Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 1)

Print Friendly, PDF & Email

“…it is much more easy to have sympathy with suffering than it is to have sympathy with thought.” (“…adalah lebih mudah untuk bersimpati kepada penderitaan daripada bersimpati kepada pemikiran.”)

Oscar Wilde dalam The Soul of Man Under Socialism (Jiwa Manusia dalam Sosialisme)

Iqra Anugrah[i]

Pendahuluan

Siapakah Oscar Wilde? Pembahasan atas kehidupan pribadinya yang bohemian dan flamboyan terutama hubungannya dengan Lord Alfres Douglas yang juga membuat dia dipenjara seringkali mengalihkan perhatian khalayak dan menimbulkan kesalahpahaman atas karya-karyanya. Namun, tentu saja ada beberapa hal menarik yang dapat kita kaji dari karya-karya salah satu penulis Anglo-Irlandia[ii] paling terkemuka yang juga salah satu seniman aliran estetik-dekaden[iii] paling terdepan ini.

Salah satu sisi yang terlupakan dari peranan dan karya-karya Wilde sebagai penulis adalah Wilde sebagai penganjur estetika dan kritikus sosial. Dalam berbagai karyanya, mulai dari naskah drama, puisi, novel, traktat politik, esai, prosa, hingga surat-surat pribadinya, tema yang kerap muncul dalam tulisan-tulisan Wilde adalah perayaan terhadap estetika dan keindahan sekaligus kritik atas moralitas Victorian[iv] yang dominan pada zamannya. Dengan gayanya yang jenaka, kontemplatif dan terkadang bombastis, Wilde mencoba menyentuh tema-tema tersebut dalam tulisan-tulisannya yang membahas berbagai macam topik, mulai dari filsafat seni, sosialisme, teologi, individualisme, hingga kritik sosial.

Dalam konteks inilah, saya berusaha mengulas beberapa karya-karya Oscar Wilde. Bagian pertama dari tulisan ini bermaksud memberi pengantar dan sedikit pembahasan atas karya-karya Wilde, sedangkan bagian kedua dari tulisan ini akan membahas berbagai ulasan kritis tentang karya Wilde serta konteks sejarah dan relevansi masa kini dari karya-karya Wilde. Dari sekian banyak karya Wilde, saya akan fokus kepada beberapa karyanya yang saya anggap cukup representatif, yaitu The Picture of Dorian Gray, The Importance of Being Earnest, Lady Windermere’s Fan, dan An Ideal Husband[v], De Profundis, dan The Soul of Man Under Socialism.

 

Sekilas tentang Oscar Wilde

Terlahir sebagai Oscar Fingal O’Flahertie Wills Wilde dari sepasang intelektual Anglo-Irlandia di Dublin pada 16 Oktober 1854, Oscar Wilde segera menunjukkan bakatnya dalam dunia kesusasteraan semenjak masa mudanya. Baik di Trinity College, Dublin, maupun di Universitas Oxford, Wilde menekuni studi klasik (Classics), yaitu studi sejarah dan filsafat Yunani dan Romawi baik di masa kuno maupun modern. Semasa studinya, ia berkali-kali menerima penghargaan akademik atas prestasi intelektual dan literernya. Tetapi, alih-alih menjadi seorang akademisi, Wilde justru meniti karier sebagai penulis.

Sebagai penulis, Wilde segera memperoleh reputasi sebagai salah satu penulis dan sastrawan terkemuka di Inggris. Selain karya-karyanya tersebut di atas, beberapa karya Wilde lain yang mendapat sambutan yang cukup luas adalah The Happy Prince and Other Tales, Lord Arthur Savile’s Crime and Other Stories, A House of Pomegranates, The Decay of Lying, The Critic as Artist dan Salomé. Wilde juga menikmati kemapanan finansial dari pementasan naskah-naskah dramanya dan penjualan berbagai karyanya.

Namun, pertemuannya dengan Lord Alfred Douglas, atau yang lebih dikenal sebagai ‘Bosie’, perlahan-lahan memutar roda kehidupan Wilde. Meskipun Wilde sudah menikah dan memiliki dua orang anak, perlahan-lahan ia menjalin hubungan yang melampaui pertemanan dengan Bosie. Kemudian, mereka menjadi sepasang kekasih, suatu hal yang amat ditentang oleh pihak keluarga dan teman-teman Wilde dan Bosie. Sampai-sampai, ayah Bosie, bangsawan Queensberry, menuduh mereka sebagai pasangan homoseksual[vi]. Ironisnya, atas anjuran Bosie, Wilde menuntut ayahnya Bosie dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tuduhan ini, yang kemudian ditarik kembali, kemudian menjerat Wilde dengan dakwaan ‘perilaku yang tidak senonoh dengan laki-laki lain’ (gross indecency), dakwaan yang tragisnya dikenakan berdasarkan bukti-bukti yang di antaranya diambil dari beberapa karya dan surat pribadinya yang bernuansa homoseksual. Wilde kemudian ditahan dan dikenakan hukuman kerja paksa selama dua tahun dan tak lama setelah ia dibebaskan, ia sakit-sakitan, memeluk agama Katolik, dan kemudian meninggal dunia di Paris pada 30 November 1900.

 

Komedi dan Kritik dalam Tiga Naskah Drama Wilde

Sebagai pengantar, ada baiknya saya memulai pembahasan karya Wilde dari tiga naskah dramanya yang jenaka namun kritis, yaitu Lady Windermere’s Fan (Kipas Lady Windermere, selanjutnya LWF), An Ideal Husband (Suami yang Ideal, selanjutnya AIH), dan The Importance of Being Earnest (Pentingnya Menjadi si Jujur, selanjutnya TIBE). Di bagian ini, saya menyajikan ringkasan atas naskah-naskah drama tersebut satu persatu sebelum memberikan ulasan kritis terhadapnya.

LWF dan AIH memiliki tema yang mirip, yaitu seputar kehidupan masyarakat kelas atas Inggris dan intrik, kemunafikan sekaligus kekonyolan yang menyertai dan inheren dalam kehidupan kelompok sosial tersebut. LWF berkisah tentang sepasang suami istri bangsawan, Lord Windermere dan Lady Windermere. Lady Windermere curiga bahwa suaminya, Lord Windermere, berselingkuh dengan seorang perempuan yang bernama Mrs. Erlynne. Masalah bertambah pelik tatkala Lady Windermere mengetahui suaminya telah memberi Mrs. Erlynne uang bulanan selama beberapa bulan terakhir. Tidak hanya itu, Lord Windermere bersikeras untuk mengundang Mrs. Erlynne di pesta ulang tahun istrinya dengan alasan Erlynne adalah ‘perempuan terhormat’ yang ‘ingin kembali ke masyarakat’ (Wilde, 2000: 345). Sebagai balasan, Lady Windermere berencana untuk menjawab ajakan selingkuh dari salah seorang tamu pria yang datang ke pestanya. Untungnya, Mrs. Erlynne berhasil menghentikan rencana Lady Windermere. Usut punya usut, Mrs. Erlynne rupanya adalah ibu kandung dari Lady Windermere yang mengira bahwa ibunya meninggal sewaktu ia masih kecil. Akhir cerita, hubungan Lady Windermere dan Lord Windermere kembali harmonis, dan Mrs. Erlynne menerima lamaran seorang bangsawan yang ia temui di pesta ulang tahun Lady Windermere.

