Ilustrasi: Ilustruth
DANA DESA diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan pengalokasiannya juga diatur dalam sebuah peraturan/regulasi tersendiri. Dana desa di satu sisi dianggap sebagai sarana yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin perdesaan, tapi di sisi lain banyak juga riset-riset yang menunjukkan bahwa prioritas pembangunan infrastruktur di desa dan juga alokasi dan distribusi dana desa dikuasai oleh kelas-kelas sosial tertentu sehingga tidak efektif. Juga banyak kekurangan dan masalah lain yang ditimbulkan dari dana desa itu sendiri.
Untuk mencari tahu lebih jauh soal ini, Februari lalu F. Fildzah Izzati dari IndoPROGRESS TV (IPTV) berbincang-bincang dengan Arie Sudjito, peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, dan Muhtar Habibi, dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga bergiat di IISRE Indoprogress. Berikut petikannya.
F. Fildzah Izzati (FFI): Bagaimana pandangan masing-masing narasumber mengenai dana desa yang perdebatannya tidak pernah usai hingga saat ini?
Arie Sudjito (AS): Kebutuhan mengenai UU Desa sudah meningkat sejak 2007. Dalam diskursus demokrasi lokal, lahirnya UU 6/2014 yang disahkan pada 18 Desember 2013 itu pergulatannya panjang.
UU Desa diperlukan sebagai piranti konstitusional yang diharapkan akan menjadi dasar dari penyelenggaraan reformasi desa yang telah lama mengalami “mutilasi” secara politik karena pola-pola yang dikembangkan selama ini cenderung tidak menghadirkan keadilan. Jadi UU Desa itu salah satu strategi.
Di dalam UU Desa ada komponen dana desa. Membaca dana desa harus diletakkan dalam tiga kerangka. Pertama, rekognisi. Kedua, dibutuhkan otorisasi sebagai konsekuensi dari rekognisi. Ketiga, redistribusi. Redistribusi dimaksudkan agar ada resource yang dibagikan karena otonomi daerah tidak menjawab masalah desa. Ini karena pola desentralisasi masih top-down.
Dana desa harus dibaca sebagai politik anggaran. Tapi [ada] jebakan teknokrasi dan administrasi melalui PP [60/2014 tentang Dana Desa]. PP tentang Dana Desa cenderung teknokratik. [Dalam] PP, administrasi ini sangat dominan, membuat desa terjebak pada administrasi daripada politik anggaran.
Politik anggaran itu maksudnya dana desa harus menjadi arena untuk membangun kesadaran politik tentang alokasi penanganan kemiskinan, politik tata ruang, kontrol publik, dan demokratisasi. Pengaturan politik anggaran itu menjadi perdebatan karena PP turunan dari UU Desa cenderung mengalami teknokratisasi.
Mengapa [dana desa] cenderung [hanya digunakan untuk] infrastruktur? Itu karena dulu memikirkan desa tidak hanya Jawa. Tidak semua [pembangunan] infrastruktur itu salah, tapi harus ada politik anggaran, produknya musdes (musyawarah desa). Maka RPJM Desa sebagai manifesto politik pembangunan di desa itu harus dipilari oleh partisipasi, bukan teknokrasi.
Satu lagi, jangan mencurigai orang desa. Di desa ada fakta mengenai oligark, patron-klien, pencari rente, itu banyak sekali. Tetapi sekali lagi, ini adalah set up awal yang mengharuskan ada pendamping desa.
FFI: Kalau bung Habibi bagaimana memandang Dana Desa ini?
Muhtar Habibi (MH): Saya melihat dana desa sebagai intervensi sosial di perdesaan. Kalau kita amati, dana desa ini tidak/bukan suatu program yang baru di Indonesia. Sebelumnya, pada 1998-2006, ada program pembangunan kecamatan, kemudian 2007-2013 ada PNPM Mandiri Desa.
Ada tiga leksikon kunci di situ. Pertama, melihat komunitas desa sebagai komunitas yang cenderung homogen. Itu menjadi dasar awal dari intervensi sosial di perdesaan. Pengambil kebijakan seringkali melihat desa sebagai komunitas yang homogen, seolah di desa hanya ada gotong royong, tidak ada eksploitasi di desa.
Dengan komunitas dipahami seperti itu, ketika diberi bantuan dari luar, maka bantuan itu bisa digunakan untuk kesejahteraan bersama dan di situ tinggal mengembangkan bagaimana tata governance-nya, kapasitas building diperkuat, kemudian modal sosialnya diperkuat juga, agar semakin baik.
Leksikon ini, community, kemudian partisipasi dalam rangka memperbaiki tata governance di desa, dan modal sosial, sebenarnya dari segi pembangunan tidak luput dari intervensi lembaga pembangunan global yang sangat powerful, yaitu Bank Dunia.
