Bencana, Jepang, dan Kita

Print Friendly, PDF & Email
Iqra Anugrah
Iqra Anugrah, Kandidat Master di Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang.

HARI JUMAT,  11 Maret 2011, tak ubahnya seperti hari biasa. Selepas menunaikan ibadah shalat Jumat, saya dan beberapa teman melanjutkan hari dengan makan siang. Saya kemudian pergi ke kampus, untuk segera dikejutkan dengan serentetan berita dan pemberitahuan dari teman-teman mengenai gempa dan tsunami di daerah Tohoku, di Utara Jepang.

“Ada gempa dan tsunami di Miyagi, Sendai, dan sekitarnya”

“Yang benar?”

“Ya! Coba cek internet”

Melalui koneksi internet dari telepon seluler, kami menyaksikan bencana dari kejauhan yang kurag lebih berkisar antara 1000-1500 km. Tak ada yang menyangka bahwa Beppu, kota kecil di ujung Selatan Jepang yang terletak di pulau Kyushu bisa menjadi salah satu tempat teraman dan tertenang di satu Jepang.

Dampak bencana itu begitu dahsyat. Gempa dengan kekuatan 8,9 magnitude itu menggoncang Jepang. Tidak hanya itu, tsunami juga melalap dan meratakan apapun yang dilewatinya, mulai dari daerah pemukiman, gedung-gedung, hingga fasilitas umum. Dalam selang waktu yang tidak begitu lama, ada banyak kekhawatiran mengenai kerusakan dan kebocoran instalasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Fukushima.

Menanggapi rangkaian bencana ini, respon dari masyarakat Jepang dan komunitas internasional pada umumnya begitu luar biasa. Begitu derasnya ekspresi solidaritas, keprihatinan, dan simpati dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar Jepang, dari segenap elemen masyarakat. Kami yang kebetulan tidak terkena dampak bencana dan baik-baik saja, juga memutuskan untuk membuat posko dan mengunpulkan donasi seadanya untuk kemudian dikirimkan ke pihak berwenang seperti kedutaan besar republik Indonesia (KBRI) dan Japanese Red Cross Society.

Menanggapi Bencana

Di tengah-tengah pemberitaan media luar dan tanah air yang tidak berimbang dan berlebihan mengenai mitigasi dan penanganan bencana di Jepang, ada arus energi positif yang begitu besar. Melampaui sekat-sekat primordialitas, afiliasi politik, etnisitas dan kewarganegaraan, dan kepentingan-kepentingan jangka pendek, pemerintah dan warga Jepang serta berbagai komunitas warga asing di Jepang, saling bahu-membahu membantu para korban. Gelombang solidaritas yang begitu besar terus berkembang, baik di dalam maupun luar Jepang, offline maupun online, menyebarkan doa, harapan dan semangat. Ada satu fakta yang sangat dicamkan oleh orang-orang Jepang, bahwasanya mereka hidup berdampingan dengan bencana, dan karenanya diperlukan penanganan yang tepat.

Selain didukung oleh “resep klasik” infrastruktur, kebijakan, dan penguasaan sains dan teknologi yang baik, mitigasi dan manajemen bencana di Jepang tidak lepas dari kuatnya dan bangkitnya nilai-nilai solidaritas sosial a la Jepang, yang kurang lebih dapat diintisarikan dalam tiga prinsip, yaitu solidaritas, altruisme, dan ganbaru, sebuah istilah khas Jepang, yang agak susah untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Inggris maupun Indonesia, namun dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “semangat berjuang”. Kita mengenal Magna Charta dan Habeas Corpus sebagai dokumen penting di peradaban Barat. Dalam konteks Jepang, dokumen yang menjadi landasan politik kewargaan dan solidaritas sosial Jepang, menurut Nitobe Inazo, salah seorang diplomat dan pemikir kenamaan Jepang, adalah Bushido.

Cerita-cerita heroik dan mengharukan tentang segerombolan anak yang membagikan makanan dan permen bagi para pengungsi dan warga yang memerlukan, para kepala desa yang terpaksa harus meregang nyawa demi menyelematkan warganya, hingga kerelaan orang-orang untuk tetap mengantri demi mendapatkan makanan dan berbagai bantuan serta fasilitas lainnya, menunjukkan bagaimana etika Bushido tetap hidup sebagai pedoman politik kewargaan, untuk bersama bangkit, maju bersama komunitas dengan kaki dan usaha sendiri. Tidak heran jika kemudian PM Naoto Kan sudah mendeklarasikan kebijakan “New Deal” atau percepatan perkembangan ekonomi melalui rekonstruksi pasca bencana. Tentu nilai-nilai Jepang bukanlah yang paling sempurna, begitu banyak kritisisme yang dapat ditujukan kepada kondisi Jepang kontemporer, mulai dari tafsir apologetik akan sejarah kelam militerismenya, kurangnya progresivitas politik, hingga lesunya ekonomi. Namun demikian, begitu banyak hal-hal yang kita bisa pelajari dari Jepang, terutama sekali dalam masa berkabung dan keprihatinan pasca bencana, yang merupakan momentum bagi Jepang untuk merefleksikan diri demi merajut masa depan.

