“Lengan Politik Masyarakat Sipil”: Pengalaman dan Ikhtiar Partai Hijau Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

Ada hantu berkeliaran dalam masyarakat sipil Indonesia: “prasangka” namanya.Tapi maaf,
ini bukan manifesto. Ini hanya pengalaman dan refleksi kami sebagai pengurus Partai Hijau Indonesia dalam merekrut anggota pendiri.

 

SEJAK Partai Hijau Indonesia (PHI) dideklarasikan pada 5 Juni 2012 lalu, ada satu pertanyaan klasik yang kerap terdengar. Partai ini berbasis kader atau berbasis massa? Jika kader, siapa? Dan jika massa, siapa? Aktivis lingkungan sajakah, atau dapat diperluas lebih jauh lagi? Jika ya, kepada siapa atau kelompok mana? Kalau pakai pendekatan kelas, kelas mana itu?

Saat itu, kami tidak punya jawaban yang cukup baik. Apalagi di kepala kami cuma ada tekad bahwa PHI harus menjadi partainya gerakan sosial Indonesia. Kami harus menjadi perpanjangan tangan dari gerakan masyarakat sipil. Mulai dari gerakan lingkungan, antinuklir, masyarakat adat, mahasiswa, perempuan, kaum urban, HAM, antikorupsi, buruh, kaum marjinal, hingga kelas-kelas petani, nelayan, dan seterusnya.

Alasannya sederhana, yakni keyakinan bahwa gerakan lingkungan dapat menjadi perekat bagi yang selama ini tidak punya wakil untuk memperjuangkan kepentingan mereka di pusat-pusat pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. Jika pun ada aktivis yang menjadi wakil rakyat atau penguasa melalui partai-partai yang ada, nyaris semuanya gagal atau rentan dibajak oleh partai-partai konvensional.

 

Non-Divisif, “Real Proletar”, Partai Gerakan dan Bukan Single Issue Party

Beberapa tahun sebelum PHI dideklarasikan, Fransiskus Borgias M. pernah menulis keunikan fundamental dari politik hijau. Menurutnya, politik hijau memiliki sifat nondivisif (non-divisive) alias tidak membeda-bedakan. Politik hijau mampu melampaui segala perbedaan yang ada. Alasannya, karena isu lingkungan dan penghancuran ekologi mengancam semua manusia, terlepas dari bentuk perbedaan sosial manusia (kelas, ras, warna kulit, jender dan lain-lain).

Sifat non-divisif ini amat terasa buktinya dalam gerakan antinuklir. Baik dalam hal senjata nuklir maupun sebagai energi. Dalam isu senjata nuklir, kehancurannya pasti bersifat timbal-balik (mutually assured destruction), baik pelaku maupun korbannya. Dan uniknya, para pendukung nuklir itu berasal dari nyaris semua spektrum ideologi di dunia, mulai dari kiri hingga kanan. Isu nuklir sesungguhnya pemersatu dari gambaran kehancuran alam yang diakibatkan oleh teknologi buatan manusia. Karena itu, keberpihakan Partai Hijau terhadap ekologi di isu nuklir betul-betul melampaui semua perbedaan manusia, baik secara ideologi maupun sosial. Fritjof Capra dan Charlene Spretnak menyimpulkan sifat ini dengan semboyan: “Neither left nor right. We are in front.

Dalam satu kesempatan, Rocky Gerung juga mengamini bahwa di antara semua kelas yang tertindas, yang paling tertindas adalah lingkungan hidup. Penyebabnya karena semua kelas tersebut ikut serta dalam merusak lingkungan. Meski tidak menyimpulkannya sebagai “real proletar”, Rocky secara lugas menyatakan, “proletarnya proletar dari proletar-proletar yang ada adalah lingkungan atau alam”. Dengan mengutip pemikiran Chistopher D. Stone yang menulis makalah “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects”, Rocky menyimpulkan bahwa secara filsafati, dan provokatif, anggota PHI seharusnya adalah seluruh obyek alam di dunia ini.