Masih membahas tema yang serupa, AIH berkisah tentang Sir Robert Chiltern, seorang politisi dan bangsawan muda yang sedang naik daun di London. Dalam sebuah pesta yang dihadiri oleh anggota kelas atas di London, ia bertemu Mrs. Cheveley, yang mengetahui rahasia kotor dari kesuksesan Sir Robert. Rupanya, almarhum kekasih Mrs. Cheveley, Baron Arnheim, meyakinkan Sir Robert untuk membocorkan rencana Pemerintah Inggris untuk membeli saham di Terusan Suez. Tiga hari sebelum Pemerintah Inggris mengumumkan rencana pembelian saham tersebut, Baron Arnheim membeli saham tersebut dan untung besar. Sebagai imbalannya, Sir Robert juga ‘kecipratan’ keuntungan tersebut, yang kemudian ia gunakan sebagai modal politiknya. Mrs. Cheveley mengancam akan membocorkan rahasia Sir Robert apabila Sir Robert tidak mendukung rencana pembangunan sebuah kanal di Argentina yang sarat dengan korupsi. Awalnya, Sir Robert yang mulanya menolak terpaksa mendukung proyek korup tersebut. Sialnya, istrinya, Lady Chiltern, mengetahui perubahan sikap Sir Robert, dan kesal terhadap perbuatan suami yang tidak mencerminkan perilaku ‘suami ideal’ (‘an ideal husband’). Pahlawan dan penyelamat dari tragedi Sir Robert adalah Lord Goring, teman dari Sir Robert yang juga seorang bangsawan namun menjalani hidup secara bebas dan terkesan tidak peduli dengan norma-norma sosial ala kaum borjuis dan aristokrat Victorian: berambut gondrong, suka berkelakar, belum ingin menikah meskipun sudah memasuki usia kepala tiga, dan karenanya sering diomeli ayahnya yang juga seorang bangsawan. Akhir cerita, tidak hanya dosa politik Sir Robert berhasil ditutupi, ia juga akhirnya menolak pengesahan proyek kanal yang dinilai korup itu. Karir politik Sir Robert kembali menanjak, kehidupan rumah tangganya terselamatkan, dan Lord Goring pun akhirnya direstui untuk menikah dengan gadis pujaannya yang juga adik dari Sir Robert, Miss Mabel Chiltern.

Dengan latar belakang sosial yang masih relatif sama namun topik yang berbeda, TIBE mengangkat isu yang tidak kalah sensitif: pernikahan dan norma sosial. TIBE[vii] berkisah tentang dua orang pemuda dari kelas atas di London, Algernon ‘Algy’ Moncrieff dan John ‘Ernest’ Worthing. Karena ‘sesaknya’ norma dan ketentuan sosial di kehidupan sosial London, Algy dan Ernest sengaja berbohong dengan memiliki identitas ganda: Algy mengaku memiliki ‘teman’ yang bernama Bunbury, sedangkan John alias Ernest memiliki identitas ganda sebagai John atau Paman Jack di desa yang selalu khawatir dengan ‘adiknya’, Ernest yang tinggal di London, sedangkan di kota, Jack sendiri mengaku bernama ‘Ernest’.

Masalah kemudian muncul ketika John melamar sepupunya Algy yang juga seorang bangsawan, Gwendolen Fairfax. Gwendolen menerima lamaran John—masalahnya, ia tertarik kepada John karena ia mengenal John sebagai ‘Ernest’, dan menurut Gwendolen, ‘cita-citaku selalu adalah untuk mencintai seseorang yang bernama Ernest’ (hlm. 490). Dari sini, muncullah masalah pertama: John harus secara resmi bernama Ernest supaya bisa menikahi Gwendolen, oleh karena itu, ia berencana untuk membuat kabar palsu: Ernest, ‘adiknya’ John, baru saja meninggal, agar nama ‘Ernest’ bisa dipakai oleh John ketika ia pelesir di kota.

Tetapi, masalah tidak berhenti di sini. Algy, yang diam-diam mencatat alamat rumah John di desa, kemudian bertemu dan naksir dengan anak angkat John, Cecily Cardew. Masalahnya, Algy juga mengaku bernama ‘Ernest’. Penyebabnya sama: Cecily juga hanya mau menikahi lelaki bernama Ernest. John, yang sudah membawa kabar meninggalnya ‘Ernest’, kemudian datang ke rumahnya hanya untuk segera terkejut kembali, karena ‘Ernest’ tiba-tiba ada di rumahnya! Tak lama, Gwendolen juga mendatangi rumah John. Ini semua berujung ke timbulnya masalah kedua: Gwendolen dan Cecily berebut untuk menikahi ‘Ernest’. Solusi yang dipikirkan oleh Algy dan John juga tidak kalah bermasalahnya: kedua-duanya ingin kembali dibaptis dengan nama ‘Ernest’!

Kemudian, datanglah Lady Brucknell, ibu dari Gwendolen sekaligus tantenya Algy. Keadaan kemudian bertambah pelik: karena Lady Brucknell tidak setuju apabila Gwendolen menikahi John, maka John juga tidak merestui hubungan antara Algy dengan anak angkatnya, Cecily. Namun, cerita ini kemudian memiliki akhir yang berbahagia: setelah ditelusuri, barulah diketahui bahwa John adalah anak dari saudara perempuan Lady Brucknell. Dengan kata lain, John adalah kakak dari Algy dan juga keponakannya Lady Brucknell. Kemudian, diketahui juga bahwa nama baptis John adalah Ernest. Cerita ditutup dengan Lady Brucknell yang merestui hubungan Gwendolen dengan John, John yang merestui hubungan Cecily dengan Algy, dan John yang menyadari bahwa “…untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyadari pentingnya menjadi si Jujur” (“…I’ve now realized for the first time in my life, the vital Importance of Being Earnest.”)[viii] (hlm. 538).

Dari tiga lakon ini, apa yang bisa kita pelajari dan amati? Setidaknya kita bisa melihat tiga lakon ini dari tiga aspek, yaitu gaya penulisan, isi atau substansi, dan kritik dalam tema-tema yang diangkat. Pertama, dari segi penulisan, setidaknya ada tiga ciri khas dari lakon-lakon Wilde yaitu permainan kata-kata (wit), kejenakaan (comedy), dan terkadang kekonyolan (farce) (Foster, 1956). Apabila kita amati lebih lanjut, biasanya kejenakaan yang menjadi ciri khas lakon-lakon Wilde terletak pada dialog di antara para tokohnya. Yang lebih menarik lagi, kejenakaan ini dapat segera dipahami dengan baik oleh penonton—termasuk oleh saya yang bukan penutur asli Bahasa Inggris. Ini juga menandakan ciri khas yang lain dari lakon-lakon Wilde–lakon yang membahas mengenai kekonyolan masyarakat kelas atas Inggris, khususnya London di Era Victoria yang dapat dipahami oleh khalayak.

Tidak percaya? Perhatikan saja contoh potongan dialog “…I’ve now realized for the first time in my life, the vital Importance of Being Earnest.”, atau contoh-contoh lain yang dapat kita temukan. Di lakon LWF misalnya, terdapat sebuah ironi: Lady Windermere yang ibunya meninggal ketika ia kecil curiga bahwa suaminya selingkuh dengan Mrs. Erlynne, yang rupa-rupanya adalah ibu kandung dari Lady Windermere yang meninggalkan keluarganya namun sekarang ingin melihat lagi anaknya yang sudah dewasa dan sukses. Lakon AIH juga menyajikan campuran yang pas antara dimensi ironis dan komedi dari kehidupan Sir Robert, keluarganya, serta kawan-kawannya: ada intrik, politik kotor dan kesalahpahaman yang tidak perlu. Menariknya, pahlawan tak terduga yang menyelematkan Sir Robert adalah Lord Goring, seorang bangsawan yang bohemian, yang menurut beberapa pengkaji Wilde sebenarnya adalah representasi dari Wilde sendiri.

