Kredit foto:Instagub
RUNTUHNYA rezim sosialis di Eropa Timur pada akhir 1980-an, telah mendorong euforia yang mengadiluhungkan kelembagaan politik kapitalis di atas format ekonomi politik lainnya. Demokrasi neoliberal yang didasarkan pada pasar bebas, diyakini dan telah diterima oleh khalayak ramai sebagai the end of history (Fukuyama 1992). Dengan nada penuh kemenangan, Fukuyama menulis artikel berjudul “The end of History” yang terbit pada musim panas 1989 di Chicago. Di dalamnya, ia berargumen bahwa dengan runtuhnya Uni Soviet, alternatif ideologis terakhir bagi liberalisme telah sepenuhnya hilang. Fasisme telah ‘dikalahkan’ dalam Perang Dunia Kedua dan kini Komunisme telah runtuh. Bersandar pada postulat Hegel, Fukuyama meyakini perkembangan sejarah terjadi karena didorong oleh pertarungan ideologis dan baru akan berakhir jika bentuk masyarakat dan negara yang sangat rasional muncul menjadi pemenangnya. Maka dengan “ditaklukkannya” komunisme, Fukuyama yakin bahwa kini sejarah telah mencapai tujuannya, karena kombinasi dari “ekonomi pasar bebas” dan “demokrasi liberal” yang dibangun di atas persamaan hak (demokrasi liberal ala Barat) memungkinkan bentuk masyarakat yang paling maju. Fukuyama yakin bahwa dengan menerapkan liberalisme ekonomi dan politik, masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara yang berada di “garda terdepan peradaban” telah mencapai “akhir sejarah”, yakni titik akhir evolusi ideologi umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk akhir pemerintahan (Fukuyama 1989:2).
Meskipun demikian, sejak krisis finansial 2008, kerapuhan arsitektur kelembagaan kapitalisme global semakin nyata terlihat baik di pinggiran (periphery) maupun di pusat (core) sistem kapitalisme global. Terpilihnya Donald Trump pada pilpres Amerika Serikat 2016, kemenangan para pendukung Brexit pada referendum Inggris yang digelar pada tahun yang sama, dan semakin populernya Marine Le Pen di Perancis, menunjukkan bahwa demokrasi sudah mulai “tidak berfungsi”, dalam artian, malah berbalik melawan sistem pasar bebas justru di negara-negara yang selama ini dianggap sebagai kiblat demokrasi liberal. Tak ayal, kedua hasil dari proses demokrasi ini mengejutkan para pendukung kapitalis, sebagaimana ditunjukkan Donald Tusk (2016), presiden Dewan Eropa, yang menyatakan secara gamblang bahwa “Brexit bisa menjadi awal kehancuran tidak hanya Uni Eropa tetapi juga peradaban politik Barat secara keseluruhan”. Sementara berkaitan dengan kemenangan Trump, Andrew Sullivan, salah satu blogger konservatif terkemuka di Amerika, juga memberikan pendapat dengan nada yang sama, “jika kita berbicara tentang demokrasi liberal dan tatanan konstitusional, Trump adalah bencana kepunahan” (Sullivan, 2016). Dia juga secara gamblang mengekspresikan apa arti demokrasi bagi seorang pembela sejati kapitalisme dengan memberi judul artikelnya “Democracies end when they are too democratic”. Namun yang paling mengejutkan, pada awal 2017 lalu, dalam sebuah wawancara dengan The Washington Post, Francis Fukuyama, sang pendeklarasi “akhir sejarah” menyampaikan kekhawatirannya terhadap perkembangan dunia. Dalam wawancara tersebut, Fukuyama mengubah keyakinannya atas “keabadian” hubungan ekonomi pasar bebas dan demokrasi liberal sebagai tatanan final sistem ekonomi politik dunia. Kondisi saat ini, ujarnya, menunjukkan tanda-tanda adanya potensi perubahan sistem ekonomi politik dunia menuju ke masa lalu (Tharoor 2017).
Melihat fenomena dimana Francis Fukuyama—yang selama ini bak nabi pembawa obor kejayaan demokrasi liberal—terpaksa menjilat ludahnya sendiri dan “menunda akhir sejarah”, membuat penstudi HI (agak liberal) seperti saya kemudian bertanya, jika memang demokrasi liberal dan pasar bebas berada pada dua sisi koin yang sama—sebagaimana yang dipercaya Fukuyama dan para neoliberalis lainnya—bagaimana mungkin mayoritas dari pemilih aktif di dua negara pelopor kapitalisme global justru memilih para konservatif yang kebijakannya berbalik melawan pasar bebas?
Dengan bertolak pada pemikiran Hegel (sebagaimana yang dikutip Fukuyama sendiri) bahwa perkembangan sejarah terjadi karena didorong oleh kontradiksi, maka perkembangan sejarah baru dapat dikatakan berlabuh pada “demokrasi liberal pasar bebas” hanya jika tidak ada kontradiksi yang terjadi baik di dalam maupun di antara “ekonomi pasar bebas” dan “demokrasi liberal”. Dalam “The End of History”, Fukuyama jelas menyatakan bahwa tidak ada kontradiksi dalam demokrasi liberal, karena setiap konflik sosial dapat diselesaikan dalam kerangka kapitalisme.
Untuk menyelidiki berbagai kontradiksi tersebut, penting kiranya kita memeriksa siapa yang sesungguhnya dilayani oleh pasar “bebas” dan “demokrasi liberal” serta bagaimana konsep “persamaan hak” (equal rights) justru menyembunyikan ketimpangan (inequalities) hakiki dalam demokrasi. Untuk itu, pembahasan dalam tulisan ini akan diawali dengan menelaah hubungan antara demokrasi dan sistem kepemilikan serta dimensi ketimpangan di dalamnya, yang akan menjadi landasan kita untuk menelusuri bagaimana perubahan pola akumulasi kapital yang dibawa globalisasi mempengaruhi distribusi nilai tambah antara laba dan upah buruh. Berikutnya, pembahasan difokuskan pada kontradiksi yang terdapat dalam tubuh kapital dan kerja upahan serta bagaimana kekuatan pasar bebas bekerja mengikis demokrasi liberal dan membatasi pemanfaatan lembaga demokrasi secara efektif.
Kontradiksi dalam Demokrasi Liberal
Kata demokrasi umumnya diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (rule of the people). Namun hal tersebut tampaknya tidak berlaku dalam demokrasi liberal. Menurut pendekatan New Institutional Economics (NIE), “aturan” (rule) merupakan hasil dari “permainan”, “pertarungan” atau “persaingan” di antara kelompok-kelompok elite. Acemoglu dan Robinson (2006) menyatakan bahwa pada masyarakat yang sangat tidak setara (highly unequal) atau sangat setara (highly equal) tidak mungkin terjadi demokratisasi. Justru pada masyarakat yang berada di tingkat ketimpangan menengah, demokratisasi dimungkinkan. Di buku mereka selanjutnya, keduanya berpendapat bahwa kemiskinan adalah pilihan elite penguasa: “poor countries are poor because those who have power make choices that create poverty” (Acemoglu & Robinson 2012: 78), artinya persoalan kesejahteraan masyarakat utamanya adalah persoalan politik. Demikian pula North et al. (2009) yang menyatakan bahwa demokratisasi (mereka mendeskripsikannya sebagai proses transisi dari masyarakat dengan “akses terbatas” menuju “akses terbuka”) dimulai ketika elite yang berkuasa memutuskan untuk mentransformasi privilese pribadi mereka menjadi hak-hak impersonal yang dibagikan secara merata di antara para elite. Mereka secara implisit mengakui bahwa suprastruktur dari masyarakat kapitalis dikonstruksi oleh dan untuk kelas-kelas penguasa[1]. Dalam hal ini, North et al. berbagi pandangan yang sama dengan Fukuyama bahwa di negara-negara maju, dimana demokrasi, persaingan pasar dan hukum korporasi berlaku, negara mengizinkan persaingan antar-kelompok elite sembari memegang monopoli atas legitimasi penggunaan kekerasan dalam rangka menjaga ketertiban sosial.
Selanjutnya, bagaimana realitas demokrasi ini bekerja dijelaskan oleh G. William Domhoff (2012), yang mengumpulkan data mengenai kelas penguasa di Amerika Serikat sejak 1960-an. Ia mendefinisikan kelas penguasa Amerika sebagai “elite kekuasaan” yang terdiri dari “komunitas korporasi”, “orang-orang kelas sosial atas” (yang kaya dan berpengaruh), serta “jejaring perencanaan kebijakan” (yayasan dan lembaga-lembaga think-tank)[2]. Domhoff menyimpulkan bahwa kekuatan dominan di Amerika Serikat sejak 1776 hingga saat ini adalah the owners and managers of large income-producing properties; that is the owners of corporations, banks, other financial institutions, and agri-businesses”.
Temuan-temuan Domhoff kembali membuktikan bahwa power is based on the ownership of the means of production, dan kelas-kelas sosial ditentukan berdasarkan relasi mereka terhadap kepemilikan alat-alat produksi (owners, non-owners). Hanya kepemilikan atas alat-alat produksilah yang dapat dikatakan “ownership” di sini. “Ownership” ini dapat juga disebut initial advantage (keuntungan awal) yang memungkinkan pemiliknya secara utuh mendapatkan keuntungan-keuntungan berikutnya dan mengakumulasikannya. Keuntungan yang didapatkan melalui cara ini kemudian disebut sebagai cummulative advantage (keuntungan kumulatif). Begitu kepemilikan alat-alat produksi memungkinkan penghisapan kerja, maka proses akumulasi terakselerasi. Dalam kapitalisme, keuntungan kumulatif mengambil bentuk-bentuk kapital dan terakumulasi melalui mekanisme pasar dimana secara formalitas semua orang memiliki “hak yang sama” untuk ambil bagian. Namun kesetaraan formalitas ini tentunya dipijakkan di atas ketidaksetaraan yang nyata atas kepemilikan.
Dalam sejarahnya, sistem kepemilikan memang diciptakan dengan cara yang tidak demokratis dan dalam banyak kasus terjadi melalui perampasan langsung. Kemudian seiring dengan diciptakannya konsep pengambilalihan (expropriation), proses akumulasi kepemilikan pun dilakukan melalui cara yang “berlandaskan hukum”. Para pemilik (the owners) berhak atas pengelolaan kepemilikan mereka dan keuntungan yang didapatkan darinya (kekayaan dan kekuasaan), karena sejak awal tatanan hukum baru yang berlaku diciptakan untuk melindungi hak-hak kepemilikan pribadi para owners (North et al. 2009: 150-154).