Di akhir 1980-an, strategi pembangunan neoliberal sangat pro pasar, anti negara, dan top down. Di tahun 1990-an terjadi pergeseran [karena] kritik yang dahsyat terhadap pembangunan Bank Dunia. Bank Dunia mulai mengadopsi beberapa kritik tadi, yang tadinya sangat anti negara sekarang berubah. Sentimen anti negara menjadi berkurang. Bank Dunia mulai mengadopsi program-program pembangunan yang justru mengandalkan peran negara termasuk intervensi sosial di perdesaan.
Sentimennya menjadi “negara penting untuk pertumbuhan ekonomi” karena diinspirasi oleh neoinstitusional ekonomi, yaitu ekonomi kelembagaan, yang intinya kira-kira untuk bisa membuat pertumbuhan ekonomi yang memadai itu butuh institusi di luar pasar itu sendiri. Misalnya dibutuhkan negara, sistem sosial yang baik, sistem budaya yang mendukung itu, kemudian tatanan pengelolaan pemerintahan yang lebih baik.
Bank Dunia juga mulai menggeser strateginya menjadi lebih ke community driven development (CDC). CDC ini menjadi semacam pembangunan yang lebih bottom up, seperti partisipasi, kemudian demokrasi di tingkat lokal. Ini yang diadopsi Bank Dunia, menjadi semacam leksikon yang penting di tahun 1990-an.
Yang akan saya kritisi lebih lanjut, ini partisipasinya substantif atau formalitas? Dalam demokrasi liberal seperti ini, apakah partisipasi yang formal itu punya dampak yang signifikan terhadap upaya perbaikan orang paling lemah di perdesaan?
Yang tidak berubah dari Bank Dunia sejak 1980-an sampai 1990-an adalah pendekatan yang sangat teknokratik dan antipolitik. James Ferguson menyebutnya anti politik, Tania Li menyebunya teknikalisasi masalah. Seolah-olah, kalau duit datang, komunitas yang dibayangkan itu bisa kerja sama dengan baik, maka mereka bisa makmur bersama. Persoalannya tinggal ada enggak political will dari elite setempat untuk membuat kelembagaan yang mumpuni untuk memfasilitasi perkembangan lokal tadi.
Bagi orang yang punya perspektif ekopol seperti Tania Li, Vedi Hadiz, atau termasuk saya sendiri, akan meragukan asumsi-asumsi seperti itu (bahwa masyarakat desa itu homogen) karena tentu saja pembangunan tidak berada dalam ruang hampa. Terjadi di sebuah masyarakat yang ada pertarungan kekuasaan, yang ada ketidaksetaraan power. Kita harus memperhitungkan dinamika kekuasaan ini ketika mau memperhitungkan gagal/berhasilnya sebuah proyek pembangunan.
Tahun 1990-an ke sini, orang-orang menyebut post-Washington Consensus. Ada community, social capital, public space, yang kemudian jadi mantra dan berlanjut ke Indonesia juga. Tadi saya sebut ada program untuk kecamatan, PNPM, dan dana desa. Itu punya ketiga hal itu.
Problemnya adalah, karena cenderung teknikalisasi masalah, dia abai terhadap dinamika kekuasaan yang ada di desa. Meskipun mungkin Mas Ari menyinggung itu adalah langkah awal yang bisa dilakukan, tapi apakah langkah awal ini punya dampak yang signifikan terutama bagi pemberdayaan orang-orang yang lemah di desa? Atau selama ini desa akhirnya dibajak [dan] dinikmati oleh orang-orang yang sudah terlanjur powerful?
FFI: Saya ingin ke Bung Ari dulu, tentang politik anggaran tadi. Memang pada awalnya dana dewa ditujukan untuk pembangunan infrastruktur yang tidak merata di wilayah luar Jawa terutama. Tapi, dalam kenyataannya, dari beberapa data yang saya temukan, misalnya di NTT, dana desa ternyata tidak berhasil mencegah permasalahan kesehatan, yaitu stunting. Kemudian, adanya peningkatan nilai komoditi di perdesaan, dll. Bagaimana melihat permasalahan yang timbul akibat tidak berjalannya politik anggaran seperti yang Bung Ari sebutkan?
AS: Cara pandang kita mengenai dana desa yang ditafsir sebagai politik anggaran itu kuncinya terletak pada partisipasi. Dari situ ada arena yang disebut dengan musdes, musrembangdes, dst.
Apa yang disampaikan Habibi tadi itu perdebatan lama, awal-awal penyusunan UU desa. Antara yang romantis sama liberal itu tarik ulur. Di satu sisi memelihara social capital lama, cara pandang klasik, dengan mengembalikan romantisme adat; di sisi lain ingin mengubah, seolah desa ini totalitas.
Kita dalam posisi transformasi. Debat mengenai perencanaan top down sudah tuntas dan kita membaca Indonesia itu dengan pluralitas desa yang beragam, ditandai oleh karakter. Adat harus kita bela, tapi dengan cara apa? Tidak sekadar meromantisasi soal social capital itu.
Relokasi kuasa yang membuat ketimpangan kekuasaan itu harus kita pecahkan. Kata kuncinya harus ada desentralisasi kuasa politik. Politisasi desa itu harus ditandai oleh memaknai dana desa sebagai arena perebutan kuasa–dan di situ perebutan pengaruh.