Kedua, secara substansi, tema-tema yang diangkat oleh Wilde dalam lakon-lakonnya sesungguhnya adalah tema-tema yang sensitif pada masanya: skandal politik, pengancaman, masa lalu yang gelap dari para orang penting, kerepotan untuk menjalani moralitas dan norma sosial Victorian, hingga pernikahan. Skandal Sir Robert dalam AIH misalnya, bagi saya, terdengar seperti lagu lama: seorang politisi muda terkemuka yang menjustifikasi ‘dosa’ masa lalunya agar bisa tampil ke permukaan dan ‘mengabdi’ ke masyarakat (terdengar familiar?).  Contoh lain yang tidak kalah konyol dan menariknya adalah Algy dan John dalam TIBE: dua pemuda kelas atas yang memiliki identitas ganda agar bisa menjalani kehidupan sebagai ‘orang baik dan terhormat’[ix] di satu sisi dan ‘orang bebas’ di sisi lain yang saking ngebetnya ingin kawin bersedia menempuh sebuah jalan pintas: dibaptis ulang dengan nama Ernest (ini juga mengingatkan saya akan 1.001 cara masyarakat Indonesia, baik kelas bawah maupun kelas atasnya, untuk ‘mengakali’ lembaga pernikahan, mulai dari membuat KTP baru, nikah siri, hingga berbagai justifikasi atas praktek poligami). Membaca lakon-lakon Wilde dalam konteks ini, barulah kita merasakan pedasnya kritik Wilde: moralitas Victorian sesungguhnya adalah moralitas yang munafik, hipokrit.

Ketiga, kritik atas kemunafikan moralitas Victorian yang membelenggu ‘para pengikutnya’ (baca: kelas atas) juga terasa makin subversif karena disajikan dengan cara-cara yang jenaka, komedi, dan konyol. Hal-hal yang dianggap serius, penting, bahkan sakral, seperti politik, pencitraan publik, bahkan institusi keluarga dan pernikahan dikritik oleh Wilde, dengan caranya yang kocak dan cerdas.

Tiga naskah drama atau lakon dari Wilde ini, dalam pandangan saya, meneguhkan posisi Wilde sebagai kritikus sosial terdepan atas kebangkrutan moralitas Victorian yang dapat menyampaikan kritiknya dengan cara-cara yang artistik dan jenaka.

 

Estetika dan Kegelisahan Sosial dalam The Picture of Dorian Gray

Satu karya lain dari Wilde yang mendapat sambutan publik yang cukup luas adalah satu-satunya novel yang ia tulis, The Picture of Dorian Gray (Lukisan Dorian Gray, selanjutnya TPDG). Berbeda dengan tiga naskah dramanya yang jenaka, cerita dalam TPDG cenderung muram. Kali ini, saya menggunakan analisis seorang sarjana Wilde asal Jepang dari Universitas Nagoya, Mitsuharu Matsuoka (2003), untuk menelaah tema estetika dan kegelisahan sosial (social anxiety) dalam TPDG.

Wilde dalam TPDG sesungguhnya berusaha bergumul dengan keterbatasan filsafat estetika dan hedonisme serta mencoba merumuskan kritik terhadapnya sembari, lagi-lagi, mengkritik moralitas Victorian ala kelas menengah dan elit penguasa Inggris. TPDG berkisah tentang Lord Henry Wotton, seorang pelukis yang sensitif bernama Basil Hallward, dan seorang pemuda tampan yang bernama Dorian Gray yang menjadi model lukisan Basil. Di tengah-tengah perbincangan antara tiga tokoh tersebut, Lord Henry melontarkan dukungannya atas sebuah aliran pandangan estetika di zamannya yang mengagungkan hedonisme, bahwa seni haruslah mengabdi hanya untuk seni dan bahwa tujuan terpenting dalam hidup adalah pencarian akan keindahan—dan juga kenikmatan (Matsuoka, 2003: 77). Terpengaruh pandangan Lord Henry, Dorian akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang hedonis. Dalam perjalanan Dorian untuk memenuhi hasrat hedonisnya, harapan Dorian juga menjadi kenyataan—alih-alih dirinya sendiri, lukisan dirinya yang dibuat oleh Basil akan menua. Kejadian ini membuat Dorian semakin hedonis sekaligus liar, sampai-sampai ia rela membatalkan pertunangannya dan membunuh Basil. Dalam penyesalannya, akhirnya Dorian memutuskan untuk menusuk lukisan dirinya yang sudah buruk rupa dan menua. Akhir cerita, Dorian meninggal dalam keadaan tertusuk, tua, dan buruk rupa, sedangkan lukisan dirinya kembali pada kondisi awalnya seperti semula.

Sebelum membahas kritik Wilde terhadap gerakan estetika dan moralitas Victorian dalam TPDG, ada baiknya kita sedikit membahas mengenai konteks sosial saat gerakan Estetika muncul. Pertama-tama, perlu diingat bahwa Estetika lahir di tengah-tengah puncak industrialisasi dalam Revolusi Industri di Era Victoria. Estetika adalah reaksi terhadap ‘produk-produk buruk rupa yang dihasilkan oleh mesin-mesin buatan’ yang berimbas kepada ‘menghilangnya yang indah’ (‘the disappearance of the beautiful’) (hlm. 78). Karya-karya Wilde, sebagaimana karya-karya seniman Estetik lain, seperti John Ruskin dan William Morris, perlu ditempatkan dalam konteks ini. Di tengah usaha penyelamatan terhadap ‘yang indah’, kaum Estetik-Dekaden bersimpang jalan dengan kelas menengah Inggris di waktu itu. Bagi kelas menengah Victorian, terdapat signifikansi moral yang inheren dalam kesenian dan menjadi kewajiban bagi kesenian untuk mengeksplisitkannya, sedangkan bagi kaum Estetik-Dekaden, kesenian berarti adalah apresiasi terhadap keindahan (hlm. 78—9).

