Keluarga Bahagia yang Tidak Benar-Benar Bahagia

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Houston Museum of Natural Science


KELUARGA seperti yang kita kenal sekarang—dengan formasi ibu, ayah dan anak—tampak seperti konsep yang terberi atau ‘begitu adanya.’ Konsep keluarga semacam ini, atau disebut juga dengan keluarga batih (nuclear family), dianggap sebagai kondisi ideal. Ia berbeda dengan konsep orang tua tunggal (single parent), keluarga besar (extended family) atau keluarga dengan beberapa orang tua yang keseluruhannya diterima oleh pandangan umum tetapi sebagai kondisi yang kurang sempurna atau lazim.

Antropolog Amerika Serikat  Lewis H. Morgan dalam buku berjudul Ancient Society; or, Researches in the Lines of Human Progress from Savagery, Through Barbarism to Civilization (1877) menunjukkan bahwa keluarga batih adalah konsep yang tergolong baru. Pada masa ‘kebuasan’ (savagery) atau sekitar 60 ribu tahun yang lalu, bentuk keluarga yang umum adalah keluarga sedarah. Keluarga sedarah adalah kelompok perkawinan yang dipisah berdasarkan generasi. Dalam keluarga sedarah, praktik seksual boleh dilakukan selama masih dalam satu generasi, tetapi dilarang dengan yang berbeda generasi. Semua generasi kakek nenek adalah sekaligus sesama suami istri. Anak-anak mereka, yang menjadi ayah dan ibu bagi cucu-cucu, adalah juga sesama suami istri. Begitu seterusnya turun temurun.

Pada perkembangannya muncul jenis keluarga yang bernama keluarga punaluan. Praktik seksual dalam keluarga ini lebih rumit ketimbang keluarga sedarah dan batasannya lebih banyak. Dalam keluarga punaluan, praktik seksual tak hanya dilarang dilakukan antar generasi, tapi juga antar saudara. Larangan ini diberlakukan secara bertahap, dimulai dari antar saudara dari ibu yang sama sampai akhirnya antar saudara sepupu pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.

Kemudian muncul variasi lain yang disebut dengan keluarga berpasangan. Keluarga berpasangan adalah konsep perkawinan di mana seorang laki-laki memiliki satu perempuan sebagai istri utama di samping istri-istri lain. Sebaliknya, bagi si istri, laki-laki itu merupakan suami yang paling penting di antara suami-suami yang lain. Jadi, dalam periode ini mulai ada laki-laki dan perempuan yang mengikat diri dalam ikatan suami istri, tetapi masing-masing dari mereka mempunyai pasangan lain. Ringkasnya si suami melakukan poligini dan si istri menjalankan poliandri, namun di antara beberapa pasangan tersebut ada yang menjadi ‘prioritas.’


Analisis Engels atas Keluarga Monogami

Konsep keluarga batih dibangun di atas prinsip hubungan yang disebut monogami atau individu yang hanya memiliki satu pasangan. Keluarga monogami ini merupakan ciri penting dan tanda dari dimulainya masa yang oleh Morgan disebut dengan peradaban (civilization).

Friedrich Engels dalam bukunya yang berjudul The Origin of the Family, Private Property and the State (1884) menyebutkan bahwa keluarga monogami ini bukan sesuatu yang ‘alamiah,’ melainkan diawali oleh keinginan pihak laki-laki untuk memproduksi ‘anak-anak ayah’ atau paternity. Paternity menjadi tuntutan karena anak-anak ini didorong untuk menjadi ahli waris dari kekayaan sang ayah dan pemusatan kekayaan pada laki-laki. Dalam perjalanan historisnya, monogami merupakan implikasi dari kecenderungan laki-laki yang mempunyai budak perempuan—yang membuat mereka tidak lagi mempunyai kebebasan untuk melakukan poliandri.

Maka dari itu, lebih tepat dikatakan bahwa monogami dilakukan secara ketat terhadap perempuan—dan tidak serius pada laki-laki—untuk menjaga jalur kepemilikan pribadi yang cenderung patriarkal.

Analisis Engels tersebut berangkat dari penelitian Morgan yang menunjukkan bahwa dalam kondisi perkawinan di masa sebelum peradaban, praktik seksual yang cenderung poligamistik membuat masyarakat menjadi sukar untuk mengidentifikasi ayah dari si anak, sementara ibu yang mengandung dan melahirkan lebih mudah diketahui. Dengan demikian dapat dikatakan juga perkawinan monogami yang berwatak paternity telah menggeser sistem perkawinan sebelumnya yang cenderung menghasilkan ‘anak-anak ibu’ atau maternity.

