Menuju Pemahaman Terhadap Negara Secara Struktural

Print Friendly, PDF & Email

Tanggapan atas tanggapan Hizkia Yosie Polimpung

BEBERAPA waktu yang lalu, IndoPROGRESS memuat tulisan jawaban rekan Hizkia Yosie Polimpung, yang pada intinya menjawab kritik dari Muhammad Ridha, karena posisi teoritisnya mengenai negara yang berada pada tahap sejarah kapitalisme. Karena jawaban itu ikut menerpa apa yang menjadi pandangan teoritis saya, maka dalam tulisan ini akan dijelaskan definisi negara yang tidak tunggal dan parsial.

Sebelum lanjut, ada beberapa point klarifikasi dari saya. Pertama, satu hal yang terpenting dalam menanggapi kritik balik rekan Yosie adalah kenyataan, bahwa negara Indonesia bukanlah sebuah entitas yang ada dalam ruang kosong. Saya berpendapat, keberadaan Negara selalu senantiasa terkait dengan struktur sosial yang historis. Karena konteksnya adalah kapitalisme, konsekuensinya tidaklah mungkin melepaskan unsur ekonomi-politik kapitalisme dalam wacana soal negara.

Tentu saja bukan sia-sia membicarakan Negara lepas dari konteks, seperti ditunjukkan rekan Yossie di tulisan pertamanya. Tetapi hal semacam itu akan kurang memperlihatkan kesinambungan terhadap faktor-faktor yang menentukan perubahan sejarah masyarakat.

Kedua, adalah lebih berguna membicarakan Negara dalam konteks kapitalisme di Indonesia dengan pendekatan yang lahir dari fenomena negara Dunia Ketiga, ketimbang melihatnya dengan konsep yang dikembangkan untuk tahapan kapitalisme monopoli, seperti yang dilakukan oleh Ralph Miliband ataupun pengritiknya Nicos Poulantzas. Sebab dengan pendekatan yang lebih kontekstual, dapatlah diketahui sosok Negara yang historis, yang terwarisi oleh sistem sosial-ekonomi yang pernah ada.

Kapitalisme pinggiran dengan distorsi struktural

Seperti diketahui, kapitalisme Indonesia tidak tumbuh seperti yang ada di negara Barat. Pertumbuhan kapitalisme di Indonesia bermula dari kolonialisme. Penjajahan oleh pemerintah Hindia Belanda, telah meninggalkan jejak yang dalam pada pertumbuhan kapitalisme di Indonesia tersebut. Secara ringkas, jejak itu berupa :

– terintegrasinya Indonesia pada perekonomian dunia, di mana Indonesia adalah periferi atau pinggiran bagi kapitalisme pusat di Belanda;

– proses produksi komoditi tidak selesai secara internal melainkan harus melalui kapitalisme metropolitan atau pusat;

– kurangnya konsentrasi modal dan akumulasi secara internal karena keduanya dilakukan di kapitalisme pusat.

Jejak tersebut pernah disebutkan oleh Hamza Alavi (1982) dalam tulisannya sebagai berikut :

‘Kumparan di bagian dalam produksi komoditi umum pada masyarakat kapitalisme tidak lengkap, seperti halnya dalam kapitalisme metropolitan. Kumparan itu menjadi lengkap hanya berdasarkan kaitannya dengan ekonomi kapitalisme metropolitan, produksi barang ekspor, dan sebagai pasar bagi barang-barang impor dari negara kolonial…bila nilai surplus yang digerakkan dalam masyarakat itu diambil oleh kapitalisme metropolitan, maka pertumbuhan kekuatan-kekuatan produktif (terletak) … pada masyarakat kapitalisme metropolitan.’

Dengan demikian, jejak tersebut adalah semacam kendala atau distorsi struktural bagi kapitalisme (pinggiran) yang historis di Indonesia.

