PEMBUNUHAN massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) selama tahun 1965-1966, adalah titik balik dalam sejarah Indonesia kontemporer. Sejak itu liberalisme – yang pada masa akhir kekuasaan Presiden Sukarno dikecam oleh banyak kalangan karena dituduh membuat pemerintahan berjalan tidak efektif – berkembang mengikuti konsolidasi pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Pada tataran politik terdapat perdebatan tentang apakah Orde Baru adalah rezim liberal atau bukan, tetapi cukup pasti kebijakan ekonomi Indonesia pasca-1965 sangat terbuka bagi masuknya investasi dan modal asing, lalu belakangan semakin menerima paham pasar bebas.
Di luar arena pemerintahan, orientasi liberal yang tumbuh di Indonesia pasca-1965 ternyata mempunyai resonansi pada, jika bukan justru difasilitasi oleh, pemikiran kebudayaan. Mengenai hal ini, Wijaya Herlambang telah membahasnya dengan menunjukan kontak-kontak yang intensif antara beberapa pegiat kebudayaan liberal – di Indonesia dikenal sebagai kalangan ‘humanisme universal – dan para sejawatnya di Barat. Melalui kontak-kontak ini disalurkan berbagai ide, skema, dan dana untuk mendukung program-program kebudayaan yang mengukuhkan keberadaan paham liberal dalam arena kebudayaan Indonesia kontemporer.
Makalah pendek ini ingin menunjukkan bahwa peristiwa 1965 dapat dibaca juga sebagai pembuka jalan bagi perkembangan ‘Islam liberal’ di Indonesia. Dalam hal ini jarang disadari bahwa munculnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam sedikit banyak difasilitasi oleh hilangnya diskursus komunisme, atau ‘kiri’ dalam pengertian yang lebih luas, di Indonesia pasca-1965. Secara genealogis, selain mengacu pada khazanah gerakan politik dan intelektual di dunia internasional, paham Islam liberal tumbuh dan berkembang di atas reruntuhan pemikiran kiri di dalam negeri sendiri. Dengan menekankan argumen ‘kebebasan’ (liberty), para pemikir Islam liberal Indonesia mengarahkan kritiknya terhadap pemahaman keagamaan umat Islam yang dinilai ketinggalan zaman. Seirama dengan gagasan kalangan ‘humanisme universal’, para pembaharu Islam mengajak umat untuk bangun dari tidur dogmatisnya, lalu mengarahkan mereka menuju kemoderenan melalui jalan sekularisasi. Gagasan ini memang cukup berbobot karena didukung oleh interpretasi yang mendalam atas teks-teks keagamaan Islam sendiri, tetapi kurang kritis terhadap realitas sejarah yang membentuknya.
‘Islam Yes, Partai Islam No!’
Pada masa awal kekuasaannya, pemerintah Orde Baru sangat membatasi ruang gerak aktivis Islam dalam politik. Melalui Operasi Khusus yang dipimpin jenderal Ali Moertopo, pemerintah berusaha membangun kesan bahwa Islam politik adalah ancaman. Diperlakukan kurang lebih sama seperti orang komunis, para aktivis Islam politik yang sebagian besar adalah alumni gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang bertransformasi menjadi Negara Islam Indonesia (NII), dituduh berada di balik beberapa kasus kekerasan dan teror selama periode ini, seperti kasus pembajakan pesawat Woyla dan Komando Jihad. Meski demikian, beberapa penelitian berusaha membuktikan adanya campur tangan dan peranan Ali Moertopo (aksi kontra-intelejen) dalam gerakan-gerakan Islam politik tersebut.