Engels melihat asal usul pemusatan kekayaan tersebut adalah aktivitas laki-laki seperti penggembalaan, penjinakan dan pemeliharaan hewan ternak. Lama kelamaan laki-laki menjadi terikat pada pekerjaannya dan membuat mereka menjadi pihak yang memiliki ternak itu. Ternak menjadi hak milik pribadi dan komoditas untuk dipertukarkan dengan apa pun yang dianggap sebagai simbol kekayaan—salah satunya budak. Perempuan dalam hal ini boleh menikmati bagiannya, tapi tidak lebih banyak dari laki-laki. 

Premis tersebut membawa kita pada kesimpulan tentang relasi antara penguasaan properti oleh laki-laki dengan perkawinan monogami. Laki-laki merasa terancam jika perempuan tetap pada insting primitifnya untuk menerapkan praktik keluarga berpasangan. Hak ayah tidak hanya diperkenalkan melalui pergulatan supremasi ini, melainkan juga dikukuhkan dan diabadikan. Dengan demikian, hak ibu, yang dalam sejarahnya punya posisi penting dalam masyarakat, disingkirkan pelan-pelan lewat modus perkawinan monogamistik.

Kepemilikan individu dan konfliknya dengan kepemilikan individu lain membuat sistem komunistik dalam masyarakat pelan-pelan luntur. Misalnya, tidak ada lagi pengelolaan tanah secara bersama-sama. Tanah yang tadinya digarap secara komunal kemudian dibagi-bagikan untuk digarap secara pribadi, yang meskipun pada awalnya hanya untuk sementara lama kelamaan menjadi permanen.

Inilah awal mula transformasi masyarakat komunal ke masyarakat individual, yang bertalian dengan transformasi dari keluarga berpasangan ke keluarga monogami. Pada titik ini, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga monogami adalah juga semacam unit ekonomi. 

Konsepsi keluarga dari ruang publik juga semakin kabur dan hilang. Pada rumah tangga komunistik kuno, yang terdiri dari banyak pasangan, tugas-tugas mengatur rumah tangga diserahkan kepada perempuan. Situasi ini membuat perempuan berkontribusi besar terhadap masyarakat luas. Dalam keluarga monogami, hal demikian tidak lagi dilakukan. Pengaturan rumah tangga tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat publik dan diurus bersama-sama. Rumah tangga menjadi semata-mata urusan pribadi dan domestikasi terhadap istri membuat mereka tidak berperan dalam produksi sosial.


Kembali ke Keluarga Batih

Keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, yang dianggap sebagai bentuk kodrati, dapat dianalisis sebagai perpanjangan dari konsep keluarga monogami yang juga bisa dikritisi. Dalam artikel “The Nuclear Family Was a Mistake” (2020), David Brooks melacak awal mula bentuk tersebut dari era Victoria, abad ke-19 di Inggris. Pada era itu mulai muncul konsep tentang ‘kehangatan rumah’ sebagai hal yang ideal. Rumah dipandang sebagai tempat yang sakral dan sumber segala cinta. Paradigma ini berasal dari kelas menengah atas. Mereka mentransformasikan keluarga dari yang tadinya merupakan unit ekonomi menjadi unit moral dan unit emosional: jendela Tuhan untuk pembentukan hati dan jiwa.

‘Kehangatan rumah’ ini belum bisa dibayangkan dalam konteks keluarga kecil yang kita kenal hari ini. Di era Victoria, masih lumrah jika rumah diisi oleh keluarga besar (extended family). Keluarga besar, meski memiliki kekuatan, tetapi ternyata dapat sekaligus melelahkan dan menyesakkan. Konsep keluarga besar memberikan ruang privasi yang sempit. Kita dipaksa untuk berhubungan erat dengan orang-orang yang tidak kita pilih. Keluarga besar membangun stabilitas namun menyisakan sedikit mobilitas. Ikatan keluarga menjadi lebih erat, namun pilihan individual pun lenyap. Ruang untuk membangun jalan hidup mandiri menjadi sempit. 

