Kredit ilustrasi: Juicy Ecumenism
PERNAHKAH Anda mendengar kisah Sodom dan Gomora?
Tetapi sebelum mereka tidur, orang-orang lelaki dari kota Sodom itu, dari yang muda sampai yang tua, bahkan seluruh kota, tidak ada yang terkecuali, datang mengepung rumah itu. Mereka berseru kepada Lot: “Di manakah orang-orang yang datang kepadamu malam ini? Bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai mereka.
Kejadian 19:4-5
Kisah Sodom dan Gomora menjadi ikon klasik kutukan Tuhan terhadap perilaku anal seks. Dalam kisah itu disebutkan bahwa seluruh warga kota Sodom memaksa Lot untuk menyerahkan kedua malaikat yang bermalam di rumahnya untuk “dipakai” atau diperkosa beramai-ramai. Begitu kuatnya stigma anal seks dengan kisah Sodom dan Gomora, penerjemah King James Version menerjemahkan laki-laki yang tidur dengan laki-laki sebagai ‘sodomites’. Secara populer pun, kita mengartikan sodomi sebagai perilaku anal seks.
Kutukan Tuhan itu sekarang dimaknai lebih luas. Sodom dan Gomora adalah bukti murka Tuhan bukan hanya kepada laki-laki yang melakukan seks dengan laki-laki, tetapi juga kepada kelompok minoritas seksual – LGBTQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, dan queer). Akibatnya, kisah Sodom dan Gomora menjadi jawaban pertama. Kamu ingin tahu bagaimana ajaran Tuhan tentang LGBTQ? Jawabannya ada di kisah Sodom dan Gomora.
“Sebab hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka. Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat. …”
Matius 25:14-15
Perumpamaan Yesus tentang Kerajaan Allah pun bukan barang asing bagi telinga kita karena sering diangkat dalam khotbah-khotbah di gereja. Seorang Tuan memberikan hartanya kepada para hambanya dengan jumlah bervariasi lalu pergi ke luar kota. Ada yang diberi banyak, ada yang diberi sedikit. Ketika Tuan itu pulang, hamba yang mengembangkan talenta menjadi lebih banyak diberi penghargaan. Sedangkan hamba yang tidak mengembangkan dan malah menguburkan talentanya mendapat kutukan. Selama saya bergereja, makna yang paling sering dijelaskan kepada saya adalah bahwa Tuhan memberi kita bakat yang berbeda-beda, tugas kita adalah mengembangkan bakat tersebut. Maka, jika kamu pandai bermusik jadilah pemusik di gereja, jangan hanya main musik di rumah, dan sebagainya. Interpretasi lain yang menurut saya lebih berbahaya adalah bahwa kaya dan miskin sudah ditentukan Tuhan. Status sosial ekonomi seseorang merupakan suatu hal yang terberi dari sono-nya. Tugas manusia adalah melipatkgandakan dan mengakumulasi berkat (kekayaan) itu menjadi lebih banyak. Dengan interpretasi ini, menjadi tidak sulit untuk mengatakan bahwa akumulasi primitif adalah alkitabiah.
Interpretasi yang saya tuliskan di atas merupakan interpretasi populer. Lantas bagaimana interpretasi alternatifnya?
Dalam kasus kisah Sodom dan Gomora, salah satu sumber yang dapat dipercaya di mana kita bisa membangun interpretasi lain adalah dari penulis Alkitab itu sendiri, yakni nabi-nabi dalam perjanjian Lama.
Dengarlah firman TUHAN, hai pemimpin-pemimpin, manusia Sodom! Perhatikanlah pengajaran Allah kita, hai rakyat, manusia Gomora! … Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!
Yesaya 1:10, 16-17
Lihat, inilah kesalahan Sodom, kakakmu yang termuda itu: kecongkakan, makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup ada padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang-orang sengsara dan miskin.
Yehezkiel 16:49
Dari beberapa perikop di atas kita bisa menyimpulkan bahwa penulis-penulis kitab Perjanjian Lama yang menyebutkan tentang Sodom dan Gomora selalu menjelaskan bahwa apa yang salah dari mereka adalah ketamakan, ketimpangan, ketidakadilan dan penindasan.
