Ilustrasi oleh Alit Ambara (nobodycorp)
Pengantar
IBRAHIM (70 tahun), menggarap lahan seluas 9600 meter. Lelaki asal Desa Sukamantri, Kecamatan Tambelang, Kabupaten Bekasi itu dapat memperoleh sekitar delapan ton padi gabah kering sekali panen dari lahan yang digarapnya. Hasilnya dibagi dua dengan pemilik lahan, setelah dikurangi biaya penanaman, seperti beli pupuk, bibit, sewa traktor, bayar buruh tanam, dan obat pembasmi hama. Padahal, selama tiga kali menanam hingga panen, Ibrahim harus membeli atau merawat alat-alat kerja serta memelihara saluran dan pasokan air. Jika gagal panen, semua kerugian ditanggung Ibrahim.
Sekitar duapuluh tahun lalu, Ibrahim menggarap lahan seorang pensiunan tentara yang bertempat tinggal di Kabupaten Bogor. Ketika Kabupaten Bekasi ditetapkan sebagai zona ekonomi internasional dan tujuh kawasan industri raksasa dibuka, harga tanah di Bekasi melonjak. Lima tahun terakhir, sekitar 12.000 dari 58.000 hektar areal persawahan teknis di enam kecamatan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, telah beralih fungsi menjadi kawasan nonpertanian (Kompas, 22/6/2010). Saluran-saluran irigasi pun disesuaikan dengan layout kawasan industri. Beriringan dengan itu, jumlah rumah tangga petani di Kabupaten Bekasi pun menyusut dari 202.999 jiwa pada 2003 menjadi 85.587 jiwa pada 2013. Menyusul penyempitan lahan daratan adalah berkurangnya kepemilikan hewan ternak, seperti sapi potong, sapi perah atau pun kerbau (BPS, 2013).
Entah apa yang terjadi jika pemilik lahan memutuskan menjual lahannya ke pihak lain. Beberapa tetangga Ibrahim yang telah melepas lahannya kini menjadi buruh tani, buruh bangunan, dan ada pula yang menjadi tukang ojek. Pastinya, Ibrahim tidak akan memiliki kekuasaan apapun untuk menolak kehendak sang pemilik lahan. Lagi pula tidak ada peraturan khusus ataupun perjanjian yang mengatur hubungan antara penggarap dengan pemilik lahan.
Sementara ini, dengan hasil panen itulah Ibrahim menghidupi istri, dua anak dan seorang cucu. Sisa panen biasanya disimpan untuk persiapan modal menanam. Untungnya, dua anak Ibrahim sudah bekerja; satu bekerja di pabrik dan satu lagi bekerja sebagai buruh rumah tangga di Dubai. Istrinya kerap diminta membantu tetangga kampung untuk memijat atau saat melahirkan. Terkadang, istri Ibrahim pun rajin beternak ayam atau bebek. Untungnya pula, Ibrahim memiliki 1.000 meter tanah warisan, yang sudah dibangun rumah dan ditanami pepohonan serta tanaman bumbu-bumbuan. Pengeluaran harian keluarga Ibrahim ditanggung bersama.
Jika musim tanam tiba, Ibrahim pasti kepayahan. Seisi rumah pontang-panting. Pasalnya, untuk menanam membutuhkan bibit dan pupuk yang harus dibeli serta buruh tanam yang harus dibayar. Belum lagi sewa traktor.
Ibrahim sudah tidak sanggup memikirkan menghadapi lebaran Idul Fitri, Idul Adha, acaran nikahan, atau undangan acara sunatan tetangga, yang semuanya memerlukan uang. Sementara Ibrahim butuh uang, tetangga kampung sudah menunggu untuk meminjamkan uang dengan pengembalian berlipat atau dengan jaminan tanah. Biasanya dengan sistem gadai, yang berarti hasil panen harus dibagi tiga dengan mekanisme yang sudah-sudah. Untuk itu, Ibrahim berupaya mengandalkan anaknya.
Ibrahim tidak sanggup menghubungi anaknya yang di luar negeri. November 2015, anak Ibrahim mengalami kekerasan dan pelecehan seksual di rumah majikannya. Ibrahim melaporkan kejadian yang dialami anaknya ke pemerintah bagian tenaga kerja Indonesia. Jawaban yang diterima tidak sesuai harapan. Ibrahim baru tahu, ternyata pengaduan ke pemerintah bukan untuk diselesaikan, tapi untuk dicatat.