Dulu, yang namanya PPK, desainnya zamannya SBY, dianggap sukses. PPK itu lahir dari proses konsolidasi global. Dulu itu desa hanya jadi lokasi, tidak pernah jadi subjek. Dana desa itu antitesis manajemen politik yang selama ini dilakukan–pembangunanisme. UU Desa itu dirancang sebagai upaya untuk mengonsolidasi dengan pendekatan politik anggaran. Justru ini (dana desa) antitesis atas teknokratisasi berlebihan yang dilakukan dari dulu. Tidak ada pembuktian yang mengatakan desain UU Desa itu teknokrasi.
Pendampingan desa, misalnya, lahir dari proses-proses politisasi desa dari bawah. Sementara pendampingan yang sekarang atau era-era awal itu, apalagi sebelum UU Desa, termasuk awal-awal UU Desa, itu modelnya dicangkokkan, tidak ada pergulatan ideologis, relasi kekuasaannya seperti apa.
Kalau pendekatan teknokratis mengatasi kemiskinan, itu jelas enggak bisa. Tapi intervensi sejauh ini, dalam pendekatan tertentu, membuat dana desa paling tidak bisa menggerakan ekonomi lokal. Contohnya di Bantul, bagaimana kepala desa bisa menggerakan ekonomi lokal. Soal kemiskinan, mereka teratasi. Buka lapangan kerja di level minimal tingkat desa.
Kemiskinan itu bukan produk desa. Kalau semua hal (penanggulangan kemiskinan) dibebankan pada dana desa, enggak fair dong. Kemiskinan juga produk dari ketidakadilan global. Bahwa ada perangkat desa yang korupsi, harus kita atasi. Caranya dengan apa? Harus ada politik desa. Bumbes dirancang sebagai penggerak ekonomi, faktanya masih formalisasi, itu [juga] harus kita koreksi.
Kalau menghubungkan UU Desa dengan SDGs dsb, jangan, terlalu berlebihan. Justru pendekatan dana desa yang terkonsolidasi itu counter terhadap apa yang disebut dengan PPK, PNPM, dsb.
FFI: Iya, UU Desa hanya bagian dari yang besar tadi dan tidak bisa semuanya ke UU Desa. Tapi bahwa terdapat 72 ribu desa yang dapat dana ini kan juga jumlah yang besar dan perlu diperbincangkan.
Saya ingin ke Bung Habibi. Tadi, kan, kuncinya partisipasi. Sementara seperti yang kita tahu, partisipasi tidak bisa dilepaskan dari konteks dinamika kekuasaan yang ada di desa itu sendiri. Lalu gimana sih wajah partisipasi di desa itu dalam kaitannya dengan dinamika kekuasaan dan juga dengan formasi kekuasaan yang ada di desa?
MH: Kebetulan saya dan kolega sedang menulis. Kami meneliti di sebuah desa di sebelah selatan Jawa Tengah. Nanti bisa cek argumen lebih lengkapnya di situ. Di situ kami ingin berargumen bahwa demokrasi atau partisipasi sifatnya formal. Itu sama sekali tidak membantu bagi kalangan kelas pekerja di perdesaan untuk memperoleh bagian dana desa yang signifikan.
Saya akan mulai dengan mengidentifikasi struktur kelas yang ada di perdesaan yang saya dan kolega saya teliti. Pertama, kelas penguasa di desa adalah para petani kapitalis, petani majikan. Mereka punya tanah di atas 0,6 ha, enggak pernah bekerja untuk orang lain dan dia selalu mempekerjakan buruh upahan di ladang/sawahnya. 0,6 ha ini ternyata sudah luar biasa di desa karena desa ini produktivitasnya itu dua lipat dari rata-rata nasional.
Mereka ini hanya empat keluarga trah yang sangat berkuasa, sudah menguasai kontestasi pertarungan kepala desa selama hampir tiga dekade terakhir. Basis kekuasaan mereka adalah kepemilikan lahan terutama sawah yang dimiliki sejak nenek moyang.
Ketika mempunyai tanah, kemampuan ekonomi, punya jabatan kepala desa, termasuk menguasai jabatan-jabatan kepala urusan termasuk sekdes, mereka bisa menentukan siapa ketua bumdes-nya, BPD-nya. Dari penelitian saya, orang-orang sekitar mereka bahkan ada hubungan darah dari si kepala desa itu. Setelah menguasai BPD, susunan bumdes, mereka tinggal menyusun aturannya. Mereka men-set up aturan tentang dana desa–akan tergantung pada mereka.
Misalnya yang paling mencolok aturan bumdes terkait investasi. Di situ ada aturan bahwa investasi bagi kepala desa boleh sampai Rp 25 juta, sekdes dan kaur-kaurnya (kepala urusan) mungkin Rp 10-15 juta. Sementara orang biasa yang di luar jangkauan itu hanya Rp 5 juta dengan pembagian keuntungan sekitar 5%. Orang yang bisa berinvestasi di bumdes, yang Rp 5 juta ini, pertama-tama, hanya orang biasa.
