Ilustrasi: Illustruth
MAHASISWA pascasarjana di Indonesia berada di posisi in-between, di satu sisi menjadi overqualified bagi penyedia lapangan kerja tertentu, di sisi lain sedang berproses dalam membangun modal kultural melalui saluran pendidikan yang sedang ditempuh. Mereka belum sepenuhnya bisa berkompetisi di dunia kerja menggunakan gelar magister, tetapi memiliki kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi untuk mengisi posisi sarjana dan di bawahnya.
Kondisi dilematis ini secara tidak langsung mendorong mereka untuk melakukan improvisasi dalam berbagai aspek agar tetap dapat terserap dalam lapangan kerja. Penyesuaian ini tidak jarang menyebabkan mereka terserap dalam sektor yang tidak relevan dengan kualifikasi dan pendidikan yang ditempuh. Alih-alih memiliki posisi tawar di hadapan penyedia kerja, modal kultural ini justru membawa mereka dalam konsekuensi berupa persaingan yang tidak apple to apple dengan kualifikasi beragam yang makin tak terbendung.
Masa transisi kelompok muda dalam pasar tenaga kerja memang merupakan tantangan di masyarakat mana pun, bahkan di negara maju seperti Jerman (Eckelt & Schmidt, 2015). Kelompok muda yang tidak berkarier melalui jalur akademik terpaksa mengambil semacam kursus pascalulus dari sekolah di usia 15 atau 16 (Eckelt & Schmidt, 2015). Pada akhirnya, mereka akan menyerah dan bersedia melakukan kerja-kerja yang tidak aman baik dari aspek finansial, ekonomi, dan jaminan kesejahteraan lain. Hal senada terjadi di Indonesia, negara dengan penduduk terbesar di Asia Tenggara yang mayoritas diisi oleh usia produktif, lebih tepatnya berada dalam masa transisi dari kuliah menjadi pencari kerja (Wirman, 2021).
Dalam rangka mempersiapkan kalangan muda, pemerintah Indonesia mencoba berbagai cara, salah satunya adalah dengan menyediakan beasiswa LPDP, yang totalnya sampai 31 Desember 2023 mencapai Rp139,11 triliun. Negara memang sudah selayaknya mencerdaskan warganya, tetapi apakah pendidikan yang baik adalah satu-satunya faktor yang akan menjamin insan muda mampu membawa perubahan, sementara mereka berada dalam situasi prekarisasi yang di luar kendali pendidikan? Bagaimana jika pendidikan yang mereka peroleh justru mengalienasikan diri mereka dari kesempatan kerja yang ada? Apakah mereka harus mengorbankan hak untuk bisa menghidupi slogan right man in the right place atau mereka harus membayarnya dengan mengikhlaskan diri terserap dalam kerja-kerja prekariat alih-alih menjadi agen perubahan di masyarakat?
Sampai sekarang, terdapat dua pola yang muncul sebagai langkah untuk menanggulangi kondisi miris ini. Pertama, mahasiswa pascasarjana yang tidak terserap dalam sektor pekerjaan dengan background pendidikan dan kualifikasi yang relevan akan mencoba membuka lapangan pekerjaan sendiri atau istilah populernya adalah sociopreneurship. Kedua, mereka akan bekerja pada sektor lain yang tidak relevan dengan background kualifikasi dan pendidikan yang ditekuni. Opsi pertama cenderung berkonotasi positif, dengan konsekuensi mereka harus berusaha mewujudkan iklim yang aman untuk usaha sendiri karena akan menjadi pelaku sekaligus manajer. Opsi kedua cenderung menjadikan individu yang melakukannya sebagai objek social gaze yang menyandarkan standar sosial dengan mengharapkan modal kultural pendidikan sejalan dengan status sosial dan kerja yang dijalani.
Keduanya sama-sama merupakan improvisasi yang muncul akibat kondisi prekarisasi. Prekariat sendiri merujuk pada pekerja yang rentan dan minim terhadap aksesibilitas jaminan kesehatan, sosial, maupun stabilitas finansial (Standing, 2014b, 2014a, 2018).
