Rasisme dan Patriarki: Kelindan Basis Penindasan dan Pentingnya Perjuangan Interseksional

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Pixabay


“Ketika deskripsi sejarah yang sebenarnya tentang pergerakan anti-perbudakan ditulis, perempuan akan mengisi banyak lembar-lembarnya; karena pergerakan pembebasan para budak adalah pergerakan yang didominasi oleh pergerakan kaum perempuan.” (Douglass, 1962).


PERJUANGAN masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat (AS) untuk meraih kesetaraan derajat dan perlindungan hak-hak sipil masih terus berlanjut. Pembunuhan George Floyd pada 25 Mei 2020, yang dilakukan oleh petugas kepolisian di Minneapolis, memicu kemunculan gelombang pergerakan terbaru. Permasalahan rasisme yang menjadi salah satu basis modern utama bagi berdirinya negara-negara pendudukan seperti AS, Kanada, dan Australia menjadi percakapan umum. Gerakan Black Lives Matter bahkan juga menumbuhkan pergerakan-pergerakan serupa di berbagai penjuru dunia yang utamanya lahir dari hasil pemikiran tentang bentuk-bentuk rasisme lainnya, baik dalam bentuk warisan kolonial yang dapat dirasakan hingga saat ini, pun dalam pola-pola rasisme baru yang muncul pada konteks pasca-penjajahan. Semangat baru dalam Papuan Lives Matter yang terinspirasi dari gerakan Black Lives Matter merupakan contoh dari hasil pemikiran tentang rasisme pasca-penjajahan yang dibangkitkan melalui cerminan dari rasisme di AS.

Sebagai salah satu akar kekerasan opresif yang paling tidak manusiawi, rasisme harus dienyahkan sesegera mungkin. Namun, seperti halnya bentuk-bentuk kekerasan sistemik lainnya, penghapusan rasisme harus dilihat dari lensa interseksional. Tujuannya, agar kita dapat memahami pertaliannya dengan akar kekerasan-kekerasan lainnya yang juga tidak manusiawi.

Apa yang kita lihat dari gambar-gambar protes terhadap rasisme adalah narasi persatuan yang memfokuskan seluruh sumber daya perjuangan demi tercerabutnya rasisme. Kulit hitam, putih, cokelat, perempuan,laki-laki, tua, dan muda, semuanya bersepakat bahwa rasisme adalah kejahatan kemanusiaan. Kesatuan narasi seperti itu memang sangat dibutuhkan untuk mendorong terwujudnya agenda sosial-politik progresif. Akan tetapi, penting untuk diperhatikan bahwa kesatuan narasi juga selalu mengandung risiko penenggelaman bentuk-bentuk kekerasan lainnya—yang tak hanya sama bahayanya—melainkan juga terhubung secara struktural dengan rasisme. Kekerasan patriarkal adalah salah satu bentuk kekerasan sistemik yang mungkin tenggelam dalam kesatuan narasi anti-rasisme.

Saya tidak sedang berargumen bahwa satu agenda advokasi harus diprioritaskan lebih dari agenda lainnya. Pun, saya tidak sedang memberikan kuliah kepada kelompok-kelompok marjinal tentang bagaimana seharusnya mereka mengorganisir gerakannya. Apa yang saya lakukan di sini sekadar mengingatkan diri sendiri dan pembaca tentang karakteristik bentuk-bentuk kekerasan struktural yang berkelindan satu sama lain.

Apa saja aspek yang harus kita ingat dalam memahami kaitan antara rasisme dan patriarki? Terdapat tiga aspek penting yang akan saya jelaskan di sini. Aspek pertama adalah bahwa eliminasi rasisme tidak serta merta bermakna eliminasi patriarki dan begitu pula sebaliknya. Kedua, bentuk kekerasan tersebut harus dieliminasi secara bersamaan untuk mencapai pembebasan bagi semua.