Orang-orang buruh tani, yang enggak punya tanah atau hanya secuil, jangankan Rp 5 juta, Rp 200-300 ribu untuk bertahan hidup saja sulit. Jadi mereka tidak mungkin bisa terlibat dalam investasi. Yang bisa terlibat hanya petani kapitalis atau petani mandiri atau secara konseptual saya menyebutnya petty commodity producer , yaitu mereka yang tidak bekerja pada orang lain tapi tidak mempekerjakan orang lain. Tanahnya 0,3-0,6 ha.
Bisa jadi BPD, kepala desa, ini kan perlu duit, resources, dan riset-riset politik sudah banyak menjelaskan bagaimana untuk menjadi kepala desa perlu miliaran dll.
Sementara petani kelas pekerja, tanahnya di bawah 0,1 ha pasti akan bekerja sepanjang tahun. Dengan hasil dari tanah segitu tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Ini yang membuat mereka jadi kelas pekerja dan tidak pernah bisa menguasai jabatan desa yang penting. Bahkan ketua RT, RW, dikuasai oleh petani mandiri, tidak ada kelas pekerja, padahal Ketua RT RW biasanya terlibat dalam pembahasan dana desa.
Kelas pekerja secara umum memang ada jatah dari interest group, kelompok perwakilan orang miskin. Ada beberapa yang mengikuti musdes, membahas dana desa. Tapi yang kami temukan, beberapa orang bahkan semua yang terlibat sebagai perwakilan orang miskin itu adalah orang-orang miskin yang punya hubungan patron klien dengan kepala desanya, termasuk tim suksesnya. Orang-orang miskin inilah yang bekerja secara reguler kepada petani kapitalis ini.
Semua sudah tahu itu sudah diatur, hanya datang ke arena itu. Jadi orang miskin dalam rembug desa secara formal dilibatkan. Partisipasi menjadi formalitas saja. Ada orang miskin, tapi enggak akan bersuara dan ketika bersuara kalah dengan orang-orang yang mendominasi di arena itu yang tadi sudah saya jelaskan: yang punya tanah, yang mengendalikan produksi pertanian di desa.
FFI: Dengan dinamika kekuasaan yang telah dijelaskan Bung Habibi tadi, bagaimana dong politik anggaran bottom up yang tadi Bung Ari bilang itu mungkin untuk dilakukan?
AS: Cerita mengenai penguasaan politik berbasis kelas-kelas oleh penguasaan ekonomi itu sama juga [seperti] cerita pilkada. Itu sudah terjadi lama, sebelum UU Desa juga begitu. Kalau cerita itu ya sejak tahun era patron klien seperti itu.
Pertanyaannya apakah dana desa bisa mengubah itu? Apakah UU desa bisa mengubah formasi politik? Sekarang anak-anak muda mulai jadi kepala desa, pembabakan awal menunjukkan gejala itu. Kemudian di Sleman itu bukan incumbent yang menang.
Gerak ekonomi baru yang ditumbuhkan dana desa melalui politik anggaran melahirkan tumbuhnya anak-anak muda kembali ke desa, memberi perhatian bahwa ekonomi desa harus diselamatkan. Misalnya di NTT, ada seorang kepala desa membuat gerakan membangun partisipasi dengan mengolah lahan kritis.
Seberapa besar dana desa menjawab problem kemiskinan, persentasenya, agregatnya? Kalau tumpuannya dana desa, enggak mungkin menjawab beban kemiskinan 70 ribu sekian desa. Tapi faktanya dana ini memberi ruang untuk menciptakan sesuatu. Dulu ibu-ibu PKK enggak pernah dapat duit sebelum dana desa.
Membaca partisipasi tidak formal saja. Fakta pengambilan keputusan di warung-warung, keputusan informal, itu, kan, banyak sekali. PR kita soal rent seeker perlu dipecahkan di desa.
Mengajari orang protes dengan dana desa itu lebih penting dari soal pembagian merata. Yang kita butuhkan dari dana desa bukan pemerataan, tapi keadilan. Pengambilan keputusan soal itu dibutuhkan partisipasi warga. Faktanya, ada warga yang aktif ada juga yang tidak. Jangankan di desa, memangnya di kabupaten enggak?
Jadi, saya kira terlalu naif untuk mengatakan bahwa terjadi enclave-enclave baru di desa. Kita harus adil. Dorongan untuk membuat terobosan untuk meningkatkan kualitas partisipasi itu matter dan mengurangi pendekatan teknokratis. Maka RPJM desa jangan sampai terjebak urusan administrasi. Tugas kabupaten memfasilitasi desa belajar bareng.
Ini ada data menarik, jangan menyepelekan desa. Banyak sekali sekolah anggaran yang dikerjakan teman-teman CSO, belajar menyusun perencanaan, memilah-milah, data yang tepat apa, membuat data desa lebih kredibel. Dan saat ini informasi juga sudah menjadi power baru, dana desa ini jumlahnya berapa, misalnya, sudah bisa diakses siapa saja dan dari mana saja.