Keterkaitan isu lingkungan dengan gerakan sosial lainnya itu membuat potensi isu lingkungan sebagai perekat gerakan sosial nampak sangat jelas. Tak satu pun gerakan sosial yang tidak bersentuhan dengan isu lingkungan hidup. Begitu pula peran PHI yang kami bayangkan.

Hal itu didukung oleh Ivan Hadar dengan tulisan yang berjudul “Partai Hijau, Partai LSM”, dua minggu setelah deklarasi PHI. Gagasannya adalah menyinergikan masyarakat sipil dengan gerak langkah PHI. Istilah LSM dipakai bukan dalam pengertian mengecilkan ruang lingkup masyarakat sipil, melainkan sebagai motor dari partai tersebut. Dan yang tak kalah penting, di dalam tulisan itu, Ivan dengan tepat menyebutkan berbagai isu atau LSM ‒ tak hanya isu lingkungan saja ‒ sebagai ranah perjuangan PHI. Persis gagasan Partai Hijau di Jerman yang dikenal Ivan ‒ yang awalnya dimaksudkan sebagai sayap politik praktis (political arms of the movement) dari gerakan sosial baru yang muncul pasca koalisi besar partai politik di sana. Jadi bukan gerakan sosial yang disubordinasi oleh Partai Hijau, namun sebaliknya, Partai Hijau-lah yang menjadi perpanjangan tangan dari koalisi gerakan masyarakat sipil yang terpinggirkan tadi.

Tapi bagaimana dengan penerimaan masyarakat sipil terhadap PHI? Terhadap parpol baru yang didedikasikan untuk kepentingan mereka?

 

Masyarakat Sipil: Kontradiksi Anti-Parpol, Activist Boom dan Comfort Zone

Membela gerakan masyarakat sipil tidaklah sulit. Mengajaknya berpolitik pun mudah. Namun, mengajaknya untuk berjuang membangun parpol sendiri adalah tantangan saat ini.

Seluruh pegiat masyarakat sipil sepenuhnya sadar bahwa problem politik di Indonesia adalah parpol. Setiap perjuangan agenda masyarakat sipil pada akhirnya ditentukan oleh lembaga legislatif – yang berarti berhulu pada parpol. Ketiadaan parpol yang setia memperjuangkan agenda masyarakat sipil membuat gerakannya selalu terhenti secara tragis.

Inilah kontradiksinya. Kita anti parpol, tapi kita sadar membutuhkan parpol untuk menentukan kemenangan agenda publik.

Sayangnya, kesadaran ini tidak melecut mereka untuk membangun parpol sendiri. Ketimbang melakukan pekerjaan yang substansial itu, mereka memilih untuk mengabaikan atau bahkan menyerang gagasan parpol dengan membangun alasan-alasan seperti ini: undang-undang politik yang tidak demokratis, fragmentasi di basis-basis massa, ketiadaan figur atau pemimpin yang kuat, dana yang sangat besar, perbedaan ideologi dan lain-lainnya.

Namun, pada saat yang sama, krisis yang terbengkalai ini terus menggerogoti. Semakin lama mereka menunda-menunda pembangunan parpol independen, semakin lama pula populasi aktivis terus menggunung. Ini yang kami istilahkan sebagai ledakan aktivis (Activist Boom), yakni suatu fenomena yang membuat para aktivis, pada masa puncaknya, tidak dapat dipanen.

Setelah paripurna dalam satu organisasi, mereka kemudian berpindah organisasi dan begitu seterusnya. Jika tidak berpindah organisasi, mereka biasanya beralih menjadi akademisi, kelompok profesional (advokat, penulis, konsultan dan lainnya) atau bahkan berbisnis. Singkatnya, transformasi dari aktivis sosial menjadi politisi tidak terjadi. Yang ada, para aktivis ini terus memadati masyarakat sipil. Proses kaderisasi di organisasi menjadi terhambat.