Dalam kapitalisme, hak milik (property rights) berarti kepemilikan pribadi dijamin oleh aturan hukum dan tidak dapat diganggu gugat. Begitu pula dengan hak mereka baik dalam mengelola (to operate) maupun mencampakkan (to dispose) alat-alat produksi, sepenuhnya bersifat tidak dapat diganggu gugat.[3] Beberapa keputusan minor mungkin saja melibatkan para non-owners secara “demokratis”, namun fungsi kepemilikan dan hak untuk melipatgandakan kekayaan pribadi dengan segenap caranya tidak dapat diganggu gugat. Siapa yang akan membantah bahwa perusahaan memang sejatinya harus kompetitif dan menghasilkan keuntungan? Semua urusan lain mungkin dapat diputuskan secara demokratis, namun demokrasi tidak berlaku untuk urusan produksi. Dalam produksi, diktum yang berlaku hanyalah memperoleh keuntungan kumulatif dan meningkatkan daya saing.
Dalam kapitalisme, orang memang bebas untuk memilih hubungan kontrak yang ingin mereka masuki, tidak seperti feodalisme atau perbudakan, dimana kelompok tertentu dapat secara langsung mengontrol tindakan orang lain. Namun isi kontrak sudah ditentukan terlebih dahulu oleh relasi kepemilikan: mereka yang tidak memiliki modal hanya dapat menawarkan daya kerjanya, sehingga sejak awal sudah kehilangan posisi tawar untuk memiliki apa yang mereka hasilkan melalui pekerjaan mereka. Mereka yang memiliki modal secara sah akan menjadi pemilik seluruh produk yang diciptakan oleh pekerja dan hanya akan membayar nilai yang dihasilkan pekerja sesuai dengan harga yang ditentukan dalam kontrak. Karena itulah hierarki antara kelompok (kelas) masyarakat kini ditentukan oleh paksaan-paksaan ekonomi: setiap orang hidup dalam kapitalisme, sehingga agar dapat membeli, mereka harus menjual apa yang mereka punya. Jika tidak lagi punya apa-apa, mereka menjual daya kerjanya.
Selanjutnya, karena keuntungan kumulatif yang berpijak pada keuntungan awal selalu bergerak maju, diikuti kapital yang terakumulasi melalui laba, membuat kekayaan dan bargaining power para owners pun semakin meningkat, sementara di saat yang sama, posisi mereka yang hanya memiliki daya kerja terus melorot. Dalam proses ini, dengan kapital yang terus terakumulasi, para pemilik modal memiliki perluasan akses untuk mengoperasikan alat-alat produksi lainnya (seperti institusi pendidikan, media pemberitaan, publikasi, dll) yang cocok untuk memengaruhi sikap dan pola pikir masyarakat luas.[4] Melalui pendidikan dan media, paksaan-paksaan ekonomi yang dialami rakyat pekerja dapat disajikan kepada publik sebagai “hal yang lumrah dan alamiah” dalam perkembangan masyarakat modern.
Ketimpangan dalam daya tawar yang dimiliki kelas-kelas sosial ini akan terus mengikis substansi demokrasi politik dan mereduksinya menjadi sekadar formalitas belaka. Jadi, sekalipun sistem kelembagaan demokrasi politik semakin maju dan berkembang, ketimpangan politik maupun ekonomi juga terus meningkat. Faktanya, dengan semakin meningkatnya ketimpangan di antara kelas maupun di dalam masing-masing kelas, kontradiksi tersebut pada gilirannya juga akan memengaruhi operasional dan kelembagaan formal demokrasi politik.
Kontradiksi dalam Reproduksi Kapital
Reproduksi kapital yang dilakukan untuk menciptakan nilai lebih (surplus value) kini berlangsung dalam skala global karena aktivitas korporasi transnasional. Sementara itu, sistem ekonomi dunia bersifat hierarkis dan pemanfaatan hierarki ini akan berimplikasi pada peningkatan nilai tambah (value added). Secara sekilas, hierarki tampak muncul sebagai konsekuensi dari perbedaan kondisi reproduksi modal antar-negara, terutama pada perbedaan tingkat upah. Namun, perbedaan upah juga tunduk pada sokongan alat-alat produksi. Negara-negara berkembang (periphery) umumnya memiliki sarana produksi yang kurang maju, dan karenanya pendapatan mereka lebih kecil, yang berimplikasi pada rendahnya tingkat upah. Dalam hal ini, penguasaan teknologi yang lebih maju dikombinasikan dengan ongkos tenaga kerja yang lebih rendah menghasilkan pengembalian modal (keuntungan) yang lebih tinggi. Maka logikanya, akan lebih menguntungkan bagi negara-negara maju (core) yang menguasai teknologi maju untuk menerapkannya di lokasi produksi yang upah buruhnya lebih rendah, yaitu di negara-negara periphery. Relasi semacam inilah yang kemudian dirumuskan oleh Wallerstein (2004) dalam konsep pembagian kerja aksial (axial division of labour) antara pusat (core) dan pinggiran (periphery) dalam sistem ekonomi global (Wallerstein 2004:17).[5]
Bebasnya pergerakan arus modal di era kapitalisme transnasional ini telah membuat relokasi produksi dan teknologi dari satu negara ke negara lainnya jauh lebih mudah dari sebelumnya. Konsekuensinya, rentang siklus reproduksi kapital pun semakin singkat. Banyak literatur yang menjelaskan tentang siklus reproduksi kapitalis yang bekerja di berbagai level produksi, namun secara garis besar, seluruh siklus tersebut bekerja dengan logika yang sama dimana ia terdiri dari fase inovasi dan fase ekspansi.[6] Fase inovasi ini umumnya berlangsung di negara-negara maju (“pusat” sistem kapitalisme global) dan berlangsung terus menerus, silih berganti. Dengan besarnya tekanan persaingan antar-korporasi, begitu sebuah inovasi muncul, perusahaan inovator dipaksa untuk merelokasi dan memperluas produksinya ke negara-negara dengan tingkat upah yang lebih rendah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Itulah sebabnya, fase ekspansi dari siklus reproduksi kapital berlangsung di negara-negara periphery dan semi-periphery, dimana tenaga kerja sektor-sektor tradisionalnya telah semakin terintegrasi ke dalam sistem kerja upahan.
Dalam hal ini, perkembangan intensif inovasi di negara-negara core mendorong pertumbuhan periphery, sementara pertumbuhan di periphery menawarkan input berbiaya rendah (terutama, tenaga kerja murah) untuk perluasan inovasi industri yang menguntungkan core. Ekspansi tersebut memang mendorong “pertumbuhan ekonomi” dan penetapan harga serta upah di periphery. Namun, sebagian besar nilai tambah yang dihasilkan dihisap dari periphery menuju core melalui repatriasi (penginvestasian kembali) laba dan transfer pricing (penentuan harga transfer) sebagai bayaran atas “technical assistance” yang diberikan perusahaan transnasional ke negara tuan rumah. Baik pertumbuhan ekonomi di periphery maupun nilai tambah yang dihisap darinya, pada akhirnya sama-sama menjalankan fungsi untuk memberi bahan bakar bagi pertumbuhan industri di core. Meskipun tingkat teknologi dan produktivitas di periphery meningkat yang berimplikasi pada peningkatan rasio Pendapatan Domestik Bruto (PDB), namun hal tersebut tentunya masih tertinggal jauh dari tingkat penguasaan teknologi dan produktivitas di core.[7]
Sebagai konsekuensi dari ketertinggalan teknologi dan penghisapan nilai tambah di periphery, kesenjangan antara core dan periphery pun terus meningkat dan terpelihara. Bagi pendukung mazhab “pertumbuhan ekonomi”, hubungan ini tampak bukan masalah, karena asumsinya inovasi baru akan terus berdatangan dari core dan memungkinkan peningkatan nilai tambah dan upah yang lebih tinggi di periphery. Namun, ketika terjadi krisis di core, yaitu saat tidak ada inovasi baru yang mendorong produksi, strategi penyesuaian harus dilakukan di periphery, yang umumnya dilakukan melalui: pertama, tindakan penghematan seperti pemotongan upah dan belanja jaminan sosial atau kedua, dengan memindahkan produksi ke negara lain dimana upah buruhnya lebih rendah dan regulasinya lebih “ramah” investasi asing. Sayangnya, kedua skenario tersebut sama-sama mengarahkan pertumbuhan ekonomi di periphery pada kemandegan (fenomena ini digambarkan oleh literatur arus utama sebagai “middle-income trap”), sementara semakin terintegrasinya negara-negara baru (yang upah buruhnya lebih rendah tadi) ke dalam reproduksi global semakin menekan dan memicu penurunan tingkat upah yang lebih rendah lagi dalam skala global.
Dalam proses global yang fluktuatif ini, tingkat rata-rata upah (average wages) memang mengalami peningkatan, namun pangsa upah (wage share) cenderung terus mengalami kemerosotan. Penghasilan seorang pengangguran boleh jadi meningkat jika dia mendapat pekerjaan, namun gajinya bisa jadi lebih rendah dari upah terendah di negara tersebut saat sebelum dia dipekerjakan. Bahkan jika upah karyawan ini meningkat pada bulan kedua masa kerjanya, upah baru ini boleh jadi memiliki share yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai tambah dari gaji bulan pertamanya (Stockhammer 2013).
Hal ini menjelaskan bagaimana mungkin angka kemiskinan absolut menurun, sementara angka kemiskinan relatif meningkat di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir (Chen and Ravallion 2012), yang berarti kemiskinan relatif dapat terjadi pada saat yang sama dengan tingginya tingkat konsumsi individu. Resnick dan Wolff (2003) berpendapat bahwa meningkatnya standar konsumsi pekerja produktif dan tidak produktif di Amerika Serikat disertai dengan meningkatnya tingkat eksploitasi—yang merupakan ekspresi lain dari jatuhnya pangsa upah dalam nilai tambah-selama lebih dari 130 tahun terakhir. Kesimpulan ini juga didukung oleh temuan Kotz (2009) yang menyatakan bahwa di Amerika Serikat, peningkatan keuntungan telah tumbuh secara signifikan lebih cepat daripada upah buruh sejak 1979. Di negara-negara OECD, penurunan pangsa upah juga terjadi secara substansial sejak 1970-an (Stockhammer 2013). Temuan-temuan ini menunjukkan dengan gamblang kecenderungan turunnya pangsa upah bahkan di negara-negara pusat sistem kapitalisme global.
Kontradiksi dalam Kelas Kapitalis
Di era kapitalisme transnasional ini, kontradiksi dalam kapital pun semakin tajam. Pertama, karena kompetisi oligopolistik antara perusahaan-perusahaan transnasional (Transnational Corporations/TNCs) yang meningkat sejak 1970-an; dan kedua, karena TNCs telah menjadi tantangan besar bagi korporasi yang lebih kecil, yang notabene perusahaan-perusahaan nasional.
Korporasi transnasional dapat mengakumulasikan kapital dengan menarik keuntungan dari korporasi kecil (nasional) melalui beberapa cara. TNC biasanya memilih pemasoknya dari perusahaan-perusahaan nasional yang bersaing satu sama lain dan saling menurunkan harga agar terpilih. Padahal perusahaan nasional ini memiliki teknologi produksi yang lebih rendah dan menanggung biaya tenaga kerja yang relatif lebih tinggi. Kondisi ini tentunya menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih kecil bagi perusahaan pemasok nasional, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan dan investasi teknologi mereka. Di sisi lain, kondisi ini membawa keuntungan bagi perusahaan transnasional yang dapat menjual produk mereka (mis., teknologi canggih) dengan harga monopoli ke perusahaan-perusahaan nasional. Sebagai akibatnya, perusahaan transnasional menjadi lebih besar dan mampu membayar karyawan mereka dengan upah lebih tinggi, sementara perusahaan nasional dengan kapital yang lebih kecil “dipaksa” oleh kekuatan pasar untuk menekan upah dan mencoba menghindari pajak.