FFI: Soal partisipasi ini menarik ya. Tadi Bung Habibi bilang bahwa selama ini partisipasi yang ada itu partisipasi formal, sementara Bung Ari bilang partisipasi ini harus ditransformasi. Dengan dinamika kekuasaan yang tadi Bung Habibi bilang, gimana pandangan Bung Habibi tentang politik anggaran yang melibatkan partisipasi warga ini? dan transformasi seperti apa yang mungkin terjadi di perdesaan dengan kondisi seperti itu?
MH: Tadi Bung Ari menyebutkan politisasi sebagai salah satu tujuan dana desa, jadi warga lebih melek politik, dan berpartisipasi dalam makna apa pun untuk terlibat dalam kegiatan yang ada di desa. Itu barangkali adalah salah satu aspek yang berbeda dari zaman Orba yang sangat otoritarian. Tapi ini sudah berlangsung sejak masa Soeharto, ketika orang sudah mulai melek ke arah situ.
Tapi yang ingin saya lihat, politisasi ini, yang paling melek politik lagi-lagi adalah orang-orang yang punya akses ekonomi, punya resources yang kemudian memonopoli resources yang ada di desa. Sementara orang-orang kelas pekerjanya sangat skeptis karena mereka sadar bahwa, kenapa dari ribuan yang misalnya hanya dipilih tiga atau lima, hanya orang-orang itu, yang bekerja untuk kepala desa dan jajarannnya.” Ini yang membuat orang skeptis justru dengan dana desa, dengan proses politiknya.
Mereka merasa powerless dan merasa nggak ada yang bisa dilakukan karena semuanya sudah ditentukan.
AS: Ada enggak data yang bisa kau tunjukkan tentang powerless yang terjadi barusan?
MH: Ini sudah saya submit mas.
AS: Mana? Coba sebutin aja.
MH: Maksudnya?
AS: Saya mau cerita begini…
FFI: Mungkin bisa disebutkan saja Bung Habibi datanya?
MH: Yang saya maksud powerless adalah mereka merasa tidak punya kekuatan apa apa untuk mempengaruhi apa yang terjadi di desa itu.
AS: Bisa enggak disebut contoh dana desa yang membuat dia powerless?
FFI: Mungkin bisa diberikan contoh ilustrasi kasusnya?
AS: Saya memberikan contoh, FITRA punya sekolah-sekolah anggaran. Di Bima, Grobogan, di beberapa tempat, partisipasi publik itu berjalan misalnya memikirkan anggaran untuk kelompok rentan, itu dilakukan, terjadi konsensus. Kedua, sejak kapan awal Reformasi terjadi politik anggaran? enggak banyak. Itu terjadi sejak dana desa. Sebelumnya PPK itu enggak ada yang kritis. Politisasi anggaran lahir dorongannya ketika ada dana desa. PPK rata-rata menerima, sebagai anugerah.
FFI: Bung Habibi, mungkin bisa diberikan contoh ketidakberdayaan kelas pekerja dalam mengakses politik anggaran yang ada di desa, misalnya karena bumdes-nya dikuasai kelas tertentu. Mungkin bisa dijelaskan bagaimana masuknya petani kapitalis ke dalam bumdes [yang] memarjinalkan petani-petani kecil lainnya? Mungkin bisa dijelaskan gambaran konkretnya?
MH: Sebelumnya, kan, sudah saya jelaskan bagaimana bumdes dikuasai petani majikan dll. Sudah saya jelaskan proses dan mekanismenya. Orang-orang miskin yang masuk pun adalah mereka yang bekerja untuk petani majikan yang punya hubungan patron-klien dengan petani majikan. Sementara yang tidak, mereka inilah yang tereksklusi dan mereka inilah yang merasa program-program pembangunan tidak bermanfaat buat mereka. Mereka hanya bisa ngrasani di belakang “oh itu hanya dinikmati pak ini..” dll.
FFI: Berarti kalau kondisinya seperti itu, transformasi seperti apa yang harusnya terjadi agar tidak ada lagi ketimpangan seperti itu?
MH: Studi-studi politik misalnya dari Aspinall dll menyebut terjadi elite gap, menurunnya demokrasi yang lebih radikal. Mereka saran dan rekomendasinya ke arah pemberdayaan partisipasi yang lebih substansial. Tapi bagi saya yang menggunakan kacamata ekopol akan melewati yang seperti itu. Ilmuwan politik seperti Aspinall jarang sekali menyinggung basis dari kekuasaan orang-orang elite desa. Karena basis mereka ilmuwan politik, maka jarang sekali kepala desa digambarkan punya tanah berapa–karena fokusnya ke politik itu adalah dia bertarung menggunakan jaringan apa, resources-nya apa. Enggak dijelaskan, ini kepala desa punya tanah berapa, apa dedikasinya di pertanian yang memungkinkan, kok dia dulu bisa menempati itu, sumber daya ekonomi macam apa yang dia miliki.
