BARANGKALI perbincangan mengenai kemiskinan rakyat pekerja dalam kegaduhan politik saat ini kurang menarik perhatian pembaca. Meski, menjadi perhatian atau tidak menjadi perhatian, kemiskinan itu menggambarkan kontradiksi dalam kehidupan sehari-hari antara kegiatan di ranah produksi dan reproduksi sosial rakyat pekerja. Di ranah produksi, rakyat pekerja berhubungan dengan majikan melalui upah. Di ranah reproduksi sosial ibu-ibu rumah tangga berhubungan dengan mekanisme pasar melalui harga-harga barang konsumsi. Apabila merujuk pada pandangan ibu-ibu rumah tangga rakyat pekerja, maka kemiskinan dinyatakan sebagai kondisi pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Kondisi itu membelengu sepanjang hidup mereka, dan mereka mengaku sulit untuk melampaui belenggu itu, sehingga cita-cita ke arah hidup sejahtera seperti semakin jauh.
Masalahnya selama ini definisi dan indikator mengenai kemiskinan tidak menggunakan sudut pandang ibu rumah tangga rakyat pekerja sebagai pelaku kegiatan untuk melangsungkan reproduksi sosial. Perumus teori kemiskinan berpikir dari atas kertas sembari mengasumsikan bahwa kemiskinan adalah masalah ketidakmampuan daya beli masyarakat. Asumsi dasar ini mendalihkan pendapatan (penghasilan) sebagai faktor penyebab ketidakmampuan daya beli, sehingga menegasi faktor pasar dalam menentukan besaran pengeluaran rumah tangga rakyat pekerja.
Tulisan ini berupaya untuk menangkap pengertian kemiskinan menurut ibu-ibu rumah tangga rakyat pekerja yang dalam sehari-harinya berhadapan dengan harga-harga pasar untuk menyelenggarakan proses reproduksi sosial.
Kemiskinan Menurut Asumsi Dasar Kapitalis
Dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008, BPS menetapkan empat ketegori kemiskinan, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Meski terdapat berbagai pengertian tentang kemiskinan, namun asumsi dasar dari seluruh pengertian itu disusun berdasarkan logika pendapatan perseorangan atau keluarga. Mudah ditebak, asumsi dasar pendapatan ini dipergunakan untuk menilai kemampuan daya beli konsumsi masyarakat.
Pengertian kemiskinan absolut dinilai berdasarkan ketidakmampuan seseorang (atau sebuah keluarga) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, yaitu pemenuhan kebutuhan pangan, air, energi, sandang, kesehatan, pendidikan dan perumahan. Untuk mengukur garis kemiskinan absolut, pada umumnya pemerintah hampir semua negara menggunakan indikator yang ditetapkan World Bank, yaitu berdasarkan pendapatan (penghasilan). Bagi rakyat pekerja yang pendapatannya di bawah USD 1 /perkapita/hari dikategorikan miskin, sedangkan bagi yang pendapatannya di bawah USD 2 /perkapita/hari dikategorikan kurang miskin. Nilai dolar yang dipergunakan dalam hal ini menggunakan nilai keseimbangan daya beli (purchasing power parity). Contohnya jika harga hamburger di AS USD 3/hamburger, maka di Indonesia equivalen dengan Rp 39.000,- (USD 1 = Rp 13.000,). Asumsi di balik ukuran kemiskinan absolut adalah fix (tetap) dalam perbandingan antar negara-negara kaya maupun miskin. Anda bisa bayangkan upah buruh tani perempuan di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, untuk bekerja sehari mendapat upah Rp 15.000,- yang berarti equivalen dengan USD 1 atau di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin yang diakibatkan oleh ketimpangan pembangunan, bisa jadi karena pemerintah belum mampu mendistribusikan pembangunan secara merata antar-wilayah ataupun antar-pulau. Sebagai akibatnya, terjadi kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Untuk mengukur kemiskinan relatif dipergunakan perbandingan pendapatan dan pengeluaran antar-wilayah, sehingga contohnya kemiskinan di DKI Jakarta berbeda dengan kemiskinan di desa-desa di Kalimantan Timur.
