Ilustrasi: Ilustruth
BEBERAPA hari menjelang pergantian kekuasaan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto, Watchdoc merilis film dokumenter garapan sutradara Ari Trismana, Pesta Oligarki. Film ini dibentuk dengan skema rangkaian rekaman berbagai fragmen peristiwa politis yang berbeda—dari kampanye Pilpres 2024, konflik-konflik penggusuran tanah, seruan kebangsaan akademisi perguruan tinggi, sampai tragedi Kanjuruhan. Di banyak sisi, ia disisipi komentar para aktivis dan akademisi, yang berfungsi sebagai jembatan logis untuk pemaknaan relasional antar fragmen tersebut, merupakan refleksi kritis atas sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo. Keseluruhan film itu, bagaimanapun, disajikan sebagai rangkaian bukti dan argumen untuk menyatakan satu pokok kesimpulan yang mungkin dapat diwakili oleh adegan para sivitas akademika UII menabur bunga di atas keranda yang terbungkus kain hitam bertuliskan “Demokrasi.”
Demokrasi mati, atau, paling tidak, demokrasi mengalami kerusakan parah yang disebabkan kebijakan politis yang ugal-ugalan rezim Jokowi selama sepuluh tahun, terutama menjelang akhir kekuasaannya. Pesta Oligarki bukan hanya merujuk pada istilah Pesta Demokrasi sebagai metafora Pemilu lima tahunan yang dicetuskan oleh Suharto setahun menjelang Pemilu 1982. Shoot pernyataan Soeharto secara tertulis saat mencetuskan istilah “Pesta Demokrasi” untuk pertama kali yang mengikuti scene pidato “Pesta Demokrasi” Jokowi bukan hanya penyingkapan asal-usul istilah tersebut. Pesta Oligarki mengaitkan rezim Jokowi dan Rezim Soeharto sebagai hubungan yang saling mencerminkan, hubungan yang dicirikan oleh rusaknya demokrasi pada kedua rezim tersebut. Film produksi Watchdoc tersebut seperti hendak merenggut topeng demokrasi dan menunjukan wajah asli rezim Jokowi, wajah oligarki. Pesta Demokrasi adalah Pesta Oligarki.
Tulisan ini tidak hendak mengulang-ulang kritik terhadap rezim Jokowi yang telah dihujamkan berkali-kali oleh berbagai pihak, seperti yang diekspresikan juga dalam film Pesta Oligarki. Rezim Jokowi merusak demokrasi, bahkan membunuh demokrasi. Alih-alih melontarkan kritik yang didasari oleh asumsi matinya atau rusaknya demokrasi di tangan oligarki, kita akan memulainya dengan pertanyaan: Apakah oligarki membunuh atau merusak demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus menjernihkan terlebih dahulu apa itu demokrasi.
6 Juni 1852. Setengah tahun setelah kejatuhan Republik Kedua Prancis, Auguste Blanqui menulis dalam surat balasannya kepada Maillard Lemaitre:
Kamu bilang padaku: Aku bukan borjuis, bukan proletarian, aku seorang democrat? Hati-hati dengan kata-kata yang tidak punya definisi; itu kata-kata yang menjadi instrumen kesukaan para komplotan penipu. . . . Jadi apa itu demokrat, aku bertanya padamu? Itu kata yang samar dan banal, tanpa sama sekali punya makna yang tepat, kata yang elastis yang terbuat dari karet. . . . setiap orang mengaku sebagai demokrat, para aristrokrat terutama.
Kebingungan memaknai kata “demokrat” yang juga melahirkan olok-olok atas kata itu tidak hanya terjadi pada masa turbulensi sosial di Prancis pada abad 19. Pada masa kita sendiri, abad 21, kata “demokrat” tidak kunjung menjadi jelas maknanya. Wendy Brown dalam We are All Democrats Now…, dimuat dalam buku Democracy in What State (2011), menulis demikian: “Berlusconi dan Bush, Derrida dan Balibar, kaum komunis Italia dan Hamas—kita semua kaum demokrat sekarang. Tetapi apa yang tersisa untuk demokrasi?”
Kesulitan memaknai kata “demokrat” bukan saja karena kata tersebut dapat diklaim oleh siapa saja untuk mendefinisikan diri mereka sendiri, berkait dengan pandangan politik yang mereka anut. Kesulitan tersebut terutama disebabkan oleh problem pendefinisian asal kata demokrat itu sendiri: demokrasi. Problem pendefinisian, bagaimanapun, mengimplikasikan masalah praktik; bagaimana demokrasi sebagai suatu konsep dideskripsikan sebagai bentuk pemikiran yang utuh dan bagaimana konsep demokrasi merujuk pada tindakan-tindakan politik tertentu yang konkret.
Apa itu demokrasi? Olok-olok Blanqui dan Brown terhadap kata demokrat sebagai label yang dikenakan atau ditujukan pada seseorang, ternyata mempunyai preseden yang jauh sebelum demokrasi menjadi mantra politik di masa modern. Pada masa Yunani kuno, demokrasi adalah nama untuk mengolok-olok pemerintahan tanpa nama yang berdiri di atas tumpukan puing-puing tatanan politik yang memiliki legitimasi. Apa yang dimaksud dengan ketiadaan legitimasi adalah pemerintahan yang hak kekuasaannya tidak disahkan oleh karakteristik yang dianggap properti personal yang konkret seperti keturunan (monarki), pengetahuan (meritokrasi), kebijaksanaan (aristokrasi), dan kekayaan (Oligarki—bentuk aristokrasi yang mengalami kerusakan).