Islam politik adalah paham yang menganggap bahwa Islam melingkupi agama dan negara sekaligus, tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, menurut para pendukungnya, negara Islam adalah keharusan karena hanya dalam bentuk itulah keberadaan Islam yang menyeluruh (kaffah) bisa ditegakkan. Meski demikian, Islam politik harus kita perlakukan sebagai fenomena modern. Dengan mengambil inspirasi dari gerakan politik dan intelektual di Timur Tengah, pada pendukung Islam politik pada dasarnya hendak mencari tempat bagi ajaran Islam dalam kerangka negara bangsa atau tata internasional modern. Meski demikian, kalangan ini meliputi spektrum yang luas. Sementara sebagian mengambil jalan radikal, sebagian lainnya lebih memilih menempuh jalur demokrasi formal yang berlaku di negaranya masing-masing. Dalam perkembangan kontemporer, aktivitas Islam politik—yang oleh para pengamat sering juga disebut ‘Islamisme’—ternyata mampu bersekutu dengan neoliberalisme, seperti diperlihatkan oleh AKP, partai berkuasa di Turki yang dipimpin oleh Tayyip Erdogan.
Di Indonesia, penolakan dan penyingkiran Islam politik berasal tidak hanya dari penguasa nasionalis (Orde Lama) dan militeristis (Orde Baru) saja, tetapi juga dari kalangan internal Muslim sendiri. Beberapa pemikir Islam baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis mengampanyekan gagasan bahwa Islam adalah agama yang pada dasarnya tidak pernah memberi rumusan pasti mengenai bentuk politik kenegaraan. Mereke menekankan karakter lokal yang membedakan ‘Islam Indonesia’ dan Islam di tempat lain, khususnya Islam di Arab sebagai tanah kelahirannya. Meski demikian, hingga akhir 1950-an, gagasan Islam politik masih mempunyai ruang gerak, yaitu di arena Konstituante yang oleh Pemilu 1955 ditugaskan merumuskan dasar negara. Namun Dekrit Presiden Sukarno pada 1959 pada satu sisi dan operasi penumpasan DI/TII serta PRII pada sisi yang lain mengakhiri ruang gerak tersebut. Sejak itu Islam politik menjadi gagasan yang dihindari dalam diskursus publik di Indonesia.
Di antara pemikir yang paling awal memunculkan wacana ‘Islam liberal’ di Indonesia adalah Nurcholish Madjid. Lahir dari keluarga dengan latar belakang pesantren tradisional di Jombang, Jawa Timur, Madjid dibesarkan dalam iklim pesantren modern di Gontor, Ponorogo. Sembari melanjutkan pendidikan di IAIN Ciputat, Madjid aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga mencapai jabatan ketua umum tingkat nasional. Pada awal tahun 1970-an, Madjid telah tampil sebagai sosok intelektual muda Islam paling menjanjikan, sehingga sempat disebut sebagai Natsir muda. Perlu diketahui M. Natsir adalah pemimpin Masyumi terhormat, yang kemudian mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang dikenal sangat kritis terhadap Barat dan pemerintahan yang berhaluan nasionalis sekuler.
Akan tetapi, harapan terhadap Madjid sebagai Natsir Muda dalam perkembangannya sirna. Pada tahun 1971, di hadapan para aktivis muda Islam, Madjid berpidato tentang Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Dalam pidato inilah muncul sebuah jargon yang kemudian menjadi sangat populer, yaitu ‘Islam yes, partai Islam no!.’ Secara umum pidato ini merupakan kritik atas gagasan negara dan partai Islam. Menurut Madjid, Islam lebih daripada sekadar negara dan apalagi partai politik. Lebih tepatnya, Islam sebagaimana dipahami oleh Madjid melalui pembacaannya atas teks-teks keagamaan tidak pernah secara tegas menentukan bentuk negara apa, sebab hal seperti itu adalah urusan duniawi belaka. Dengan ini Madjid mengajak umat Islam Indonesia menempuh jalan liberal, yang terdiri dari sekularisasi, kebebasan berpikir, dan sikap terbuka, agar maju dan menjadi bagian dari peradaban modern.