Kolonialisme Hindia Belanda, selain itu juga melahirkan elemen-elemen pokok kapitalisme berupa buruh lepas, ekonomi uang, tumbuhnya pasar, hubungan ekonomi atas dasar pekerjaan dan kontrak, pemisahan buruh dari alat produksi, dan perusahaan-perusahaan swasta yang semakin mengaitkan modal berupa tanah, hasil produksi pertanian, dan buruh ke dalam ekonomi internasional.Pola-pola ekonomi pra-kapitalis, pada saat yang hampir berbarengan, juga telah dihancurkan dengan adanya hubungan kelas dalam proses produksi. Relasi-relasi feodal bangsawan-petani diganti dengan relasi kelas majikan dan buruh.

Di sisi lain, kolonialisme juga menciptakan bukan saja kemiskinan tapi kebodohan dari sebagian besar masyarakat.  Akibatnya mobilisasi vertikal kelompok-kelompok masyarakat juga tidak berjalan dengan baik, dalam arti bagian besar masyarakat kurang siap menerima perpindahan kekuasaan selain mereka-mereka yang terdidik dan terpelajar. Namun, seperti tadi diperlihatkan, kapitalisme pinggiran dengan distorsi strukturalnya telah mewariskan suatu kondisi berupa makin rentannya perekonomian dalam negeri terhadap setiap gejolak di dunia internasional, sulitnya dilakukan industrialisasi karena akumulasi dan konsentrasi modal tidak dilakukan secara internal, tidak padunya pertanian dan industri karena pengolahan maupun proses transformasinya harus melalui kapitalisme pusat di Eropa Barat sana.

Dengan warisan sejarah seperti inilah, Republik Indonesia diproklamirkan. Distorsi struktural, yang merupakan basis material dari Republik baru ini, juga berakibat pada pembentukan kelas-kelas sosial yang kurang progresif dan tentu saja berpengaruh terhadap aras suprastruktur lainnya, yakni budaya, politik, dan hukum serta akhirnya kesadaran dan ideologi. Kesadaran nasional yang tumbuh belakangan dari kaum (pemuda) revolusioner, yang memegang kendali kemerdekaan, kemudian menemukan kenyataan bahwa harus segera diciptakan kelas borjuasi domestik yang kuat dan mampu menggantikan peranan yang dilakukan oleh perusahaan Hindia Belanda dan asing lainnya. Kita mengenal hal ini pada Program Benteng 1957. Kemudian belakangan karena diperlukannya percepatan pertumbuhan ekonomi, maka militer yang merupakan organisasi yang paling siap di antara fraksi-fraksi sosial yang ada ditunjuk menjadi pengelola dan pengawas terhadap jalannya perusahaan nasional dan beberapa swasta. Dimulailah tahap Negara melalui aparaturnya, dalam hal ini pejabat-pejabat militer, bertindak selaku borjuasi sendiri, atau dengan kata lain, dimungkinkan kapitalisme lahir dari dalam negara melalui perangkat aturan-aturan ekonomi dan politik berupa lisensi dan koneksi.

Pada tahap ini menjadi jelas bahwa Negara kapitalisme pinggiran bukanlah negara yang menjadi perwakilan kelas borjuis secara langsung, melainkan bertindak sebagai pemelihara dan penjamin formasi sosial-produksi kapitalisme, yakni dengan menciptakan kelas borjuasi (dan akibatnya kelas buruh), karena sesuai warisan kolonial dipandang masih lemah.

Pada titik ini, ada gunanya kita menyelidik konsepsi Negara kapitalisme pinggiran Hamza Alavi dan lalu mencoba menelusuri perkembangan narasi mengenai varian Marxian yang ada kaitannya dengan kondisi kapitalisme di Indonesia, yang tadi dikatakan berbeda dari sisi historis dengan yang ada di Barat.