Oleh karena itu, demokrasi sebagai kekuasaan rakyat, menurut Jacques Ranciere, adalah kekuasaan oleh mereka yang tidak memiliki hak istimewa untuk menggunakan kekuasaan. Hal ini bukan berarti bahwa rakyat merupakan suatu kategori kelompok sosial yang terpisah dengan kelompok sosial lain. Rakyat yang diartikan sebagai mereka yang tidak memiliki hak istimewa untuk berkuasa tersebut ekuivalen dengan kesetaraan yang mempunyai konsekuensi tidak adanya hak istimewa bagi setiap orang dan siapapun.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Lantas, bagaimana demokrasi yang merupakan kekuasaan rakyat ditubuhkan sebagai negara, diformulasikan sebagai sistem politik pemerintahan? Jika jawaban kita mengikuti konstruksi pemikiran umum, yang berangkat dari asumsi bahwa tidak mungkin melaksanakan sistem demokrasi langsung, maka jawaban kita adalah demokrasi dapat ditubuhkan menjadi negara dengan prinsip representasi dan mekanisme representasi (pemilu). Problem yang inheren dalam jawaban itu adalah atas dasar apa seseorang dapat dipilih mewakili rakyat? Bagaimana pun, prinsip representasi memerlukan kriteria-kriteria untuk menentukan seseorang dapat dipilih sebagai wakil rakyat, dan kriteria-kriteria tersebut secara otomatis dapat mengubah demokrasi menjadi kekuasaan aristokrasi, meritokrasi, bahkan, yang paling buruk, mengubah demokrasi menjadi oligarki.
Sesungguhnya pertanyaan di atas tidak relevan diajukan dalam kaitan dengan demokrasi. Demokrasi tidak dapat diidentifikasikan sebagai bentuk negara, tidak dapat direduksi menjadi sistem politik pemerintahan. Basis dari pernyataan ini adalah, mengikuti Ranciere, prinsip negara selalu berfungsi sebagai prinsip perampasan dan privatisasi kekuasaan kolektif (rakyat). Demokrasi bukanlah sistem pemerintahan, tapi selalu bersifat konfliktual dan disruptif yang merupakan manifestasi dari prinsip kesetaraan,” kata Ranciere.
Kembali ke Pesta Oligarki. Film tersebut pada satu sisi merupakan ekspresi dari politik demokrasi karena menyuarakan disagreement (ketaksetujuan) yang merupakan watak politis demokrasi. Pada sisi lain, film tersebut menyingkapkan pertentangan dan ketegangan hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Namun pertentangan dan ketegangan hubungan tersebut lebih dipandang sebagai akibat dari problem dalam prinsip representasi—seperti dianggap sebagai pembajakan demokrasi—daripada dilihat sebagai masalah kesetaraan demokratis yang diakibatkan oleh perampasan dan privatisasi kekuasaan kolektif oleh negara. Pertentangan dan ketegangan hubungan antara negara dan masyarakat sipil dianggap sebagai maladjustment prinsip representasi yang disebabkan oleh manipulasi hukum dan kerusakan institusi-institusi negara.
Artinya, Pesta Oligarki masih percaya bahwa demokrasi dapat ditubuhkan menjadi negara melalui prinsip representasi. Padahal, prinsip representasi negara telah nyaris sepenuhnya terintegrasi ke dalam mekanisme oligarki yang mereproduksinya.
Apakah oligarki membunuh atau merusak demokrasi? Tidak. Oligarki adalah produk dari rusaknya prinsip representasi yang menopang negara aristokrasi, meritokrasi, dan sejenisnya. Demokrasi, kekuasaan rakyat, tidak dapat diringkus ke dalam prinsip representasi. Prinsip representasi yang dianggap penjelmaan prinsip demokrasi, prinsip representasi yang menolak negara dan pemaksaan kategorisasi manusia ke dalam jenis apapun (termasuk yang berbasis ilmu pengetahuan yang melegitimasi kekuasaan pikiran-pikiran “unggul” atas massa yang “bodoh”); Paris Commune, telah hancur satu setengah abad lalu. Kehancuran yang mengubah demokrasi menjadi kecohan demokratis (the democratic swindle, meminjam Karl Marx), sebagaimana “kesaksian demokrasi atas dirinya sendiri yang bukan demokrasi” dalam puisi salah seorang communard 1871, Arthur Rimbaud;
Demokrasi
Petaka menuju pemandangan mesum, dan dialek kita mencengkam genderang
Ke pusat-pusat kota tempat kita merawat pelacur paling sinis. Kita akan membantai pemberontakan mantiki
Ke negeri-negeri bludrek dan hampir karam! – laksanakan eksploitasi industrial atau militer paling dahsyat
Selamat tinggal di sini, di mana pun. Para milisi baik hati, kita akan pungut filsafat buas; sonder sains, culas demi kepuasan; persetan dunia terseok tersungkur mati. Ini adalah arak-arakan sejati. Maju, menderap!
Prinsip Representasi dan Pemilu yang menjadi mekanismenya telah dikuasai tikus-tikus. Negara sudah dikuasai tikus-tikus. Kondisi ini harus kita bikin seterang tengah hari.
Dwi Pranoto adalah kritikus sastra