Tumpuan selanjutnya adalah anak Ibrahim yang bekerja di pabrik. Sayangnya, meski anak Ibrahim bekerja di pabrik dan memiliki pendapatan tetap, penghasilannya hanya cukup buat seorang lajang selama dua sampai tiga minggu. Biasanya, anaknya dengan caranya sendiri berupaya mencari pinjaman tanpa bunga.
Dari istrinya Ibrahim mengetahui bahwa anaknya sering berangkat ke Jakarta atau ke pemerintah daerah untuk berdemonstrasi. Ibrahim pun mengetahui tiap 1 Mei anaknya berdemonstrasi di Jakarta untuk memperingati Hari Buruh Internasional. Jika anak Ibrahim selalu bersemangat menyambut 1 Mei, Ibrahim nyaris tidak mengetahui Hari Tani ataupun Hari Krida Pertanian.
Hari Tani sebagai Hari Kemenangan Kaum Tani
26 Agustus 1963, Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 169 tentang Hari Tani. Terdapat dua alasan yang menjadi pertimbangan:
“bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-undang Pokok Agraria, merupakan hari kemenangan bagi Rakjat Tani Indonesia, dengan diletakannja dasar-dasar bagi penjelenggaraan Landreform untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar Rakjat tani dapat membebaskan diri dari matjam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melempangkan djalan menudju kearah masjarakat adil dan makmur.”
“bahwa tiap achir bulan September matahari melintasi garis chatulistiwa kearah selatan, musim labuh (turun kesawah) hampir datang waktunja, rakjat tani perlu bergembira dan bersjukur kepada Tuhan karena akan menerima rachmat-NJA jang berupa hudjan, perlu pula digerakkan agar daya kerdja dan daya tjiptanja berkembang untuk mentjapai produksi jang berlimpah-limpah, sebagai sjarat mutlak mentjapai masjarakat adil dan makmur.”
Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa pertimbangan menetapkan Hari Tani berkenaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan sebagai landasan untuk membebaskan kaum tani dari bentuk-bentuk penghisapan feodal dan musim tanam merupakan upaya meningkatkan produksi dalam negeri.
Mengapa UUPA menjadi rujukan penting? UUPA baru bisa dikeluarkan pada 1960, setelah melalui berbagai upaya. Mulanya dibentuk Panitia Agraria Yogyakarta pada 21 Mei 1948. Panitia tersebut membicarakan rancangan peraturan yang dapat menggantikan praktik-praktik hukum pertanahan di zaman Belanda.
Kemudian dibentuk lagi Panitia Agraria Jakarta pada 19 Maret 1951. Panitia ini mulai membicarakan batas minimum dan batas maksimum kepemilikan lahan. Setelah itu, dibentuklah Panitia Soewahjo. Panitia ini menyimpulkan pentingnya menghapus asas-asas kepemilikan tanah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870.
Panitia Soewahjo digantikan oleh Panitia Soenario pada 24 April 1958. Panitia Soenario diteruskan oleh Panitia Sadjarwo. Pada 1959, di Panitia Sadjarwo lah keluar naskah yang menjadi dasar untuk menyusun Rancangan Undang-Undang.
RUU tersebut dibacakan di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada 1 Agustus 1960. Pembahasannya menghabiskan waktu sebulan sampai disahkan menjadi UUPA pada 24 September 1960.
Menarik untuk mencermati proses penyusunan UUPA, apalagi jika dibandingkan dengan proses penyusunan undang-undang di era reformasi, semisal Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Pertama, meski struktur pemerintahan Indonesia dan panitia penyusun berganti-ganti, rencana membuat hukum agraria nasional terus berlanjut. Kedua, proses penyusunannya sendiri tampaknya dilakukan secara serius. Hal tersebut terlihat dari komposisi kepanitiannya. Selain melibatkan pejabat-pejabat agraria, hampir seluruh kepanitian melibatkan organisasi tani dan serikat buruh perkebunan serta kalangan akademisi yang dianggap memiliki kemampuan di bidang agraria.