Nostalgia atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan harus digantikan dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses yang untuk mudahnya kita namakan proses liberalisasi. Proses ini dikenakan terhadap ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut proses-proses lainnya…
Jadi dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya…
Dalam hal inilah kita melihat kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu sekali lagi akibat dari pada tiadanya kebebasan berfikir, kacaunya hirarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berfikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan apriori dan sebagainya…
Dan bahwa sikap terbuka adalah tanda-tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari pada Allah, sedangkan sikap tertutup sehingga berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit merupakan tanda-tanda kesesatan!
Pidato Madjid sangat menohok para politisi Muslim yang ketika itu sedang berusaha menggalang adanya partai politik berbasis Islam. Dengan reputasi yang dimilikinya, pandangan Madjid berkembang cukup luas, terutama di kalangan anak muda Muslim yang mulai merambah dunia modern melalui jalur pendidikan dan birokrasi di perkotaan. Di sisi lain, pidato tersebut justru menguntungkan pihak pemerintah yang sedang mereorganisasi partai politik ke dalam skema yang lebih sederhana. Partai-partai Islam yang masih terlibat pada Pemilu 1971 digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemilu 1977. Dibanding pencapaian suara partai-partai Islam pada Pemilu 1971, suara PPP pada 1977 anjlok drastis.
Di luar gelanggang politik formal, Islamisasi justru berlangsung secara massif dan intensif. Khususnya di daerah yang dulunya pernah menjadi basis PKI seperti beberapa daerah di Jawa Timur, pertumbuhan angka pemeluk Islam meningkat signifikan. Pada tataran yang lebih luas, berkat keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan dan perekonomian pada umumnya, tumbuh apa yang disebut ‘kelas menengah Muslim.’ Oleh karena itu, sejak akhir 1980-an, selain merupakan akibat dari perubahan faksional dalam tubuh rezim Orde Baru sendiri, pemerintah yang awalnya anti-Islam politik mulai mengubah orientasi kebijakannya. Secara perlahan aspirasi umat Islam didengar dan diakomodasi, seperti tercermin pada kasus penggunaan jilbab di sekolah umum padahal sebelumnya dilarang. Pada awal 1990-an muncul istilah ‘ijo royo-royo’ yang mengacu pada fenomena masuknya pengaruh Islam, paling tidak secara simbolis, yang semakin kuat di pemerintahan dan bahkan militer.
Melihat kenyataan tersebut, agenda liberalisasi Islam Nurcholish Madjid yang dimulai sejak pidato pada tahun 1971 menampakkan hasilnya. Keberhasilan ini diperkuat oleh program pembaharuan pendidikan tinggi Islam di bawah pengaruh Harun Nasution dan Munawir Sadzali. Melalui kepemimpinan intelektual dan birokrat terkemuka ini, IAIN berkembang menjadi pusat studi Islam dengan orientasi liberal yang kuat. Para santri yang belajar di IAIN-IAIN di seluruh Indonesia diperkenalkan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat, selain disiplin tradisional Islam, kemudian lulus sebagai sarjana yang segera mengisi berbagai lowongan pekerjaan di pemerintahan dan swasta. Mereka adalah lapis sosial baru yang membentuk identitas ‘kelas menengah Muslim’ sebagaimana disinggung di atas.
Akan tetapi, sulit menghindari kesan bahwa secara langsung atau tidak langsung keberhasilan liberalisasi Islam di Indonesia pasca-1965 merupakan bagian dari kepentingan rezim penguasa. Bersama dengan paradigma modernisasi yang berkembang di lapangan ilmu sosial humaniora, paham Islam liberal menyumbangkan dasar-dasar bagi pembentukan umat Islam Indonesia yang siap terjun dalam pembangunan. Pada skala yang lebih luas, kita bisa menarik kesesuaian dengan laju kapitalisme global. Batas antara liberalisasi yang diperkenalkan oleh Madjid dan para sejawatnya dengan proses pengintegrasian Indonesia ke dalam pusaran globalisasi yang secara ekonomi politik bermuara pada pasar bebas sangat tipis.
