BULAN Februari, adalah bulan bersejarah dalam sejarah gerakan kiri-radikal di seluruh dunia. Di bulan itu, pada 1848, terbit sebuah dokumen ringkas, yang ditulis dengan bahasa yang sangat indah, menggerakkan, dan penuh harapan bagi kaum tertindas di seluruh dunia. Itulah, Manifesto Partai Komunis. Inilah dokumen yang popularitas dan pengaruhnya pada umat manusia mungkin hanya kalah dari kitab suci agama-agama besar dunia.
Kini setelah lebih dari dua abad, khususnya setelah runtuhnya tembok Berlin dan rejim Stalinis Eropa Timur, bagaimana relevansi Manifesto ini pada kehidupan sekarang? Akankah ia tetap menjadi rujukan bagi sebuah gerakan yang menghendaki dunia baru yang lebih egaliter? Untuk mengetahui hal tersebut, Coen Husain Pontoh dari IndoProgress, berbincang dengan Hilmar Farid (akrab disapa Fay), seorang sejarawan dan aktivis gerakan sosial. Berikut petikannya:
IndoProgress (IP): Pada Februari 1848, untuk pertama kalinya Manifesto Komunis diterbitkan di London, Inggris. Sejak itu, Manifesto merupakan salah satu dokumen yang paling laris dan paling mempengaruhi pemikiran manusia. Kini, setelah dua abad lebih, menurut bung masihkah relevan membicarakan Manifesto?
Hilmar Farid (HF): Setidaknya ada dua hal yang membuat karya itu tetap relevan. Pertama, seperti Bung sendiri katakan, Manifesto adalah salah satu dokumen paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran, khususnya zaman modern. Memang benar. Pengaruhnya tidak hanya pada gerakan komunis dan sosialis, tapi juga gerakan anti-kolonial di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Saya kira Manifesto adalah salah satu dari sedikit naskah dalam sejarah pemikiran yang mendapat perhatian begitu luas, baik dari mereka yang mendukung maupun mengkritik isinya. Dari segi ini, sampai kapan pun saya kira Manifesto tetap relevan dibicarakan.
Pengaruhnya tidak hanya pada gerakan komunis dan sosialis, tapi juga gerakan anti-kolonial di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.
Kedua, karena isinya. Dalam naskah ini Marx berbicara tentang premis-premis dasar dari sistem kapitalis, tentang munculnya borjuasi dan proletariat, ekspansi kapitalisme ke seluruh pelosok dunia dan kontradiksi dalam sistem itu yang memungkinkan terjadinya perubahan. Dunia sekarang tentu jauh lebih kompleks dari zaman Marx, tapi premis dasar mengenai sistem kapitalis yang disebutnya dalam Manifesto tetap berlaku sampai sekarang. Bahkan kalau dibaca dengan teliti, banyak hal yang dikatakan dalam Manifesto mungkin lebih relevan bagi zaman sekarang daripada zaman Marx sendiri. Uraiannya tentang industri modern yang menegakkan pasar dunia, dan kaum borjuasi yang menyebar dan bersarang di seluruh penjuru dunia lebih cocok untuk melihat keadaan dunia sekarang daripada zamannya sendiri.
IP: Ketika membicarakan pengaruh Manifesto, kita bisa menempatkan Manifesto pada masa pra keruntuhan Tembok Berlin dan pasca keruntuhan tembok Berlin. Pada masa pra keruntuhan, Manifesto tidak hanya menjadi dokumen ilmiah tapi juga sekaligus merupakan dokumen politik. Tapi, setelah pasca keruntuhan, ada yang berpendapat bahwa Manifesto relevan hanya sebagai dokumen ilmiah. Bagaimana pendapat bung?
HF: Saya tidak begitu mengerti pembedaan itu. Bagi saya Manifesto adalah dokumen politik yang bersandar pada penjelasan ilmiah. Lagipula mana ada dokumen yang semata-mata ilmiah? Saya kira teori kritis mengajar pada kita bahwa segala sesuatu itu politis sifatnya. Laporan IMF misalnya, yang selalu berpretensi ilmiah dengan tabel dan grafik, tidak lain dari dokumen politik. Jadi pembedaan itu mungkin tidak banyak gunanya. Tapi kalau yang ingin dikatakan adalah bahwa Manifesto kehilangan relevansinya karena kegagalan sistem sosialis di Eropa Timur, maka itu sama dengan mengatakan bahwa Injil bertanggung jawab atas keterlibatan gereja Katolik dalam holocaust di Eropa. Saya kira para jenderal Soviet yang memerintahkan invasi ke Hungaria pada 1956 tidak dipandu oleh Manifesto, begitu juga Partai Komunis Cina tidak merujuk pada Manifesto saat mengizinkan borjuasi masuk dalam jajaran pemimpin partai.