Bagaimana dengan aktivis yang kemudian bergabung ke parpol yang ada?

Dengan berbaik sangka, kita tentu berharap mereka bisa mengubah keadaan. Sayangnya, itu tidak terjadi. Organisasi parpol yang ada saat ini, membuat ruang gerak mereka menjadi terbatas. Mereka memang tidak kompatibel dengan praktik despotisme dan nepotisme. Mereka bahkan tidak sanggup bersaing dengan orang-orang yang memiliki kapital besar ‒ yang jauh lebih dihitung.

Karena mereka bukan darah biru (atau memiliki kedekatan dengan penguasa parpol) dan tidak memiliki dana yang berlimpah (pemodal partai), maka mereka harus memilih pilihan pragmatis: loyalitas yang kuat. Pilihan pragmatis ini yang membuat mereka mulai membenar-benarkan kebijakan penguasa atau patron politiknya. Bahkan meninggalkan nilai-nilai yang mereka perjuangkan dulu. Yang berarti membunuh seluruh karir aktivismenya.

Orang-orang yang sudah mengorbankan karir aktivismenya ini biasanya berharap bisa memiliki peluang untuk membalikkan situasi dengan perubahan jabatan. Sayangnya, oligarki di parpol yang ada, membuat mereka mengantre begitu lama.

Mereka biasanya terus-menerus menunggu posisi yang pas untuk mengembalikan keberpihakan mereka semula pada agenda-agenda publik. Misalnya, saat sudah menjadi anggota parpol dan ditagih untuk bersikap dan berpihak, mereka akan berkata, “Aku ini apalah di partai, bukan pula di struktur nasional dan bukan pula anggota DPR.” Tapi, begitu sudah menjadi anggota DPR atau menjabat sesuatu di struktur nasional, mereka tetap berkata, “Aku ini apalah di partai, bukan Ketua dan bukan Dewan Pembina.”

Dengan kondisi semacam ini, sebenarnya yang membuat para aktivis tidak bernafsu untuk memperjuangkan agenda-agenda rakyat melalui parpol bukanlah alasan-alasan yang mulia dan etis yang sering kita dengar seperti: berjuang tanpa pamrih kekuasaan politik, ingin menjadi intelektual organik dan lain sebagainya. Mereka menghindar dari agenda membangun parpol sendiri karena memang bersama dengan masyarakat sipil adalah zona nyaman bagi aktivis.

Zona nyaman tersebut membuat mereka kokoh secara sosial dan politik. Zona nyaman itu yang membuat mereka selalu “politically correct.” Media pun menyokong posisi politik ini. Seringkali kita temui, pendapat anggota parpol (yang diposisikan kurang baik) dibenturkan dengan pendapat aktivis non parpol (yang diposisikan baik). Dalam berbagai ruang dan kegiatan masyarakat sipil, aktivis non parpol memiliki ruang politik yang lebih luas dan kedudukan politik yang lebih mulia (karena tidak memiliki motif mengejar kekuasaan).

Tidak ada yang salah dengan semua tantangan ini. Kita tidak perlu mengutuki persoalan ini. Tapi, dari kondisi ini, kita harus memberi solusi.

 

Upaya Menjahit Masyarakat Sipil

Berdasar pengalaman PHI, sebenarnya dalam setiap hati kecil para aktivis selalu ada ruang untuk menerima, mendukung dan bahkan menjadi bagian dari partai politik baru. Masyarakat sipil hanya butuh penjelasan dan solusi alternatif yang ditawarkan mengenai sejumlah masalah yang menyelimuti parpol-parpol pada umumnya. Jika kita bisa menjelaskan dengan baik, biasanya hanya soal waktu bagi mereka untuk bergabung.

Berikut ini beberapa catatan PHI dalam upaya menjadikan dirinya sebagai “lengan politik bagi gerakan masyarakat sipil.” Catatan ini disusun berdasarkan sejumlah pertanyaan yang sering dikemukakan para calon anggota.