Konsekuensinya adalah munculnya keberadaan tenaga kerja yang tidak dinyatakan (undeclared) dan tidak dilaporkan (unreported) terlibat dalam “ekonomi bayangan” (Schneider, 2013). Meskipun biasanya yang menopang ekonomi bayangan ini adalah bisnis kecil, mereka melakukannya di bawah tekanan perusahaan-perusahaan transnasional. Harga dan upah yang lebih rendah dari ekonomi bayangan berkontribusi secara tidak langsung dalam membatasi kenaikan upah dalam ekonomi formal yang “dinyatakan”, dimana aktor utamanya adalah perusahaan-perusahaan trasnasional. Semakin lemah modal nasional suatu negara, semakin besar pula kontribusi ekonomi bayangannya terhadap PDB-nya. Inilah faktor yang membuat tingkat upah rata-rata di suatu negara turun. Di negara-negara periphery, TNC dapat mewujudkan tingkat laba yang lebih tinggi dibandingkan di negara-negara core yang memiliki ekonomi bayangan yang lebih kecil. Jadi, penerima manfaat terbesar dari penghindaran pajak perusahan-perusahaan kecil justru adalah perusahaan-perusahaan transnasional—disamping itu, mereka juga menikmati pembebasan pajak substansial (substantial tax exemptions) yang umumnya disediakan oleh negara tuan rumah untuk merangsang penanaman modal asing (PMA).
Karena ketimpangan ini, pemilik modal kecil cenderung menganggap pemilik modal besar sebagai “penindas”. Karena perusahaan besar ini biasanya TNC atau “perusahaan asing”, dan perusahaan kecil biasanya “perusahaan nasional”, konflik antara kepentingan pemilik modal besar dan kecil mudah diterjemahkan sebagai kontradiksi antara kapital “asing” dan “nasional”. Pemerintah dan politisi yang melayani kepentingan yang pertama, biasanya disebut elite “komprador”, sementara mereka yang menyatakan kepentingannya untuk mendukung yang terakhir disebut “nasionalis”. Baik elite komprador maupun nasionalis, keduanya sama-sama diikat oleh keuntungan finansial yang mengalir dari pihak yang mereka dukung. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh pemilihan presiden di Amerika Serikat dan referendum di Inggris tahun 2016, kepentingan pemilik modal “nasional” pada batas tertentu menjadi tumpang tindih dengan kepentingan mereka yang tidak memiliki modal, karena pertama, pengembangan modal domestik berarti pengembangan basis produksi dalam negeri; dan kedua, perusahaan terkecil seperti UMKM (usaha menengah, kecil dan mikro) dalam situasi aktualnya tidak jauh berbeda dengan penerima upah.
Situasi ini menyajikan lahan subur untuk kebijakan-kebijakan “nasional” yang menguntungkan para pemilik modal domestik. Meskipun tujuannya adalah untuk memperluas akses para kapitalis domestik dalam mengeksploitasi sumber daya (terutama tenaga kerja) bangsa, hal ini dapat ditutupi oleh berbagai propaganda nasionalistik dan semangat “anti-asing”. Dalam rangka memperkuat daya saing (baca: kemampuan menghasilkan laba) dari pemilik modal nasional, pemerintahan yang nasionalis harus memfasilitasi perubahan kondisi pasar tenaga kerja domestik dengan cara yang menguntungkan bagi pengusaha domestik, tapi pasti akan merugikan pekerja: pangsa upah (wage share) yang dihasilkan dari nilai tambah harus direduksi melalui pengurangan harga satuan tenaga kerja (biaya tenaga kerja per jam kerja). Pereduksian ini dapat dicapai dengan meningkatkan intensitas kerja karyawan, menetapkan upah yang lebih rendah, melemahkan serikat pekerja dan memperkecil kontribusi sosial dari pekerja, sehingga posisi pendapatan relatif pekerja semakin berkurang, dan pada gilirannya akan berimplikasi pada menurunnya pendapatan absolut pekerja. Tentu saja, kebijakan represif semacam ini tidak dapat dilakukan dengan sarana demokrasi liberal, sehingga mau tidak mau, penerapan kebijakan “nasionalis” semacam ini pada akhirnya akan juga mengarah pada pembatasan demokrasi liberal. Ketimpangan di antara pemilik modal, mau tidak mau, juga menyebabkan pengikisan atas nilai-nilai demokrasi liberal.
Kontradiksi dalam Kelas Pekerja
Pengurangan wage share merefleksikan sebuah mekanisme “rata-rata” yang menyembunyikan ketimpangan upah di dalamnya. Perbedaan upah ini telah meningkatkan jumlah kelompok rentan dalam dekade terakhir, terutama sejak krisis 2008 di banyak negara, termasuk di negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang, menurut Fukuyama, memungkinkan perwujudan bentuk masyarakat yang paling baik.
Deregulasi pasar tenaga kerja, aliran bebas kapital dan peningkatan migrasi telah menyebabkan munculnya kelas bawah dari kelas pekerja, “prekariat”[8], yang tidak hanya terjadi di pinggiran tetapi juga di pusat-pusat kapitalisme global. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan International Labour Organization (2018), sekitar 1,4 milyar pekerja diperkirakan merupakan pekerja rentan pada tahun 2017, dan jumlah tersebut akan bertambah sekitar 35 juta lagi pada tahun 2019. Di negara-negara berkembang, jumlah pekerja rentan berada pada rasio 3:4 dari jumlah pekerja. Sementara pekerja global yang hidup dalam kemiskinan ekstrem diperkirakan akan tetap bertahan di atas 114 juta dan memengaruhi sekitar 40 persen dari seluruh angkatan bekerja untuk tahun-tahun mendatang (ILO 2018). Di Uni Eropa (27 negara), proporsi pekerja miskin di kalangan angkatan kerja usia 18-64 tahun meningkat dari 8,1 menjadi 9,6 persen antara 2007 dan 2017. Dalam kelompok usia 18-24 tahun, peningkatannya bahkan lebih dramatis, dari 9,6 menjadi 11 persen pada periode yang sama (Eurostat 2019).
Sementara di Inggris berkembang skema kerja dengan perjanjian opt-out dan kontrak zero-hour. Perjanjian opt-out, memungkinkan seorang pekerja untuk menjalin kontrak di luar aturan umum—bahwa seorang karyawan tidak dapat bekerja lebih dari rata-rata 48 jam/minggu. Tahun 2015, lebih dari 3,4 juta pekerja di Inggris bekerja lebih dari 48 jam/minggu (TUC 2015a) dan seperlima dari tenaga kerja tersebut bekerja lembur secara konstan tanpa bayaran. Jumlah upah yang belum dibayarkan untuk lembur mencapai £32 miliar pada tahun 2014 (TUC 2015b). Di sisi lain, kontrak zero-hour berfungsi sebagai perjanjian on-call (“sesuai panggilan”) dimana pemberi kerja tidak menawarkan jaminan masa kerja dan upah. Pada 2001, sekitar 0,6 persen atau 176.000 pekerja di Inggris bekerja dengan kontrak zero-hour, dan jumlah mereka meningkat menjadi 903.000 pekerja atau 2,9 persen pada 2016 dengan rata-rata waktu kerja selama 25 jam seminggu (ONS 2017).
Ketimpangan ekonomi dan ketidakstabilan sosial yang semakin dirasakan masyarakat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, secara alami telah meningkatkan dahaga sebagian besar masyarakat akan “perubahan”, kehidupan yang lebih baik dan “ketertiban umum”, tidak peduli apakah perubahan tersebut ditawarkan sayap kiri atau kanan. Kondisi ini mencerminkan bahwa bahkan rakyat di negara maju yang didasarkan pada demokrasi liberal sekalipun tidak dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Kondisi ini tidak saja disebabkan oleh alasan politik—karena demokrasi liberal sejak awal memang dibangun dalam bentuk perwakilan dimana seseorang dengan menggunakan hak pilihnya menyerahkan haknya untuk menentukan nasibnya sendiri ke tangan orang lain—tetapi juga alasan ekonomi, bahwa semua produk yang diproduksi oleh rakyat pekerja, tidak dapat mereka jangkau secara langsung: mereka yang memproduksi barang-barang itu sendiri harus membelinya di pasar. Dalam hal ini, rakyat teralienasi baik dari hak mereka untuk menentukan nasibnya sendiri maupun dari produk yang mereka hasilkan sendiri.
Sayangnya, perubahan dan ketertiban yang didambakan sebagian besar rakyat memiliki karakter yang sama sekali berbeda dari ketertiban yang diinginkan oleh kelas penguasa. Namun tentu saja perbedaan ini tetap tersembunyi, terutama ketika krisis terjadi dan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan “penghematan” yang pada akhirnya memperburuk permasalahan sosial demi menyelamatkan segelintir individu pemilik modal. Namun, mengingat kapitalis global secara terang-terangan merepresentasikan ketidakadilan dalam memperoleh keuntungan kumulatif, masyarakat yang mengalami kekalahan dan kerentanan ini dengan mudah mengantagoniskan kapitalis global sebagai biang atas ketimpangan dan ketidakpastian hidup yang mereka alami. Di saat yang sama, para kapitalis nasional yang terlihat kalah bersaing dan menjadi “korban” atas keserakahan kapitalis global, diasumsikan sebagai pihak protagonis yang mengemban mandat “memperjuangkan kesejahteraan rakyat” dan “membangun negara yang lebih kuat.” Dengan logika populis ini, masyarakat dengan mudah menitipkan nasib dan pengharapannya atas penghidupan yang lebih baik kepada para elite yang menunjukkan keberpihakannya pada kapitalis “nasional” di negara mereka.
Dalam situasi ini, pemilihan umum dapat dengan mudah membawa elite baru “nasionalis” ke tampuk kekuasaan. Namun, seperti sudah dibahas sebelumnya, logika kapital tidak bisa tidak harus terus menerus meningkatkan eksploitasinya, dan ketika kontradiksi di tubuh kapital sudah semakin akut, pada gilirannya ia akan membangkitkan kemarahan rakyat terhadap penguasa baru. Maka, untuk mencegah situasi demikian, pemerintah perlu membatasi demokrasi, memusatkan kekuasaan dan memberangus segala bentuk protes, melalui politik populisme yang digunakan untuk mengalihkan ketidakpuasan rakyat dari elite penguasa ke kelompok rentan lainnya, seperti etnis minoritas, pekerja migran, penganut agama minoritas, dan sebagainya.