Mahasiswa pascasarjana adalah irisan antara kaum pseudo-akademis dan kaum pekerja dalam jumlah besar yang sulit untuk terserap sepenuhnya dalam pasar tenaga kerja. Surplus tenaga kerja ini sengaja dipelihara oleh sistem kapitalis karena dengan sendirinya dapat menjaga upah yang rendah karena para pekerja dengan sendirinya akan saling berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan yang ketersediaannya tidak mungkin menampung semua (Habibi & Juliawan, 2018; Wulansari, 2021).
Dengan menempatkan permasalahan sosial yang dihadapi oleh mahasiswa pascasarjana di Indonesia, tulisan ini menggunakan konsep prekariat dari Guy Standing untuk melihat mengapa sebagian besar mahasiswa pascasarjana gagal memperoleh posisi tawar atas modal kultural yang dimiliki. Lalu, pertanyaan berikutnya, bagaimana mereka menavigasikan kerentanan yang dialami?
Fungsi Laten Pendidikan dan Terbentuknya Kaum Prekariat
Di Indonesia, diskursus tentang fungsi laten dan fungsi manifes pendidikan masih sering kita jumpai bahkan setelah istilah tersebut diterbitkan pertama kali oleh Robert K Merton lewat buku Social Theory and Social Structure (1949). Fungsi manifes adalah fungsi yang secara sadar dikehendaki untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang dilakukan secara tidak sadar. Fungsi manifes dalam pendidikan misalnya untuk mencapai kelas sosial tertentu melalui karier, mentransmisikan nilai dan norma, serta hal lainnya yang berkonotasi positif–yang memang dikehendaki terjadi dari adanya aktivitas yang ditunjang oleh lembaga pendidikan. Sementara fungsi laten diilustrasikan dengan penundaan kedewasaan atau perpanjangan masa remaja agar tidak terkontaminasi dengan permasalahan-permasalahan sosial yang mengancam masa muda.
Merton percaya bahwa fungsi laten memungkinkan ruang untuk refleksi atas dampak yang tidak terantisipasi sebelumnya dan bersifat terselubung untuk mendorong perbaikan, serta mengakui kompleksitas yang terbangun dalam sebuah sistem (Campbell, 1982). Namun, fungsi laten pendidikan ini tidak lagi relevan ketika institusi lain di luar pendidikan tidak berjalan selaras dengan ekspektasi yang selayaknya bisa dipenuhi setelah aktivitas pendidikan itu selesai dilakukan. Saat ini, bahkan orang yang mengantongi ijazah pendidikan tinggi masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka yang memiliki background pendidikan dan kualifikasi yang mumpuni terkadang harus berakhir dalam kondisi “work to survive” alih-alih bekerja karena passion.
Dalam buku Precariat: The New Dangerous Class, Guy Standing berusaha mempopulerkan istilah precariat sebagai pembentukan kelas baru yang merujuk pada kondisi kerentanan yang dialami oleh kelas proletariat (Standing, 2014a). Prekariat terbentuk dari proses prekarisasi atau perentanan yang ditandai dengan relasi produksi yang fleksibel, kerja kontrak, kerja paruh waktu, kerja lepas, kerja melalui agen dan kondisi kerja tidak stabil lainnya (Standing, 2014b). Prekariat tidak memiliki jaminan di luar upah (non-wage benefits) yang stabil baik itu kesehatan, sosial, maupun ekonomi. Mereka dituntut untuk memiliki kreativitas lebih banyak untuk bisa mencukupi penghidupan, seperti mencari pekerjaan tambahan, memperpanjang kontrak, atau melamar di tempat lain, dan sebagainya.