Kalau orang yang berangkat dari ekopol punya pandangan yang berbeda. Kalau akar dari kekuasaan di desa itu adalah sumber-sumber ekonomi dan yang paling penting salah satunya adalah kepemilikan tanah, maka kira-kira saya akan berargumen, tanpa ada reorganisasi, restrukturisasi kepemilikan tanah, termasuk produksi pertanian di desa, program sosial apa pun, termasuk dana desa, hanya akan menjadi “hadiah” bagi kelas penguasa desa. Kenapa? Karena dengan penguasaan ekonomi, menguasai jabatan politik, mampu menciptakan aturan yang menguntungkan mereka dan itu meninggalkan sebagian besar orang yang tidak mendapatkan apa pun.
FFI: Apakah ada kaitannya dengan dana desa ini Bung Habibi? Maksudnya, apakah perubahan tersebut bisa dimungkinkan dengan kehadiran dana desa ini?
MH: Kalau dana desa logikanya memberikan dana, mereka punya medan pertarungan yang sangat jomplang, dengan majikan menguasai, saya agak skeptis politisasi itu hanya akan mempolitisasi orang-orang yang sudah berkuasa saja, sementara orang-orang yang selama ini memang tidak punya power di desa itu malah justru makin apatis dengan apa yang terjadi.
FFI: Kalau menurut Bung Ari, apakah dana desa ini mungkin digunakan untuk mengubah, misalnya, ketimpangan kepemilikan lahan, mengubah struktur, melalui politik anggaran yang partisipatif tadi?
AS: Fokus saya soal transformasi desa. Pandangan Habibi tadi, kan, pandangan strukturalis lama–melihat bahwa kuasa politik itu hanya formal. Sekarang masyarakat punya pengetahuan, informasi. Dana desa ini adalah bagian dari argumen penting, bukan uangnya, tapi proses pembentukan konsensus, politik anggaran, itu bagian dari pendidikan politik. Itu penting dan bukan omong kosong. Belum semua, iya.
Saya ambil contoh beberapa praktik baik pendidikan politik melek anggaran yang dikerjakan oleh FITRA dan teman-teman CSO yang lain. Itu isu-isu yang membawa isu kemiskinan pada isu anggaran.
Sekarang-sekarang ini banyak anak-anak muda pintar jadi perangkat desa. Sudah banyak. Itu menjadi penanda penting. Saya memberi catatan serius soal ini. Kalau dana desa dianggap enggak berguna, saya kritik itu. Dana desa tetap berguna paling tidak dia ingin menunjukkan bahwa ada pengakuan negara terhadap desa. Rekognisi, otorisasi, dan redistribusi.
Pandangan kita jangan strukturalis klasik yang melihat power hanya bekerja pada ranah formal. Bukan hanya itu. Pengetahuan itu, sistem informasi desa itu, terdistribusi. Orang bisa mengkritik kok lahan kritis yang dikuasai sekelompok orang. Kalau cara pandang melihat desa seperti itu, ketinggalan zaman.
Priayi-priayi desa ini tidak seperti tuan tanah dulu. Sekarang ini anak-anak muda yang punya inovasi teknologi bisa jadi power baru. Ini poststruktural. Maksud saya, saya tidak mengabaikan yang harus kita atasi sekarang ini adalah rent seeker dalam berbagai hal: pangan, teknologi, SDA. Caranya desa harus transparan, dikelola dengan teknologi.
FFI: Sebelum ke teknologi, tadi Bung Ari bilang, sebenarnya itu dimungkinkan karena kekuasaan tidak seperti yang kaku. Saya ingin bertanya ke Bung Ari, ada tidak sih dana desa yang dipergunakan untuk mengatasi ketimpangan kelas yang tadi Bung Habibi bilang, misalnya ketimpangan penguasaan lahan? Ada enggak dari risetnya Bung Ari, dana desa pernah dialokasikan untuk itu?
AS: Pertama, normatifnya dana desa itu menggerakkan ekonomi lokal. Beberapa riset yang kami kerjakan menunjukkan bahwa sumber daya desa baru yang disebut dana desa ini awal, sebelum muncul perpres dan pasca soal infrastruktur, dialokasikan misalnya untuk mendidik masyarakat, misalnya pendidikan masyarakat dari infrastruktur jadi aktivitas non infrastruktur. Dan penguasaan lahan sudah mengalami perubahan luar biasa dan yang disalahkan bukan dana desa tapi pentingnya proteksi negara atas sumber daya desa.
Aset desa mestinya dikembalikan pada desa. Tapi ini tergantung komitmen negara untuk melakukan perlindungan itu. Pemikiran strukturalis lama itu harus kita akui dalam sejarah lama. Tapi, pemilihan kepala desa sekarang ini, misalnya yang kaya itu, itu kita lihat habisnya miliaran, kan mencontoh pilkada. Apakah ini hubungannya dengan dana desa, ya enggak dong.
FFI: Singkatnya, berarti dari 6 atau 7 tahun pelaksanaan dana desa ini, ada enggak sih perubahan transformasi yang tadi Bung Ari bilang? Yang struktural ya. Sejauh ini ada enggak konkretnya perubahan itu, atau sama saja strukturnya timpang terus?