Masa Depan Demokrasi dalam Kapitalisme
Demokrasi liberal dapat diperkuat dengan mengurangi ketimpangan, tapi penanganan ketimpangan mensyaratkan pembatasan terhadap kekuatan pasar, kompetisi dan akumulasi kapital. Begitupun juga sebaliknya, meningkatkan kebebasan pasar secara otomatis akan memperparah ketimpangan yang berimplikasi pada pembatasan demokrasi. Jika masalah kepemilikan (ownership) dibiarkan tidak terselesaikan, maka demokrasi hanya berfungsi untuk melayani akumulasi kapital. Meskipun begitu, para ekonom Keynesian berpikir bahwa upaya mengentaskan ketimpangan dan memperluas demokrasi (melampaui formalitasnya) masih mungkin dilakukan dengan menempatkan kebijakan pemerintah di garda terdepan. Stiglitz (2013) –didukung oleh Acemoglu dan North—berpendapat:
“Inequality is a product of political and not merely macroeconomic forces. It is not true that inequality is an inevitable by-product of globalization, the free movement of labor, capital, goods and services, and technological change that favors better-skilled and better-educated employees.” (Stiglitz 2013)
Stiglitz tampaknya lupa bahwa tujuan pemerintah berikut dengan isi kebijakannya adalah selalu melayani kepentingan spesifik dari masyarakat tertentu. Kapitalisme berdiri di atas landasan kepemilikan pribadi atas kekuatan produksi, maka pemerintah yang hadir dari sistem ini mau tidak mau akan bertindak untuk mendukung parapemilik alat-alat produksi. Ini berarti bahwa, pada akhirnya, semua pemerintah kapitalis akan selalu menjalankan kebijakan yang mendorong peningkatan laba, yang hanya bisa dilakukan melalui pengurangan pangsa upah pekerja.
Jika pun pemerintah bermaksud untuk memasukkan kepentingan rakyat pekerja ke dalam kebijakannya, hal ini berarti pemerintah harus menyediakan akses menuju pendidikan gratis dan berkualitas, perawatan kesehatan, transportasi publik yang terjangkau, dan pertama-tama, full employment dengan upah yang layak. Namun, hal demikian tentu tidak dimungkinkan dalam kapitalisme karena redistribusi pendapatan dan kekayaan dalam jumlah besar bagi orang miskin jelas bertentangan dengan logika persaingan bebas dan pengejaran keuntungan. Buat apa perusahaan meningkatkan volume dan tingkat laba jika surplus yang dihasilkan harus didistribusikan kembali kepada mereka yang nilai kerjanya dirampas untuk menciptakan surplus tersebut?
Pemerintah yang ingin memperluas batas demokrasi dengan menunjukkan keberpihakannya pada rakyat banyak (yaitu kelas pekerja) tentunya membutuhkan lebih banyak sumber pendapatan dari para pemilik modal. Pemerintah yang seperti itu, harus menaikkan pajak dan bertindak melawan kepentingan akumulasi kapital. Namun dengan melakukan itu, pemerintah tersebut akan menahan pertumbuhan ekonomi dan menghentikan pengembangan kekuatan produktif. Hal ini—yang tersisa dalam kerangka kapitalisme—tentunya akan menghasilkan penurunan daya saing. Skenario ini menjelaskan mengapa Keynesianisme gagal dalam banyak hal: redistribusi pendapatan yang menguntungkan pekerja akan menghambat akumulasi modal dan akan segera memerlukan perubahan arah kebijakan kembali menuju ekonomi pasar bebas—seperti yang terjadi pada pasca Great Depression di akhir 1970-an.
Titik awal pembahasan dalam tulisan ini adalah bahwa kontradiksi mendorong perkembangan sejarah. Jika tidak ada kontradiksi antara dan di dalam pasar bebas dan demokrasi liberal, sebagaimana yang dipercaya Francis Fukuyama, maka dengan kombinasi tersebut, tatanan masyarakat seharusnya telah mencapai bentuk akhirnya. Namun, sebagaimana sudah diuraikan dalam tulisan ini, kontradiksi demi kontradiksi terus bermunculan baik antara sistem pasar bebas dan demokrasi, maupun di dalam masing-masing komponen pembentuknya. Logika yang melekat dari mekanisme pasar bebas menimbulkan ancaman bagi demokrasi, sementara perluasan demokrasi tidak bisa tidak akan membatasi kebebasan pasar dan menghentikan roda akumulasi kapital. Di penghujung wawancaranya dengan The Washington Post (2017), Fukuyama membiarkan pintu “sejarah” terbuka untuk ketidakpastian di masa depan, ia berujar “Perhaps this very prospect of centuries of boredom at the end of history, will serve to get history started once again” (Tharoor 2017). Pernyataan Fukuyama ini dan perkembangan dunia yang penuh kontradiksi, menegaskan kembali pada kita bahwa perubahan bentuk tatanan masyarakat pasca kapitalisme adalah hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari. Maka, sebagaimana pernah disampaikan Iqra Anugrah (2018), (Anugrah 2018) kini ketika demokrasi liberal di pusat kapitalisme global justru melahirkan gelombang politik populisme kanan dan fasis baru, ketika antagonisme antara kepentingan rakyat pekerja dan kapital semakin tak terbantahkan, ketika kekecewaan dan kemarahan rakyat terhadap kondisi politik yang ada begitu akut dan mengemuka, inilah saatnya bagi agenda politik sosialis untuk menawarkan alternatif tatanan masyarakat demokratis berbasis kesadaran kelas yang membebaskan rakyat dari belenggu dominasi dan ketertindasan dalam berbagai bentuk di ranah politik, ekonomi, sosial dan budaya.***
Eva Novi Karina adalah dosen Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Jawa Timur
—————–
[1] “ The nation-state (the basis of capitalism) occurred by subsuming the personal identity of all rulers in a durable and perpetual corporate organization of the state. Perpetually lived organizations and institutions with veto powers, such as parliaments and independent judiciaries, become an integral part of the state”; “the social identity of the ruler becomes embedded in the larger identity of the state as a perpetually lived organization” (North et al. 2009: 249) and the parliament provides a forum for the competition among the elite groups (North et al. 2009: 220).
[2] “The upper class is rooted in the ownership and control of the corporations that comprise the corporate community. …Tax-free foundations receive their money from wealthy families and corporations. …Using money from wealthy donors, corporations, and foundations, think tanks hire the experts produced by the graduate departments of the elite universities. …The policy-discussion organizations are the hub of the policy-planning network. They bring together wealthy individuals, corporate executives, experts, and government officials for lectures, forums, meetings and group discussions of issues that range from the local to the international, and from the economic to the political to the cultural. …Playing the role of donors and money raisers, the same people who direct corporations and take part in the policy-planning network have a crucial place in the careers of the most politicians who advance beyond the local level or state legislatures in states with large populations.” (Domhoff 2012).
[3] “Property turns out to be the right, on the part of the capitalist, to appropriate the unpaid labor of others or its product” (Marx, 1867, Vol.I, Ch 24).
[4] Kondisi ini merefleksikan apa yang dirumuskan Lenin pada 1917 bahwa “kaum kapitalis menyebut ‘kebebasan pers’ sebagai situasi dimana penyensoran dihapuskan dan semua pihak dengan bebas mempublikasikan semua jenis papers. Pada kenyatannya, ini bukanlah kebebasan pers, tetapi kebebasan untuk orang kaya, kebebasan bagi kaum borjuis, untuk menipu mereka yang tertindas dan mengeksploitasi khalayak ramai. Lihat Lenin, 1917. “How to Guarantee the Success of the Constituent Assembly”, On Freedom of the Press, https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1917/sep/28.htm
[5] Tentunya hubungan core-periphery ini tidak semata-mata bersifat geografis, melainkan didasarkan pada pembagian produksi dunia, dimana core yang dicirikan oleh sistem produksi dengan profitabilitas tinggi, padat modal namun pasarnya semi-monopolistik, dan periphery yang dicirikan oleh sistem produksi yang biasanya kurang menguntungkan, bersifat padat karya namun memiliki pasar yang lebih kompetitif di sisi lain (Wallerstein 2004: 28,93).
[6] Pada fase inovasi dari setiap siklus, sebuah teknologi baru muncul dan perusahaan yang berinovasi mendapatkan keunggulan kompetitif dan peningkatan keuntungan karena berkurangnya labour cost di unitnya. Munculnya inovasi tersebut akan membahayakan pangsa pasar produsen-produsen lain, dan mendorong mereka untuk mengikuti sang inovator dan berinovasi sendiri. Siklus produksi kemudian beralih memasuki fase kedua, yaitu fase ekspansi, dimana inovasi mulai tersebar. Sementara itu, teknologi lama yang digantikan sudah usang dan modal yang sebelumnya diinvestasikan kesana mengalami depresiasi dan kehilangan nilainya (Grinin et al. 2016).
[7] Dalam banyak kasus, peningkatan teknologi di negara-negara periphery sangat terbatas dan tidak berfokus pada peningkatan di bidang penelitian dan pengembangan (R&D). Fungsi R&D sebagian besar tetap menjadi monopoli perusahaan transnasional dengan efek spill-over ke negara tuan rumah (periphery) yang sangat terbatas.
[8] Istilah prekariat merupakan perpaduan antara “precarious” (rentan) dan proletariat (kelas pekerja), atau pekerja yang berada pada kondisi rentan. Istilah baru yang dipopulerkan oleh Guy Standing ini umumnya merujuk pada para pekerja yang terlibat dalam pola ketenagakerjaan yang “tidak permanen” dan “fleksibel” seperti sistem kontrak, outsourcing, part-time, freelance dan teleworking. (Polimpung 2018)
Kepustakaan:
Acemoglu, D, and J.A Robinson. 2012. Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. New York: Crown Publishers.
Acemoglu, D., and J.A Robinson. 2006. Economic Origins of Dicatorship and Democracy. New York: Cambridge University Press.
Anugrah, Iqra. 2018. “Harapan itu Bernama Sosialisme.” Indoprogress. November 26. Accessed February 4, 2019. https://indoprogress.com/2018/11/harapan-itu-bernama-sosialisme/.
Chen, S., and M. Ravallion. 2012. “More relatively-poor people in a less absolutely-poor world.” The Review of Income and Wealth.
Domhoff, G. William. 2012. Who Rules America? The Triumph of the Corporate Rich (7th ed). February. https://whorulesamerica.ucsc.edu/power/class_domination.html.
Eurostat. 2019. In-work at-risk-of-poverty rate by age and sex – EU-SILC survey. January 31. Accessed February 2, 2019. http://appsso.eurostat.ec.europa.eu/nui/submitViewTableAction.do.
Grinin, L, A. Korotayev, and A. Tausch. 2016. “Economic Cycles, Crises and Global Periphery.” International Perspective on Social Policy, Administration and Practice 23-54.
ILO. 2018. ILO: Unemployment and decent work deficits to remain high in 2018. Januari 22. https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_615590/lang–en/index.htm.
Kotz, D.M. 2009. “The Financial and Economic Crisis of 2008: A Systemic Crisis of Neoliberal Capitalism.” Review of Radical Political Economics 41(3) 305-17.
Lenin. 2002. How to Guarantee the Success of the Constituent Assembly. Lenin Internet Archive. https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1917/sep/28.htm.