Namun, terdapat perbedaan pandangan dalam aliran Estetik-Dekaden itu sendiri. Wilde sendiri berdiri di persimpangan jalan antara berbagai tendensi dalam aliran ini, suatu hal yang juga tercermin dalam tiga karakter Wilde (Lord Henry, Basil, dan Dorian Gray) dalam TPDG. Bagi Matsuoka, ini sesungguhnya menunjukkan ambivalensi Wilde dalam melihat potensi artistik dan kritik aliran Estetik-Dekaden. Di satu sisi, Wilde bisa dikatakan sebagai bagian utama, jikalau bukan representasi terbaik, dari aliran Estetik-Dekaden. Di sisi lain, Wilde juga kritis terhadap kecenderungan hedonisme yang eksesif yang dapat muncul dari filsafat Estetik-Dekaden.  Konflik segitiga antara Lord Henry-Basil-Dorian dalam TPDG juga menunjukkan ambivalensi Wilde: ada Lord Henry yang menganjurkan estetika yang hedonistik, ada Dorian yang menerapkan hedonisme secara ekstrem yang kemudian menyesali perbuatannya, dan ada Basil yang menghargai keindahan namun berpendapat bahwa ‘yang baik’ (the good) tidaklah terlepas dan selalu bertautan dengan ‘yang indah’ (the beautiful) dan ‘yang nikmat’ (the pleasurable) (hlm. 80). Ini diakui sendiri oleh Wilde, yang dalam salah satu suratnya mengatakan, “Basil Hallward adalah apa yang aku pikirkan tentang diriku; Lord Henry adalah apa yang dunia pikir tentang diriku; Sedangkan Dorian, aku ingin menjadi seperti dirinya – mungkin di masa lain.”[x] (Holland & Hart-Davis, 2000: 585). Secara garis besar, menurut Matsuoka, setidaknya ada dua kecenderungan di aliran Estetik-Dekaden di masa Wilde[xi]: kecenderungan pertama, yang diwakili oleh penulis seperti Walter Pater dan tokoh Lord Henry dalam TPDG, menganjurkan pemisahan antara seni dan keindahan dari moralitas. Sedangkan kecenderungan pertama, yang disebut oleh Matsuoka sebagai moralis estetik (aesthetic moralists), diwakili oleh kritikus seni John Ruskin dan tokoh Basil dalam TPDG, tetap mengkritik moralitas status quo (Victorian), namun menolak menyingkirkan ‘yang baik’ dalam seni dan keindahan (hlm. 80). Kebetulan, baik Walter Pater maupun John Ruskin adalah mentor Wilde semasa ia kuliah di Oxford (hlm. 80). Oleh karena itu, tidak heran apabila kita melihat berbagai dilema dalam aliran Estetik-Dekaden tercermin dalam karya Wilde. Terlepas dari perbedaan dari dua tendensi pemikiran dalam aliran Estetik-Dekaden, satu hal yang menyatukan mereka adalah kritik mereka terhadap moralitas Victorian. Sejatinya, apa yang menjadi kritik utama dari kaum Estetik-Dekaden adalah ide bahwa kesenian harus mengabdi kepada suatu kepentingan moral yang lebih tinggi (some higher moral purpose), yang sesungguhnya berarti moralitas aristokratik, borjuis, dan borjuis kecil dari Victorianisme yang sesugguhnya, setidaknya menurut Wilde, dipenuhi dengan kemunafikan dan kontadiksi-kontradiksi di dalamnya.

‘Basis material’ yang memungkinkan kritik Wilde terhadap Victorianisme muncul, menurut Matsuoka, adalah tantangan terhadap struktur kelas masyarat yang rigid dan romantisme kelas menengah Inggris di masanya (hlm. 81). Di aspek kesenian, Wilde mengkritik kecenderungan kesenian yang vulgar dan dangkal dari kelas menengah Inggris yang kemampuan ekonominya mulai menanjak dan mencoba menikmati berbagai karya dan aktivitas kesenian (hlm. 84). Ini terlihat, misalnya, dari pergeseran tren kesenian Victorian yang mula-mula ‘dipimpin’ oleh para seniman yang berafiliasi dengan Royal Academy of Arts yang kemudian ‘diambil alih’ oleh kelas menengah Inggris dengan perkumpulan keseniannya, Art Union, yang mempromosikan realisme domestik (domestic realism), penghormatan dan puji-pujian dalam karya seni, dan pengutamaan atas aktivitas sosial, seperti jalan-jalan dan kunjungan ke berbagai galeri seni alih-alih penghargaan atas karya seni—semuanya atas nama norma sosial ala Victorian (hlm. 82—4). Kritik ini diungkapkan secara tajam melalui pernyataan Lord Henry dalam TPDG, “zaman sekarang, orang-orang tahu harga semua hal, tetapi tidak tahu nilainya”[xii] (hlm. 84; cetak miring oleh penulis).

Di aspek sosial, Oscar lain tidak hanya mengkritik berbagai kontradiksi moralitas dan ‘kedangkalan’[xiii] kesenian kelas menengah dan kelas atas Victorian, namun juga menyerang optimisme palsu dan norma seksualitas mereka. Sosok Dorian, menurut Matsuoka, adalah gambaran kemunafikan (hypocrisy) kelas borjuis-aristokrat: di satu sisi ia melakukan segenap perbuatan yang dianggap imoral, namun di sisi lain ia tampil dengan penampilan yang luar biasa mengesankan (hlm. 85). Wilde juga mengkritik optimisme dan kebaikan moralis ala kaum borjuis-aristokrat, yang menurut Wilde sesungguhnya timbul dari ketakutan kaum borjuis-aristokrat akan kemungkinan ‘dirampasnya’ privilese sosial mereka, sebagaimana diungkapkan oleh Lord Henry kepada Basil (hlm. 85). Lebih lanjut lagi, Wilde mencoba menampilkan kontras antara kemewahan kelas yang berpunya dan berkuasa dengan kesulitan hidup yang membebani mayoritas rakyat Inggris di masa Victoria. Padahal, aktivitas produktif dilakukan oleh mayoritas rakyat tersebut, sedangkan kelas borjuis-aristokrat Victorian melihat aktivitas produktif sebagai beban dan menganggap waktu luang (leisure) dan bermalas-malasan (idleness) sebagai suatu privilese sosial. Wilde secara sinis menyebut gaya hidup kaum borjuis-aristokrat sebagai “seni tidak melakukan apa-apa secara gemilang ala kaum bangsawan” (“the great aristocratic art of doing nothing”) (hlm. 87). Kritik Wilde ini, menurut Chamberlin (1972), terdengar mirip dengan kritik ekonom nyentrik Thornstein Veblen atas konsumsi mencolok atau pamer (conspicuous consumption) dari kelas atas yang gemar menghabiskan waktu luang yang juga disebut Veblen sebagai the leisure class. Wilde juga menunjukkan kontras antara kelas penghisap dan kelas produktif dengan sosok Dorian, yang selalu bergerak melintasi dua dunia: kelas-kelas dengan status sosial tertinggi dan terendah (Matsuoka, 2003: 87). Terakhir, Wilde juga mengkritik norma seksualitas yang kaku dan mengekang ala Era Victoria. Hasrat seksual Dorian yang tidak terkontrol, liar, dan eksperimental, menurut Wilde, sesungguhnya adalah ‘efek samping’ dari “represi borjuis Victorian atas segala bentuk seksualitas non-reproduktif” (hlm. 89).

Interpretasi Matsuoka atas TPDG juga senada dengan interpretasi Ryan dan Cadwallader (2013) atas kritik Wilde atas hedonisme ekstrem ala Dorian, interpretasi Duggan (2008—2009) atas berbagai dilema yang berkaitan dengan kemampuan filsafat estetika merumuskan suatu kritik sosial, dan interpretasi Quintus (1980) atas dimensi moral dari Estetika Wilde. Namun, terlepas dari ambivalensi Wilde atas berbagai dilema dan potensi kritik aliran Estetik-Dekaden, secara sadar Wilde mengusung suatu bentuk seni yang ingin menonjolkan keindahan sekaligus membongkar kebangkrutan moralitas Victorian dalam TPDG.

 

Sosialisme dan Teologi dalam The Soul of Man dan De Profundis

Jikalau sebelumnya kita banyak membahas mengenai karya-karya seni Wilde, di bagian ini kita beralih ke tulisan Wilde dalam versinya yang lain. Pertama, dibahas traktat politik Wilde yang berjudul The Soul of Man Under Socialism (Jiwa Manusia dalam Sosialisme) yang juga dikenal sebagai The Soul of Man. Selanjutnya, dibahas surat panjang Wilde yang ditulisnya semasa ia di penjara yang ditujukan kepada kekasihnya Bosie, De Profundis (diambil dari Mazmur 130 dalam Perjanjian Lama, yang berarti ‘Dari Kedalaman’). Selain traktat politik, The Soul of Man juga dapat dibaca sebagai tulisan di mana visi politik dan kesenian Wilde bertemu. Sedangkan De Profundis, yang bernuansa kontemplatif, dapat dibaca sebagai renungan dan rangkuman pemikiran Wilde seputar kesenian, politik, dan teologi.