IP: Paska keruntuhan intelektual neokonservatif semacam Francis Fukuyama mendeklarasikan kemenangan kapitalisme. Padahal, Manifesto berpendapat kapitalisme bukanlah akhir sejarah. Bagaimana komentar bung soal ini?
HF: Yang membuat sosialisme identik dengan Tembok Berlin kan kaum liberal-konservatif sendiri, dan kita tahu bahwa itu tidak benar. Ada banyak gerakan dan praktek anti-kapitalis di luar Eropa Timur atau Uni Soviet. Deklarasi kemenangan itu menurut saya murni sebuah pernyataan politik untuk menegakkan hegemoni Amerika Serikat, yang tidak ada dasarnya. Tentu Fukuyama tahu bahwa masih ada Kuba, Vietnam, Cina, Korea Utara, beberapa pemerintahan lokal berhaluan kiri di India, belum lagi walikota komunis di Prancis, Italia, di samping puluhan juta anggota partai komunis, organisasi massa kiri di seluruh belahan dunia. Jadi, hanya kepentingan propaganda ideologi yang membuat dia mengabaikan fakta-fakta ini dan mengatakan bahwa kapitalisme adalah akhir dari sejarah. Dan saya kira kaum neokonservatif sekarang tidak lagi seyakin Fukuyama soal ‘kemenangan kapitalisme’ dan mulai lebih terbuka bicara tentang krisis dan kekacauan dalam sistem yang mereka bela.
Marx sendiri saya kira tidak pernah berbicara tentang ‘akhir sejarah’. Manifesto memang ditulis dengan nada profetis, dan mengatakan bahwa perjuangan kelas sepanjang sejarah ini, bisa berakhir “either in a revolutionary re-constitution of society at large, or in the common ruin of the contending classes.” Rosa Luxemburg kemudian menerjemahkannya, bahwa kontradiksi kelas bisa berujung pada sosialisme atau kebiadaban (barbarism). Kalau melihat apa yang terjadi pada planet ini dari segi lingkungan hidup, saya kira Marx maupun Luxemburg banyak benarnya. Tapi bagi Marx seperti tercermin dalam Manifesto yang terpenting bukanlah meramal apa yang akan terjadi pada dunia, tapi memahami untuk mengetahui strategi mengubahnya.
…yang terpenting bukanlah meramal apa yang akan terjadi pada dunia, tapi memahami untuk mengetahui strategi mengubahnya.
IP: Manifesto menyatakan bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Apakah menurut bung tesis ini masih relevan saat ini?
HF: Saya kira dalam 158 tahun terakhir, setelah Manifesto diterbitkan, perjuangan kelas justru semakin hebat dari sebelumnya. Memang ada orang yang menganggap bahwa kelas tidak lagi signifikan karena ada banyak identitas ‘lain’ yang ternyata menggerakkan orang, seperti ras, gender, atau etnik. Saya setuju bahwa kita tidak boleh mereduksi segala sesuatu semata-mata menjadi persoalan kelas, tapi kalau bicara tentang perubahan tatanan sosial dan ekonomi seperti feodalisme dan kapitalisme, saya kira perjuangan kelas tetap merupakan persoalan sentral.
IP: Menurut Manifesto, dalam kapitalisme terjadi penyederhanaan kelas yakni kelas borjuis dan kelas proletariat. Kenyataannya, pembagian kelas tidak sesederhana itu karena dalam kapitalisme borjuasi kecil tetap eksis dan tidak lenyap dihantam oleh borjuasi besar. Bahkan di negara kapitalis maju seperti AS, borjuasi kecil justru eksis atas dukungan dari borjuasi besar. Bagaimana komentar bung soal ini?
HF: Marx bukan bicara tentang penyederhanaan tapi polarisasi kelas. Dalam karya-karya lain cukup jelas ia tidak mengabaikan adanya kelas dan lapisan lain di luar borjuasi dan proletariat. Tapi kapitalisme sebagai sistem membuat alat produksi untuk expanded reproduction of capital terpusat di tangan segelintir orang dan sekaligus memaksa orang lain (karena kehilangan alat produksinya) menjual tenaga kerja untuk bertahan hidup. Itu adalah prinsip dasar bekerjanya sistem kapitalis, dan data-data yang ada juga menunjang pernyataan itu. Laporan UNDP beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa dalam 30 tahun terakhir kemakmuran dunia semakin terpusat di tangan beberapa orang saja, sementara laporan World Bank tentang buruh (1995) menunjukkan bahwa jumlah orang yang bekerja di sektor modern sebagai buruh itu meningkat dua kali lipat antara 1965-1995.