Oleh karena itu, di hadapan proses pembangunan yang kapitalistik, proponen Islam liberal terlihat kehilangan daya kritisnya. Dengan jargon ‘Islam yes, partai Islam no!’ umat Islam secara politik dimoderasi sedemikian rupa sehingga menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1984. Alih-alih diperdebatkan secara rasional, penerimaan tersebut justru dilegitimasi oleh argumen-argumen teologis. Umat Islam diyakinkan bahwa negara Pancasila adalah sahih secara keagamaan. Pemimpin Nahdlatul Ulama yang juga berorientasi liberal, Abdurrahman Wahid, membantu menyebarluaskan dan memastikan pandangan ini di kalangan Muslim tradisionalis. Sementara itu, program revolusi hijau pada tahun 1970-an yang menyebabkan marginalisasi para petani tuna tanah, yang mayoritas adalah Muslim, luput dari perhatian. Persoalan pertanian dan ekonomi pada umumnya seperti menempati orbit yang di luar jangkauan pemikiran dan gerakan Islam liberal.
Memang, dalam beberapa kesempatan, timbul ketegangan antara beberapa tokoh Islam liberal dengan pemerintah. Di antara yang paling lantang adalah Abdurrahman Wahid. Bertolak belakang dengan rekan-rekannya, termasuk Nurchalish Madjid, Wahid menolak bergabung dengan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang disponsori Soeharto. Bersama dengan eksponen liberal lainnya, dia bergabung dalam Fordem (Forum Demokrasi) yang sangat kritis terhadap rezim yang dinilai semakin korup. Akan tetapi, keberatan utama kalangan liberal, termasuk sayap Islamnya, adalah sikap pemerintah yang semakin represif terhadap kebebasan berbicara dan berkumpul, sementara pada saat yang sama justru membuka peluang kepada kelompok konservatif-sektarian untuk berkembang.
Perkembangan Pasca-Orde Baru
Hubungan antara Islam liberal dan negara mengalami gangguan seiring dengan keretakan dan kemudian kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Sejak itu berbagai gejala yang dikhawatirkan oleh kalangan Islan liberal, yaitu kembalinya Islam politik dalam bentuknya yang paling radikal, mengemuka seiring dengan meletusnya konflik sosial di beberapa daerah. Dalam konflik di Ambon dan Poso, misalnya, muncul kelompok-kelompok garis keras seperti Laskar Jihad yang secara terbuka menggunakan simbol-simbol Islam dalam peperangan. Di perkotaan, berdiri Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi serupa dengan corak simbolis yang kurang lebih sama. Sementara itu, seiring dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, lahir juga berbagai peraturan daerah ‘syariah’ yang menimbulkan kesan orang Islam sebagai mayoritas memperoleh hak keistimewaan kewarganegaraan tertentu dibanding orang non-Islam sebagai minoritas.
Menanggapi perkembangan pasca-Orde Baru tersebut, sekelompok pemikir dan aktivis Muslim di Jakarta membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan dukungan salah satunya dari Goenawan Mohamad, kelompok yang berkantor di Utan Kayu, Jakarta, itu rajin mengadakan berbagai kegiatan dengan tujuan utamanya menantang kembalinya Islam politik dalam panggung demokrasi. Mereka juga aktif berdiskusi di mailing list dan menulis di koran-koran jaringan Jawa Pos. Pegiat utamanya rata-rata alumni pesantren dan universitas Islam yang mempunyai kemampuan menulis dan berbicara yang sangat artikulatif, sehingga dengan cepat gagasan mereka menjadi bahan perdebatan di masyarakat luas.
Kehadiran JIL bersamaan waktunya dengan situasi global yang sedang berubah. Terutama sejak tragedi 9/11 di AS, dunia dihadapkan pada persoalan terorisme. Islam politik kemudian disangkutpautkan dengan mudah dalam perkara ini. Individu atau gerakan yang menggunakan simbol Islam dalam kegiatan publik dicurigai lalu dibatasi ruang geraknya. Lebih daripada masa-masa sebelumnya, distingsi antara Islam politik dan Islam liberal menguat. Di antara keduanya terdapat tembok besar yang berhubungan dengan isu keamanan nasional. Dalam diskursus akademis tentang Islam di Barat, distingsi tersebut membentuk dikotomi moral: antara Islam politik yang ‘buruk’ dan Islam liberal yang ‘baik.’ Konstruksi seperti ini mempunyai resonansi yang sungguh luas, dan Indonesia sama sekali tidak terkecuali.