North, D.C, J.J Wallis, and B.R Weingast. 2009. Violence and Social Orders: A Conceptual Framework for Interpreting Recorded Human History. New York: Cmbridge University Press.
ONS. 2017. People in employment on a zero-hours contract. March 15. Accessed January 31, 2019. https://www.ons.gov.uk/releases/peopleinemploymentonazerohourscontractmar2017.
Polimpung, Hizkia Y. 2018. Ngomong-ngomong apa itu pekerja prekariat. January 8. http://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048.
Resnick, S., and R. Wolff. 2003. “Exploitation, consumption and the uniqueness of US capitalism.” Historical Materialism 11 (4) 209-26.
Stiglitz, Joseph E. 2013. “Inequality is A Choice.” The New York Times. October 13. Accessed January 31, 2019. https://opinionator.blogs.nytimes.com/2013/10/13/inequality-is-a-choice/.
Stockhammer, E. 2013. “Why have wage shares fallen? A panel analysis of the determinants of functional income distribution.” In Condition of Work and Employment Series No.35, 40-70. Geneva: International Labor Organization.
Sullivan, Andrew. 2016. Democracy End When They Are too Democratic. 5 1. http://nymag.com/intelligencer/2016/04/america-tyranny-donald-trump.html?gtm=bottom>m=top.
Tharoor, Ishaan. 2017. “The man who declared the ‘end of history’ fears for democracy’s future.” The Washington Post. February 9. Accessed Januray 31, 2019. https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/02/09/the-man-who-declared-the-end-of-history-fears-for-democracys-future/?noredirect=on&utm_term=.d501864d9492.
TUC. 2015a. 15 per cent increase in people working more than 48 hours a week risks a return to ‘Burnout Britain’, warns TUC. September 09. Accessed January 23, 2019. https://www.tuc.org.uk/news/15-cent-increase-people-working-more-48-hours-week-risks-return-%E2%80%98burnout-britain%E2%80%99-warns-tuc.
—. 2015b. Workers contribute £32bn to UK economy from unpaid overtime. February 27. Accessed January 23, 2019. https://www.tuc.org.uk/news/workers-contribute-%C2%A332bn-uk-economy-unpaid-overtime.
Tusk, Donald. 2016. “Brexit could threaten western political civilization, says EU’s Tusk.” Reuters. June 13. Accessed January 20, 2019. https://www.reuters.com/article/us-britain-eu-tusk-idUSKCN0YZ0Q9.
Greta Thunberg sedang duduk di luar gedung parlemen Swedia pada Agustus 2018. Kredit foto:Medium
SEORANG pelajar Swedia berusia 16 tahun Greta Thunberg, pada Agustus 2018 menginisiasi aksi nirkekerasan dengan melakukan mogok sekolah sebagai salah satu metodenya. Ia menuntut aktor-aktor pemerintah dan perusahaan untuk mengubah sistem yang, dalam status quo, bersifat destruktif terhadap iklim. Aksi Greta perlahan mendapatkan perhatian dunia. Sejauh ini ia telah menginspirasi puluhan ribu pemuda dan pelajar di negara-negara Utara[1] lain (seperti Australia, Belanda, Belgia, Inggris, Jerman, Kanada, dan Swiss) untuk melakukan aksi serupa.
Gerakan sosial berskala internasional ini utamanya mengusung gagasan keadilan iklim (climate justice) di dalam repertoar-repertoarnya. Keadilan iklim, secara garis besar, berkaitan erat dengan persoalan pembagian beban, tanggung jawab, dan sumber daya dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di tingkat global.[2] Pertanyaan yang kemudian layak diajukan adalah: keadilan bagi siapa yang sedang diperjuangkan oleh gerakan ini? Bentuk keadilan seperti apa yang dituntutnya? Apa relevansi aksi iklim semacam ini bagi negara-negara Selatan, seperti Indonesia, yang mengalami dampak buruk akibat ketimpangan ekonomi-politik global? Untuk mencari tahu persoalan tersebut, kita perlu memahami diskursus yang terkandung dalam aktivisme iklim ini.
Keadilan Iklim Antargenerasi
Diskursus dominan yang disuarakan oleh Greta dan aktivis-aktivis muda lainnya berhubungan erat dengan konsep ‘keadilan iklim antargenerasi’ (intergenerational climate justice). Konsep ini didasari oleh, setidaknya, dua asumsi. Pertama, aktivitas manusia di masa lampau membentuk dunia di masa sekarang, dan aktivitas di masa sekarang akan membentuk dunia yang nantinya diwariskan kepada generasi penerus di masa depan, sehingga apa yang kita lakukan dapat memengaruhi kehidupan manusia di masa depan. Dalam kasus ini, perubahan iklim merupakan hasil dari emisi antropogenik selama berabad-abad yang dinilai akan berdampak buruk, bahkan mengancam eksistensi kehidupan generasi di masa depan. Kedua, mengingat adanya keterkaitan antara aksi di masa lampau, masa sekarang dan masa depan, maka keberlangsungan kehidupan manusia serta alam di masa depan menjadi persoalan yang harus dipikirkan oleh manusia yang hidup saat ini. Hal ini berhubungan dengan kepentingan untuk mewariskan alam (beserta beragam bentuk kemanfaatannya) kepada generasi penerus, sehingga juga mencakup persoalan tentang bagaimana sumber daya ekonomi, sosial dan budaya untuk mengatasi perubahan iklim seharusnya didistribusikan lintas generasi.[3] Gagasan ini jelas mengandung logika antroposentrisme, tetapi tulisan ini tidak akan membahas aspek antroposentris dari konsep keadilan iklim antargenerasi.
Lantas apa relevansi konsep ini dengan aksi iklim pemuda-pemuda Utara? Terdapat resonansi antara konsep keadilan iklim antargenerasi dengan tuntutan yang disuarakan aktivis-aktivis muda di Utara. Mereka berusaha menekan generasi tua untuk mulai memperlakukan perubahan iklim sebagai krisis yang harus ditangani sekarang juga. “Kenapa aku harus belajar untuk masa depan yang dapat lenyap dalam waktu dekat?” tegas Greta. “Kita mogok sekolah untuk meminta para politisi agar mereka menganggap serius masa depan kami dan memperlakukan perubahan iklim sebagaimana mestinya—sebagai sebuah krisis,” demikian pernyataan School Strike 4 Climate, jejaring pelajar yang ikut menyuarakan isu iklim di Australia.
Greta, pada Conference of the Parties ke-24 (COP24) di Katowice, pertemuan tahunan yang diselenggarakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), berpidato di hadapan para pemimpin dunia,
“. . . Pada tahun 2078, aku akan merayakan ulang tahun ke-75. Jika aku punya anak mungkin mereka akan merayakan hari itu bersamaku . . . Mungkin mereka akan bertanya mengapa kalian dulu tidak melakukan apapun ketika masih ada waktu untuk beraksi. Kalian bilang, kalian mencintai anak-anak kalian lebih dari apapun, tetapi kalian mencuri masa depan anak-anak kalian di depan mata mereka . . . Kami tidak datang kemari untuk memohon agar para pemimpin dunia peduli. Kalian telah mengabaikan kami di masa lalu dan kalian akan mengabaikan kami lagi . . .”
Narasi-narasi yang berkembang secara konsisten menyuarakan bahwa generasi tua bertanggungjawab dan patut disalahkan atas masifnya kerusakan iklim dan lingkungan yang telah merugikan generasi masa kini, sekaligus akan membahayakan generasi masa depan. Karenanya, aktivis-aktivis muda ini menuntut transformasi dalam sistem yang kini berlaku, demi masa depan mereka dan generasi selanjutnya yang terancam oleh krisis iklim.
Aksi-aksi iklim yang dimotori para pemuda di Utara sekilas tampak hanya menonjolkan gagasan keadilan iklim yang berhubungan dengan rentang hidup suatu generasi dan relasi antara generasi-generasi di beberapa masa yang berbeda. Namun ada satu narasi lain yang muncul dalam aksi iklim ini, yaitu ketimpangan Utara-Selatan dalam rezim iklim global. Sayangnya narasi ini kurang memperoleh sorotan dan masih perlu diarusutamakan dalam konteks masyarakat di negara-negara Selatan.
Ketimpangan Utara-Selatan dalam Rezim Iklim Global
Rezim iklim global, yang mengatur dan melembagakan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, tidak terlepas dari persoalan ketimpangan. Ketimpangan ini terjadi antara Utara (negara-negara yang telah terindustrialisasi, lebih maju, lebih kaya, dan memiliki daya tawar yang lebih besar dalam relasi kekuasaan di suatu tatanan ekonomi-politik global) vis-à-vis Selatan (negara-negara yang sedang berkembang, relatif lebih miskin, dan berada pada posisi subordinat dalam tatanan ekonomi-politik global). Ketimpangan ini berkaitan dengan tiga persoalan politis dalam rezim iklim global: (1) negara mana yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perubahan iklim; (2) negara mana yang paling menderita atas dampak perubahan iklim; dan (3) negara mana yang berpotensi akan menanggung biaya lebih besar untuk mengatasi dampak perubahan iklim.[4]
Dalam konteks ini, negara-negara Selatan menjadi pihak yang mengalami ketidakadilan dan dirugikan akibat ketimpangan relasi kekuasaan dalam rezim iklim global. Ketimpangan ini pun tak luput dari konteks tatanan ekonomi-politik global. Secara empiris, Selatan dapat dikatakan sebagai negara-negara yang pembangunan ekonominya relatif lebih “lamban” dan “terbelakang” daripada Utara. Namun perbedaan kondisi antara Utara-Selatan ini bukanlah sesuatu yang inheren ataupun alamiah, melainkan berakar dari pembagian kerja internasional (international division of labor) yang terbentuk akibat kesenjangan dalam proses akumulasi kapital dan pembangunan global.[5] Perluasan kapitalisme di tingkat global menuntun pada upaya-upaya Utara untuk memaksimalkan nilai surplus melalui eksploitasi dan hegemoninya terhadap Selatan. Konteks ekonomi-politik yang asimetris ini kemudian menciptakan realitas sosial yang berbeda antara Utara dan Selatan. Tak pelak, terdapat perbedaan konsepsi atas “keadilan” dalam menegosiasikan isu-isu kunci terkait tata kelola iklim global, yakni isu-isu seperti siapa yang harus bertanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon; seberapa besar dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya; serta bagaimana mekanisme pendistribusian sumber daya finansial dan teknologi dalam mengatasi perubahan iklim seharusnya dijalankan.[6]
Salah satu isu kunci terkait pengurangan emisi karbon misalnya, tidak terlepas dari kepentingan pembangunan nasional suatu negara. Negara-negara Selatan cenderung dirugikan dalam isu ini karena aturan-aturan main yang dilembagakan dan berlaku dalam perjanjian iklim bilateral dan/atau multilateral mensyaratkan negara-negara Selatan untuk “mengorbankan” aktivitas pembangunannya. Perjanjian iklim global secara dominan menghalangi Selatan untuk menerapkan strategi-strategi pembangunan yang dulunya pernah diterapkan oleh Utara untuk meningkatkan kekayaannya.[7] Meski gagasan ‘pembangunan berkelanjutan’ sedang digalakkan di tingkat global, pada praktiknya, negara-negara Selatan masih mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan dua kepentingan yang kerap saling meniadakan satu sama lain, yakni kepentingan untuk memajukan pembangunan dan untuk melestarikan lingkungan.