Hamza Alavi, Negara paska-kolonial Indonesia, dan pendekatan produksionis

Sangat menarik, bahwa hal yang terjadi di Indonesia hampir sejalan dengan tesis Negara paska-kolonial, yang dulu pernah dikemukakan oleh Hamza Alavi sewaktu menganalisis kasus Pakistan dan Bangladesh (1972). Sebelum melangkah lebih jauh, baiklah disimak, bahwa Alavi (1982) mengelaborasi teorinya mengenai corak produksi dalam kapitalisme pinggiran, karena menurutnya, tidak tersedia konsep dasar yang ringkas dan tepat untuk kondisi itu. Yang ada seperti ditunjukkan oleh Karl Marx dalam Preface to the Critique of Political Economy adalah “tatanan ekonomi masyarakat…Asia, kuno, feodal dan borjuasi modern.” Namun perkembangan pemikiran Marx dalam Capital juga telah menyediakan alat analisa bahwa cara produksi menentukan struktur hubungan-hubungan sosial. Dengan itu Hamza Alavi pun akhirnya mengembangkan teorinya.

Setelah menganalisis proses pembentukan corak produksi kapitalisme dan membedakannya dengan corak produksi feodal, Hamza Alavi akhirnya menemukan perbedaan mendasar di antara keduanya dan cara produksi kapitalisme pinggiran yang sudah terdistorsi akibat dari kolonialisme. Pada bagian atas, saat saya mengulas tentang Indonesia, sudah ditunjukkan hakikat dari konsep akumulasi modal yang terdistorsi secara struktural tersebut. Distorsi ini menempatkan kedudukan negara paska kolonial yang menjadi relatif otonom.

Menurut Alavi, otonomi relatif Negara  ini muncul karena kelas-kelas sosial yang ada lemah. Negara bertindak selaku mediator di antara kepentingan-kepentingan kelas yang dominan pada masyarakat paska-kolonial, dalam hal ini kelas borjuasi metropolitan/pusat, kelas borjuasi lokal, dan para tuan tanah. Jadi, berbeda dengan apa yang dikemukakan Miliband dan Poulantzas, otonomi relatif negara tidak terjadi karena lemahnya kelas borjuasi untuk mendominasi negara, tapi lebih dari itu, karena keseluruhan kelas tidak mampu menguasai Negara.

Masih menurut Alavi, kepentingan ketiga kelas tersebut tidak dalam hubungan yang antagonistik, tetapi kepentingannya dalam memelihara tatanan sosial yang ada justru saling bertemu, sekalipun di antara mereka juga saling bersaing secara ekonomi-politik. Dengan lemahnya kelas-kelas sosial yang dominan,  Negara paska-kolonial menjadi terpusat kekuasaannya (sentralisme kekuasaan). Inilah kemudian yang disebut sebagai over developed state yang selanjutnya menandai otonomi relatif negara.

Tentu timbul pertanyaan, bila kelas-kelas sosialnya lemah, Negara lalu berfungsi sebagai apa? Apakah hanya untuk menopang kekuatan politik kelas-kelas tersebut ? Tentu saja tidak. Negara paska-kolonial juga berperan dalam menggerus formasi sosial lama (feodal/pra-kapitalisme) agar perubahan ke arah corak produksi kapitalisme dipercepat. Dengan kata lain, Negara paska-kolonial sangat berperan dalam memelihara akumulasi modal. Pada titik ini kita perlu ‘mencolek’ pendekatan produksionis yang menekankan unsur moda produksi dalam melihat negara, dalam arti ia berperan untuk menjamin berlangsungnya proses dan relasi produksi yang dibutuhkan untuk mengakumulasi modal. Pada dasarnya argumen produksionis pada Negara paska-kolonial menunjukkan bahwa Negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan proses produksi material yang ada. Negara bertindak mengikuti logika ini, misalnya, dengan proteksi, perundangan, bahkan kekerasan untuk melindungi proses produksi dan formasi sosial sebagai ikutannya. Inilah yang disebut sebagai imperatif struktural moda produksi yang harus diikuti oleh negara, sebab bila bertentangan terhadapnya maka bisa terjadi distorsi dan kehancuran struktural pada kapitalisme.