The Soul of Man membahas berbagai macam tema, mulai dari sosialisme, anarkisme, negara, individualisme, bentuk pemerintahan, kesenian, Hellenisme, hingga kebebasan. Wilde memulai traktatnya dengan mengkritik konsep sumbangan dan altruisme[xiv]:

“They find themselves surrounded by hideous poverty, by hideous ugliness, by hideous starvation. It is inevitable that they should be strongly moved by all this. The emotions of man are stirred more quickly than man’s intelligence; and, as I pointed out some time ago in an article on the function of criticism, it is much more easy to have sympathy with suffering than it is to have sympathy with thought. Accordingly, with admirable though misdirected intentions, they very seriously and very sentimentally set themselves to the task of remedying the evils that they see. But their remedies do not cure the disease: they merely prolong it. Indeed, their remedies are part of the disease.”

(“Mereka dikelilingi oleh kemiskinan, keburukan, dan kelaparan yang kejam. Adalah tak terhindarkan apabila mereka merasa tergerak oleh semua itu. Emosi manusia lebih cepat terpanggil daripada daya pikirnya, dan, seperti sudah kutunjukkan beberapa waktu yang lalu dalam sebuah artikel tentang fungsi kritisisme, adalah lebih mudah untuk bersimpati kepada penderitaan daripada bersimpati kepada pemikiran. Karenanya, dengan niat yang mengesankan namun salah sasaran, mereka dengan amat serius dan sentimental berupaya mengatasi kejahatan yang mereka lihat itu. Namun, jawaban yang mereka berikan tidak mengobati penyakit tersebut, jawaban tersebut hanya memperpanjang penyakit itu. Sungguh, jawaban yang mereka berikan adalah bagian dari permasalahan”). (Cetak tebal oleh penulis)

Bagi Wilde, moralitas borjuis-aristokrat Victorian bukanlah jawaban, melainkan bagian dari permasalahan sosial yang berupa kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan. Tujuan politik yang pantas, menurut Wilde, adalah “…menata ulang masyarakat sehingga kemiskinan menjadi tidak mungkin.[xv] Dengan sosialisme, maka segala permasalahan sosial ini bisa diatasi, terutama karena “…Sosialisme sendiri berharga karena ia akan membawa kita kepada Individualisme.[xvi]. Di sini, kita bisa melihat ada yang menarik dari politik Wilde: ada nuansa libertarian atau anarkis dalam Sosialisme Wilde. Lebih lanjut lagi, Wilde mengamati bagaimana industrialisasi, yang dianggap memiliki potensi untuk memerdekakan manusia dari kewajiban kerja, malah semakin memperbudak (enslave) manusia melalui perkembangan mesin-mesin industri. Wilde juga menggarisbawahi pentingnya individualisme, yang ia definisikan sebagai kebebasan individu untuk merealisasikan potensinya tanpa hambatan struktural, dalam masyarakat sosialis. Wilde juga berkali-kali menyatakan skeptisismenya terhadap institusi negara, terutama kecenderungan watak koersif dan otoritarian yang ia lihat dari negara. Dalam hal dukungannya terhadap praktik-praktik sosial baru dan pengorganisasian, Wilde berpendapat bahwa “semua asosiasi haruslah sedikit banyak didasarkan atas prinsip kesukarelaan. Hanya dalam asosiasi-asosiasi yang sukarelalah manusia akan baik-baik saja.[xvii] (cetak miring bersumber dari teks aslinya).

Di dalam The Soul of Man, Wilde juga secara ekstensif membahas secara panjang mengenai visi dan filsafat keseniannya. Pengaruh aliran Estetik-Dekaden masih terasa di sini: berkali-kali Wilde menyatakan pentingnya Seni (dengan ‘S’ kapital) dan kesenian. Di sinilah, visi politik dan kesenian Wilde beradu. Di satu sisi ada semangat egalitarianisme, terutama dalam kritik Wilde atas aktivitas kerja kasar yang menurutnya adalah suatu proses dehumanisasi. Namun, di sisi lain, ada kritik terhadap selera kesenian publik yang menurutnya vulgar dan dangkal, yang terlihat dalam pernyataan-pernyataan seperti “sekarang Seni tidak boleh mencoba menjadi populer. Publiklah yang harus menjadi artistik,” atau “karya seni haruslah mendominasi penikmatnya: penikmatnya tidak boleh mendominasi karya seni.”[xviii] Ini menggambarkan semacam dilema dan pertentangan antara visi politik dan visi kesenian Wilde.

Tema lain yang kerap muncul dalam The Soul of Man adalah teladan dari figur Yesus Kristus. Meskipun seorang bohemian, dan kerap mengungkapkan skeptisismenya terhadap aspek-aspek ortodoks dari agama beserta institusinya, Wilde tampaknya begitu terinspirasi dengan sosok Kristus—satu tema yang kemudian juga muncul dalam De Profundis dan kehidupannya ketika ia memutuskan menjadi seorang Katolik. Yesus, bagi Wilde, adalah semacam teladan: ia mengkritik akumulasi harta dan kepemilikan pribadi, membela mereka yang miskin, mengampuni dosa, dan tersentuh oleh cinta. Namun, bagi Wilde, kita tidak perlu mewujudkan Individualisme melalui penderitaan seperti Kristus. Individualisme bisa dicapai melalui kesenangan (joy).

Wilde menutup traktatnya dengan kembali mengingatkan bahaya simpati semu. Kemudian, ia kembali mengambil contoh perjuangan Kristus relevansinya dalam mewujudkan suatu tatanan masyarakat Sosialis yang voluntaris. Di akhir traktatnya, Wilde menyerukan bahwa ‘Individualisme baru adalah Hellenisme baru.’[xix]. Hellenisme yang dimaksud Wilde adalah cita-cita masyarakat Yunani kuno mengenai suatu visi masyarakat yang egaliter yang tiap-tiap individu dapat berkembang dan merealisasikan potensinya yang ada dalam pikiran mereka namun tidak dapat direalisasikan pada masa itu. Dengan Sosialisme dan Individualisme, menurut Wilde, maka Hellenisme baru itu dapat tercapai.

Tema-tema yang sama, namun dengan nada yang lebih kontemplatif dan rendah hati, juga dapat ditemukan dalam De Profundis. De Profundis dimulai dengan sebuah pernyataan yang menyiratkan keputusasaan, “tempatku akan berada di antara Gilles de Retz dan Marquis de Sade.”[xx] Kemudian, Wilde memulai dengan bercerita mengenai kehidupannya, hubungannya dengan Bosie, hingga kesulitan hidupnya selama di penjara. Awalnya, ada kalimat yang bernada bombastis, “Para Dewa telah memberiku hampir segalanya. Aku memiliki kejeniusan, nama yang terkemuka, posisi sosial yang tinggi, kebrilianan, keberanian intelektual.”[xxi]. Namun, di bagian selanjutnya, Wilde jauh lebih rendah hati dalam De Profundis. Di tengah-tengah kesulitan hidupnya, Wilde menyatakan bahwa baik moralitas, agama, maupun akal tidaklah membantunya, karena, “Aku terlahir sebagai antinomian.[xxii] Aku adalah satu dari sekian yang tercipta untuk pengecualian, bukan untuk (mematuhi) hukum.’[xxiii]. Dalam kesusahannya, ia menemukan bahwa penderitaan (suffering) merupakan jalan untuk menemukan dirinya. Dengan kata lain, melalui kesulitan, ia kembali meneguhkan dirinya sebagai seorang individualis. Kembali, figur Yesus menjadi panutan bagi Wilde. Menurutnya, ‘Dan di atas segalanya, Kristus adalah individualis yang paling agung.’[xxiv]

Di sini, kita dapat melihat evolusi dan kesinambungan pemikiran Wilde tentang individualisme, kebebasan dan Kristus di sini. Di The Soul of Man, Wilde secara optimis menyatakan bahwa kita tidak perlu menempuh jalan penderitaan seperti Kristus demi mencapai individualisme. Namun, perjalanan hidup Wilde dan pengalamannya di penjara seperti yang ditulisnya dalam De Profundis menunjukkan bahwa bagi Wilde, untuk mencapai jati diri Individualisnya, rupa-rupanya ia harus menempuh jalan seperti Kristus: jalan penderitaan.