AS: Kalau kuasa politik itu dipahami tidak hanya sekadar tanah, formasi sosial desa akibat politisasi desa melalui UU Desa telah mengubah formasi itu. Dan seolah-olah hanya seperti dulu, enggak juga. Bahwa masih ada penguasaan-penguasaan kepala desa, para juragan itu, ada. Kayak misalnya soal tembakau. Ya enggak mungkin kasus tembakau, beberapa tempat di desa, diserahkan pada soal dana desa. Tapi bahwa instrumen membekali mereka untuk tahu perlunya kita mewujudkan keadilan, ya itu terjadi.
Beberapa kasus yang kami gambarkan, terjadi pergeseran formasi sosial, iya. Tapi bahwa pemerintah harus me-reform regulasinya supaya beban yang dialami oleh desa bisa dipecahkan sebagian oleh dana desa, tapi sebagian yang lain harus butuh intervensi-intervensi lain yang terutama yang membuat ketergantungan itu tidak semakin tinggi, contohnya tadi soal pangan, soal reforma agraria itu tugas negara. Nah bongkar itu perspektifnya negara untuk mendorong keadilan agraria. Kalau keadilan agraria dihubungkan dengan dana desa, enggak fair.
FFI: Saya berhenti di pernyataan Bung Ari tadi ada perubahan formasi sosial. Saya ingin bertanya ke Bung Habibi, apakah benar ada perubahan formasi sosial seperti yang Bung Ari bilang? Karena dari riset yang Bung Habibi dan Bung Ari lakukan sepertinya ada perbedaan.
Nanti dari bung Habibi saya akan ke Bung Ari untuk closing statement secara singkat dan nanti saya akan ke Bung Habibi untuk closing statement juga.
MH: Sebaiknya kita perlu membedakan antara formasi kelas sosial dengan formasi generasi. Mas Ari menyebut banyak kepala desa dari generasi muda dan Mas Ari menganggapnya sebagai perubahan formasi sosial. Kalau dari riset saya, lagi-lagi, generasi sosial yang dimaksud generasi baru ini, ya, sebenarnya mereka dari formasi lama. Mereka ini anaknya kepala desa di satu wilayah, di Solo atau Semarang atau di Jogja. Begitu lulus kuliah, nyalon dari kades didukung penuh oleh bapaknya yang punya tanah 1,1 ha dan itu bapaknya, ya, petani kapitalis tadi. Dengan modal itu dia bisa jadi kepala desa.
Saya kira kurang produktif kalau kita men-judge pendekatan orang, ekonomi politik yang dianggap klasik, lama, padahal ini di jurnal-jurnal internasional masih sangat banyak dipakai untuk menjelaskan apa yang terjadi hari ini di perdesaan. Itu ada jurnal Peasant Studies, Agrarian Change, yang impact factor-nya tinggi-tinggi semua. Kalau itu dianggap tidak laku lagi, gimana? Di tingkat global masih sangat dipakai.
AS: Bukan itu, asumsimu itu.. (memotong pembicaraan)
FFI: Sebentar, Bung Habibi selesaikan dulu, ya, nanti kan Bung Ari ada gilirannya.
AS: (tetap bicara)
FFI: Bung Habibi dulu selesaikan nanti Bung Ari lagi, ya.
MH: Sekarang kita lihat saja, di jurnal-jurnal yang saya sebut tadi, ada itu pendekatan ekopol yang saya gunakan. Dengan mudah kawan-kawan bisa menilai apakah pendekatan yang saya gunakan ini pendekatan lama atau memang pendekatan kontemporer–yang karena Bung Ari enggak setuju kemudian memberi labelnya sebagai pendekatan lama. Saya kira tidak produktif untuk perdebatan ini.
FFI: Iya betul.
MH: Jadi bagi saya, formasi sosialnya tidak ada yang berubah. Yang berubah ya generasinya berubah, orang-orang lebih muda, tapi dari keluarga yang sudah berkuasa di situ. Anak-anak kepala desa yang sudah berkuliah kembali ke sana jadi kepala desa, sekdes, kaur, karena orang yang enggak punya enggak mungkin bisa kuliah ke Jogja, Solo, atau Semarang.
FFI: Berarti formasi kelasnya tetap sama ya Bung Habibi?
MH: Iya.
FFI: Pertanyaan terakhir untuk kedua narasumber: Kalau begitu, kalau jawabannya tidak berhenti di dana desa, apa dong hal yang bisa mendorong perubahan sosial di desa? Singkat saja karena waktunya sudah mau habis. Dari Bung Ari dulu nanti baru ke Bung Habibi. Silakan closing statement.
AS: Jadi gini, variasi ekopol, pendekatan-pendekatan ekopol, itu banyak variasi. formasi yang kau bayangkan itu formasi dari pandangan yang dulu. Pandangan ekopol misalnya kita katakan bahwa penguasaan teknologi dan pengetahuan itu penting. Pandangan-pandangan baru yang melihat bahwa para priayi baru di desa itu tidak lagi seperti dulu zamannya Geertz. Saya pelajari itu. Yang mau saya katakan, bahwa penting melihat potret data secara realistis. Kalau orang berasumsi semua lurah itu apakah anak lurah, itu kalau ada temuan beberapa? Kalau kita lihat faktanya sekarang, terjadi pergeseran luar biasa. Itu rata-rata lurah-lurah baru.
