Bernie Sanders dan Politik Gerakan Sosial di Amerika Serikat

Print Friendly, PDF & Email

“Socialist snow on the streets
Socialist talk in the Maverick
Socialist kids sucking socialist lollipops…”
(“Burlington Snow”, Allen Ginsberg)

MUSIM semi tahun 1981 menjadi sebuah kejutan tak terduga di Burlington, sebuah kota kecil di negara bagian yang tidak kalah kecil, Vermont. Seorang aktivis dengan gaya yang cukup hipster untuk standar kekinian – berambut kriwil ikal dan berkacamata besar – berhasil menang tipis, sekitar 10 suara, atas lawannya, sang petahana Gordon Paquette, dalam pemilihan walikota di Burlington. Sebelum jadi politisi independen dan walikota, Bernard “Bernie” Sanders, sang aktivis itu, bekerja serabutan – mulai dari guru, konselor, filmmaker, penulis, wartawan lepasan, hingga tukang kayu – tetapi, kiprahnya di dunia pergerakan begitu panjang. Di saat masih menjadi mahasiswa unyu-unyu di University of Chicago, Bernie bergabung dan aktif dalam sejumlah organisasi mahasiswa dan gerakan sosial progresif, seperti Kongres Kesetaraan Rasial (Congress of Racial Equality, CORE) dan Komite Koordinasi Mahasiswa Nirkekerasan (Student Nonviolent Coordinating Committee, SNCC), di tengah-tengah gelombang Gerakan Hak-hak Sipil di Amerika Serikat di decade 1960-an.

Dalam konteks inilah kita musti memahami fenomena Bernie Sanders alias #FeelTheBern. Kemunculan Bernie Sanders, seorang kandidat presiden kuda hitam dengan ikatan yang cukup erat dengan berbagai elemen gerakan sosial progresif dalam kancah politik arus-utama di Amerika, merupakan hal yang menarik terutama di tengah-tengah duopoli politik Partai Demokrat dan Partai Republikan dan dilema besar yang selalu dihadapi oleh gerakan-gerakan sosial (dan juga Kiri) di Negeri Paman Sam: antara termarginalisasi atau terkooptasi dalam narasi liberal-demokratik ala Amerika. Dengan kata lain, kita musti melihat fenomena Bernie Sanders dalam konteks perkembangan historis gerakan sosial di Amerika, hubungan Bernie dengan elemen-elemen gerakan, dan berbagai peluang serta batasan politik yang muncul dari naiknya popularitas Bernie Sanders dalam pertarungan untuk merebut kursi kepresidenan di Amerika Serikat.

Kita bisa mulai dengan membahas karir politik Bernie dari masa jabatannya sebagai Walikota Vermont hingga sekarang. Masa-masa awal kiprah Bernie di kancah politik praktis merupakan titik sejarah yang krusial karena di masa inilah, menurut Sarah Lyall (2015) dalam liputannya untuk Koran The New York Times, “bibit-bibit revolusioner” dalam diri Bernie muda mulai bersemai. Kemenangannya yang tak terduga dalam pemilihan Walikota Vermont, setelah belasan tahun bereksperimen dalam aktivisme gerakan sosial dan partai alternatif berhaluan Kiri, Liberty Union Party, memberikan kesempatan, sekaligus tantangan, baginya untuk menerapkan ide-ide progresif dalam pemerintahan dan arena politik praktis. Greg Guma (1989) mencatat rekam jejak Bernie sebagai Walikota Vermont selama empat periode (1981-1989) dan gerakan sosial yang menjadi tulang punggungnya dalam bukunya, The People’s Republic: Vermont and the Sanders Revolution. Ada sejumlah prestasi Bernie dalam pemerintahan kota yang cukup menonjol, antara lain: penyehatan anggaran pemerintahan daerah, pembaharuan perkotaan, penghadangan atas gentrifikasi dengan cara menghadang upaya pembangunan properti mewah seperti kondominium serta kawasan perkantoran dan perhotelan, dan pembangunan berbagai fasilitas publik untuk warga kota seperti perumahan, taman-taman, dan ruang terbuka publik. Sepintas, sejumlah upaya ini terlihat sederhana, tetapi perlu diingat, bahwa upaya-upaya tersebut merupakan kebijakan yang berpihak pada elemen-elemen ‘warga biasa’ – warga kelas menengah dan bawah, pemilik UKM dan toko-toko tradisional, dan lain sebagainya – pendek kata, elemen-elemen rakyat pekerja. Dalam konteks Indonesia, kebijakan ini mungkin bisa diandaikan semacam upaya untuk meredam dan mengatur pertumbuhan pusat perbelanjaan dan minimarket seperti Indomaret dan Alfamart (maaf sebut merek) agar ruang publik dan upaya-upaya penghidupan rakyat banyak tidak serta merta tergerus oleh ekspansi kapital.