Sebagai ilustrasi, skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) di bawah UNFCCC mengharuskan Selatan untuk mengurangi emisi karbon di negaranya dengan menekan aktivitas ekonomi yang memerlukan eksploitasi terhadap hutan. Padahal, sebagian besar perekonomian di negara-negara Selatan masih bergantung pada sektor agrikultur yang mensyaratkan alih fungsi lahan hutan ke lahan pertanian. Sebagai penjelas, tulisan ini tidak berusaha membenarkan aktivitas perekonomian apapun yang destruktif terhadap lingkungan. Namun perlu diingat bahwa model perekonomian agrikultur yang masih dominan di Selatan adalah konsekuensi dari pembagian kerja internasional yang, secara historis, telah memaksakan peran penyuplai bahan-bahan mentah kepada Selatan dan mengeksploitasi Selatan dalam tatanan ekonomi-politik dunia.[8] Dengan relasi kekuasaan dan titik pangkal pembangunan yang asimetris—yaitu meminggirkan dan mendudukkan Selatan pada posisi subordinat—pengubahan mode produksi ataupun proses transisi model perekonomian menjadi hal yang tidak mudah bagi negara-negara Selatan.
Sementara itu, negara-negara Utara telah “berhasil” melewati tahap-tahap awal pembangunannya dan terindustrialisasi berkat akumulasi primitif yang secara intens mengeksploitasi lingkungan dan mengkomodifikasi sumber daya alam di negaranya, lebih-lebih di negara-negara Selatan. Ketidakadilan ini juga diperburuk dengan keengganan Utara untuk secara serius berkomitmen mengurangi emisi karbonnya. REDD+ misalnya, memungkinkan negara-negara Utara dan perusahaan-perusahaan privat untuk membayar negara-negara Selatan agar menjaga dan meningkatkan cadangan karbon di hutan-hutan Selatan. Bahkan cadangan karbon ini diperlakukan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan melalui skema pasar karbon. Konsekuensinya, negara-negara Utara memiliki privilese untuk tetap mengejar pertumbuhan ekonomi sembari melemparkan tanggung jawab atas masifnya kerusakan lingkungan dan emisi karbon yang diakibatkan oleh industrialisasi besar-besaran di Utara selama berabad-abad. Kondisi ini telah memicu beberapa negara, lembaga swadaya masyarakat dan koalisi masyarakat adat di tingkat global untuk menentang REDD+.
Apakah wacana tentang ketidakadilan iklim yang dialami Selatan hadir dalam aktivisme lingkungan para pemuda di Utara? Repertoar-repertoar aksi pemuda di Utara pada dasarnya mengandung narasi ketimpangan Utara-Selatan dalam rezim iklim global, meskipun masih belum beresonansi dengan gerakan-gerakan lingkungan di Selatan.
“Peradaban kita dikorbankan untuk segelintir orang yang terus-menerus menghasilkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Biosfer kita dikorbankan sehingga orang-orang kaya di negara-negara seperti negaraku dapat hidup dalam kemewahan,” (Greta, dalam pidatonya pada COP24).
“. . . negara-negara kaya seperti negaraku harus menurunkan emisinya hingga nol, dalam kurun waktu 6-12 tahun dengan kecepatan emisi saat ini, supaya orang-orang di negara-negara yang lebih miskin dapat meningkatkan standar kehidupannya dengan membangun infrastruktur-infrastruktur yang telah kita bangun. Seperti rumah sakit, listrik, dan air minum bersih . . . Karena bagaimana bisa kita mengharapkan negara-negara seperti India, Kolombia atau Nigeria untuk peduli terhadap krisis iklim jika kita, yang telah memiliki segalanya, bahkan tidak memedulikan komitmen-komitmen kita terhadap Perjanjian Paris?” (Greta, dalam pidatonya di hadapan Sekjen PBB, António Guterres).
Narasi semacam ini menegaskan anggapan bahwa negara-negara Utara seharusnya berlaku adil dengan mengurangi emisi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan negara-negara Selatan, terlebih karena negara-negara Selatan masih harus memajukan pembangunan domestiknya. Namun, narasi ini barangkali perlu diperluas dengan pemahaman mengenai tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi Selatan dalam upayanya memajukan pembangunan negaranya di tengah rezim iklim global.
Bercermin pada kasus Indonesia misalnya, pembangunan yang didorong oleh negara dan perusahaan kerap memunculkan masalah sosial dan lingkungan. Masalah ini ditunjukkan oleh munculnya gerakan-gerakan perlawanan akar rumput, seperti Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) melawan industri semen; kelompok masyarakat adat di Kalimantan melawan perusahaan-perusahaan minyak sawit; masyarakat petani Kulon Progo melawan proyek pembangunan bandara internasional; Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa; dan masih banyak lagi. Perlawanan-perlawanan ini mengindikasikan pembangunan di negara-negara Selatan yang kerap sulit berjalan beriringan dengan kebutuhan untuk melestarikan lingkungan dan memenuhi hak-hak masyarakat akar rumput.
Meski demikian, bukan berarti mekanisme seperti skema pengurangan emisi REDD+, yang dibebankan oleh Utara kepada Selatan, dapat serta-merta dipandang sebagai solusi terbaik untuk menengahi kontradiksi pembangunan-pelestarian lingkungan. Persoalannya justru terletak pada logika kapitalisme yang melandasi tata kelola mekanisme tersebut. REDD+ misalnya, memberi ruang bagi Utara untuk “menghapuskan” hutang emisinya di masa lampau melalui pemberian insentif finansial kepada Selatan agar bersedia meningkatkan (dan menjual) cadangan karbon di hutannya. Sementara pemerintah dan perusahaan dari Utara masih terus-menerus mengakumulasi kekayaan melalui eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan.
Mengaitkan Aksi Iklim di Utara dengan Konteks Selatan
Narasi aktivisme iklim milik gerakan pemuda di Utara perlu diarusutamakan dan dikontekstualisasikan dengan perlawanan di Selatan melalui dua cara. Pertama, menyadari bahwa aksi iklim global ini bukan hanya tentang “generasi tua yang berhutang kepada generasi muda atas kerusakan lingkungan dan tingginya emisi karbon di masa sekarang.” Narasi yang masih harus dikembangkan, baik oleh gerakan lingkungan di Utara maupun Selatan, adalah bahwa “negara-negara Utara berhutang kepada negara-negara Selatan atas kerusakan lingkungan global.” Sebagai konsekuensinya, perlu adanya solidaritas dan perjuangan kolektif—baik di dalam gerakan-gerakan di Selatan maupun antara gerakan-gerakan Utara dan Selatan—untuk mendorong perubahan tatanan ekonomi-politik global yang selama ini telah menyebabkan ketimpangan bagi Selatan dan merusak lingkungan.
Kedua, menyadari bahwa kepentingan pembangunan di Selatan adalah hal yang tidak mungkin serta-merta ditolak sepenuhnya. Namun, bukan berarti bentuk-bentuk pembangunan yang predatoris terhadap lingkungan dan masyarakat akar rumput dapat dibenarkan. Terlebih lagi, di saat kapitalisme kini sedang giat menampilkan wujudnya yang lebih “etis” dan “ramah”, perlu sikap yang lebih kritis terhadap berbagai gagasan baru yang diajukan negara dan perusahaan sebagai solusi penengah antara dilema pembangunan-pelestarian lingkungan.
Negara-negara kini semakin aktif mempromosikan berbagai gagasan pembangunan-pelestarian lingkungan yang melibatkan partisipasi aktor-aktor privat. Para investor dan pelaku bisnis didorong oleh pemerintah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membantu upaya pelestarian lingkungan global melalui inisiatif-inisiatif yang pendekatannya berbasis neoliberalisme, misal: green investment, green growth, jual-beli karbon melalui pasar karbon, dsb. Gagasan-gagasan internasional yang mulai diadopsi Indonesia seperti Sustainable Development Goals (SDGs), REDD+, dan Obligasi Infrastruktur Berwawasan Lingkungan (Green Bond/Green Sukuk), menjadi perlu dikawal dan ditelaah secara kritis: apakah pada praktiknya, solusi tersebut benar-benar demokratis dan adil bagi lingkungan maupun masyarakat, terutama masyarakat yang rentan dan termarjinalkan? Ataukah solusi tersebut justru melanggengkan bentuk-bentuk eksklusi, ketidakadilan, dan ketimpangan?
Sebagai sebuah refleksi singkat, kita masih perlu mengkaji lebih lanjut kemungkinan untuk menciptakan model-model pembangunan alternatif yang mampu menyasar masalah-masalah struktural selaku akar dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Diskursus terkait “bentuk pembangunan seperti apa yang tepat bagi suatu negara dan/atau komunitas” akan terus menjadi arena kontestasi antar berbagai pemangku kepentingan. Di sinilah peran penting aksi-aksi dalam isu iklim dan lingkungan: mengevaluasi pembangunan sekaligus mendorong gagasan pembangunan yang menjunjung hak-hak lingkungan, kesetaraan dan keadilan, terutama bagi orang-orang di Selatan.
Husna Yuni Wulansari adalah mahasiswi dan asisten peneliti di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
————-
[1] Definisi istilah “Utara” (“Global North” dan/atau “North”) dan “Selatan” (“Global South” dan/atau “South”) sebenarnya masih banyak diperdebatkan pada tataran konseptual. Meski demikian, tulisan ini menggunakan istilah “Utara” untuk merujuk pada negara-negara yang, menurut konsepsi umum, lebih maju, lebih kaya, dan menempati posisi yang diuntungkan dalam tatanan ekonomi-politik global. Sementara “Selatan” merujuk pada negara-negara yang masih berkembang, lebih miskin, dan terpinggirkan dalam tatanan ekonomi-politik global. Pemisahan “Utara” dan “Selatan” dalam tulisan ini tidak dimaknai secara harfiah; Utara dan Selatan bukan penanda geografis konvensional bagi negara-negara yang ada di belahan bumi utara dan selatan.
[2] Okereke, C. (2010). Climate justice and the international regime. WIREs Climate Change, Vol. 1, 462-474.
[3] Lih. Gosseries, A., & Meyer, L. H. (2009). Intergenerational Justice. New York: Oxford University Press; Page, E. (1999). Intergenerational Justice and Climate Change. Political Studies, XLVII, 53-66.
[4] Roberts, J. T., & Parks, B. C. (2007). A Climate of Injustice: Global Inequality, North-South Politics, and Climate Policy. Cambridge: MIT Press.
[5] Lih. Galtung, J. (1971). A Structural Theory of Imperialism. Journal of Peace Research, 81-94; Amin, S. (1976-1977). Social Characteristics of Peripheral Formations: An Outline for An Historical Sociology. Berkeley Journal of Sociology, 21, 27-50.