Momen Kontemplasi

Politik kewargaan Jepang yang didasarkan atas solidaritas, altruisme, dan kepercayaan publik terhadap sesama anggota komunitas seakan-akan menegur kita. Ada sebuah ancaman besar yang hidup bersama mereka, dan Jepang berhasil menjadikan ancaman itu sebuah pedoman bagi kehidupan publik, yang diterjemahkan di berbagai lini mulai dari pendidikan, sains dan teknologi, kebijakan, infrastruktur, dan lain-lain. Tidak ada liputan-liputan televisi yang berlebih-lebihan dan mendayu-dayu, diiringi dengan lagu-lagu sedih, ataupun pendapat-pendapat yang berisi dogma-dogma, takhayul-takhayul, maupun penafsiran-penafsiran yang sepihak dan tidak perlu.

Hal ini begitu kontras dengan kita, yang masih berkutat dan terjerembab di lubang yang sama, mulai dari isu kebebasan beragama, hiruk-pikuk media, kesenjangan sosial, hingga keamanan. Indonesia 2011 tidak kalah mirip dengan Jepang di era 1920-an, ketika militerisme dan fundamentalisme menguasai diskursus publik.

Tak sedikit dari kita yang masih berani untuk “bermain Tuhan,” mengaitkan-ngaitkan bencana sebagai bentuk karma dengan masa lalu dan “kemaksiatan” Jepang. Tak sedikit yang menganggap bencana ini adalah “hasil konspirasi Amerika,” meskipun jumlah korban semakin meningkat tiap harinya. Seakan-akan ingin turut menambah keruh persoalan, Gubernur Tokyo, Ishihara Shintaro, seorang politisi sayap kanan, juga menganggap bahwa tsunami kali ini adalah “divine punishment” hukuman dari langit untuk menghapus dosa-dosa dan egoisme bangsa Jepang. Ingin rasanya saya mengelus dada dan menghela napas, seraya menangadahkan muka ke langit dan berkata “Tuhan, kapan kita bebas dari kebencian?”

Membangkitkan kembali politik kewargaan

Deretan bencana di Jepang menyadarkan peran kita sebagai anggota komunitas. Lebih penting lagi, solidaritas dan modal sosial yang kembali hidup dan bangkit pasca bencana menunjukkan bahwa masih ada kesempatan bagi politik kewargaan yang berdasarkan pada nilai kebersamaan, kesetaraan, dan kepercayaan.

Dalam konteks Jepang, perubahan sosial-politik pasca bencana akan sangat menarik untuk di lihat. Di parlemen dan eksekutif, Partai Demokrat Jepang atau DPJ mendapat pelajaran yang berharga sebagai pemain baru di politik Jepang sekaligus momentum untuk menunjukkan kredibilitas dan komptensinya. Dalam tataran yang lebih luas, ini membuka peluang bagi gerakan-gerakan progresif di Jepang untuk menguatkan posisi tawar warga negara dalam menantang institusionalisasi, kemapananan, dan rigiditas diskursus politik Jepang dan mengedepankan agenda-agenda perubahan.

Bagi kita, ini adalah sebuah pesan untuk bertindak nyata sebagai concerned citizens of the world, untuk bangkit dari kursi empuk, meninggalkan kamar ber-AC, dan cuti sejenak dari kegiatan online kita untuk meningkatkan modal sosial dan menyegarkan kembali politik kewargaan, khususnya di tanah air. Di saat kecemasan melanda, di saat itulah harapan dan aksi nyata justru akan tumbuh, yang semakin menunjukkan bahwa sesungguhnya kemanusiaan itu melintasi dan tidak memiliki batas.***

Iqra Anugrah

Kepustakaan:

Buruma, Ian. (2011, March 19). Japan’s Shattered Mirror. Wall Street Journal. Retrieved from http://online.wsj.com/article/SB10001424052748703818204576206550636826640.html

Kyodo News. (2011, March 14). Restoration after quake disaster could create ‘New Deal’ demand: Kan. The Japan Times. Retrieved from http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/nn20110314x2.html

Kyodo News. (2011, March 15). Ishihara apologizes for ‘divine punishment’  remark. The Japan Times. Retrieved from http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/nn20110315x7.html

Nitobe, Inazo. (1969). Bushido, the Soul of Japan. Rutland, Vermont: Charles E. Tuttle Company.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.