Standing juga menyebutkan bahwa pekerja prekariat tidak bekerja berdasarkan kualifikasi pendidikan yang dimiliki, tetapi untuk kualifikasi di bawah atau di luar pendidikannya (Standing, 2014a, 2014b, 2018). Standing menyebutkan tiga kelompok prekariat, pertama yaitu atavist yang cenderung populis yang menolak migran dan minoritas; kedua adalah nostalgic, yaitu prekariat migran dan minoritas; ketiga adalah prekariat terpelajar (educated precariat) yang secara kualifikasi memenuhi sektor pekerjaan yang stabil tetapi tidak bisa masuk ke dalamnya (Standing, 2014b).
Tulisan ini menggunakan kategori yang ketiga, yaitu mahasiswa pascasarjana yang melakukan pekerjaan dengan jaminan kerja yang tidak stabil dan mencari pekerjaan lainnya secara simultan untuk memenuhi penghidupan.
Objektifikasi Mahasiswa Pascasarjana dalam Social Gaze
Lulusan pascasarjana dianggap harus bisa bekerja dengan gaji tinggi atau setidaknya menempati kelas sosial lebih atas dari mereka yang berkualifikasi pendidikan di bawahnya. Hal ini juga terkait dengan slogan yang populer di negara Selatan, bahwa pendidikan adalah jendela mobilitas vertikal bagi mereka yang berasal dari kelas sosial menengah ke bawah agar bisa mengubah kondisi sosio-kultural yang selama ini menjerat langkah untuk bisa berdaya. Terkadang, individu yang berasal dari kondisi sosio-ekonomi menengah ke bawah harus berupaya lebih keras daripada mereka yang sudah “on the track”.
Untuk bisa dilihat sebagai lulusan pascasarjana yang berhasil, setidaknya terdapat tiga tahapan ideal yang harus dilalui dalam masa transisi kuliah kerja, yaitu menyelesaikan studi tepat waktu, mencari pekerjaan, dan bekerja (Ng et al., 2019). Maka, jika ada pengangguran intelektual, itu bakal menjadi pembahasan hangat termasuk di media massa. Adanya komparasi dengan para lulusan luar negeri turut memperparah kesenjangan yang ada.
Para lulusan pascasarjana ini, selain persaingan mendapatkan kerja yang semakin berat, juga dihadapkan dengan situasi sosial yang menjadikan “S2” sebagai simbol pencapaian dan seyogianya berada di level yang lebih tinggi dibandingkan sarjana. Untuk bisa menavigasikan ketidakselarasan antara hasil kerja dengan kebutuhan hidup, para prekariat ini harus berimprovisasi karena pendapatan dari satu sektor belum tentu cukup untuk bisa menutupi kebutuhan (Standing, 2014a). Nyatanya di Indonesia jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia untuk para lulusan S2 tidak sebanding dengan ekspektasi yang diharapkan dari peningkatan kaum pseudo-akademik ini.
Individu-individu yang sedang menempuh studi lanjut ini mengalami objektifikasi secara kolektif. Buktinya, momen-momen yang seharusnya memperkokoh rasa intim dalam institusi keluarga seperti hari raya keagamaan dan selebrasi hari-hari besar lain menjadi ancaman psikologis bagi mereka yang dianggap belum memenuhi kriteria sosial tersebut. Objektifikasi tidak hanya menyasar tubuh atas gender tertentu, melainkan tubuh kolektif yang berada pada situasi yang sama dan diharapkan tunduk pada ekspektasi tertentu.
Mengobjektifikasi adalah menjadikan dan memperlakukan sesuatu yang bukan objek menjadi objek yang bisa digunakan, dimanipulasi, dikontrol, dan diketahui melalui sifat-sifat fisiknya (Calogero, 2022). Dalam sejarahnya, teori objektifikasi lebih dekat dengan kajian psikologi perempuan terutama terkait risiko kesehatan mental. Dalam psikologi gender, tubuh pada dasarnya tidak hanya dikonstruksi secara biologis. Tubuh lahir dan ditempatkan dalam kondisi sosio-kultural tertentu, dan dikonstruksi dalam praktik dan diskursus sosio-kultural (Fredrickson & Roberts, 1997).