Bahwa apakah ini bukan pandangan ekopol, terjadi pertarungan baru bahwa memengaruhi orang itu dengan inisiatif baru. Memperoleh dukungan tidak semata-mata karena dia anaknya lurah, itu enggak juga, itu asumsi. Bahwa dulu berlaku, iya.
Pertanyaannya adalah, apakah kelompok-kelompok baru ini tidak menjadi bagian dari kelompok-kelompok lama? Sebagian iya. Makanya saya katakan, ini kan diskusinya soal dana desa. Apakah dana desa itu bisa mengubah secara totalitas? tidak totalitas. Tetapi dana desa telah mendorong tumbuhnya politik anggaran dan demokratisasi di dalam perencanaan, itu iya. Tapi memberi beban dalam lima tahun mengubah karena dana desa itu kenaifan.
Saya menggunakan pendekatan ekopol dalam artian bahwa yang dialami desa ini adalah rantai dari ketidakadilan. Contoh konkretnya adalah kegagalan Indonesia untuk bargaining pada kelompok-kelompok neoliberal. Itu punya dampak, pada desa. Ini ekopol. Cara baca ekopol itu beragam dan perspektifnya ada gradasi, tidak hitam putih. Teknologi penting untuk mendorong demokratisasi. Teknologi akan menjadi alat dan ini berproses, terjadi artikulasi dan deartikulasi.
Tantangan kita menurut saya adalah reformasi di level kementerian untuk melihat cara pandang ini. Kalau desa diberi beban berlebihan untuk mengubah ketimpangan kelas itu terlalu naif. bahwa ada anak-anak muda mulai banyak membuat inisiatif, itu relevan. Dorongan demokratisasi membuat [warga] desa sekarang tahu ini anggaran untuk siapa, resource ini milik siapa, sudah mulai tahu dan salah satu kata kuncinya adalah bagaimana membuat rakyat terdidik secara politik agar mereka tahu anggaran.
Dana desa jangan terjebak pada administrasi keuangan tapi harus menjadi politik anggaran.
FFI: Oke terima kasih Bung Ari. Silahkan Bung Habibi, masih pertanyaan yang sama dan sekalian closing statement. Karena keterbatasan waktu, dimohon singkat juga, ya.
MH: Jadi saya akan mulai dengan, bahwa tentu saja saya enggak akan bertanya apakah dana desa bisa mengubah, mentransformasi kelas di desa atau tidak. Karena jawabannya sudah jelas bagi saya, yaitu tidak. Dan kalau Mas Ari bisa tadi berargumen bahwa itu akan bertahap, nah ini yang justru, paling tidak dari temuan saya, menunjukkan sebaliknya. Karena problemnya justru dana desa itu memperparah ketimpangan. Jadi bukan sekadar melanggengkan ketimpangan.
Kok bisa? karena dana desa yang bisa dimanfaatkan hanya oleh kelas penguasa tadi. Mereka bisa mengakumulasi dari situ, memperoleh manfaat terbesar dari situ. Mereka memperoleh uang lebih banyak misalnya dengan menjadi pembicara dengan adanya studi banding, kemudian dia bisa mengakumulasi.
Jadi bukan sekadar apakah dana desa ini bisa mengubah formasi kelas atau tidak, karena sudah pasti tidak. Tetapi, justru kita ingin mengatakan bahwa dana desa itu memperparah ketimpangan. Dan kalau memperparah ketimpangan, saya khawatir ke depannya makin sulit untuk memperbaiki kondisi orang-orang terlemah di perdesaan. Karena bagi mereka yang tidak manfaat dari dana desa, mereka akan makin terpinggirkan dan tereksklusi dari pembangunan di desa.
Bagi saya, upaya pembangunan di perdesaan harus selalu berdasarkan pada upaya untuk mengintervensi ketimpangan di perdesaan terlebih dahulu. Jadi bukan dengan mengasumsikan bahwa ketimpangan itu akan bisa dikurangi atau tidak dengan adanya suatu program, tapi sejak awal harus menarget ketimpangan ekonomi terutama karena itu akan menjalar pada ketimpangan politik dan akan menjalar pada ketimpangan siapa mendapatkan apa dari proses pembangunan itu.
Dan itu salah satunya bisa jadi program-program seperti land reform. Reforma agraria barangkali lebih memadai daripada program penggelontoran dana ke desa yang manfaatnya itu hanya dinikmati oleh segelintir orang di desa. Terima kasih.
FFI: Oke terima kasih. Jadi prioritasnya soal ketimpangan, dan ini ada dua pandangan yang berbeda, ya. Menarik sekali.
Terima kasih atas kehadiran dan waktu luang dari Bung Ari dan Bung habibi. Sampai ketemu lagi di Forum IndoProgress berikutnya.
Terima kasih.***