Perjuangan masyarakat kulit hitam di AS setelah praktik perbudakan secara formal dihapuskan adalah contoh konkret dari negosiasi pelik antara perjuangan melawan rasisme dan perjuangan melawan patriarki. Pada saat itu, faksi Utara yang dipimpin oleh Partai Republik menuntut pemberian hak pilih bagi laki-laki kulit hitam di Selatan yang baru saja bebas dari kerangkeng perbudakan. Tuntutan tersebut dilawan oleh banyak aktivis hak-hak perempuan berkulit putih dari Utara yang menolak pemberian hak pilih untuk laki-laki berkulit hitam sebelum mereka sebagai perempuan diberikan hak pilih politik.

Perlawanan para perempuan aktivis hak pilih politik (suffragettes) tersebut sekilas nampak mulia dan tuntutan untuk memberikan hak pilih politik bagi perempuan yang mereka dengungkan tentunya dapat dipahami. Namun, terdapat nuansa lain dalam perjuangan awal untuk mendapatkan hak pilih tersebut yang mencerminkan lapisan kekerasan yang tak terlihat dalam polarisasi antara agenda advokasi laki-laki kulit hitam dan agenda advokasi perempuan kulit putih. Lapisan tersebut adalah lapisan kekerasan yang diderita oleh para perempuan kulit hitam. Agenda pemberian hak pilih politik yang hanya melihat kelelakian sebagian masyarakat kulit hitam, dan status istimewa kulit putih dari para suffragettes, telah menenggelamkan perjuangan perempuan kulit hitam untuk mendapatkan hak-hak mereka.

Di sinilah dapat kita temui aspek kedua dari hubungan antara rasisme dan patriarki: kedua bentuk kekerasan tersebut dapat bertemu dalam konteks kehidupan segmen-segmen masyarakat tertentu, yang kemudian menyebabkan penderitaan kekerasan berlapis bagi individu-individu terkait. Kembali pada konteks AS setelah perbudakan secara formal dihapuskan, pertarungan agenda antara laki-laki kulit hitam dan suffragettes kulit putih telah melupakan keberadaan para perempuan kulit hitam yang menderita kekerasan rangkap sebagai ‘perempuan’ dan sebagai orang ‘Kulit Hitam’.

Perspektif rasis yang mengasosiasikan perempuan kulit hitam dengan figur pelayan juga menyebabkan terhambatnya pembebasan sosio-ekonomi mereka, paling tidak hingga Perang Dunia II (Davis, 1983). Alih-alih menyediakan jalan pembebasan untuk menjadi pekerja industri yang sedikit lebih berdaulat dibandingkan kondisi perbudakan, peralihan masyarakat AS dari agraris menuju industrialis meninggalkan perempuan kulit hitam dalam perangkap kerja-kerja domestik yang merupakan perpanjangan dari praktik perbudakan itu sendiri. Dalam konteks kerja domestik (memasak, merawat anak-anak, membersihkan rumah, dan lain-lain), perempuan kulit hitam tidak hanya hidup di bawah sistem yang memandang mereka sebagai manusia kelas dua yang harus memberikan hidupnya untuk melayani tuannya, namun juga lebih dari itu, menempatkan mereka dalam konteks yang membenarkan kekerasan seksual yang mereka terima dari majikannya.

Pendek kata, penghentian praktik perbudakan tidaklah membawa perubahan yang signifikan bagi para perempuan kulit hitam karena pribadi mereka masih terperangkap dalam dua kekangan yang sama. Pertama, kekangan terhadap derajat mereka sebagai orang berkulit hitam yang dilekatkan dengan peran sebagai pelayan; dan kedua, kekangan terhadap derajat mereka sebagai perempuan yang hanya dimaknai sebagai objek kuasa seksual bagi para majikannya.

Domestikasi perempuan kulit hitam dalam kerangka pelayanan terhadap keluarga kulit putih yang mempekerjakannya, dan objektifikasi perempuan kulit hitam terhadap kemauan (seksual/non-seksual) majikannya memberikan indikasi bagi aspek ketiga dalam hubungan antara rasisme dan patriarki. Aspek terakhir ini terletak pada relasi ekonomi eksploitatif yang memosisikan perempuan kulit hitam tak lebih dari sekadar alat produksi.

