Ilustrasi: Illustruth
TUMBANGNYA Orde Baru pada 1998 menjadi titik balik penting dalam sejarah politik Indonesia. Presiden Soeharto, yang telah memerintah secara otoriter selama 32 tahun, diturunkan oleh tekanan kuat dari gerakan mahasiswa dan krisis moneter. Orang-orang bertempik sorak merayakan kemenangan atas tirani dan lahirnya kebebasan. Semua orang mengira otoritarianisme berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto. Namun sayangnya, seperti kita tahu, seluruh pemerintahan pasca-Reformasi—kecuali era Gus Dur—adalah representasi kepentingan elite ketimbang mencerminkan kepentingan rakyat. Bahkan sampai mati, Soeharto tak pernah diadili.
Setelah 27 tahun Reformasi, praktik otoriter kembali mencuat. Intimidasi, represi, dan kriminalisasi kian marak. Di berbagi daerah di Indonesia, petani, mahasiswa, dan para pejuang demokrasi menjadi sasaran intimidasi dan kriminalisasi. Kritik dibungkam, demonstrasi dianggap sebagai ancaman. Demokrasi hanya jadi urusan koalisi dan persaingan antarkelas kapitalis yang belakangan disebut sebagai kebangkitan oligarki.
Secara keseluruhan, lanskap politik Indonesia pasca Soeharto ditandai oleh kebangkitan cepat kelas kapitalis yang berhasil menata ulang kekuatannya, sementara gerakan sosial mengalami kemunduran yang signifikan. Tidak lama setelah Soeharto jatuh, ideologi, karakter, dan agenda politik Orde Baru mulai muncul kembali secara perlahan tetapi konsisten. Partai-partai besar yang kini mendominasi politik elektoral pasca-Reformasi seperti Golkar, Hanura, Demokrat, Nasdem, dan Gerindra sebagian besar merupakan kelanjutan dari warisan politik Soeharto—mereka adalah wajah baru dari Orde Baru dan reinkarnasi tubuh politik Soeharto.
Dua dekade setelah Reformasi, generasi muda mengambil kesimpulan: tumbangnya Soeharto tidak serta-merta mengakhiri otoritarianisme Orde Baru. Secara formal Orde Baru memang telah tiada, tapi sebagai pikiran dan agenda politik masih berjaya di Indonesia. Sialnya, banyak mantan aktivis 1998 yang dulu turut menumbangkan Soeharto kini justru menjadi bagian dari rezim Orde Baru dalam versi barunya.
Mahasiswa dan generasi muda gelisah dan kehilangan teladan. Para aktivis tua angkatan ’98, yang seharusnya jadi panutan moral dan arah perjuangan, justru menjadi bagian dalam praktik pembungkaman suara kritis. Organisasi-organisasi ekstra kampus pun tak bisa lagi diandalkan, karena, apa pun itu, telah turut menjadi bagian inti kekuasaan. Organisasi-organisasi ideologis progresif warisan Partai Rakyat Demokratik (PRD) atau yang terinspirasi olehnya juga tidak menawarkan harapan baru, justru terjebak dalam konflik internal dan perpecahan.
Sementara itu, rezim terus mengeluarkan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat, khususnya pada kelas pekeja, petani, dan masyarakat adat. Alat kekerasan negara semakin intensif bertindak represif. Dalam situasi semacam ini, sikap yang pantas diambil adalah: melawan!
Gelombang protes terus bermunculan, dan aksi jalanan menjadi pilihan dalam merespon kebijakan yang merugikan. Aksi-aksi ini memang tidak terorganisir, dan (hanya) digerakkan oleh panggilan solidaritas dan seruan ALERTA yang bergema di media sosial setiap kali terjadi represi di berbagai penjuru Indonesia. Deretan tagar seperti #ReformasiDikorupsi (2019), #TolakOmnibusLaw (2020), #CabutUUCiptaKerja (2023), #MosiTidakPercaya (2023), #PeringatanDarurat (2024), dan #IndonesiaGelap (2025), menjadi penanda bahwa api perlawanan masih ada. Generasi muda masih menunjukkan sikap keras kepala, tidak tunduk, tidak gentar. Seruannya jelas: orang waras tidak boleh diam dengan kesewenang-wenangan.