Salah satu tokoh JIL adalah Ulil Abshar Abdalla. Dibesarkan di lingkungan pesantren NU yang kuat, Abdalla menempuh pendidikan tinggi di LIPIA, Jakarta. Dia juga sempat sekolah di Universitas Boston dan Universitas Harvard, AS. Seperti Madjid, Abdalla mengkhawatirkan pemahaman Islam Indonesia yang dinilainya terlalu menekankan ‘syariat’ tetapi semakin menjauh dari apa yang dipandangnya sebagai ‘hakikat’ Islam itu sendiri. Dengan kombinasi antara argumen teologis dan filosofis, dia meyakinkan pembacanya bahwa Islam adalah bagian dari sejarah yang penuh dengan kepentingan, tetapi sekaligus dengan itu ditekankan bahwa peranan akal manusia menjadi penting dan bahkan sentral.
Di antara pemikiran Abdalla yang paling mengundang kontroversi bersumber dari tulisan pendeknya di Kompas, 19 November 2001, yang berjudul ‘Menyegarkan Kembali Pamahaman Islam.’ Dengan lugas Abdalla menyebut bahwa Islam adalah ‘organisme,’ yaitu “sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai ‘patung’ indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah”. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa:
‘Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam.’
Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi.
Asumsi yang mendasari pemikiran Ulil Abshar Abdalla tidak jauh berbeda dengan Nurcholish Madjid. Keduanya berpikir bahwa problem umat Islam terutama terletak pada pemahaman mereka sendiri terhadap agamanya. Untuk mengatasinya mereka mengajak umat untuk berpikir bebas dan terbuka terhadap pengetahuan dari mana saja. Abdalla berpendapat bahwa ‘… setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.’
Masalahnya para pemikir tersebut kurang peka dengan realitas struktural yang membelit umat Islam Indonesia. Dalam konteks pasca-Orde Baru, demokrasi liberal dan ekonomi pasar adalah ideologi-ideologi dominan yang seharusnya dibaca secara kritis. Kembalinya Islam politik tidak lepas dari adanya peluang eksternal dan mobilitas internal yang disediakan oleh ideologi-ideologi tersebut. Gejala sektarianisme dan fundamentalisme bukan melulu merupakan cerminan dari kegagalan kaum beragama dalam mengikuti perubahan zaman, tetapi justru merupakan bagian dari zaman itu sendiri.
Sebagai penutup, tulisan pendek ini ingin menegaskan kembali bahwa liberalisasi Islam di Indonesia dimungkinkan terjadi oleh peristiwa 1965. Penyingkiran terhadap kekuatan Islam politik non-liberal dilakukan secara beriringan dengan penumpasan pemikiran dan kekuatan kiri sejak periode itu. Memang belakangan aspirasi Islam politik kembali bangkit, tetapi itu merupakan cerminan dari perubahan politik dan ekonomi yang menopang keberlanjutan rezim penguasa yang selama ini ikut juga memfasilitasi perkembangan Islam liberal. Di luar kompleksitas yang dibahas sepintas dalam tulisan ini tentu saja masih terdapat banyak elemen-elemen teoritis dan empiris lainnya yang masih menunggu kajian lebih lanjut.***
Tulisan ini sebelumnya adalah paper yang disampaikan pada seminar ‘pengaruh budaya liberal terhadap kehidupan di Indonesia,’ di Kampus Universitas Gunadarma, Kalimalang, Bekasi, 18 Januari 2013.
Amin Mudzakkir, peneliti PSDR-LIPI