Kisah perumpamaan talenta merupakan perikop yang sudah diinterpretasikan lintas zaman oleh para ahli. Mereka termasuk Agustinus, Yohanes Krisostom, Yohanes Kalvin, hingga teolog-teolog moderen. Jika melihat sejarahnya, interpretasi yang memaknai talenta sebagai kekayaan atau uang justru adalah interpretasi minoritas. Satu interpretasi yang paling mendekati interpretasi populer di atas adalah dari Yohanes Kalvin. Mengenai perumpamaan talenta, ia berpendapat bahwa “apapun berkat yang diberikan Tuhan kepada kita, bolehlah kita lihat dalam bentuk uang … yang nilainya terletak pada pelipatgandaannya (berbuah)”. Meskipun demikian, dalam catatan kakinya ia menjelaskan bahwa laba yang dimaksud bertujuan untuk kegunaan umum, yaitu “sebagai profit atau kegunaan yang bermanfaat bagi segenap orang percaya pada umumnya”. Jadi, bisa dikatakan interpretasi populer yang mengartikan talenta sebagai bakat; atau yang mengartikan talenta yang berkembang sebagai akumulasi modal ala kapitalis, adalah interpretasi yang melenceng. N. T. Wright mengajukan interpretasi yang unik. Talenta maknanya adalah akses kepada Taurat dan Hukum-Hukum Allah. Orang-orang yang punya talenta sedikit adalah mereka yang punya pemahaman yang sedikit tentang Hukum-Hukum Allah itu. Alih-alih menambahkan pengertian ke dalamnya pada tindakan, mereka justru menaati secara kaku dan memegangnya erat-erat (menguburnya).[1]
Roland Boer berpendapat bahwa interpretasi Alkitab sudah dikooptasi oleh ideologi yang dominan[2]. Dalam kisah Sodom dan Gomora, interpretasi populer yang kerap diajarkan kepada kita kemungkin besar adalah usaha ideologi yang dominan menginternalisasi ide-ide mereka di kepala pembaca Alkitab. Orang-orang homofobik, yang faktanya hari ini menjadi kelompok yang dominan, melegitimasi kebencian mereka dengan menggunakan kisah Sodom dan Gomora sebagai pembenaran biblis untuk mengutuk LGBTQ. Dalam perumpamaan talenta, interpretasi yang berada di bawah hegemoni akan menggunakannya sebagai alat pendukung ide akumulasi kapital. Bukan tidak mungkin juga ayat-ayat Alkitab lain justru digunakan sebagai pembenaran atas eksploitasi, penindasan, dan ketidakadilan.
Keadaan ini diperparah dengan munculnya berhala baru: Alkitab. Alkitab yang dipahami sebagai kepenuhan kebenaran sehingga tidak dapat salah (infallibel) dan tidak dapat keliru (inerrant) kini menjadi objek tujuan manusia membaktikan seluruh hidupnya. Dia dipahami sebagai firman itu sendiri ketimbang sebagai sebuah buku catatan perjalanan sejarah manusia yang mengamati dan menyaksikan Sang Firman hadir di dunia.
Dengan memperlakukan Alkitab sebagai berhala, kita abai dalam memahami firman. Ketika teks menjadi Firman, teks tidak berada pada tempat yang semestinya. Kita tidak bisa membiarkan Alkitab berbicara pada kita dalam logikanya sendiri. Keserampangan ini adalah masalah besar yang menimpa dunia pembacaan Alkitab hari-hari ini. Oleh karena itu, penyelamatan terhadap pembacaan Alkitab diperlukan.
Penyelamatan bisa dilakukan dengan memahami Mitos Politis dominan yang berlaku. Pemaparan interpretasi populer di atas berusaha membongkar hegemoni atas pembacaan Alkitab yang pada dasarnya juga merupakan Mitos Politis. Setelah Mitos Politis itu disingkapkan, mitos yang buruk itu tidak bisa kita lepaskan begitu saja. Misalnya dengan mengatakan bahwa itu semata-mata hanya patriarki, atau itu hanya heteronormativitas, dan sebagainya.
Tugas mendesak hari-hari ini adalah membangun perangkat dan lensa pembacaan Alkitab baru yang bisa melampaui perangkat dan lensa pembacaan Alkitab yang lama. Dengan perangkat tersebut, kita bisa menemukan kebenaran yang selama ini tertutup oleh keriuhan pembacaan lama. Dengan demikian, Mitos Politis baru yang emansipatoris memungkinkan untuk dibangun.***
Krisma Adiwibawa, Pengasuh Diskusi Jumatan Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba
————
[1] http://www.mst.edu.au/wp-content/uploads/2015/08/Ben-Chenoweth-A-Critique-Of-Two-Recent-Interpretations-Of-The-Parable-Of-The-Talents.pdf
[2] Boer, Roland. Rescuing the Bible. John Wiley & Sons, 2008.