Namun demikian, ada satu teka-teki atau puzzle di sini: bagaimana Wilde yang menganggap bahwa agama, moralitas, dan akal tidak akan menolongnya, justru berpaling kepada Kristus yang dianggapnya contoh terbaik Individualisme?

Pengakuan inilah, menurut Simon Critchley (2009), profesor di The New School, New York, aspek yang paling radikal dari konsepsi Wilde tentang keimanan dan individualisme. Menurut Critchley, ada beberapa hal yang menarik yang dapat dikaji dari De Profundis. Pertama, dalam kesusahan hidupnya, Wilde menyadari bahwa kerendahhatian (humility) dan penderitaan (suffering) adalah jalannya untuk menemukan kebahagian dan Individualisme. Kedua, dalam penderitaannya, alih-alih bersujud kepada otoritas, moralitas, hukum, atau yang transedental (some transcedent deity), ia menjadikannya sebagai momen baru untuk realisasi dirinya (‘fresh mode of self-realization). Ketiga, agama menurut Wilde adalah ‘kesetiaan estetis’ (aesthetic fidelity) terhadap suatu simbol yang kita ciptakan sendiri—bagi Wilde, jelas, simbol tersebut adalah Kristus. Keempat, bagi Wilde, Kristus adalah ‘seniman agung yang romantis’ (supreme romantic artist), karena, ‘Ia mengambil seluruh dunia yang diam, dunia kesakitan yang tanpa suara, sebagai kerajaan-Nya dan menjadikan diri-Nya juru bicara.’[xxv] Kristus menjadi seniman yang paling agung dan romantis karena Ia menjadikan diri-Nya suara bagi mereka yang bisu (voiceless), dalam hal ini tidak hanya mereka yang lemah dan tertindas, namun juga mereka yang berpunya namun terjebak dalam hedonisme yang terkomodifikasi. Kelima, di De Profundis, kita bisa melihat bagaimana visi Sosialisme dan teologi Wilde bertemu: jika sebelumnya, dalam The Soul of Man, Wilde meyakini bahwa Sosialisme dan Individualisme dapat dicapai tanpa melalui penderitaan ala Kristus, Imitatio Christi, di De Profundis, Wilde tidak begitu yakin.

Sebagai tambahan dari saya, satu sisi lain dari diri dan karya Wilde yang dapat kita lihat dalam De Profundis adalah genealogi pemikiran Wilde dan beberapa pemikir serta penulis yang berpengaruh dalam pemikiran Wilde. Wilde menyebut, antara lain, Walter Pater, mentornya di Oxford, Victor Hugo, Charles Baudelaire, dan Peter Kropotkin, sang pangeran anarkis.

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa selain membaca karya-karya seni Wilde, maka untuk lebih memahami bangunan pemikiran Wilde, kita juga perlu membaca The Soul of Man dan De Profundis. Jika karya-karya Wilde adalah manifestasi atau pengejawantahan dari pemikiran, pemahaman seni, dan kritik sosialnya, The Soul of Man dan De Profundis adalah refleksi dan fondasi dari karya dan pemikirannya. Terdapat evolusi tetapi juga kesinambungan pemikiran Wilde dalam The Soul of Man dan De Profundis, namun tema-tema yang diangkat Wilde kurang lebih sama, yaitu politik, teologi, Individualisme, filsafat seni, dan perjalanan hidupnya.

 

Tinjauan Kritis

Setelah membahas karya-karya Wilde secara cukup ekstensif, setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita ulas secara kritis tentang karya-karya Wilde. Pertama, sebagaimana dapat kita lihat dalam karya Wilde terutama TPDG dan The Soul of Man, terdapat suatu ambivalensi dari sikap Wilde terhadap aliran kesenian yang juga menjadi inspirasi baginya, yaitu Estetik-Dekaden. Dialog antara tokoh-tokoh dalam novel TPDG, konsepsi Wilde tentang seni dalam The Soul of Man adalah beberapa jejak ambivalensi Wilde. Meskipun Wilde lahir dari konteks dan tradisi kesenian Estetik-Dekaden, Wilde sadar bahwa tendensi hedonistik dan anti-moralitas yang berlebihan dalam aliran Estetik-Dekaden bisa menjadi hal yang kontra-produktif dalam aktivitas berkesenian. Namun, Wilde juga sadar bahwa aliran Estetik-Dekaden menawarkan cara baru untuk menjaga keindahan sekaligus mengkritik kebangkrutan moralitas Victorian. Kemudian, Wilde juga menyadari pentingnya dimensi ‘moral’, yang saya asumsikan sebagai moralitas yang sejalan dengan prinsip Individualisme Wilde, yang dia rasa perlu diadopsi baik dalam gaya dan bentuk maupun substansi dari karya-karyanya. Perhatian Wilde akan ‘hilangnya’ keindahan juga mengingatkan saya akan perhatian yang kurang lebih serupa dari Walter Benjamin (1968) dalam salah satu esainya, The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (Karya Seni dalam Masa Reproduksi Mekanis), yang menyatakan bahwa dengan penemuan teknik reproduksi seni secara mekanis terutama teknologi fotografi dan perfilman, karya seni perlahan-lahan akan kehilangan ‘aura’-nya. Dalam konteks ini, kecemasan kaum Estetik-Dekaden termasuk Wilde akan hilangnya ‘yang indah’ bisa dibilang cukup mirip dengan kecemasan Benjamin akan hilangnya ‘aura’. Namun, yang berbeda adalah Benjamin mengakui bahwa reproduksi mekanis dapat memberikan sebuah pengalaman kesenian yang baru dan inovatif dan gerakan Kiri dapat mengambil momentum tersebut dengan ‘mempolitisasi kesenian’ (politicizing art)[xxvi], sedangkan bagi Wilde, pengalaman kesenian baru yang muncul dalam masa Revolusi Industri di Era Victoria hanya berdampak pada merebaknya kesenian yang dangkal dan vulgar berupa ritual kesenian ala kelas borjuis-aristokrat Victorian. Perbedaan lain antara Benjamin dan Wilde adalah Benjamin pada dasarnya dapat dikatakan sebagai seorang kritikus seni, Wilde menjalani peran ganda sebagai kritikus seni dan seniman sekaligus. Mungkin ini juga yang menjelaskan berbagai ambivalensi, paradoks, dan dilema dalam aktivitas kesenian Wilde: ia menyadari kegunaan gaya Estetik-Dekaden dalam karya-karyanya, namun juga mengkritisi kecenderungan hedonistik yang nihilis dari aliran tersebut; ia ingin menjadi pelaku sekaligus kritik kesenian; ia secara sadar memosisikan diri sebagai seorang seniman (artist) yang memiliki semacam ‘otoritas berkesenian’, namun di sisi lain ia menulis karya-karya seperti lakon teater yang dapat dinikmati dan dikomentari oleh khalayak umum[xxvii].