Mengapa masyarakat kita tidak membalik lensa objektifikasi ini pada para penyelenggara penyerapan tenaga kerja dan kekuatan raksasa yang berada di baliknya, yaitu negara dan para perusahaan yang bertengger di balik euforia investasi? Mengapa hanya para subjek pencari kerja yang mengalami objektifikasi dari social gaze, sedangkan sistem rekrutmen dan ketersediaan lapangan pekerjaan untuk tenaga kerja terdidik ini dibiarkan seperti lubang menganga menghiasi halaman surat kabar dan berita?
Sociopreneurship sebagai Upaya Menavigasi (Menormalisasi) Kerentanan
Sistem pasar global terkini menyebabkan pembentukan kelas baru yang lebih rentan dari buruh biasa yang muncul saat masa kapitalisme awal dan dianalisis oleh Marx dan kaum marxis setelahnya. Kelas baru ini, prekariat, adalah proletar yang bahkan harus melompat dari satu tempat ke tempat lain untuk bisa mendapatkan upah lain agar bisa hidup keesokan harinya. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai tenaga kontrak, temporary jobs (pekerja sementara), buruh lepas, part-timers (Standing, 2014b).
Konteks kerja di Indonesia tentu tidak bisa disamakan dengan kondisi di Amerika Serikat atau negara lain dengan sistem ketenagakerjaan yang berbeda. Namun, karena integrasi pasar global, tren ini ada di mana-mana. Mahasiswa pascasarjana di Indonesia pun mengalami situasi sebagaimana yang disebutkan Standing mengenai “precarity” atau ‘kerentanan’. Mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Alih-alih berekspektasi bahwa gaji akan linier dengan tingkat pendidikan dan kualifikasi yang dimiliki, mengakses non-wage benefit saja sulit untuk dicapai. Selain berlomba bersaing dengan kualifikasi pendidikan di bawahnya, mereka juga harus menerima bahwa sektor kerja yang dimasuki belum tentu memberikan jaminan pensiun, tunjangan, atau perlindungan medis.
Minimnya penyerapan dan berbagai kerentanan membuat para tenaga kerja intelektual harus membuka sendiri jalan demi bisa bertahan. Ketidakmampuan menyerap tenaga kerja ini kemudian dialihkan dengan memperkenalkan narasi kebermanfaatan untuk lingkungan sosial melalui kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Negara bakal sangat mengapresiasi lulusan beasiswa yang mampu membuka lapangan kerja. Mereka yang mampu membuka lapangan kerja baru dianggap membantu negara dan masyarakat. Para mahasiswa tidak hanya dipersiapkan untuk menjadi calon tenaga kerja, tetapi juga diajarkan untuk bisa menciptakan lapangan kerja.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan itu, namun masalahnya narasi kewirausahaan sosial akan jadi “senjata” untuk membungkam keluh kesah para lulusan pascasarjana yang tidak terserap dalam dunia kerja formal.
Apabila Standing membayangkan improvisasi kaum prekariat ini dengan menjalani double work atau mungkin triple work, (ditambah kerja-kerja lain yang kadang tidak dihitung sebagai labor), kaum prekariat di Indonesia dihadapkan pada narasi kebermanfaatan yang diartikulasikan sebagai social entrepreneurs. Mereka akan mendapatkan citra lebih positif dibandingkan para lulusan lain yang menganggur karena menunggu lamaran di perusahaan impian diterima. Tidak peduli kesulitan melamar kerja itu karena faktor nepotisme yang merajalela atau memang karena ketersediaan lapangan kerja yang minim, para pengangguran intelektual ini akan menanggung beban sosial lebih tinggi dibandingkan pengangguran dari level pendidikan di bawahnya.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Penutup
Kapitalisme telah menciptakan proses panjang yang membawa buruh sampai pada situasi yang semakin rentan. Guy Standing, ekonom dari Inggris, menyebut para pekerja yang semakin rentan itu sebagai prekariat. Mereka telah kehilangan lebih dari yang sudah-sudah. Mereka bahkan teralienasi dari diri mereka sendiri, bahkan sulit untuk sekadar beristirahat, mengakses jaminan, dan modal lain untuk bertahan hidup. Tubuh mereka dipaksa untuk tetap bekerja dalam multi work untuk memenuhi kekosongan non-benefit wage yang tidak bisa diberikan oleh pemberi kerja. Mahasiswa, calon buruh yang dipersiapkan dengan ongkos yang mahal melalui pendidikan, juga bisa bernasib sama.