Tentu, di beberapa daerah perkotaan di Indonesia, wabil khusus Jakarta, di mana Gubernur teknokratis dengan tendensi tangan besi seperti Ahok dielu-elukan dan kelas menengahnya lebih ribut soal pelarangan gojek dan uber serta sentimen sektarian ketimbang implikasi politis dari penggusuran kaum miskin kota dan pentingnya solidaritas sosial, proyek politik seperti itu terdengar seperti imajinasi politik yang terlalu muluk-muluk – seakan-akan masalah fasilitas publik hanyalah persoalan teknis belaka, tanpa ada karakteristik politisnya.

Tetapi mari kita kembali ke Amerika. Selain urusan ‘domestik’ kota, Bernie juga aktif dalam perdebatan mengenai arah politik luar negeri selama menjadi walikota. Di tahun 1985 misalnya, Bernie mengundang intelektual Kiri Noam Chomsky untuk memberikan ceramah mengenai politik luar negeri Amerika yang kerap kali imperialis dan ekspansionis itu. Atas prestasinya, Bernie Sanders diberi penghargaan oleh majalah US News & World Report sebagai salah satu walikota paling berprestasi se-Amerika. Warisan Bernie bagi Burlington masih terasa sampai dengan sekarang – hingga saat ini, Burlington merupakan salah satu kota yang paling layak untuk dihuni di Amerika Serikat dan para warga Burlington, dari berbagai spektrum dan aliran politik, memiliki kenangan yang begitu manis atas kontribusi dan dedikasi Bernie bagi kota mereka. Mungkin kesan inilah yang menginspirasi Allen Ginsberg untuk menulis puisi tentang Burlington. Di masa-masa ini juga, Bernie menyebut dan mendeklarasikan dirinya secara publik sebagai seorang sosialis.

Perlu diingat, Bernie Sanders berhasil bukan hanya karena gagasan dan kelihaian politiknya, tetapi juga karena dukungan dari berbagai gerakan sosial dan kerja-kerja kreatif dan mandiri para warga yang mendukungnya di tingkat akar rumput. Ini yang membedakan Sanders dengan kapitalis ngepet macam Donald Trump atau kapitalis liberal macam Hillary Clinton – yang di masa-masa awal karirnya memang sudah berada dalam stratum elit entah via warisan bokap atau nebeng pasangannya.

Setelah mengabdi di Burlington, Bernie kemudian menjajal peruntungan di kancah politik nasional. Di tahun 1990, dia terpilih untuk mewakili Vermont di House of Representative hingga tahun 2005. Kemudian, dia berhasil mendapatkan posisi di Senat di tahun 2005 dan mengabdi hingga sekarang. Reputasinya sebagai anggota kongres dengan kecenderungan liberal-progresif bisa dilihat dalam berbagai catatan rekam jejak dan rating posisi politik dan berbagai kebijakan dan undang-undang yang didukung atau disponsorinya (diantaranya ini, ini, dan ini). Ini terlihat dalam posisi politiknya atas berbagai isu-isu yang penting dan mendesak, seperti dukungan atas pembatasan dan pelarangan atas sejumlah jenis senjata api, penolakan atas invasi Iraq, kritik atas Alan Greenspan, Kepala Federal Reserve atau Bank Sentral Amerika, yang berhaluan libertarian dan kebijakan-kebijakan yang pro-bankir, dan lain sebagainya. Dalam hal popularitas, Bernie merupakan salah satu politisi kongres dengan approval rating atau tingkat kepuasan pemilih tertinggi – sekitar 83% pemilihnya di Vermont menyatakan dukungannya atas kinerja dan kiprah Bernie.

Dengan reputasi yang seperti ini, maka kemunculan Bernie dalam pertarungan pemilihan presiden Amerika Serikat di tahun ini memberikan warna politik yang berbeda – terutama di tengah-tengah narasi liberal arus utama ala Hillary Clinton dan populisme sayap-kanan Trump yang semakin menjadi-jadi. Dengan kata lain, ada ruang diskursif, dan lebih penting lagi, mobilisasi massa yang memungkinkan politisi pinggiran macam Bernie Sanders kemudian muncul di tengah-tengah duopoli oligarkis di Amerika Serikat.

Persis di titik inilah, kemudian kita perlu melakukan hitung-hitungan dan analisa yang lebih cermat mengenai peluang dan batasan politik yang dapat diberikan oleh fenomena #FeelTheBern

Pertama, perlu diakui bahwa kesempatan politik yang terbuka oleh kemunculan Bernie Sanders dalam politik arus utama Amerika Serikat merupakan sebuah peluang – tetapi peluang tersebut adalah peluang yang terbatas. Mengharapkan Amerika Serikat akan berubah menjadi People’s Republic of America apabila Bernie menang merupakan suatu mimpi di siang bolong – kita juga musti melihat perimbangan kekuatan antara presiden dan kongres, kubu Demokrat dan Republikan, dan musuh-musuh internal Bernie di dalam Partai Demokrat sendiri. Apalagi, Bernie mengambil jalan dengan menempuh jalur formal konvensi dalam Partai Demokrat, yang membuat posisi politiknya secara struktural baik ke dalam partai maupun ke luar partai berbeda dengan posisi sebelumnya sebagai politisi independen. Tetapi, dengan terpilihnya Bernie, ada sebuah peluang yang lebih besaar untuk menggegolkan agenda-agenda progresif (termasuk agenda-agendanya elemen-elemen gerakan Kiri di Amerika), bukan hanya dalam isu-isu sosial (hak-hak politik dan sipil) tetapi juga dalam isu-isu ekonomi – seperti regulasi yang lebih menyeluruh, jikalau tidak ketat, atas organ-organ oligarki di Amerika.

