Reshuffle jilid II: Rasa Orba, Rasa Neolib dan Rasa Oligarki Parpol

Print Friendly, PDF & Email

Kredit Ilustrasi pada Kiagus Aulianshah/Beritagar.id; https://beritagar.id

 

PRESIDEN Jokowi pada akhirnya mengumumkan Reshuffle Kabinet Kerja Jilid II. Isinya adalah perubahan cukup besar pada portofolio kementerian ekonomi. Ini karena tema saat ini adalah krisis ekonomi yang melanda semua negara di dunia, sebagaimana yang sering dikatakan Jokowi, karena jatuhnya harga minyak dan komoditas-komoditas dunia. Nampaknya Jokowi merasa harus banting stir ke kanan dalam menyelamatkan perekonomian nasional.

Sayangnya, kesan utama dari perombakan kabinet terakhir ini adalah mengabaikan nasionalisme ekonomi yang sebelumnya hendak dibangun, terutama dalam menjabarkan konsep Trisakti dan Nawa Cita. Pertama sekali adalah ditendangnya Rizal Ramli sebagai Menko Maritim dan Sumberdaya Alam, dan masuknya Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan. Ini adalah sinyal paling jelas dari banting stir ke kanan tersebut. Rizal Ramli adalah benteng terakhir dari wakil nasionalisme ekonomi, yang pandangan-pandangannya sesuai dengan ekonomi Trisakti yang hendak dibangun. Dengan Rizal Ramli di komposisi kabinet sebelumnya, Jokowi menempatkan dirinya sebagai pendukung dari pelaksanaan ekonomi nasionalis yang cocok dengan dirinya yang ber-cap nasionalis-populis. Kini dengan menyingkirkan Rizal Ramli dan memasukkan Sri Mulyani, maka Jokowi telah menghapus kesan nasionalis tersebut dan mencoba berlindung atau mengekor pada resep-resep ekonomi liberal untuk mengatasi dampak krisis. Pupus sudah warna nasionalisme ekonomi di pemerintahan sekarang. Kini pemerintahan Jokowi sangat condong pada rasa neolib.

Selanjutnya, memasukkan Wiranto sebagai Menkopolhukam, telah semakin menggariskan warna tebal pada cita rasa kabinet kerja jilid II sebagai kelanjutan dari politik Orde Baru. Penunjukan Wiranto yang adalah Ketua Umum Partai Hanura, tentu karena politik bagi-bagi kursi partai pendukung pemerintah. Akan tetapi inilah kemunduran politik Jokowi yang paling jelas. Wiranto jelas mewakili kalangan jenderal pendukung utama rezim Suharto. Posisi yang sama, misalnya, bisa dilihat dari dipertahankannya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang heboh dengan aksi membangkitkan kembali hantu PKI, yang sebenarnya melawan kebijakan Presidennya sendiri yang menginginkan penyelesaian atas tragedi 1965. Dengan ini, maka pemerintahan Jokowi telah memosisikan dirinya sebagai kelanjutan dari politik otoriter Orde Baru. Ini rasa paling pahit dari Ordebaruis.

Berikutnya tentu saja perombakan ini mewakili kembali bagi-bagi kursi kepada kalangan partai politik yang mendukung pemerintah, yang kita tahu terdiri dari orang-orang tidak berkualitas. Sejak pembentukan kabinet kerja, kita tahu bahwa banyak menteri-menteri yang berasal dari partai politik kualitasnya pas-pasan atau rendah. Akan tetapi Jokowi berkompromi dengan oligarki parpol ini, yang menyebabkan kinerja pemerintahnya juga menjadi pas-pasan kalau tidak bisa dikatakan rendah. Apalagi sekarang dengan masuknya Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai pendukung pemerintah yang baru, maka semakin kuat menancapnya kepentingan oligarki partai-partai politik. Terjadi keberlanjutan dari Oligarki Orba dan politik kartel eksekutif-legislatif.

Tiga ciri dasar tersebut, yaitu Orba, Neolib dan Oligarki Parpol kini nampak jelas di dalam pemerintahan Jokowi. Tiga ciri ini telah mencerminkan apa dan siapa sebenarnya pemerintahan Jokowi saat ini. Reshuffle ini telah membuka tabir sebenarnya dari rezim Jokowi-JK yang tadinya diharapkan memberikan alternatif baru dari sebuah pemerintah pasca-Orde Baru. Nyatanya tidak ada yang namanya pasca-Orba. Yang ada adalah masih berlanjutnya sistem Orde Baru. Jokowi membuktikan dirinya tidak mampu mengubah situasi ke pasca-Orba. Dari semula terkesan sebagai presiden yang secara kuat hendak memperbarui sistem dan menempatkan konsep alternatif Trisakti sebagai panduan dasar, kini semua itu terkesan hanya sebagai pemoles saja, sebagai kemasan saja. Isi sebenarnya adalah seorang politikus yang memanipulasi Trisakti sebagai Nawa Cita yang sekedar indah di atas kertas, dan seorang presiden yang melanjutkan sistem Orde Baru dengan tambal sulam good-governance (tata-kelola pemerintahan yang baik) sebagaimana resep Bank Dunia.