Kedua, ambivalensi Wilde dalam melihat gerakan Estetik-Dekaden juga menggiring kita ke pertanyaan selanjutnya: bagaimana pandangan Wilde mengenai aktivitas berkesenian dan produsen seni? Dalam The Soul of Man, Wilde mengkritik kecenderungan dan selera kesenian publik yang dianggap tidak mengetahui Seni (sekali lagi, dengan ‘S’ kapital). Namun, terdapat komitmen terhadap suatu bentuk politik sosialis yang libertarian-anarkis dan pro-Individualisme. Satu penafsiran yang muncul atas ambivalensi Wilde adalah, pada akhirnya, apabila kita melihat karya dan pemikiran Wilde secara kesuluruhan, maka pada dasarnya Wilde percaya bahwa Seni dapat menembus divisi kelas, dan semua orang dapat menjadi produsen seni yang kreatif yang merupakan bagian dari manifestasi Individualismenya[xxviii]. Pada titik ini, saya sendiri belum dapat mengambilkan kesimpulan yang jelas mengenai pandangan Wilde terhadap kemungkinan publik (dengan latar belakang yang bukan borjuis dan aristokrat) untuk menjadi produsen Seni. Namun, jika kita berangkat dari asumsi bahwa Wilde adalah, mengutip istilah Nassaar (1974), seorang estetik dengan komitmen moral (morally commited aesthete), kita dapat mengatakan bahwa Wilde mendukung pandangan bahwa publik (yang meliputi dan melintasi berbagai divisi kelas sosial) dapat menjadi produsen Seni.

Ketiga, dilema lain yang dihadapi Wilde adalah keinginannya untuk menjadi kritikus seni sekaligus seniman (Chislett Jr., 1915). Wilde, dalam kritiknya atas Filitinisme (Philistinism), atau kecenderungan moralis yang kaku dan ‘anti-Seni’ di masa Victoria, justru kemudian harus bergumul secara intens dengan Filitinisme (hlm. 363) secara intens, dalam rangka merumuskan ‘Hellenisme Barunya’ (The New Hellenism). Dilema ini juga terlihat apabila kita membaca esai Wilde tentang kritik kesenian, The Critic as Artist, yang di dalamnya Wilde berpendapat bahwa kritik kesenian, yang berarti berinteraksi dan bergumul dengan aktivitas berkesenian dan karya seni, adalah tidak kalah bahkan sama berharga dan pentingnya dengan aktivitas berkesenian itu sendiri. Mungkin, dalam konteks inilah, kita bisa membaca pandangan Wilde tentang seni dan kritik seni secara lebih jelas.

Keempat, sebagaimana halnya banyak intelektual yang melampaui zamannya, kita juga dapat melihat sejarah sosial Wilde sebagai sesuatu yang menarik untuk dikaji. Terlahir dan besar sebagai bagian dari kelas atas di Irlandia dan Inggris di Era Victoria, Wilde secara kritis menggunakan gaya dan analisis Estetik-Dekaden untuk mengkritik kemunafikan moralitas Victorian. Wilde, yang haus dan menikmati reputasi dan popularitas namun tetap tergerak untuk melontarkan kritik sosial, akhirnya harus dihukum oleh masyarakat Victorian (dan ulah kekasihnya) karena seksualitasnya, menjadikannya menderita dan rendah hati—pengalaman yang menurut Wilde membuatnya mampu merealisasikan Individualismenya. Hal menarik lainnya dari sejarah sosial seorang Oscar Wilde adalah sejarah intelektualnya: pengaruh intelektual yang dominan pada Wilde adalah studi klasik (Classics), yaitu studi sejarah dan filsafat Yunani dan Romawi masa kuno dan modern. Mungkin, dari kacamata inilah, sedikit banyak Wilde memikirkan dan mengkritik masyarakatnya.

 

Penutup: Oscar Wilde dan Dialektika

Sebagai penutup, secara garis besar, sekarang kita dapat memahami secara lebih jelas mengenai karya dan pemikiran Oscar Wilde. Sastrawan Anglo-Irlandia yang secara kritis berada dalam tradisi Estetik-Dekaden ini mengukuhkan dirinya sebagai salah satu kritikus sosial terkemuka di Inggris, terutama atas moralitas borjuis-aristokrat Victorian yang dominan pada zamannya.

Terlepas dari konteks aliran saat karya Wilde dirumuskan dan berkembang, yaitu aliran Estetik-Dekaden, yang sebagian tendensinya masih terlampau hedonistik dan mungkin berbau borjuis, Wilde berhasil mencoba membuat perhitungan dan kritik atas keterbatasan aliran Estetik-Dekaden dan lebih lanjut lagi atas keterbatasan moralitas dan kesenian Victorian. Yang menarik, kita bisa melihat semacam dialektika dalam karya Wilde: Wilde bergumul dengan kehidupan, moralitas, dan cita rasa seni dari kaum kelas atas Victorian, untuk kemudian melakukan kritik tajam atasnya—tentunya dengan caranya yang jenaka, muram, terkadang bombastis, namun sesekali kontemplatif.

Meskipun kritik Wilde lahir dari konteks masyarakat Victorian, kritik dan pemikirannya terasa relevan hingga sekarang. Setidaknya, saya bisa membayangkan relevansi kritik Wilde untuk konteks Indonesia, untuk mengupas berbagai persoalan mulai dari korupsi, suap-menyuap, politik kotor, standar ganda, moralitas sok suci, hingga praktik kawin-mawin dan skandal seks dari para petinggi negeri. Mungkin, relevansi ini terasa karena apa yang Wilde kritik sesungguhnya adalah moralitas borjuis-aristokrat (atau dalam konteks masyarakat di negara berkembang, borjuis-feodal) yang bangkrut.

Bagi Wilde, inspirasi bisa datang dari mana saja, baik dari atas maupun bawah, dari Pater maupun Roskin, dari Kropotkin maupun Yesus Kristus. Semuanya didedikasikan untuk keindahan, kritik sosial, dan Individualisme.

 

*Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc

 


[i] Penulis berterima kasih kepada rekan Ayumi Kaneko Zapata, pengkaji karya-karya Oscar Wilde dan alumnus Trinity College Dublin, atas diskusi dan masukannya dalam penulisan artikel ini.

[ii]    Oscar Wilde, meskipun berdarah Irlandia dan menghabiskan periode awal kehidupannya di Irlandia, di kemudian hari lebih banyak bermukim dan berkarier di London.

[iii]   Aliran atau angkatan Estetika (Aesthetics Movement) adalah sebuah aliran kesenian yang mengedepankan aspek estetis atau keindahan dari suatu karya seni alih-alih fungsi moral, sosial atau politiknya. Aliran ini juga terkadang dikenal dengan slogan ‘seni untuk seni’ (‘art for the sake of art’). Aliran Estetika mempengaruhi banyak aspek dari corak pemikiran Wilde, terutama filsafat seninya. Menariknya, melalui Estetika pulalah ia merumuskan kritiknya atas moralitas masyarakat Victorian.

[iv]  Era Victoria (1837—1901), secara umum, merujuk kepada masa berkuasa Ratu Victoria di Inggris yang juga diasosiasikan dengan proses modernisasi beserta kemajuannya sekaligus berbagai kontradiksinya: norma sosial yang ketat dan struktur kelas yang rigid. Oscar Wilde adalah kritik terkemuka atas moralitas Victorian. Saya perlu berterima kasih kepada rekan Sony Karsono yang pernah secara spesifik mendiskusikan karakter moralitas Victorian kepada saya.