Sebagaimana tertulis di bagian Menimbang UUPA, terdapat empat alasan keluarnya UUPA. Pertama, masyarakat Indonesia masih bercorak agraris. Kedua, hukum agraria yang berlaku masih didasarkan dan dipengaruhi oleh sendi-sendi hukum kolonial. Ketiga, hukum agraria bersifat dualistik. Keempat, hukum agraria warisan penjajahan tidak menjamin kepastian hukum.
Dengan alasan-alasan di atas, isi UUPA berupaya mengakui hak ulayat, menghapuskan hak-hak atas tanah yang diwariskan dari peraturan penjajah Belanda dan melindungi kaum tani miskin serta mengikis penghisapan manusia melalui alat tanah. Pemerintah di masa itu berupaya menyusun peraturan perundangan yang bersumber dari hukum-hukum yang berlaku dan menguntungkan masyarakat lemah.
Selo Soemardjan, dalam Land Reform di Indonesia (2008), menyebutkan bahwa UUPA mencakup prinsip tanah pertanian untuk petani penggarap, hak utama atas tanah untuk warga negara Indonesia, larangan kepemilikan tanah guntai (absentee) alias pemilik lahan yang berada di luar daerah, dan perlindungan bagi kaum tani yang lemah dari petani-petani yang lebih kuat.
Bagaimana UUPA dipahami? Peneliti Mubyarto Institute, Tarli Nugroho (2014) menyebutkan, keberadaan UUPA tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa lain, yaitu nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang terjadi sejak 1957 dan keberadaan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). Dengan demikian, UUPA menjadi tolak ukur bagi peraturan perundangan lainnya.
UUPBH dikeluarkan pada 1960. UU tersebut dirancang untuk melindungi para penyewa tanah di hadapan para pemilik tanah. Juga untuk mendorong para penggarap tanah agar dapat meningkatkan produksi.
Perlu penelitian lebih jauh tentang bagaimana Hari Tani diperingati dan dirayakan di era 1960-an. Berbagai laporan dan penelitian di periode 1960-an menyebutkan, UUPA, sebagaimana pelaksanaan UUPBH dan UU Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di Indonesia, tidak berjalan mulus.
Jika perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk milik Inggris dan Jepang, setelah diduduki oleh serikat buruh malah dikuasai oleh jajaran tentara, pelaksanaan UUPA dan UUPBH terkendala birokrasi, bahkan disabotase oleh para pejabat yang berwenang. Aksi sabotase terhadap UUPA dan UUPBH mendorong ‘aksi sepihak’ kaum tani melawan ketidakikhlasan para pejabat dan penguasa tanah dalam membagikan kekayaannya kepada orang miskin.
“Mereka (kaum tani, pen.) berkeyakinan, bahwa pelaksanaan UUPBH dan UUPA bukan urusan bupati, tjamat, lurah atau pedjabat-pedjabat lain, karena djika digantungkan pada mereka, sampai kiamatpun tidak akan ada pelaksanaannja,” lapor Dipa Nusantara Aidit (1964). Laporan yang disusun berdasarkan investigasi selama tujuh minggu di desa-desa Jawa Barat tersebut menemukan berbagai modus pemilik untuk menghindari pelaksanaan UUPA dan UUPBH.
“Kaum tuantanah djahat dengan keras melawan pelaksanaan UUPBH dan UUPA. Mereka buru2 “menghibahkan” tanah-lebihnya kepada sanak-keluarganja supaja tidak terkena UUPA. Bahkan ada tuantanah jang untuk mempertahankan tanahnja sampai mentjeraikan isterinja setjara formil dan dengan demikian “membagi” tanah miliknja,” tambah Aidit.
Surat kabar Sketsmasa No.16 Th. VII 1964. Menurunkan artikel mengenai kesulitan-kesulitan untuk melaksanaan UUPA karena hambatan geografis jika dilaksanakan di luar Jawa. Foto: Dokumentasi LIPS.