Pertama, soal basis massa. Soal ini sudah dijelaskan di awal tulisan hingga akhirnya PHI mulai memfokuskan pada upaya menjahit masyarakat sipil. Tapi, bagaimana sebenarnya bentuk sinergi yang pas? Di sinilah kelebihan utama jika parpol membasiskan diri pada gerakan sosial. Dengan menjadi lengan politik bagi masyarakat sipil, PHI tidak perlu lagi membangun sayap-sayap politik atau membagi konsentrasinya dengan pekerjaan advokasi (dan bahkan kampanye). PHI cukup tunduk pada agenda-agenda politik masyarakat sipil dan tidak perlu masuk pada wilayah kerja advokasi. Sebaliknya, PHI cukup fokus pada upaya merumuskan kebijakan politik (policy making) dan mempromosikan pemimpin-pemimpin masyarakat sipil (talent scouting).

Kedua, soal tokoh dan kepemimpinan. Tidak dapat dibantah bahwa soal kepemimpinan seringkali membuat kita tidak dapat disatukan. Tiap orang memiliki jejaring dan pendukungnya sendiri-sendiri. Di sisi lain, kepemimpinan juga bisa menjadi faktor yang melemahkan organisasi. Pemimpin A dengan kelompoknya tidak akur dengan pemimpin B. Tokoh A hebat dalam mengartikulasikan gagasan, tapi tokoh B kuat dalam pengorganisasian. Intinya, hari ini sulit bagi kita mencari sosok tokoh yang memiliki kepemimpinan sempurna ‒ yang hebat dalam segala bidang.

Ketiga, soal struktur dan model organisasinya. Tidak jarang, para aktivis mengeluhkan struktur parpol yang berjenjang-jenjang dan model organisasi yang sentralistis. Jika didalami lebih jauh, sebenarnya mereka sedang merisaukan posisi politiknya di parpol. Bagi yang merasa popularitas atau bahkan kapabilitasnya sudah mumpuni, tentu akan keberatan jika ditaruh hanya sekelas Kepala Bidang atau Departemen. Begitu pula, pengurus daerah akan selalu mengeluh dengan berbelit-belitnya rantai komando atau masalah perbedaan sikap dengan pusat (nasional).

Untuk mengatasi poin kedua dan ketiga, PHI secara radikal menihilkan figur sentral dalam organisasinya. PHI secara tegas menolak mengultuskan individu. Sebaliknya, PHI menawarkan gagasan kepemimpinan kolektif dalam segala hal. Hal ini diterjemahkan PHI dalam struktur dan bentuk organisasinya sesuai dengan prinsip yang dianutnya: demokrasi akar-rumput atau demokrasi partisipatoris atau biasa disebut sebagai “kuasa penuh anggota.”

Struktur PHI kalau dilihat secara horisontal segaris atau setara. Tidak ada jenjang atau birokrasi dalam organisasi. Tapi, kalau dilihat dari atas akan nampak jejaring-jejaring Kelompok Kerja berikut Juru Bicaranya. Fungsi Ketua dipreteli menjadi sekadar fasilitator dan koordinator, kita menyebutnya: Konvenor. Konvenor pun dipaksa berbagi “kekuasaan”-nya, ada konvenor perempuan dan konvenor laki-laki. Dengan model hampir structure-less semacam ini, setiap anggota bisa membentuk Pokja sesuai dengan minatnya. Setiap anggota bisa menjadi pemimpin dari apa yang menjadi fokus perhatiannya.

Keempat, soal platform. Apabila sudah dijelaskan soal model kepemimpinan, struktur dan organisasi, biasanya para aktivis kemudian menyergah, “Kalau begitu siapa pun bisa masuk dong?” Di mana kontrol organisasinya? Di sinilah konsep “platform driven activities” bekerja. PHI memiliki nilai-nilai yang harus dipenuhi dan ditaati oleh anggotanya. Yakni 6 (enam) Prinsip Hijau: Keadilan Sosial, Demokrasi Akar-Rumput, Keberlanjutan, Tanpa Kekerasan, Kearifan Ekologis dan Menghormati Perbedaan. Penjaga nilai-nilai ini adalah Majelis Kehormatan yang bekerja secara ad-hoc dan dipilih oleh anggota.