[6] Wulansari, H. Y. (2018). Can South-South Cooperation on Climate Change Bridge the North-South Divide within Global Climate Regime?. IIS BRIEF, Issue 01, 1-7.
[7] Lih. Parks, B. C., & Roberts, J. T. (2008). Inequality and the global climate regime: breaking the north-south impasse. Cambridge Review of International Affairs, 21(4), 621-648.
[8] Galtung, J. (1971). A Structural Theory of Imperialism. Journal of Peace Research, 81-94.
Kredit ilustrasi: Faith Presbyterian Church Aledo
“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan”- Yesus dalam Injil Yohanes 13 : 13
DI ANTARA berbagai agama Abrahamik, Agama kristen adalah satu-satunya agama yang menempatkan sosok Yesus Kristus sebagai figur sentral. Sejak kemunculannya di abad pertama, penyematan gelar Kristus (yang diurapi, dilantik) dan Tuhan secara sengaja dan terus menerus dilekatkan pada pemuda Palestina bernama Yesus itu.
Mengapa demikian ?
Umumnya para teolog sistematika menandaskan upaya mengonstruksi ketuhanan pada diri Yesus kristus dilakukan untuk mendamaikan ide monoteisme Israel dan sentralitas Yesus dalam episentrum teologi Kristen.
Sebagaimana kita ketahui, iman monoteisme Israel meyakini bahwa hanya ada satu Allah yang menciptakan semesta dan segala isinya. Pencipta yang Satu itu haruslah berbeda secara kualitatif dan radikal dengan ciptaan yang beragam ini.
Manusia sebagai ciptaan bisa berbicara tentang dan kepada Allah jika dan hanya jika Allah berkenan menyatakan diri-Nya melalui mediasi ciptaan (budaya, bahasa dan sebagainya). Di luar penyataan diri Allah itu, Allah adalah misteri yang tak terbayangkan, tak terkatakan dan tak terhampiri.
Agar Allah dapat menyatakan diri-Nya kepada ciptaan dan tetap yang dikomunikasikan adalah diri-Nya sendiri, maka harus ada sebuah pribadi ilahi yang pada hakikatnya adalah Allah, bukan ciptaan, tetapi yang kemudian memasuki wilayah ciptaan, menjadi sama dengan ciptaan dan pada saat bersamaan tetaplah Allah. “Yang bukan ciptaan” namun “sama dengan ciptaan” itu adalah Kristus yang oleh Rasul Paulus disebut sebagai “yang sulung, lebih utama dari segala ciptaan” yang “di dalam Dia telah diciptakan segala sesuatu” (Kol. 1:15-16):
Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. (Kol 1:15-16)
Singkatnya, haruslah ada satu mediator yang sekaligus ilahi dan manusiawi. Pribadi ilahi- manusiawi itulah yang secara tradisional oleh umat Kristen dikenal sebagai Tuhan Yesus Kristus. Hal ini dilakukan dengan asumsi tanpa mempertahankan keilahian dan keinsanian dalam satu entitas, monoteisme dalam imaji trinitarian tidak bisa berjalan dengan baik.
Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus (1Timotius 2:5), demikian klaim Rasul Paulus.
Apakah ini satu-satunya Formulasi yang dipahami oleh orang Kristen Perdana?
Tetapi apakah gelar Tuhan (kurios) yang ditautkan kepada Yesus Kristus semata-mata dilakukan untuk merapikan bangunan abstraksi teologis saja?
Saya pikir tidak.
Sebelum lebih jauh memaparkan dalam tulisan ini, saya pikir mendesak dipahami oleh kita bersama bahwa ketika kata kurios diterjemahkan menjadi kata Tuhan dalam bahasa Indonesia, referensinya tidak mengacu pada sosok Allah yang transendental, dan non-material di alam gaib surgawi.
Kata Kurios yang diterjemahkan menjadi kata Tuhan dalam kitab suci terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), mengacu kepada ide soal penguasa politik dalam dunia material. Kurios mengimajinasikan ide tentang penguasa tunggal. Itu sebabnya saya berpendapat alih-alih menerjemahkan Kurios menjadi “Tuhan”, lebih tepat menerjemahkannya sebagai “Tuan”.
Dari sudut pandang itu, maka pertanyaan tentang mengapa umat Kristen perdana menyebut Yesus sebagai Tuhan (Kurios) hanya dapat terpahami jika kita meneropong pergumulan sosial politik gerakan Kristen perdana kala itu.
Gerakan Yesus Kristus dimulai pada abad pertama masehi saat Palestina berada di bawah okupasi penjajahan Imperium Romawi. Kala itu Kaisar Agustus (27 BD-14 AD) adalah penguasa Imperium. Kaisar Agustus ketika itu mengembangkan sebuah kultus penyembahan Kaisar (yang sebelumnya diinisiasi oleh Julius Caesar) bernama Caesar Divi Filius, yang artinya “kaisar adalah putra Allah dan Tuhan[1].
Ide besar yang melandasi kultus ini adalah bahwa segala kesejahteraan, ketenteraman dan kemakmuran seantero warga kekaisaran berasal dari kemurahan hati sang Kaisar yang adalah manifestasi material dari Tuhan. Maka kultus penyembahan kepada Kaisar dilakukan bukan agar rakyat mendapat kebaikan dari sang penguasa, melainkan dibuat sebagai bentuk pengucapan syukur (gratitude) dan kepada kebaikan Ilahi yang sudah merawat rakyat melalui kebaikan sang Kaisar.
Puja puji kepada Kaisar sang Tuhan (kurios) itu kemudian dilembagakan melalui agama publik (civic religion). Perlu diingat bahwa imperium Romawi dikenal sebagai tiran yang memberi penghargaan tinggi pada multikulturalisme dan keberagaman. Namun ruang bagi kebhinekaan ini tidak gratis. Kebebasan ini punya harga. Apapun agamamu, etnismu dan ekspresi kebudayaanmu, Kesetiaan kepada agama publik (civic religion) wajib melandasi keberagaman dalam imperium[2].
Jadikanlah kaisar sebagai Tuhan (kurios), Cesar Kurios.
Kultus kekaisaran mempropagandakan bahwa hanya melalui sang kurios, seantero rakyat mendapatkan kesejahteraan. Dalam kemurahatian sang kurios, sistem distribusi kekayaan diedarkan. Hanya oleh sang kurios keadilan di wujudnyatakan. Singkatnya sang Kaisar adalah Tuhan (kurios) yang mampu memberi keselamatan (soter)[3] bagi seluruh dunia.
Gerakan Yesus sebagai Anti Tesis Agama Publik
Gerakan Yesus dari Nazareth, dikenal publik abad pertama sebagai gerakan Sang Jalan (Kisah Para Rasul 9:2). Banyak tafsiran populer dewasa ini memaknai Yesus sebagai satu-satunya jalan agar seseorang masuk surga setelah mati.
Tetapi lagi-lagi bukan itu referensi publik abad pertama kepada julukan “Sang Jalan”.
Ketika Yesus menyebut dirinya sebagai Jalan (της οδου), sebagaimana dicatat dalam Yohanes 14 :6, Dia sedang membuat anti tesis kepada klaim agama publik. Yesus sedang memproklamasikan, bahwa jalan keutuhan, keadilan dan kesejahteraan segenap warga, atau yang dikenal dengan Keselamatan ada di dalam gerakan yang dibawanya, dan bukan pada kultus Kaisar. Maka tidak heran jika gerakan politik Yesus juga menggunakan imaji restorasi pembebasan mesianik Judaisme untuk melawan propaganda agama publik yang menyembah Kaisar.
Berbagai referensi tentang pembebasan nasional dan pembaruan tatanan dari kitab para nabi di era okupasi Babilonia dan Persia, ditautkan secara retroaktif kepada diri Yesus Kristus (bandingkan Lukas 4 :18 misalnya).
Gerakan sang Jalan ini memberi klaim tandingan bahwa bukan pada Kaisar yang despotis dan narisitik dunia akan dibawa menjadi lebih baik, tetapi hanya melalui pengabdian pada sang Jalan itu, yang termuat dalam gerakan politik Yesus.
Bagaimana Kultus Kaisar dan Kultus Kristus bisa berbeda?
Jika pengabdian pada Kaisar sang Kurios itu mensyaratkan semua tunduk pada totalitarianisme Kaisar, maka dalam penghayatan Kultus Yesus Kristus kekuasaan yang menyelamatkan terjadi karena didesentralisasikan pada orang-orang biasa dan jelata.
Sesaat setelah klaim Yesus mengenai Ketuhanannya diplokamirkan dalam Yohanes 13 :13. Yesus kemudian mengatakan:
Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.
Ide soal Kurios yang dibawa oleh Yesus tidak meletakkan beban revolusi pada satu pemimpin tunggal yang serba bisa. Dalam teks Injil Yohanes pasal 13, Yesus Kristus sang Tuhan, justru menunjukkan kuasanya karena melucuti kedaulatannya dan mendistribusikan lewat pelayanan kepada semua orang.
Yesus sang kurious memberi definisi baru tentang bagaimana dunia baru bisa terwujud, yaitu dengan membangun kekuatan alternatif dari bawah yang setara dan saling melayani. Hanya dengan cara itu kekuatan totaliter kaisar dapat dihancurkan.
Apa Implikasi menyebut Yesus sebagai Tuhan Bagi Kita Hari Ini?
Dalam konteks hingar bingar menuju pemilihan umum, khususnya pilpres di Indonesia, pengakuan iman kita kepada ketuhanan Yesus menemukan kanal ujiannya.
Ujian yang pertama bagaimana menemukan implikasi politik praktis dari syahadat terhadap ketuhanan Yesus.
Mengakui Yesus sebagai Tuhan artinya menyadari bahwa agenda politik kerajaan Allah senantiasa bersifat anti despotik. Fanatisme sempit sebagian umat Kristen yang menjadi pendukung keras salah satu Capres (khususnya pendukung Jokowi-Ma’ruf)[4], menunjukkan bahwa nasib dan masa depan bangsa ini seolah-olah sepenuhnya bergantung pada kemenangan paslon yang diusung. Kita mesti waspada agar tidak tergelincir dalam ilusi, seolah-olah kerajaan Allah hanya hadir dalam gerakan kita saja.
Ujian yang kedua, menjadikan Yesus sebagai Tuhan adalah apakah kita masih memberi diri kita (setelah dibuat frustrasi dengan real politics) menjadi bentara kehadiran kerajaan Allah yang menyingkirkan kegelapan dan penindasan di dunia ini?
Sikap apatis dan ketidakpedulian kepada masa depan dan kesejahteraan bangsa ini dapat menjadi indikasi ketidakpercayaan kita terhadap pengakuan iman Yesus sebagai Tuhan (Kurios). Kecenderungan menarik diri ini rupanya sudah diperingatkan Yesus Kristus sendiri dalam Injil Matius:
“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.” (Matius 5 :13-16)
Pengakuan iman bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, harus menemukan ekspresi aktualnya dalam upaya membangun gerakan-gerakan politik alternatif secara independen.