***
Akhir 1965, Soeharto melikuidasi Soekarno. Selama berkuasa, Soeharto sama sekali tidak memperlihatkan niat untuk memajukan perekonomian dan melindungi kaum lemah. Tercatat, undang-undang yang pertama dikeluarkan adalah tentang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967. UU tersebut, diantaranya, mengembalikan jenis-jenis kepemilikan lahan sebagaimana terjadi di zaman Belanda. Tidak ada lagi batas minimum dan maksimum dalam pemilikan lahan serta lenyap sudah perlindungan hukum bagi para petani penggarap. Lebih canggih lagi, pemilik lahan luas telah bertransformasi menjadi institusi-institusi negara atau menjadi pejabat pemerintah. Ibrahim adalah satu di antara petani penggarap yang tidak mendapatkan perlindungan ketika berhadapan dengan pemilik tanah.
Di masa sebelum 1965, urusan agraria ditangani oleh sebuah departemen. Di era Soeharto, Menteri Pertanian dan Agraria dipisahkan. Bidang Agraria ditangani oleh Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi di bawah Departemen Dalam Negeri.
Selain itu, pengadilan Land Reform yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1960 sebagai pelaksana UUPA dihapuskan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970. Pada 1980, dikeluarkan Keppres Nomor 55 tentang organisasi dan tata kerja pelaksanaan land reform. Dapat ditebak dengan jelas bahwa pembentukan organisasi land reform yang dimaksud beriringan dengan tingginya kebutuhan terhadap tanah untuk pembangunan kawasan industri dan infrastrukturnya. Sehingga tak jarang di kurun ini, pelepasan lahan dihargai murah dengan todongan senjata oleh tentara kepada kaum tani.
Foto diambil dari www.mongabay.co.id
Hari Tani Bukan Hari Krida Pertanian
Budi Setiyono (2011) menuliskan bahwa pada perayaan Hari Tani 1972, Menteri Pertanian mengisyaratkan akan mengganti hari tani dengan hari dan nama yang lain.
Saat itu Menteri Pertanian adalah Thoyib Hadiwidjaja yang bekerja dari 1968 hingga 1978. Dia juga menjabat sebagai Rektor Institut Pertanian Bogor periode 1966 hingga 1970. Tampaknya, Menteri Pertanian tidak kalah gesit dengan Menteri Tenaga Kerja periode 1966-1967, Awaloedin Djamin. Di peringatan Hari Buruh Internasional 1966, Awaloedin Djamin mengumumkan akan mengganti Hari Buruh Internasional dengan Hari Pekerja Nasional. Cita-cita Menteri Tenaga Kerja yang kemudian menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia periode 1978-1982 tersebut akhirnya tercapai pada 1991 dengan menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional.
Kumpulan Buklet Hari Bersejarah I (Depdikbud, 1994) menyebutkan, pada 1973, dikeluarkan Keputusan Menteri Nomor 297 Tahun 1973. Isinya menyebutkan 21 Juni sebagai satu-satunya hari peringatan di sektor pertanian. Atas petunjuk Soeharto, hari tersebut dinamakan dengan Hari Krida Pertanian. Keputusan tersebut diteguhkan kembali pada 1983 melalui Keputusan Nomor 270 bahwa setiap tanggal 21 Juni harus diperingati dan dihayati oleh seluruh masyarakat sebagai Hari Krida Pertanian.
Sebenarnya, sebelum Hari Krida Pertanian ditetapkan sebagai pengganti Hari Tani Nasional, telah terbentuk organisasi petani yang disponsori pemerintah. Enam puluh lima hari setelah deklarasi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), terbentuk Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pada 27 April 1973.
Cikal bakal HKTI dapat ditelusuri sejak 1957. Di tahun tersebut, setelah menempatkan para pemimpinnya di perusahaan-perusahaan yang diduduki oleh serikat buruh, Angkatan Darat membentuk Badan-Badan Kerjasama (BKS) dengan sipil. Dengan serikat buruh dinamakan BKS Buruh Militer (Bumil), dengan Pemuda BKS Pemuda Militer, dan dengan tani BKS Tani Militer (Tamil).
BKS Tamil bersatu padu membentuk Kesatuan Aksi Tani Indonesia (KATI) dan berkiprah menggulingkan Soekarno, membubarkan Partai Komunis Indonesia serta Kabinet Dwikora.