Di Amerika, mereka yang gelisah dengan keluarga besar ini seolah menemukan jalan keluar ketika pabrik-pabrik dibuka di kota-kota besar pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Para pria dan wanita muda meninggalkan keluarga besar mereka untuk mengejar ‘American Dream.’ Di tengah upaya meraih cita-cita dalam keadaan mandiri, pemuda pemudi ini menikah sesegera mungkin. Para lelaki di pedesaan dapat menunggu hingga usia 26 sebelum menikah; sementara di perkotaan (yang waktu itu masih relatif lengang), lelaki menikah pada usia 22 atau 23. Inilah asal usul keluarga batih, kelompok kecil dalam masyarakat yang lebih solid dalam mempertahankan kepemilikan pribadi.

Segalanya terlihat berjalan dengan baik. Dari 1950 hingga 1965, angka perceraian menurun, fertilitas meningkat, dan keluarga batih ala Amerika nampak sempurna. Pada masa ini, terbentuk semacam kultus dalam keluarga batih—sesuatu yang oleh McCall’s, majalah perempuan terkenal di Amerika abad ke-20, disebut sebagai ‘kebersamaan.’ Masyarakat umumnya percaya bahwa orang yang sehat adalah mereka yang tinggal dalam keluarga dengan sepasang orang tua. Pada survei tahun 1957, lebih dari setengah responden mengatakan bahwa mereka yang tidak menikah adalah orang ‘sakit,’ ‘tidak bermoral,’ atau ‘neurosis.’


Tanggapan

Engels benar dalam arti motif ekonomi, disadari atau tidak, tidak pernah benar-benar dapat dilepaskan dari perkawinan monogami. Motif ini, di masa sekarang, agar tidak terlalu nampak sebagai insting tribal, dihaluskan dalam berbagai konsepsi kultural seperti misalnya bibit, bebet, bobot dalam masyarakat Jawa atau ajaran Islam yang mengajarkan untuk mencari pasangan dengan mempertimbangkan harta, keturunan, kecantikan dan agama. Dalam dua konsepsi tersebut, terlihat bahwa unsur kekayaan saja tidak cukup melainkan juga harus dapat dialirkan melalui garis keturunan yang jelas.

Perkawinan monogami juga berimplikasi pada kemunculan keluarga batih yang dikritisi sebagai aparatus sosial dalam struktur masyarakat, yang seolah menjadi acuan paling sempurna untuk keluarga. ‘Nilai-nilai keluarga’ (family values), yang digaungkan oleh keluarga batih, kadang hanya bersifat retoris saja—yang menyingkirkan kemungkinan bentuk keluarga lain seperti keluarga LGBT atau single parent. Dalam hal kejiwaan, muncul kesan seolah-olah keluarga batih merupakan resep bagi pertumbuhan anak yang normal dan, maka itu, yang tumbuh di luar lingkungan tersebut akan bermasalah secara psikologis.

Dalam pandangan kritis lain, kita bisa melihat bahwa keluarga batih sebenarnya juga merupakan unit ekonomi yang berupaya mempertahankan kekayaan pada wilayah yang lebih kecil, tapi ‘cukup bermoral’ untuk tidak sampai dikatakan individualistis. Sering kita dengar bagaimana seseorang bekerja demi keluarga, dengan prinsip bahwa keluarganya itu adalah idealisme yang tertinggi. Keluarganya sendiri ini bukan keluarga besar, melainkan keluarga batih yang mungkin hanya terdiri dari istri atau suami dengan satu atau dua orang anak. Padahal yang demikian bisa dikatakan juga sebagai upaya pelanggengan kepemilikan pribadi, tetapi melalui jalur keluarga batih yang lebih bisa memusatkan kekayaan (ketimbang bentuk keluarga besar, misalnya).

Kita bisa bayangkan jika setiap keluarga batih menunjukkan sikap individualistis yang kuat beserta keinginan untuk menumpuk kekayaan, maka ketimpangan sosial akan semakin lebar. Keluarga batih, bisa jadi, tidak punya pandangan sosial yang luas kecuali sebatas keluarganya sendiri saja. 

Pada akhirnya, kepemilikan pribadi sebagai salah satu sumber persoalan keadilan distributif bisa ditelaah melalui kajian kritis terhadap keluarga. Berbagai jargon tentang keluarga sebagai institusi yang ‘serba-normal’ menyembunyikan dimensi material–historisnya sebagai kelompok dalam masyarakat yang melanggengkan kepemilikan pribadi itu sendiri.


Syarif Maulana, pengajar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, mahasiswa program doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan inisiator kelas belajar filsafat daring Kelas Isolasi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.