Kedua, harus diakui bahwa kampanye Bernie Sanders juga memberi peluang dan energi bagi mobilisasi gerakan sosial dan inisiatif warga yang lebih jauh dan mendalam. Sepintas, mobilisasi ini bisa saja dianggap hanya merupakan mobilisasi elektoral semata, tetapi, saya pikir ada berbagai sisi yang lain dalam proses mobilisasi dan partisipasi gerakan sosial dan inisiatif-inisiatif independen dari warga dalam kampanye Bernie Sanders: selain dimensi elektoral, pengalaman mobilisasi dan partisipasi politik dari elemen-elemen ini akan memperkaya pengalaman politik mereka, yang dapat menjadi bekal yang berguna bagi upaya mobilisasi gerakan yang lebih masif, popular, dan militan kedepannya – syukur-syukur memiliki kesadaran politik untuk menghantam oligarki dan kesenjangan ekonomi yang dihasilkannya.

Ketiga, pesan-pesan kampanye Bernie Sanders juga beresonansi dengan kegundahan publik atas kondisi Amerika Serikat dewasa ini – di mana ekpansionisme dan sektarianisme semakin merebak pasca kejadian 9/11 dan kesenjangan sosial dan ekonomi makin mengemuka pasca Krisis Finansial Global 2008. Trump dengan cerdik merespon kegelisahan publik yang muncul dari kondisi struktural tersebut dengan memanfaatkan sentimen nativisme untuk mendulang suara bagi pencalonannya sebagai calon presiden dari Partai Republik. Di kubu liberal sendiri, terdapat ketegangan antara pihak liberal establishment dengan liberal “kekiri-kirian” yang lebih reseptif dengan gagasan-gagasan dan figur-figur alternatif. Peluang Bernie untuk memenangkan konvensi Partai Demokrat ditentukan oleh hasil pertarungan dari dua kelompok dari kubu liberal sendiri.

Kita tahu, bahwa meskipun Bernie Sanders mendaku sebagai seorang sosialis, dalam konteks sekarang dia lebih pas disebut sebagai seorang sosdem, atau dalam bahasa Noam Chomsky, seorang New Dealer, yang mendukung ide-ide liberalisme progresif Amerika ala Roosevelt. Seandainya terpilih, kebijakannya tidak akan serta merta mengubah struktur oligarki Amerika Serikat secara substansial – meskipun akan lebih ada peluang untuk melakukan pembatasan dan pengaturan yang lebih mendalam atas organ-organ oligarki itu. Tetapi, kita tidak bisa memungkiri bahwa ada antusisasme publik dan mobilisasi gerakan sosial yang begitu besar – yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut bahkan pasca pemilihan presiden ini. Ditambah lagi, ada ancaman dari Kanan oleh Trump, seorang kapitalis demagog yang tidak malu-malu dengan nativisme dan menggunakan sentimen sektarian untuk meraih dukungan dari publik yang teralienasi oleh proses politik arus utama di Amerika Serikat. Dalam hal ini, kaum Kiri-progresif perlu menyambut ‘angin segar’ yang dibawa oleh Bernie Sanders tetapi juga sadar atas batasan-batasan yang muncul dari peluang tersebut – satu hal yang secara sadar didiskusikan secara kritis misalnya oleh sejumlah elemen gerakan Kiri-radikal di Amerika Serikat. Menariknya, peluang tersebut, dalam hemat saya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi pengorganisiran gerakan sosial dan kekuatan politik Kiri-progresif yang lebih mendalam untuk kedepannya – adalah suatu hal yang menarik apabila diskursus yang dulunya haram jadah seperti ‘sosialisme’ bisa berseliweran dalam perbincangan politik dan liputan media di Amerika Serikat (meskipun publik Amerika masih mengasosiasikannya dengan tatanan sosdem ala Skandinavia alih-alih suatu tatanan politik, ekonomi, dan sosial yang betul-betul emansipatoris).

Terakhir, kita perlu menyadari bahwa yang bisa mengakhiri politik imperium global – suatu bentuk dan tatanan tertinggi dalam kapitalisme kalau kata Lenin – bukan hanya krisis ekonomi, tetapi juga mobilisasi politik yang militan ‘dari bawah’ dalam jantung imperium global itu sendiri – yang dalam epos sejarah kita adalah Amerika
Serikat. Menghadang demagog seperti Trump dan mengantarkan politisi independen yang simpatik dengan mobilisasi massa seperti Sanders mungkin merupakan suatu cara yang memungkinkan mobilisasi militan rakyat Amerika muncul di kemudian hari.***

 

Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.