Aksi-aksi protes jalanan selama ini, secara moral benar dan baik, dan secara politik penting bagi gerakan sosial. Dalam situasi ketidakadilan, mustahil bagi individu yang melek politik, terutama mahasiswa, untuk memilih bungkam dan tidak bertindak.
Tendensi gerakan yang tidak terorganisir, cair, dan spontan muncul karena berbagai alasan. Faktor utamanya adalah kejenuhan terhadap organisasi yang cenderung toxic, patronase, dan banyaknya senior yang kerap mengkhianati perjuangan. Selain itu, media sosial juga membentuk habitus baru dalam berorganisasi dan berekspresi. Karena itu, badan eksekutif mahasiswa dengan dukungan LSM tampil sebagai pelopor perlawanan terhadap kebijakan negara. Beriringan dengan itu, banyak bermunculan kelompok belajar kecil dan kolektif-kolektif mandiri sebagai alternatif dari organisasi kiri atau organisasi ekstra kampus yang dinilai sudah terlalu mapan dan kaku.
Pertimbangan mereka sederhana, yakni perlunya wadah belajar dan merawat kegelisahan dengan berdiskusi secara luring atau sekedar berbagi pandangan di grup Whatsapp, hingga terlibat aksi turun ke jalan setiap ada seruan melalui tagar. Sebagian lainnya terlibat dalam kerja-kerja advokasi, misalnya saat terjadi penggusuran kampung kota seperti Bukit Duri dan Pancoran (Jakarta), Tamansari, Dago dan Sukahaji (Bandung), serta dalam konflik sosial-ekologis di kawasan perdesaan di Jawa.
Dalam konteks gerakan hari ini, organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI tidak lagi dominan dan diganti oleh kolektif kecil, BEM, dan massa cair yang kurang terorganisir.
Sebenarnya, pola gerakan semacam ini bukanlah fenomena yang unik di Indonesia, melainkan juga berlangsung di berbagai negara lain. Salah satunya contohnya adalah gerakan Milk Tea Aliance di Hongkong, yang membentuk jaringan solidaritas hingga mencakup wilayah Asia Tenggara. Gerakan Arab Spring atau Revolusi Musim Semi Arab juga menunjukkan kecenderungan serupa dalam hal spontanitas dan keterhubungan digital.
Harus diakui bahwa gelombang perlawanan yang digerakkan oleh tagar dan seruan ALERTA, yang menyebar melalui jejaring media sosial, di satu sisi menggembirakan karena api perlawanan masih terus menyala. Namun di sisi lainnya, fenomena ini juga perlu direnungkan lebih dalam, dipertimbangkan secara saksama, bahkan diperdebatkan secara kritis dengan kepala dingin.
Dalam riset terbarunya, Amalinda Savirani dkk menemukan bahwa kecenderungan gerakan hari ini sebagai memiliki pola rimpang—bergerak menjalar tapi tidak berakar. Ini adalah fakta empirik yang tidak bisa diabaikan. Sayangnya, model gerakan semacam ini cenderung tidak mampu bernafas panjang. Mobilisasi massa yang didorong oleh tagar sering kali cepat memudar. Aksi dan protes jalanan lebih tampak sebagai gerakan yang tidak terencana, dan sekadar luapan kemarahan spontan di jalan, tanpa strategi jangka panjang.
Yang menyedihkan, ketika terjadi bentrokan, para demonstran atau massa aksi yang hanya bersenjata megafon, petasan, atau kembang api harus berhadapan dengan aparat keamanan dalam mode tempur yang bersenjatakan gas air mata, pistol, pentungan, dan water canon. Ketimpangan kekuatan ini jelas, dan kerap kali mengakibatkan korban jiwa, serta tidak sedikit yang dikejar dan jadi buronan polisi, dan yang lainnya lagi dipukuli dan ditangkapi.