Pada masa perbudakan, di samping memenuhi fungsi sebagai pekerja ladang bersama laki-laki kulit hitam, perempuan kulit hitam juga diperbudak untuk menjadi alat produksi sumber daya manusia (breeder) yang akan diperjual-belikan lagi, atau digunakan untuk menambah kekuatan pekerja di ladang majikannya. Posisi sebagai alat produksi ini dijustifikasi melalui klaim-klaim tentang peradaban di mana perempuan kulit hitam tidak hanya dipandang sebagai individu tak berbudaya, melainkan juga sebagai individu tak bermoral. Sementara, gambaran dan mitos Aunt Jemima atau ‘Welfare Queen’ yang marak di dekade 1960an memperkuat imaji publik akan perempuan kulit hitam yang hanya mampu menjadi pelayan dan/atau beban perekonomian masyarakat.

Keberadaan perempuan kulit hitam dalam kaitannya dengan rasisme, patriarki dan eksploitasi ekonomi dapat dilihat sebagai perwujudan dari kekerasan berlapis sertarepresentasi dari perspektif diskriminatif terhadap ruang domestik dan femininitas yang direkatkan kepadanya. Tak hanya dipandang sebagai ruang di mana hal-hal privat yang tak penting terjadi, ruang domestik dalam konteks kehidupan perempuan kulit hitam juga dianggap sebagai ranah di mana relasi majikan-budak (master-slave relations) dapat dilestarikan terlepas dari perubahan norma sosial, legal, dan politik di ranah publik yang tak lagi memungkinkan perbudakan untuk dipraktikkan.

Dengan demikian, ada tiga kesimpulan utama yang dapat ditarik dari dinamika relasi antara rasisme dan patriarki.

Pertama, keduanya tak akan bisa dihapuskan apabila kita memandangnya sebagai hal yang terpisah satu sama lain. Ini berarti bahwa perspektif kompetisi yang menempatkan satu advokasi di atas advokasi lainnya hanya akan menjadi kontraproduktif bagi pencapaian pembebasan individu dari kekerasan rasial, maupun kekerasan patriarkal.

Kedua, relasi antara rasisme dan patriarki juga tidak dapat dipahami tanpa kerangka ekonomi eksploitatif yang menjadi raison d’etre bagi dehumanisasi perempuan kulit hitam. Ini bukan berarti bahwa faktor ekonomi kemudian menjadi aspek utama di mana relasi rasial dan relasi patriarkal dapat direduksi hanya ke dalam motif ekonomi. Namun ini berarti bahwa pembedaan antara kedirian individu kulit putih dengan kedirian perempuan kulit hitam sebagai liyan mencakup eksploitasi perempuan kulit hitam sebagai ‘alat produksi’, dengan kuasa patriarkal sebagai ‘subyek’.

Ketiga, keterkaitan antara rasisme dan patriarki dalam kerangka eksploitasi ekonomi ini berarti bahwa keberadaan perempuan kulit hitam dan perlindungan hak-hak mereka harus menjadi landasan bagi gerakan-gerakan pembebasan. Dalam artian, pembebasan barulah terwujud ketika stigma rasis dan misoginis terhadap perempuan kulit hitam telah terhapuskan. Gerakan pembebasan yang memandang bentuk-bentuk kekerasan sistemik sebagai hal yang terpisah dari satu sama lain hanya akan menenggelamkan penderitaan mereka yang hidup di bawah kekerasan berlapis.

Akhirnya, secara teoretis, pendekatan interseksional dalam memahami suatu gerakan dan implikasi yang dibawanya, mengharuskan kita untuk mengikutsertakan perspektif multidisipliner. Sebagaimana bentuk kekerasan yang berlapis, gerakan pembebasan yang bertujuan untuk mengakhirinya juga harus bersifat multidimensional. Antropologi, ekonomi, teologi, sosiologi, dan banyak cabang ilmu lainnya harus digunakan secara bersama untuk menyibak tabir yang menyembunyikan praktik-praktik kekerasan sistemik di balik tirai ‘kewajaran’.***


Lailatul  Fitriyah adalah Ph.D Candidate, World Religions and World Church Program Department of Theology, University of Notre Dame, AS


Kepustakaan

Davis, Angela Y., Women, Race and Class (New York, NY: Vintage Books, 1983).

Douglass, Frederick, The Life and Times of Frederick Douglass (New York, NY: Collier-Macmillan Ltd., 1962).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.