Kelima, soal pendanaan. Hampir semua calon anggota yang mau masuk ke PHI selalu bertanya, bagaimana pendanaan kita? Siapa yang mendanai kerja-kerja partai? Pertanyaan ini sebenarnya menunjukkan bagaimana budaya beriuran sebagai fundamental kerja masyarakat sipil belum terbentuk dengan baik. Kerapkali, kita meremehkan iuran sebagai sumber utama pendanaan. Padahal, untuk menjadi parpol yang mandiri dan benar-benar dimiliki oleh anggota hanya dapat ditunjukkan melalui iuran. Melalui iuran, kita akan dipaksa untuk mengajak anggota lebih banyak. Melalui iuran, kita dapat memeriksa sejauh mana sense of belonging anggota. Iuran menunjukkan kesetaraan anggota, baik hak maupun kewajibannya.

Di luar kelima pertanyaan tersebut, sebenarnya salah satu faktor kunci ada pada pendekatan. Pendekatan personal sangat efektif walaupun agak melelahkan dan dirasakan lamban. Namun, dari pendekatan personal, melalui dialog yang saling mengisi, justru seringkali muncul solusi dan dukungan yang mengejutkan.

Walau begitu, sejumlah penjelasan ini belum cukup meyakinkan pegiat masyarakat sipil untuk bergabung dengan PHI. Padahal, kita sudah membuktikan diri dengan menunjukkan keterlibatan anggota berbagai kelompok masyarakat sipil. Kita juga telah menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh dengan mengumpulkan 1.200-an KTP anggota pendiri dari 33 provinsi (tinggal satu provinsi lagi).

 

Penutup: Stop Prasangka!

Sebenarnya amat wajar jika penolakan didasarkan pada ketidaksesuaian laku-prinsip pribadi dengan PHI. Tidak semua aktor gerakan masyarakat sipil menyukai dan familiar dengan perubahan radikal. Masih banyak aktivis yang berbeda prinsip dengan PHI. Masih banyak aktivis yang meyakini praktik parpol yang konvensional.

Tetapi, yang utama dari tulisan ini adalah berhentilah berprasangka bahwa masyarakat sipil tidak memerlukan parpolnya sendiri. Berhentilah berprasangka bahwa masyarakat sipil tidak dapat berkonsolidasi untuk membangun parpol. Berhentilah berprasangka bahwa Partai Hijau Indonesia adalah partainya WALHI tok atau partainya tokoh-tokoh lingkungan.

Berhentilah meragukan keseriusan kita membela masyarakat sipil. Terlebih untuk Indonesia yang bersih. Yang adil. Yang lestari.***

 

John Muhammad adalah Arsitek, Eksponen 98, Manchunian dan Sekretaris Jenderal PHI. Dian Abraham adalah Aktivis Antinuklir, Liverpudlian dan Juru Bicara Nasional PHI untuk Energi Terbarukan.

 

Kepustakaan:
Borgias M., Fransiskus (n.d.), “Memperhitungkan Dimensi Ekologis dalam Politik,” Sinar Harapan.

Capra, Fritjof & Charlene Spretnak (1984), Green Politics (New York: E.P. Dutton Inc)

Hadar, Ivan A. (2012, 18 Juni), “Partai Hijau, Partai LSM”, Kompas)

Sarkar, Saral (1994), Green-Alternative Politics in West Germany: Volume II The Greens (Tokyo: United Nations University Press).

Stone, Christopher D. (1972), Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects.

 

Catatan: untuk bergabung dengan PHI silakan mendaftarkan diri dan mengirimkan foto KTP anda ke www.hijau.org atau admin@hijau.org

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.