Setelah ‘berhasil’ mengganyang PKI dan antek-anteknya sampai ke akar-akarnya, Angkatan Darat melalui Presidium BKS Tamil membicarakan restrukturisasi organisasi massa (ormas) tani. Organisasi petani bikinan Soeharto dibangun di atas banjir darah orang-orang yang tidak bersalah.
Berikut uraian Budi Setiyono (2011) tentang pembentukan HKTI. Sampai 1968, terdapat lima belas organisasi massa (ormas) tani. Dari lima belas organisasi massa tani, hanya satu ormas tani yang menolak rencana penggabungan ormas tani, yakni Sarekat Tani Islam Indonesia (STII). STII merupakan ormas tani yang dibentuk oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Empat belas organisasi yang menyetujui adalah:
- Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani) berafiliasi ke Partai Nasional Indonesia (PNI)
- Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (Petanu) berafiliasi ke Partai Nahdlatul Ulama (Partai NU)
- Gerakan Tani Sarekat Islam (Gertasi) berafiliasi ke Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)
- Petani Sarekat Islam Indonesia (Petisi)
- Kesatuan Tani Pancasila (Kata Pancasila) berafiliasi ke Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
- Persatuan Tani (Perta) berafiliasi ke Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba)
- Persatuan Tani Kristen Indonesia (Pertakin) berafiliasi ke Partai Kristen
- Ikatan Petani Pancasila (IP Pancasila) berafiliasi ke Partai Katolik
- Warga Tani Kosgoro (Koperasi Serba Guna Gotong Royong)
- Rukun Tani Indonesia-Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (RTI Soksi)
- Gerakan Tani MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong)
- Gerakan Tani Indonesia (GTI) berafiliasi ke Partai Sosialis Indonesia (PSI)
- Sarekat Tani Indonesia (Sakti)
- Gerakan Tani Muslimin Indonesia (Gertami) berafiliasi ke Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
Setelah mendiskusikan restrukturisasi ormas tani, BKS Tamil membentuk Tim Sembilan. Tim sembilan melaksanakan rapat cepat selama 3-21 April di tempat milik Kolonel Sumardan dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), di Jalan Senopati, Jakarta.
Rapat Tim Sembilan berhasil membuat rancangan anggaran dasar dan nama organisasi, yakni Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Selain itu, Tim Sembilan pun memutuskan calon ketua umum organisasi tani tersebut, yaitu Martono. Martono berasal dari Warga Tani Kosgoro. Martono menjabat sebagai Ketua Umum HKTI dari 1973 sampai 1992. Dengan demikian, ketua pertama HKTI sebagai organisasi nasional hanya dipilih oleh segelintir orang.
Saat itu, Martono pun menjabat sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Golongan Karya periode 1968 hingga 1978. Kemudian menjadi Menteri Transmigrasi pada Periode 1983 hingga 1988.
Hasil-hasil rapat Tim Sembilan dilaporkan ke BKS Tamil. BKS Tamil menyarankan agar Tim Sembilan menyegerakan Musyawarah Top. Musyawarah Top dan Deklarasi HKTI dilaksanakan di Rumah Makan Galiga di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, pada 26-27 April 1973.
Melalui HKTI-lah program-program pembangunan Soeharto dilancarkan. Dari 1970 hingga 1980, Soeharto getol mengundang investor asing untuk mendanai infrastruktur pertanian. Sejumlah bendungan irigasi dan jalan tol dibangun. Diperkenalkanlah Panca Usaha Tani alias Revolusi Hijau, yaitu teknik pengolahan lahan pertanian, pengaturan irigasi, pemupukan, pemberantasan hama, dan penggunaan bibit unggul. Saat itu, hasilnya cukup memukau. Para petani mampu panen padi dari dua kali dalam setahun menjadi tiga kali setahun. Soeharto dibangga-banggakan karena mampu berswasembada beras.
Namun, hasil lain yang dipikul generasi sekarang adalah hilangnya pengetahuan penduduk tentang pemuliaan bibit sekaligus ketergantungan terhadap bibit dan pupuk pabrikan, penghancuran ekosistem karena penggunaan pupuk kimia, serta tersingkirnya kaum perempuan dari pekerjaan pertanian. Di luar itu, Revolusi Hijau adalah bisnis kelas dunia dalam jual beli bibit dan pupuk serta teknologi pertanian. Sudah diketahui secara luas bahwa swasembada beras ala Soeharto dibangun di atas penghancuran sistem agraria.
