yang terjadi, ULN terus menumpuk dan sebagian dari tumpukan itu digunakan untuk membayar ULN beserta bunganya (debt trap).
Tapi, bisakah Indonesia keluar dari jebakan ULN? Adakah alternatif pembiayaan pembangunan selain ULN? Mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, mewawancarai Revrisond Baswir, penulis-aktivis dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.
IndoProgress (IP): Saat ini tuntutan untuk penghapusan utang luar negeri (ULN) negara-negara kapitalis terbelakang, semakin kuat. Bisakah bung menjelaskan rasionalitas di balik tuntutan itu?
Revrisond Baswir (RB): Rasionalitas tuntutan itu pada dasarnya terletak pada semakin besarnya angsuran pokok dan bunga utang yang harus dibayar oleh negara-negara kapitalis pinggiran tersebut. Sementara kemampuan mereka untuk membayarnya, dari sisi anggaran atau cadangan devisa, cenderung semakin terbatas. Akibatnya, di tengah-tengah kesenjangan ekonomi yang semakin menganga secara internasional, rezim-rezim kapitalis pinggiran cenderung semakin terjepit antara melayani kepentingan modal internasional atau memenuhi kewajiban mereka kepada rakyatnya masing-masing.
Kenyataan tersebut diperparah oleh sejumlah fakta lain seperti: (a) keterlibatan negara-negara kreditor dalam memompa pemberian utang, termasuk dengan cara-cara manipulatif seperti dikemukakan Perkins (2004); (b) pembuatan utang oleh sebuah rezim diktator dan korup, yaitu yang bermuara pada lahirnya konsep utang najis (odious debt); dan (c) dialaminya krisis ekonomi oleh negara-negara kapitalis pinggiran tersebut.
IP: Dalam konteks Indonesia, sejauh mana relevansi tuntutan penghapusan ULN?
RB: Sangat relevan. Lebih-lebih masalah utang najis sudah dialami Indonesia sejak negara ini memperoleh pengakuan kedaulatan dari masyarakat internasional. Sebagaimana diketahui, salah satu isi kesepakatan KMB adalah pelimpahan utang luar negeri Hindia Belanda kepada kepada Republik Indonesia. Sehubungan dengan utang luar negeri rezim Soeharto, Bank Dunia bahkan sudah mengakui secara terbuka bahwa sekitar 30 persen utang luar negeri Indonesia tidak sampai ke tangan rakyat.
IP: Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang telah terkait sangat erat dengan sistem kapitalisme global, apakah mungkin ada alternatif pembiayaan lain di luar ULN?
RB: Soal ini harus diletakkan dalam konteks dilakukannya proses sistematis untuk mengurangi keterkaitan dengan kapitalisme global. Sebagai misal, dengan melakukan gerakan nasional pengurangan impor secara besar-besaran. Sedangkan alternatif pembiayaannya, antara lain, dapat digali dengan meninjau ulang kontrak-kontrak pertambangan dengan perusahaan-perusahaan pertambangan asing.
IP: Sejauh mana alternatif itu bisa menopang sistem ekonomi yang sudah sedemikian tergantung ini? Misalnya, dalam konteks bisnis internasional, sejauh mana alternatif itu kredibel di mata investor?
RB: Alternatif itu bukan untuk menopang sistem ekonomi yang tergantung. Melainkan untuk mengoreksinya. Termasuk untuk mengoreksi keberadaan investor (asing) dalam pengembangan ekonomi Indonesia.
IP: Sebagai masalah struktural, keberadaan ULN tentu saja berkait erat dengan masalah politik. Menurut bung, rejim politik seperti apa yang berani memutuskan untuk menghapus ULN?
RB: Rejim politik yang secara ideologis ingin menegakkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Artinya, secara internasional ia secara sistematis berusaha memerdekakan Indonesia dari neokolonialisme dan imperialisme Amerika. Sedangkan secara domestik, ia secara jelas bermaksud mengoreksi struktur ekonomi kolonial yang diwarisi Indonesia dari Hindia Belanda.
IP: Berhubungan dengan soal politik ini, ketika banyak aktivis gerakan sosial berposisi non-partisan, bagaimana bung melihat efektivitas tuntutan penghapusan ULN?
RB: Efektifitas tuntutan penghapusan utang sama sekali tidak tergantung pada posisi non-partisan para aktivis gerakan sosial. Melainkan pada garis ideologi, tingkat radikalisme, jumlah, serta kemampuannya untuk membangun sinergi dengan berbagai komponen masyarakat lainnya. Selain itu, hal tersebut juga sangat tergantung pada faktor obyektif yang melatarbelakangi meningkatnya urgensi untuk merealisasikan tuntutan tersebut.