Argumen produksionis (Barone, 1983) sebenarnya ingin mengembalikan fokus kepada unsur produksi dan mematahkan tafsir teori ketergantungan yang justru menekankan pada unsur sirkulasi dan blocked development di periferi/pinggiran.

Pada tafsir teori ketergantungan, sebuah Negara kapitalisme pinggiran bisa dikatakan mengalami blocked development, karena sedemikian tersubordinasi oleh perkembangan dan dinamik di kapitalisme pusat. Nah, tafsir produksionis justru memperlihatkan bahwa beberapa negara seperti Korea Selatan ternyata bisa melepaskan diri dari blocked developement, karena peranan negara dalam menumbuhkan moda produksi kapitalisme, yakni melalui penciptaan kelas borjuasi domestik dan melalui serangkaian kebijakan yang mampu mempercepat industrialisasi, seperti yang menyangkut pertanahan dan pertanian, moneter, keuangan, perburuhan, dan industri berorientasi ekspor yang banyak menyerap buruh. Negara juga berperan dalam mendisiplinkan buruh industri melalui praktek tekanan sosial-politik atau represi dan pengawasan yang ketat terhadap serikat-serikat buruh yang ada. Selain itu, proteksi yang dilakukan negara juga melindungi perkembangan kelas borjuasi domestik terhadap modal dari kelas borjuasi asing pada saat negara memasuki arena Pembagian Kerja Internasional Baru (New International Division Labor/NIDL).

Dengan demikian dapatlah kita rumuskan bahwa: pertama, Negara paska-kolonial haruslah dilihat dalam konteks moda produksi, di mana tercipta formasi sosial berupa pengembangan kelas-kelas sosial baik borjuasi domestik dan buruh industri. Dan selalu Negara menempatkan dirinya di tengah-tengah kompetisi antara kelas borjuasi domestik dan asing. Negara tidak akan membiarkan perkembangan kelas borjuasi domestiknya terhambat gara-gara terlalu melayani modal asing atau dengan kata lain menjadi komprador modal asing. Sebab di antara kelas borjuasi domestik dan asing terkadang tidak terjadi hubungan simbiosis, malah saling bersaing mematikan. Negara eksis dalam rangka menjamin kondisi yang diperlukan oleh moda produksi kapitalisme tersebut;

Kedua, tesis overdeveloped state bukan konsep yang abstrak, melainkan selalu terkait pada basis material berupa proses akumulasi-konsentrasi modal dan formasi kelas sosial

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas,  dapat disimpulkan bahwa konsep Negara bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Pemahaman terhadap sejarah menguatnya Negara secara relatif otonom di hadapan relasi dan formasi kelas sosial ataupun dipergunakannya Negara sebagai alat bagi kelas-kelas yang berjuang (konsep perjuangan kelas), lebih dapat memperjelas konstruksi teori dan konsepnya.

Dalam artikel kali ini, saya mencoba menjelaskan apa yang sudah pernah dikemukakan oleh Bill Warren (1980), saat membahas mengenai ‘khayalan keterbelakangan’ bahwa pengembangan ekonomi Barat membangkitkan dunia non-Barat ke arah proses modernisasi, untuk mana perkembangan internnya sendiri belum mempersiapkannya. Dan bahkan hal ini juga pernah dilontarkan oleh Lenin, bahwa imperialisme telah menjadi penghalang utama terhadap industrialisasi di dunia ketiga.