Kami menaruh hormat setinggi-tingginya kepada kaum muda yang berani merisikokan keselamatan dirinya demi memperjuangkan cita-cita keadilan. Namun, kami percaya bahwa taktik perlawanan di jalanan perlu direncanakan lebih matang. Lebih dari itu, gerakan sosial perlu bertransformasi dari gerakan moral menuju gerakan politik, dari aksi dan protes jalanan menuju arena politik merebut kekuasaan negara.
Model gerakan hari ini, dalam banyak hal, mengingatkan pada situasi yang pernah digambarkan Karl Marx dalam esainya “Jerman Saat Meletusnya Revolusi”.
“Sekarang setiap orang pun tahu”, ujar Marx, “bahwa setiap kali terjadi ledakan revolusi, berarti selalu ada masalah-masalah sosial yang melatarbelakanginya. Masalah-masalah itu berupa kehendak untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri yang terhambat oleh keberadaan institusi-institusi lama.” Lebih lanjut ia mengatakan bahwa “gerakan yang terjadi begitu mendadak… muncul bukan karena sesuatu yang sifatnya personal dan tunggal, tapi merupakan manifestasi dari keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan spontan yang sangat kuat.”
Intinya, gerakan spontan yang marak terjadi belakangan ini muncul sebagai respons terhadap berbagai persoalan sosial, khususnya akibat kebijakan negara yang dianggap merugikan. Gerakan semacam ini merupakan manifestasi dari keinginan spontan yang dirasakan oleh banyak orang. Sekali lagi, ini sebenarnya sesuatu yang wajar dan biasa saja. Dan memang seharusnya begitu. Kalau Anda diinjak: teriaklah!
Namun, karena minimnya elaborasi strategi dan ketiadaan upaya serius untuk membangun persatuan yang lebih terorganisir menuju alat politik rakyat, gerakan-gerakan protes ini hanya menjadi sekadar letupan peristiwa orang-orang marah yang kurang diperhitungkan rezim.
Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, harus diakui dengan kerendahan hati bahwa berbagai aksi protes yang telah berjilid-jilid digelar masih belum cukup kuat untuk menantang dominasi kekuasaan oligarki, apalagi menciptakan perimbangan politik antara kelas pekerja dan kelas kapitalis. Pernyataan dan kenyataan ini tentu tidak enak didengar dan menyakitkan. Fakta menunjukkan bahwa karena gerakan ini tidak terorganisir secara solid, tidak memiliki visi untuk merebut kekuasaan negara, jumlah massa yang tidak terlalu besar, mudah direpresi oleh aparat kekerasan negara, cepat tenggelam oleh derasnya isu-isu lain, dan juga karena tidak mendapat dukungan moral masyarakat luas—aksi protes jalanan pun dengan mudah memudar dan tidak bertahan lama.
Yang lebih menyedihkan, dalam banyak kasus bentrokan antara massa aksi dan aparat, justru massa aksi yang kerap disalahkan oleh sebagian masyarakat. Mengapa ini bisa terjadi? Karena gerakan tersebut belum berhasil memperoleh dukungan moral dari publik luas. Hal ini disebabkan oleh kegagalan dalam menyampaikan pendidikan politik yang mudah dicerna masyarakat luas, serta ketiadaan tawaran konkret mengenai alternatif pembangunan yang bisa menyentuh kebutuhan kelas pekerja.
Akibatnya, kelas pekerja dan masyarakat luas merasa perjuangan yang dilakukan lewat aksi protes tidak mewakili kepentingan mereka. Terlebih lagi, belum ada turbulensi ekonomi politik besar yang secara langsung mengancam kebutuhan dasar hidup masyarakat. Dalam situasi seperti ini, maka heroisme keberanian di jalanan dalam bentuk konflik yang tidak dipersiapkan, masih sulit mendapat tempat di masyarakat. Alih-alih mendulang simpatik, justru menuai kritik.