Asumsi bahwa tingkat pendidikan selaras dengan pekerjaan yang bisa diakses dan menjadi sarana mobilitas sosial membuat antusiasme studi lanjut semakin tinggi. Hal ini ditunjang pula dengan adanya beasiswa. Bagi negara, pendidikan adalah investasi untuk menunjang pembangunan. Namun, sinergitas antara institusi pendidikan dengan kesempatan kerja dan pendayagunaan SDM dalam sektor-sektor strategis masih senjang cukup signifikan. Situasi itulah yang membuat dilematis situasi mahasiswa pascasarjana. Mereka adalah calon buruh intelektual yang mengalami objektifikasi dalam social gaze yang mengekspektasikan mereka untuk menempati posisi-posisi salariat yang aman secara finansial maupun non-finansial.
Kebuntuan kesempatan kerja dan sistem ketenagakerjaan yang inklusif bagi segmen tenaga kerja yang beragam seolah ditutup dengan narasi “socio-entrepreneurship” yang menempatkan para pelakunya sebagai subjek yang menjadi agen perubahan. Hal ini menandakan bahwa prekariat di Indonesia, selain mengalami objektifikasi, juga dinormalisasi. Mereka diberi pilihan, antara menjadi pengangguran intelektual atau menavigasikan kondisi kerentanan dengan menjadi social-entrepreneur. Penavigasian semacam ini, sebuah upaya kreatif untuk menambal sulam non-wage benefit yang tidak bisa didapat dari pekerjaan yang bersifat nonformal, belum muncul dalam improvisasi yang dibahas oleh Standing.
Referensi
Calogero, R. (2022). Objectification theory, self-objectification, and body image. Ensyclopedia of Body Image and Human Appearance, 2, 574–580. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-384925-0.00091-2
Campbell, C. (1982). A Dubious Distinction? An Inquiry into the Value and Use of Merton’s Concepts of Manifest and Latent Function. American Sociological Review, 47(1), 29. https://doi.org/10.2307/2095040
Eckelt, M., & Schmidt, G. (2015). Learning to be precarious – The transition of young people from school into precarious work in Germany. Journal for Critical Education Policy Studies, 12(3), 130–155.
Habibi, M., & Juliawan, B. H. (2018). Creating Surplus Labour: Neo-Liberal Transformations and the Development of Relative Surplus Population in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 48(4), 649–670. https://doi.org/10.1080/00472336.2018.1429007
Ng, W. H., Menzies, J., & Zutshi, A. (2019). Facilitators and inhibitors of international postgraduate students’ university-to-work transition. Australian Journal of Career Development, 28(3), 186–196. https://doi.org/10.1177/1038416219845392
Standing, G. (2014a). The Precariat : The New Dangerous Class. Bloomsbury Academic.
Standing, G. (2014b). The Precariat. Contexts, 13(4), 10–12. https://doi.org/10.1177/1536504214558209
Standing, G. (2018). The Precariat: Today’s Transformative Class? Development (Basingstoke), 61(1–4), 115–121. https://doi.org/10.1057/s41301-018-0182-5
Wirman, E. R. (2021). Normalisasi Prekarisasi dalam Neoliberalisme di Indonesia: Memahami Program Magang pada Masa Pandemi. 1(01), 119–140.
Wulansari, A. D. (2021). Indonesia’s Cheap Wages Regime: The Political Economy of Minimum Wages Policy under Jokowi Presidency. Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences, 14(3), 417–444. https://doi.org/10.1007/s40647-021-00324-8
Nuzul Solekhah adalah peneliti di Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas di Badan Riset dan Inovasi Nasional. Saat ini sedang menempuh kuliah di Magister Antropologi UGM.