Setelah Soeharto digulingkan, desain pembangunan ala Soeharto terus berlanjut. Kawasan-kawasan industri dan infrastruktur yang rakus lahan terus dibangun, industri-industri berorientasi ekspor dengan ketergantungan terhadap bahan mentah impor membual tentang penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan.
Penutup
Sejak 1980-an, muncul organisasi-organisasi tani independen di berbagai daerah. Mereka memprotes perampasan tanah dan kriminalisasi di tengah berbagai kepayahan. Saat ini, beberapa diantara organisasi tersebut menjadi organisasi nasional dan yang lainnya mempertahankan lokalitasnya. Ada Serikat Tani Nasional (STN) yang berdiri pada 12 November 1993. Ada pula Serikat Petani Indonesia (SPI), yang dideklarasikan pada Juli 1998; ada Serikat Petani Pasundan (SPP), yang dideklarasikan pada 2000, dan ada Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) yang dideklarasikan pada 2004. Sampai di sini, kita dapat mengatakan kaum tani, seperti halnya buruh, berkepentingan terhadap demokrasi.
Di luar organisasi-organisasi di atas, HKTI masih memiliki pamor untuk mengatasnamakan kaum tani. HKTI mengaku membawahi 40 juta petani dan nelayan (Agrofarm.co.id, 30/3/2014). Sebagaimana halnya rezim serikat buruh yang dibangun untuk mendukung Soeharto, saat ini HKTI pun memiliki dua kepemimpinan, yakni HKTI Prabowo Subianto dan HKTI Oesman Sapta.
Konflik di HKTI melibatkan para politisi, pemilik tanah luas, sekaligus pengusaha. Dalam konflik tersebut terdapat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto versus Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD) Oesman Sapta, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Titiek Soeharto, dan Ketua DPP Partai Demokrat Jafar Hafsah.
Konflik tersebut tidak layak dan tidak menarik untuk diamati. Yang patut menjadi perhatian kita adalah politik pengatasnamaan kaum tani di pundak HKTI. Dua tahun sekali, HKTI mengadakan pertemuan mengatasnamakan kaum tani dan nelayan dalam bingkai Kontak Tani Nelayan Andalan. Baru-baru ini HKTI mengajukan kepada pemerintah agar setengah dana repatriasi dari Pengampunan Pajak digelontorkan untuk pertanian, peternakan dan perikanan. “HKTI siap siap bergandengan tangan dengan pemerintah dan stakeholder pertanian nasional lainnya melaksanakan dan mengawal masuknya 50 persen dana hasil repatriasi,” ujar Sekjen DPN HKTI, Ir Sadar Subagyo sebagaimana dilansir Tribunnews.com (5/8/2016).
Untuk beberapa persoalan seperti beras dan kedelai impor, HKTI memang tampak bersuara. Namun, mereka sama sekali tidak mempersoalkan lahan kaum tani yang kian tergusur oleh kawasan industri dan pembangunan infrastruktur, apalagi kriminalisasi kaum tani. Tentu saja, persoalan pupuk dan bibit yang mahal serta ketidakberdaulatan Ibrahim atas lahan garapannya tidak ada dalam kamus HKTI.
Selamat Hari Tani Ibrahim!***
Penulis aktif di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)
Kepustakaan:
Soemardjan, Selo. 2008. “Land Reform di Indonesia.” Dalam, Tjondronegero, SMP dan Wiradi, Gunawan. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Nugroho, Tarli. 2014. “Politik Nasionalisasi dan Ekonomi Berdikari.” Diunduh dari http://www.berdikarionline.com/politik-nasionalisasi-dan-ekonomi-berdikari/.
Ayatrohaedi, et.al. 1994. Kumpulan Buklet Hari Bersejarah I. Departemen Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Setiyono, Budi. 2011. Persaingan Politik dalam Organisasi Massa: Studi Kasus Konflik dalam Organisasi HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Laporan Penelitian. Universitas Diponegoro.
Aidit, DN. 1964. Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa:Laporan singkat tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Jawa Barat. Jajasan Pembaruan. Jakarta.