Aksi-aksi protes yang terus terjadi secara berulang, spontan dan tanpa perencanaan matang—meskipun dilandasi niat baik—pada akhirnya hanya memberi ruang ekspresi kemarahan sesaat. Jika tidak dikembangkan lebih jauh, kami khawatir gerakan ini akan terjebak pada rutinitas kegiatan ”aksi untuk aksi”, yang tidak membawa kemajuan berarti bagi kemenangan kelas pekerja.
Elaborasi atas apa yang telah dan sedang kita lakukan mesti diletakkan sebagai kritik-otokritik. Lebih dari itu, diperlukan pembacaan yang bersifat dialektis atas situasi di internal gerakan sosial dan dinamika politik nasional maupun internasional, agar gerakan ini bisa berkembang dan lebih efektif. Ini bukan sebagai deklarasi permusuhan atau bahkan menihilkan apa yang telah dan sedang kita lakukan. Tidak sama sekali.
Pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah: apakah kita akan terus menggelar aksi dan protes jalanan tanpa ambisi untuk mengambil alih kekuasaan negara, atau berupaya untuk membangun kekuatan politik alternatif yang mampu memenangkan perjuangan di ranah politik formal? Haruskah gerakan protes yang sifatnya spontan dalam merespon kebijakan tertentu negara diposisikan secara terpisah, bahkan saling meniadakan, dengan agenda membangun kekuata politik rakyat? Atau justru, sebaliknya, aksi protes bisa diletakkan sebagai prolegomena (pendahuluan), sebagai modal bersama untuk mencari kesamaan politik dalam membangun alat politik legal yang bisa digunakan untuk mengintervensi dan memengaruhi jalannya kekuasaan negara?
Kami melihat aksi protes jalanan tidak seharusnya dipertentangkan dengan upaya membangun kekuatan politik alternatif. Aksi dan protes jalanan mesti terus dilakukan sebagai respons cepat terhadap kebijakan yang sewenang-wenang, namun tidak mencukupi bila kita tidak memenangkan pertarungan politik formal dalam berbagai ruang dan tahapan. Rasa muak dan kekecewan harus dirawat, tidak hanya dengan aksi protes saja, tapi juga dengan merancang strategi jangka panjang. Ini berarti menyusun peta jalan (roadmap) untuk mengorganisir massa kelas pekerja lintas sektor melalui alat politik alternatif.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Harus diakui, seruan membangun alat politik mudah dituliskan dan ringan dibicarakan, tetapi berat untuk dikerjakan. Membangun alat politik legal di Indonesia bukan perkara sederhana, secara administratif sangat rumit, melelahkan, dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Sistem regulasi yang ada, sebagai produk dari kekuasaan kelas kapitalis, memang sengaja dibuat untuk menghambat keterlibatan rakyat dalam arena politik formal.
Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan Partai Hijau Indonesia (PHI), untuk menjadi partai legal secara mandiri dan memulai dari awal memerlukan dana miliaran rupiah. Dalam perkiraan moderat, dibutuhkan sekitar 10 hingga 15 miliar untuk keperluan legalisasi, pengoperasian mesin politik partai dan membangun kepengurusan 100% di tingkat provinsi, 75% di tingkat kota-kabupaten, dan 50% di tingkat kecamatan. Tentu tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil dilakukan.
Alternatif lain yang dapat ditempuh adalah memenangkan agenda progresif di Partai Buruh (PB) yang sudah legal. Kami melihat bahwa Komite Politik (Kompol) di dalam Partai Buruh dapat berfungsi layaknya Democratic Socialist of America (DSA) di dalam Partai Demokrat di Amerika Serikat. Atau, kita juga bisa mendorong organisasi-organisasi buruh industri, guru, dosen, pelajar, para perempuan pekerja dls, untuk bersama-sama membangun alat politik legal dengan basis massa kelas pekerja lintas sektor dalam bentuk national popular front atau national democratic front atau bentuk dan nama lain yang berfungsi sebagai ruang pemersatu kelas pekerja dalam bentuk alat politik rakyat.