[v]    Kebetulan, selain membaca naskah dramanya, saya pernah menonton pementasan drama An Ideal Husband secara langsung.
         

[vi]         Perlu diingat bahwa aktivitas seksual sesama jenis atau homoseksual dianggap sebagai perbuatan kriminal di Inggris pada Era Victoria. Homoseksualitas baru didekriminalisasi di Inggris pada tahun 1967 dengan berlakunya Sexual Offences Act 1967 (Undang-Undang Pelanggaran Seksual Tahun 1967).

[vii]        Ada semacam wordplay atau permainan kata-kata di sini. Di lakon TIBE, kata earnest yang berarti ‘jujur atau bersungguh-sungguh’ dan nama Ernest yang menjadi nama idola oleh tokoh-tokoh di lakon TIBE memiliki pelafalan yang mirip.

[viii]       Lagi-lagi, ada permainan kata-kata antara ‘Ernest’ dan ‘Earnest’ di sini.

[ix]         Di lakon TIBE, sepertinya kita dapat menangkap kesan bahwa Algy dan John sesungguhnya agak malas, jikalau tidak enggan sama sekali, untuk terus mematuhi dan menaati moralitas dan norma sosial Victorian, dan karenanya mereka menjalani dua kehidupan. Karenanya, frasa ‘orang baik dan terhormat’ dan ‘orang bebas’ sengaja saya beri tanda kutip untuk menunjukkan sesaknya moralitas Victorian pada masa itu.

[x]          Teks aslinya, “Basil Halward is what I think I am; Lord Henry what the world thinks me; Dorian what I would like to be—in other ages, perhaps.”.

[xi]         Nassaar (1974) menyebut kecenderungan pertama sebagai kaum dekaden (decadent) dan kecenderungan kedua sebagai kaum estetik dengan komitmen moral (morally committed aesthete). Bahkan, menurut Nassaar, kaum dekaden mencari keindahan dalam kejahatan.

[xii]        Teks aslinya, “Nowadays people know the price of everything, and the value of nothing.”.

[xiii]       Kita tentunya bisa berdebat mengenai apa yang dimaksud dengan ‘kedangkalan artistik’ dari kelas menengah. Problematika dan konteks sosio-historis yang berkaitan dengan seni, aliran Estetik-Dekaden, dan Victorianisme akan saya bahas selanjutnya di bagian kedua dari seri tulisan ini.

[xiv] Kritik Wilde atas moralitas borjuis (dan mungkin juga kapitalisme) juga dikutip dan dibahas secara ekstensif oleh Slavoj Zizek (2011, p. 117—8), dalam salah satu buku terbarunya, Living in the End Times. Kuliah Zizek yang membahas mengenai kritik Wilde juga dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=hpAMbpQ8J7g

[xv]  Teks aslinya, “…reconstruct society on such a basis that poverty will be impossible.”.

[xvi] Teks aslinya, “…Socialism itself will be of value simply because it will lead to Individualism.”.

[xvii]             Teks aslinya, “All association must be quite voluntary. It is only in voluntary associations that man is fine.”.

[xviii]           Teks aslinya, “Now Art should never try to be popular. The public should try to make itself artistic,’ dan ‘The work of art is to dominate the spectator: the spectator is not to dominate the work of art.”.

[xix]              Teks aslinya, “The new Individualism is the new Hellenism.”.

[xx]  Teks aslinya, “My place would be between Gilles de Retz and the Marquis de Sade.”. Giles de Retz adalah seorang pensiunan militer yang kemudian menjadi pembunuh berantai yang menyerang anak-anak dan Marquis de Sade adalah bangsawan sekaligus penulis yang terkenal karena tulisannya yang erotis.

[xxi]              Teks aslinya, “The gods had given me almost everything. I had genius, a distinguished name, high social position, brilliancy, intellectual daring.”.

[xxii]       Antinomianisme (Bahas Yunani, anti = ‘melawan’, dan nomos = ‘hukum’), adalah ajaran bahwa hanya iman, dan bukannya hukum moral, yang diperlukan untuk keselamatan.

[xxiii]      Teks aslinya, “I am a born antinomian. I am one of those who are made for exceptions, not for laws.”.

[xxiv]      Teks asli, “And above all, Christ is the most supreme of individualists.”.

[xxv]       Teks asli, “…he took the entire world of the inarticulate, the voiceless world of pain, as his kingdom, and made of himself its external mouthpiece.”.

[xxvi]      Namun, pandangan Benjamin yang melihat reproduksi mekanis secara pesimistis menurut Theodor Adorno ‘kurang dialektis’. Sebagai rujukan, lihat Caygill, et al. (2000).

[xxvii]     Mungkin juga, apabila Wilde tidak di penjara, perkembangan pemikiran keseniannya akan lain. Namun, ini hanyalah sekadar hipotesis.

[xxviii]           Ini adalah penafsiran yang diajukan oleh rekan saya, Ayumi Kaneko Zapata. Mengingat by training Ayumi adalah seorang sarjana humaniora dan pengkaji karya-karya Wilde, maka bisa jadi penafsiran Ayumi cukup valid.


            Daftar Pustaka

Aldington, R. The Portable Oscar Wilde. New York: The Viking Press, 1946.

Benjamin, W. Illuminations. New York: Harcourt, Brace & World, 1968.

Callow, S. Oscar Wilde and His Circle. London: National Portrait Gallery Publications, 2000.

Caygill, H., A. Coles, R. Appignanesi  & A. Klimowski. Introducing Walter Benjamin. London: Icon Books Ltd., 2000.

Chamberlin, J. E. “Oscar Wilde and the Importance of Doing Nothing”. The Hudson Review, 25(2), hlm. 194—218, 1972.

Chislett Jr., W. “The New Hellenism of Oscar Wilde”. The Sewanee Review, 23(3), hlm. 357—63, 1915.

Critchley, S. Oscar Wilde’s faithless Christianity. [Online] Available at: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/belief/2009/jan/14/religion-wilde
[Accessed 2 July 2013], 2009.

Duggan, P. “The Conflict Between Aestheticism and Morality in Oscar Wilde’s The Picture of Dorian Gray”. WR: Journal of the CAS Writing Program, Issue 1, 2008—2009.

Foster, R. “Wilde as Parodist: A Second Look at the Importance of Being Earnest”. College English, 18(1), hlm. 18—23, 1956.

Holland, M. & Hart-Davis, R. The Complete Letters of Oscar Wilde. New York: Henry Holt, 2000.

Holland, V. Oscar Wilde. 2nd ed. London: Thames and Hudson, Ltd., 1997.

Matsuoka, M. “Aestheticism and Social Anxiety in The Picture of Dorian Gray”. Journal of Aesthetic Education, Volume 29, hlm. 77-100, 2003.

Nassaar, C. S. Into the Demon Universe: A Literary Exploration of Oscar Wilde. New Haven: Yale University Press, 1974.

Quintus, J. A. “The Moral Implications of Oscar Wilde’s Aestheticism”. Texas Studies in Literature and Language, 22(4), hlm. 559-74, 1980.

Ryan, D. J. & R. L. Cadwallader, R. L. “Giving Voice to the Death of Dorian Gray: An Investigation of Hedonistic Suicide”. SPECTRUM: Journal of Student Research at Saint Francis University, 3(4), hlm 16—9, 2013.

Wilde, O. The Works of Oscar Wilde. New York: Walter J. Black, Inc., 1927.

Wilde, O. Oxford World’s Classics: Oscar Wilde, The Major Works. 2nd ed. New York: Oxford University Press, 2000.

Zizek, S. Living in the End Times. London: Verso, 2011.

 

*Iqra Anugrah adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.