Pada titik ini tentu kita bertanya-tanya, lantas apa hubungan semua ini dengan kasus TKI (tenaga kerja Indonesia) yang berkerja di luar negeri. TKI agaknya bisa kita masukkan dalam kategori yang disinggung oleh Alavi dalam kalimatnya ini, ‘…masalah kehancuran dasar prakapitalis yang mereka perankan, dengan memiliki sedikit alternatif selain berlaku sebagai cadangan tenaga buruh yang murah bagi perusahaan. Inilah… tempat bagi perekonomian petani’ (1982). Penjelasan ini seirama dengan proletarisasi yang dialami oleh rakyat pedesaan di Indonesia, yang kemudian harus melepas tanah-tanah pertaniannya akibat adanya Revolusi Hijau dan pembangunan-pembangunan proyek Negara maupun properti swasta yang banyak memangkas lahan pertanian. Karena industrialisasi dan cara produksi kapitalisme tidak mampu menyerap para buruh lepas yang berasal dari wilayah pedesaan ini, maka lahirlah TKI-TKI yang harus disalurkan melalui campur tangan negara ke pasar tenaga kerja di luar negeri.

Negara menyalurkan TKI sebagai komoditi dengan meminjam tangan borjuasi domestik, yang akhirnya menjualnya kepada borjuasi asing di luar negeri. Selain itu, dari komoditi TKI sendiri diperoleh sumber devisa yang tidak kecil artinya bagi keseluruhan sistem kapitalisme Indonesia. Menurut laporan Bank Dunia (10/2010), jumlah devisa yang diperoleh dari proyek ini adalah sebesar US$ 7 Milyar. Sedang dari sisi penyaluran tenaga kerja mampu menyerap sekitar 3 juta orang, di mana bagian terbesar berada di Malaysia (1,2 juta orang) dan Arab Saudi (920.000an orang)

Dengan latar ini terlihat bahwa kasus-kasus yang menimpa TKI di Arab Saudi– yang mengalami penindasan di tiga level, yakni sebagai komoditi, sebagai orang asing yang terjebak dalam ruang yang menganut paham wahabbi salafi, dan sebagai perempuan di dunia laki-laki –tidak segera mendapatkan respon yang segera dari Negara, dalam hal ini diwakili oleh aparatur pemerintah, karena satu policy politik yang kurang terencana dengan baik akan  membawa pengaruh yang fatal pada seluruh sistem kapitalisme. Pertama, devisa akan hilang akibat ketegangan politik; dan kedua, penyaluran TKI akan terhenti, dan ini sudah terjadi bila moratorium pengiriman TKI benar-benar dilaksanakan. Yang artinya duit penjualan dan komisi atau profit yang diperoleh dari komoditi TKI langsung berkurang atau bahkan berhenti, sehingga kelas borjuasi domestik harus mengalihkan lokasi pengiriman TKI ke negara lain (sekarang langsung ke Malaysia).

Yang jelas, dengan kekuasaannya seperti ditunjukkan pada kasus argumen produksionis di atas, melalui instrumen-instrumen kekuasaan politik seperti peraturan dsb. Negara selalu akan berusaha agar proses reproduksi sosial dari moda produksi kapitalisme selalu terpelihara, tidak terganggu. Negara dengan demikian jelas bukan sebuah entitas yang mandiri, ia selalu bermakna sebagai arena perjuangan kelas.***

Bimo Semiarto, Penulis Lepas tinggal di Yogyakarta.

Kepustakaan:

Bill Warren, ‘Imperialism. Pioneer of Capitalism,’ London, New Left Books, 1980.

Charles Barone, ‘Dependency, Marxist Theory, and Salvaging the Idea of Capitalism in South Korea,’ XV, Spring, 1983.

Hamza Alavi, ‘The State in Post-Colonial Societies : Pakistan and Bangladesh,’ New Left Review, 74, 1972.

Hamza Alavi, ‘State and Class in Peripheral Capitalism, dalam Hamza Alavi & Theodor Shanin eds.,Introduction to Sociology of “Developing” Societies,’ London, Macmillan Press, 1982.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.