Tanpa alat politik, gerakan sosial, kami ulangi lagi, tidak akan mampu menciptakan keseimbangan kekuatan politik dengan kelas kapitalis atau oligarki. Bahkan, gerakan tersebut tidak akan bisa mengambil alih kekuasaan negara, yang artinya perubahan struktural yang mendasar tidak akan pernah terjadi. Negara tetap dikuasai dan dikelola kelas kapitalis atau oligark.
Jika saat ini gerakan belum juga mulai membangun titik temu, baik antar organisasi atau antar individu progresif, untuk memperkuat atau merintis alat politik bersama, maka sebenarnya kita tengah menunda kekalahan. Apalagi situasi hari ini sungguh mengkhawatirkan: pihak yang dulu di masa Orde Baru memegang senjata dan mengarahkannya ke rakyat, kini menjadi penguasa. Bahkan, Sang Jagal Besar juga hendak dibersihkan namanya dengan menjadikannya sebagai pahlawan.
Pelajaran berharga bagi kita hari ini: gerakan Reformasi yang menjadikan mahasiswa sebagai tulang punggungnya terbukti telah gagal mengawal perubahan mendasar dan tidak mampu mengambil alih kepemimpinan nasional.
Kegagalan itu persis seperti digambarkan Gramsci dalam artikel “Wave of Materialism and Crisis of Authority” (1989: 275). Dia menyatakan bahwa “krisis justru terdiri dari fakta bahwa yang lama sedang sekarat dan yang baru tidak dapat dilahirkan; dalam masa jeda ini berbagai macam gejala yang tidak wajar muncul.” Dalam konteks politik di Indonesia, “yang lama sedang sekarat” adalah Soeharto, dan “yang baru tidak dapat dilahirkan” adalah gerakan mahasiswa yang tidak mampu tampil mengambil alih kekuasaan negara. Akibatnya, sebagian besar tuntutan Reformasi gagal dieksekusi dan direalisasikan. Dengan demikian, tidak semua perlawanan otomatis memperkuat posisi kelas pekerja.
Jika sebuah gerakan tidak mampu tampil menjadi alternatif, hal itu justru membuka jalan bagi munculnya kekuatan reaksioner—seperti yang kita saksikan sekarang, di mana politik didominasi oleh arus hiper-nasionalisme dan Islam politik, di mana keduanya tidak membawa visi perjuangan untuk kepentingan kelas pekerja.
Sebenarnya kegagalan reformasi di Indonesia memiliki kemiripan dengan Revolusi Musim Semi Arab, yang juga tidak menghasilkan perubahan politik yang mendasar. Di Mesir, misalnya, kekuasaan justru kembali ke tangan rezim militer.
Terus terang, kami tidak pernah yakin bahwa “warga negara”, “mahasiswa,” atau “ilmuwan” dapat melakukan perubahan mendasar. Menurut kami, hanya kelas pekerja yang dapat melakukannya, asalkan ada kondisi yang tepat tersedia, dan berhasil mencapai persatuan di antara berbagai sektor kelas pekerja—yang diupah dan tidak diupah—dalam satu perjuangan (kelas). Inilah kunci menuju kemenangan. Pernyataan ini bukan sedang memamerkan arogansi, tapi berdasar pada fakta historis: semua perimbangan politik—dan kemenangan politik— selalu dipelopori oleh kelas pekerja lintas sektor, terutama dalam memperjuangkan redistribusi sumber daya, pajak progresif, jaminan sosial, dan upah layak. Hanya melalui organisasi progresif dan proyek politik besar akan lahir perubahan besar dan kemenangan besar.
Dua puluh tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat, dan telah cukup bagi kita untuk bisa mengambil pelajaran atas berbagai kegagalan. Tanpa alat politik yang jelas dan tanpa persatuan yang kokoh, tidak akan ada kemenangan. Kini saatnya kita berhenti berjalan sendiri-sendiri. Mari kita bangun bersama jalan menuju kemenangan!
Roy Murtadho adalah ketua Partai Hijau Indonesia. Siti Barokah adalah pengasuh Pesantren Ekologi Misykat al Anwar.