Soal borjuasi kecil dan besar saya kira menarik. Di Indonesia juga selama krisis terbukti bahwa yang dapat bertahan itu justru usaha kecil dan menengah, sementara perusahaan besar banyak yang collapse dan rakyat pekerja di bawah hancur-hancuran hidupnya. Tapi itu bukan bukti bahwa tidak terjadi polarisasi kelas. Saya kira laporan BPS tentang meningkatnya jumlah orang miskin, petani tak bertanah, singkatnya orang yang kehilangan akses dan kontrol terhadap alat produksi, memperlihatkan adanya polarisasi kelas.
IP: Manifesto mengatakan bahwa dalam kapitalisme, kelas buruh adalah pelopor perjuangan kelas.Tetapi kenyataannya, kelas buruh hanya terpaku pada tuntutan-tuntutan yang bersifat normatif, terbatas tuntutan dalam pabrik. Di lain pihak, petani, misalnya, lebih maju tuntutan dan aksi politiknya, misalnya melalui pendudukan lahan milik borjuasi dan berskala nasional. Bagaimana pendapat Bung?
HF: Kelas buruh di mana dulu? Saya kira agak sulit kita membuat generalisasi. Di Korea Selatan misalnya kelas buruh memang jadi pelopor dan perjuangannya mengarah pada penguasaan alat produksi. Sebenarnya kita perlu bedakan dua hal: vanguard (pelopor) dalam gerakan politik dan kelas revolusioner dalam sistem. Saya kira Bung mencampur keduanya. Marx memang menyebut kelas buruh sebagai yang paling revolusioner justru karena posisinya pada jantung sistem produksi kapitalis. Hanya perjuangan buruh yang menurutnya dapat menghancurkan kapitalis justru karena menjadi bagian darinya. Tapi saya kira Marx tidak mengatakan bahwa dalam segala situasi politik buruh pasti akan menjadi kelas yang paling gigih memperjuangkan hak-haknya, apalagi mengubah sistem. Sudah sejak awal dia melihat ada kecenderungan ‘aristokrat’ dalam gerakan buruh, yang lebih sibuk merundingkan perbaikan posisi di hadapan penguasa, dan juga sisa kelas pekerja yang lain, ketimbang mengubah sistem.
IP: Banyak yang berpendapat bahwa Manifesto terlalu reduksionis, karena memandang masyarakat hanya dari sudut ekonomi. Padahal masyarakat begitu beragam, misalnya dalam soal gender, lingkungan, dan kebangsaan. Menurut Bung?
HF: Banyak kritik terhadap Marx sebagai reduksionis salah alamat karena alasan sederhana: umumnya mereka tidak memahami (dan tidak mau paham) kompleksitas teori Marx mengenai kapitalisme. Karena tidak paham lalu terjadi penyederhanaan yang kemudian diklaim sebagai ‘teori Marx’. Nah, ‘teori Marx’ yang mereka buat sendiri ini kemudian dikritik sebagai reduksionis dan paling sial meminta Marx bertanggungjawab atasnya. Saya kira cukup jelas dalam Manifesto maupun karya-karya yang kemudian seperti Preface, Eigtheenth Brumaire dan Kapital, bahwa Marx tidak memandang masyarakat hanya dari sudut ekonomi.
Marx mungkin bisa dianggap reduksionis karena mengembalikan segala sesuatunya pada masalah kelas. Tapi anggapan ini pun tidak benar. Marx menganggap masalah kelas itu sentral, tapi jauh dari mengatakan bahwa itulah satu-satunya masalah yang dihadapi umat manusia. Dan pentingnya kelas ini tidak lain karena Marx berbicara tentang zaman yang dibedakan dari segi produksi materialnya. Dia tidak berbicara tentang lingkungan hidup misalnya, tidak lain karena memang di zamannya masalah itu belum menonjol.
IP: Terakhir, dalam konteks Indonesia bagaimana menempatkan Manifesto dalam realitas ekonomi-politik saat ini?
HF: Saya kira Manifesto tetap relevan dan berguna untuk memahami situasi di Indonesia sekarang. Hal yang jelas Manifesto bukanlah juklak atau sumber dari segala sumber paham Marxis tentang kapitalisme dan revolusi. Manifesto mesti dibaca dengan karya-karya yang mendahului maupun menyusulnya. Analisisnya tentang kapitalisme saya kira akan tetap berguna selama sistem itu masih ada, sementara analisis politik yang dirangkai dalam proses begitu indah, adalah sumber inspirasi. Dalam tradisi Marxis, Manifesto boleh jadi adalah dokumen terpenting, tapi juga bukan satu-satunya.