Sebelumnya saya telah sering menempatkan pemerintahan Jokowi sebagai representasi dari Borjuasi Nasional baru, yang berlawanan dengan borjuasi rente dan borjuasi komprador. Tesis ini mewakili keadaan objektif. Akan tetapi kini perlu dipertajam dengan sebuah pembuktian faktual yang telah jelas, yaitu borjuasi nasional ini ternyata tidak mampu lepas dari sistem Orde Baru yang telah begitu kuat mengakar dalam formasi sosial Indonesia. Borjuasi nasional yang lemah ketika rezim Suharto berkuasa dan kini mencoba eksis dengan melawan kecenderungan utama borjuasi rente dalam sistem Orde Baru, kini terpaksa harus mengakomodir sistem Orde Baru dan berkoalisi dengan borjuasi rente. Jokowi kini berkoalisi dengan hampir seluruh partai politik Orde Baru dan tidak mampu lepas darinya. Ini sama, misalnya, dengan kasus Ahok yang akhirnya memilih berkoalisi dengan parpol dan bukan sebagai calon gubernur independen.

Bagaimana dengan agenda good governance? Persis sebagaimana yang diminta Bank Dunia, bahwa good governance adalah sistem politik yang transparan dan akuntabel bagi efisiensi ekonomi pasar. Maka baik borjuis nasional maupun borjuis rente akan mengadopsi jenis kompradorisme semacam ini, dalam sebuah reformasi sistem yang bisa mereka terima. Ini berarti berkurangnya korupsi, berkurangnya inefisiensi, berkurangnya high-cost economy, dan lain-lain tetapi tanpa perubahan mendasar. Ini adalah langkah kompromistis dari sistem Orde Baru dalam menyesuaikan dirinya dengan ekonomi pasar yang lebih terbuka, lebih transparan, dan terkait dengan ekonomi global. Katakanlah ini semacam hasil akhir dari sikap reformis di kalangan Ordebaruis.

Perlu tetap diingat mengapa borjuis nasionalnya berkompromi dengan borjuis rente dan kompradorisme? Karena modus produksi di Indonesia masih berat kepada ekonomi ekstraktif dan ekonomi pertanian (komoditas mentah), sementara ekonomi industrinya gagal. Modus produksinya sampai sekarang masihlah kuat dipengaruhi sisa-sisa feodalisme dan neo-kolonialisme. Ini dapat dilihat dari kuatnya borjuasi rente atau kapitalisme birokrat, serta kenyataan bahwa Indonesia hingga sekarang bukanlah Negara industri. Berarti kelas-kelas industrinya tidak kuat, kalangan industrialisnya tidak dominan, dan borjuasi industrinya juga lemah. Masyarakat sipil-nya (civil society) atau kelas menengah-nya juga tidak kuat. Ini bisa dilihat dari rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya upah (gaji) rerata dari kaum pekerjanya, baik pekerja industri, pekerja menengah dan pekerja profesional. Akibatnya pandangan budaya dan ideologi kaum borjuasinya masih di taraf setengah-modern dan setengah-feodal-tradisional. Lihat saja ekspresi kebudayaannya. Adalah campur-aduk dari kolonialisme budaya (dan agama) luar, konsumerisme pasar, budaya feodal dan fasisme-premanisme rente. Kebudayaan nasional karenanya selalu menjadi masalah besar dan tidak pernah mampu terbentuk.

Jadi apa yang bisa diharapkan dari pemerintahan Jokowi ke depan? Rasanya apa yang dicapai terakhir ini dengan perombakan kabinet kerja II mencerminkan kompromi kelas-kelas sebagaimana di atas. Masih tidak mungkin mengharapkan borjuasi nasionalnya mempunyai determinasi dan kemampuan yang kuat untuk melakukan perubahan besar. Cara pandang dan budayanya masih manusia (borjuasi) ekstraktif-pertanian, bukan manusia (borjuasi) industri. Sejauh yang bisa dicapai nantinya, adalah menjadi administrator atau manajer dari perluasan ekonomi pasar global yang kini terus merambah masuk ke Indonesia. Globalisme telah menjadi keharusan. Karenanya tidak heran bila pemerintahan Jokowi menyambut baik integrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi global. Jokowi telah dengan antusias meminta menteri-menteri ekonominya untuk segera membuat kesepakatan perdagangan bebas dengan Uni-Eropa (CEPA) dan dengan Negara-negara Trans-Pasifik yang dimotori Amerika Serikat (TPP), disamping juga dengan pakta perdagangan bebas ASEAN (MEA) dan Negara-negara Asia Timur (RCEP). Bagi borjuasi Indonesia, integrasi kepada ekonomi pasar bebas global adalah satu-satunya cara agar mereka bisa ikut terkerek ke dalam pertumbuhan ekonomi global dan memodernisasi perekonomiannya di dalam pembagian kerja internasional yang baru dari sistem rantai pasokan, yang semakin mengarah pada penguatan ekonomi jaringan produksi global.

Tesis borjuasi nasional mungkin lama kelamaan tidak lagi relevan atau lenyap ditelan zaman. Mereka akan harus berkompromi dalam modus produksi dan formasi sosial yang tidak memungkinkannya menjadi kuat. Terutama lagi, neo-kolonialisme-imperialisme global akan membatasi ruang gerak mereka secara ketat dan mengikat. Perekonomian nasional akan terus-menerus diatur dengan perjanjian-perjanjian pasar bebas, yang akhirnya tidak memungkinkan mereka mengambil jalur independen atau jalan kemandirian. Ruang kebijakan dan manuver ekonomi akan semakin sempit.

Hanya bila sektor industrinya mampu berkembang dan menguat, pasar domestiknya diperkuat dengan perlindungan dan proteksi yang jelas, serta kelas-kelas industrinya bisa dominan, maka baru bisa terjadi perubahan orientasi dan sikap dari kaum borjuasi nasionalnya. Mampukah pemerintahan Jokowi bergerak kesana? Koq rasanya semakin jauh panggang dari api. ***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.