Begitu banyak contoh dalam sejarah bagaimana gereja yang mengakui ketuhanan Yesus Kristus menggalang kekuatannya (secara mandiri tanpa minta dukungan dari penguasa) untuk menjegal pembusukan peradaban. Sejarah menunjukan bagaimana gerakan Gereja yang mengaku (Bekennende Kirche) di Jerman pada perang dunia ke II, berinsiatif bergerak dalam ancaman untuk tetap melawan NAZI, bahkan merancang plot pembunuhan terhadap Hitler.
Kita menemukan juga dalam sejarah bagaimana ekspresi pengakuan iman kepada ketuhanan Yesus Kristus hadir dalam gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin, yang memberi bahan bakar bagi perlawanan kepada penguasa lalim.
Kita menyaksikan ekspresi iman yang serupa mewujud dalam Teologi Hitam di Amerika Serikat yang melawan rasisme. Kita juga mendapati pewujudan syahadat ketuhanan Yesus oleh umat Kristen di Palestina via teologi pembebasan ala Palestina, yang gerakannya dimotori oleh para Imam gereja Anglikan. Sebuah tindakan kontroversial karena tendensi politik gereja Anglikan yang sampai sekarang berpihak kepada negara Israel.
Semua gerakan alternatif ini dinafasi oleh syahadat yang sama: Jika Yesus adalah Tuhan, maka keselamatan sejati harus diproklamasikan kepada dunia setiap saat. Pengakuan iman ini juga menantang kita untuk terus bergumul dengan pertanyaan bagaimana pengakuan kepada ketuhanan Yesus Kristus diwujudkan dalam hidup kita hari ini?***
Suarbudaya Rahadian adalah Pendeta Jemaat Gereja Komunitas Anugerah-Reformed Baptist Salemba
————–
[1] Ferguson, Everett, Backgrounds of early Christianity, 3rd edition, Wm. B. Eerdmans Publishing, 2003, P.87
[2] Allen Brent, The Imperial Cult and the Development of Church Order: Concepts and Images of Authority in Paganism and Early Christianity before the Age of Cyprian,Brill, 1999, PP 32-35.
[3] Fishwick, Duncan, The Imperial Cult in the Latin West: Studies in the Ruler Cult of the Western Provinces of the Roman Empire, volume 3, Brill Publishers, 2002, PP 71-75
[4] Pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa umat Kristen yang menjadi pendukung fanatik paslon Jokowi-Ma’ruf relatif lebih militan dan lebih agresif, ketimbang orang umat Kristen pendukung Prabowo-Sandi.
Simone de Beauvoir & Alienasi Tubuh Perempuan
Membicarakan mengenai ketidaksetaraan gender dan penundukkan (subjugation) perempuan oleh roda kejam patriarki kerap membawa kita dalam diskursus mengenai identitas dan tubuh mereka. Sang luminary keadilan gender, Simone de Beauvoir sendiri menjabarkannya dalam kitab besar feminisme, The Second Sex. Konsepsinya mengenai alienasi perempuan sebagai “Other” atau “Yang Lainnya” begitu seminal dalam membongkar kenyataan menyedihkan bahwa secara historis laki-laki dalam berbagai level telah menekan otonomi identitas perempuan dengan cara yang indah namun brutal, yakni secara alam bawah sadar memaksa dunia dipandang dari hanya satu lensa saja, sudut pandang maskulinitas.
Devaluasi nilai perempuan secara sistemik ini mentransformasi perspektif terhadap perempuan sebagai suatu “subjek” yang memiliki nilai intrinsik menjadi suatu “objek” yang hanya diatribusikan secara relatif berdasarkan norma maskulin yang berlaku, mengisolasi mereka secara degradatif menjadi “Other”. Alienasi ini lah yang menjadi ladang subur untuk tumbuhnya tendensi kultural seperti phallogosentrisme ala Annie LeClerc, hingga performativitas gender ala Judith Butler.
Dalam bahasa de Beauvoir,
“For him she is sex, absolute sex, no less. She is defined and differentiated with reference to man and not he with reference to her; she is the incidental, the inessential as opposed to the essential. He is the Subject, he is the Absolute, she is the Other”. (The Second Sex)
Manifestasi lain yang menarik dari degradasi tersebut adalah suatu bentuk yang selalu secara kasat mata menampakkan diri dalam diskursus sosial-politik namun begitu krusial dalam relasi kuasa, yakni tubuh perempuan, beserta segala atribut seksual yang melekat padanya. “Keteraturan simbolis” yang pro-maskulin selalu sampai pada kesimpulan bahwa kapabilitas perempuan untuk mengemban peran-peran penting dalam masyarakat, jauh dari layak. Atribut biologis dari perempuan tampak di mata status quo sebagai sesuatu yang asing, dan hal-hal seperti maternitas seakan tidak fit dengan standar hegemonis.
Dalam suatu refleksi yang penuh keprihatinan, de Beauvoir mengafirmasi bahwa konsepsi Aristotelian yang mengatakan perempuan adalah “makhluk yang dikutuk oleh semesta dengan suatu kecacatan yang alamiah”, telah berhasil mendorong alam bawah sadar kaum perempuan untuk menerima subjugasi dunia. Hegemoni maskulinitas secara brilian merubah tubuh perempuan itu sendiri sebagai suatu penjara yang tidak akan pernah lenyap akibat segala keasingan yang melekat padanya, suatu simbol akan kelemahan dan vulnerabilitas. Harus kita akui juga, agama bahkan membawa ini lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa tubuh perempuan tidak hanya rentan, namun juga mengancam stabilitas kain sosial dan wajib ditutup dengan rapat.
De Beauvoir dalam menganalisa fenomina ini secara revolusioner menggunakan paradigma dialektika master dan slave konsepsi G.W.F. Hegel sebagai fondasi dari kritiknya. Beliau mengargumentasikan bahwa serupa dengan slave Hegelian, atau dalam konteks ini perempuan sebagai “Other”, diruntuhkan identitasnya sebagai entitas yang inferior, sebagai konsekuensi dari penggunaan kualitas laki-laki sebagai master dengan standar absolutnya mengenai kapasitas manusia.
Menggunakan lensa penghakiman tersebut, “kecacatan” perempuan berupa tubuhnya yang “rentan”, adalah suatu justifikasi untuk merelegasi statusnya sebagai warga kelas dua, yang dengan lebih menyedihkannya lagi, tidak pernah berupaya memerdekakan diri karena telah terperangkap ilusi bahwa tanpa tuannya, mereka tidak akan pernah bisa apa-apa.
Dalam suatu observasi mengenai rantai tidak telihat yang mengekang perempuan, de Beauvoir mengungkapkan,
“She has been taught to accept masculine authority. So she gives up criticizing, investigating, judging for herself, and leaves all this to the superior caste. Therefore the masculine world seems to her a transcendent reality, an absolute. ‘Men make the gods,’ says Frazer, ‘women worship them’”. (The Second Sex)
Krisis Ikatan dalam Jalur Liberasi Hegelian
Kerap kali dinamika penundukkan suatu kaum berawal dari inferioritas angka, sebagaimana yang terjadi pada kaum kulit hitam Amerika maupun kaum Yahudi, di mana pada suatu titik terjadi insiden historis yang menginisiasi dominasi tersebut. Implementasi perbudakan di Amerika untuk menunjang industri katun, diaspora kaum Yahudi, hingga praktek imperialisme Eropa merupakan beberapa contoh yang digarisbawahi oleh de Beauvoir. Penyebab lain mungkin juga bisa bermula dari revolusi sistemik, seperti roda kapitalisme yang menancapkan social cleavage antara kelompok pemegang kapital dan kaum proletariat.
Permasalahannya adalah, kaum perempuan bukanlah suatu minoritas, secara kasar jumlah perempuan di muka bumi ini hampir sama dengan jumlah laki-laki. Berbeda juga dengan kaum proletariat yan pernah tidak exist, kaum perempuan selalu ada sejak awal masa. Dengan kata lain, tidak ada insiden historis yang memulai pengekangan identitas mereka, karena subjugasi yang jatuh pada perempuan merupakan devaluasi terhadap nilai tubuh mereka yang telah berlangsung abadi.
“Missing link” berupa insiden historis ini menjadi krusial untuk mempermudah pelepasan diri dari penindasan suatu kaum. De Beauvoir mengargumentasikan bahwa suatu insiden historis merupakan suatu indikasi bahwa terdapat suatu memori indah masa lampau, yang dapat menjadi ikatan bersama entah itu tradisi, kultur, maupun agama sebelum seluruh dominasi ini terjadi. Ikatan bersama ini dapat menjadi basis suatu kebangkitan dan dorongan untuk melepaskan diri dari subjugasi master mereka.
Implikasi dari hal ini adalah, berbeda dengan slave lain yang kerap disebutkan dalam dialektika Hegelian, kaum perempuan sepertinya tidak mampu untuk mengidentifikasi sumber dari status “Other” yang melekat pada mereka, tidak mampu saling relate terhadap suatu ikatan di masa lalu, sehingga selalu tertahan untuk benar-benar menyadari perbudakan identitas yang menimpa mereka.
De Beauvoir mengartikulasikan kekhawatiran ini melalui suatu segmen dalam bukunya,
“Throughout history they have always been subordinated to men in virtue of their anatomy and physiology, and hence their dependency is not the result of a historical event or a social change. The reason why otherness in this case seems to be an absolute is in part that it lacks the contingent or incidental nature of historical facts”. (The Second Sex)
Sebuah Seruan untuk Solidaritas
Tentu saja kalimat-kalimat de Beauvoir di atas sangat meresahkan, karena untuk dapat memenuhi “ramalan” jalur liberasi Hegelian, dan menginisiasi proses transcendence dari status mereka sebagi “Other”, diperlukan suatu pegangan sebagai basis dari kebangkitan. Absensi ikatan masa lalu ini memunculkan suatu krisis, di mana impian kemerdekaan identitas ini pun diancam oleh fragmentasi internal yang terjadi. Perempuan lebih nyaman bersatu di bawah panji-panji agama atau ras, ketimbang menyerang subjugasi sistemik terhadap tubuh mereka sembari berpegangan tangan.
Tidaklah suatu masalah apa motivasi yang digunakan untuk memicu persatuan tersebut. Virgina Woolfe menyerukan persatuan untuk menuntut akses supaya perempuan dapat menulis, Germaine Greer mengajak perempuan bersatu dalam semangat liberasi seksualitas, dan feminis kontemporer Tarana Burke memanggil seluruh kaum perempuan bergandengan tangan untuk menumpas pelecehan seksual sistemik. Motivasi yang digunakan de Beauvoir hanyalah satu, sederhana, namun yang paling fundamental. Kaum laki-laki progresif akan setia menjulurkan tangan, namun solidaritas kaum perempuan sangatlah imperatif sebagai satu-satunya harapan untuk merdeka.***
Luthfi T. Dzulfikar adalah mahasiswa politik dan hubungan internasional Universidad Carlos III Madrid. Temukan pendapat-pendapatnya di Youtube dan Twitter.