Selain dua pengertian tentang kemiskinan tersebut, BPS mengajukan pengertian kemiskinan dalam arti struktural dan kultural. Kemiskinan kultural dikaitkan dengan kebudayaan kemiskinan sebagai buah dari adaptasi masyarakat dengan kemiskinannya secara turun temurun dan pada akhirnya menjadi adat. BPS mencontohkan kebudayaan kemiskinan pada Suku Baduy, Suku Anak Dalam, dll, yang terminologi pemerintah menyebutnya sebagai “suku terasing”. Kemudian kemiskinan struktural didefinisikan sebagai kemiskinan yang diakibatkan oleh kondisi struktur yang tidak adil bagi sebagian kelompok tertentu. Tatanan yang tidak adil itu menyebabkan sebagian masyarakat tidak mempunyai peluang atau akses untuk mengembangkan diri dan hidupnya, sehingga mereka jatuh ke dalam serba kekurangan. BPS mencontohkan kemiskinan struktural karena lokasi tinggal seperti yang dialami orang Mentawai atau orang Tengger yang hidup di Tengger (sektiar Gunung Bromo, Jawa Timur).
Asumsi dasar kemiskinan menurut BPS –termasuk merujuk pada asumsi dasar yang dirumuskan oleh World Bank—menghilangkan aspek riil yang dipandang ibu-ibu rakyat pekerja sebagai sumber kemiskinan, yaitu harga-harga barang/pangan yang terus menerus naik. Dalam kenyataannya, masyarakat melalui ibu-ibu rakyat bekerja justru didorong oleh kapitalisme aktif dalam sehari-harinya belanja barang produksi kapitalis. Maka dari itu aspek pendapatan menjadi ukuran untuk menilai kemampuan daya beli ibu rumah tangga rakyat pekerja. Tetapi paradoksnya, perusahaan-perusahaan kapitalis tidak berupaya meningkatkan pendapatan buruh melalui upah, atau meningkatkan pendapatan petani/nelayan melalui kapasitas produksi, teknologi tepat guna, dan perlindungan harga. Jika pun pendapatan rakyat pekerja berupaya dinaikkan melalui berbagai mekanisme –termasuk kenaikan upah bagi buruh—namun upah tersebut selalu pada akhirnya tidak mampu mengejar kenaikan harga barang/pangan yang membumbung tinggi. Itu sebabnya, kapitalisme menyediakan skema belanja dengan modus kredit ketimbang menaikkan tingkat upah yang memenuhi kebutuhan dasar reproduksi rakyat pekerja.
Maka yang absolut dihadapi oleh ibu-ibu rakyat pekerja adalah kondisi “pengeluaran lebih besar daripada penghasilan”, dan tentu saja hal itu berdampak pada ketidakmampuan ibu rumah tangga memenuhi kebutuhan dasar minimum. Dengan demikian, apa yang didefinisikan sebagai kemiskinan absolut oleh BPS (dengan merujuk pada World Bank) bersumber pada mekanisme pasar yang menciptakan kenaikan harga konsumsi/pangan terus menerus, dan bukan pada rendahnya pendapatan.
Kemiskinan Menurut Asumsi Dasar Ibu Rumah Tangga
Tanyakanlah pada ibu-ibu rumah tangga rakyat pekerja, baik di area rural maupun urban apakah mereka itu miskin? Apa jawabnya? Mereka menjawab bahwa dirinya miskin. Lalu tanya kembali apa yang mereka pandang miskin? Saya mencatat ada tiga pola jawaban yang umum, yaitu pertama, harga-harga barang konsumsi untuk pemenuhan reproduksi sosial naik terus (tidak pernah turun), sementara tingkat pendapatan terus berfluktuasi (nelayan, petani, pedagang eceran untuk pangan dan barang pabrik), pendapatan yang belum memenuhi standar UMR (buruh perkebunan, buruh jasa), maupun pendapatan yang sudah UMR (buruh manufaktur, otomotif). Kedua, akibat kesenjangan antara harga naik dan pendapatan, mereka mengatasinya dengan hutang dan kredit. Maka hutang dan kredit dalam sehari-hari menjadi kegiatan ekonomis dan sosial yang menjerat kaki dan tangan ibu rumah tangga rakyat pekerja. Ketiga, hilangnya kepemilikan atas tanah untuk produksi, menjadi tanah hanya untuk reproduksi (rumah tinggal belaka).
Ketiga persoalan itu mereka sebut dalam satu kata: (kondisi) miskin! Kondisi miskin di perkotaan dan pedesaan sama substansinya, hanya berbeda dalam kedekatannya dengan sumberdaya alam dan jenis-jenis kerja produktifnya. Ibu rumah tangga pedesaan masih dapat mengandalkan sumberdaya alam yang terbatas untuk pemenuhan pangan, sedangkan ibu rumah tangga perkotaan mempunyai banyak pilihan untuk menjadi buruh jasa murah.
Observasi tentang persepsi kemiskinan menurut ibu rumah tangga rakyat pekerja selanjutnya saya klasifikasi berdasarkan kategori kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Pada klasifikasi pengeluaran untuk kebutuhan primer, ibu-ibu rumah tangga memasukkan unsur pangan, air, energi (listrik, gas, minyak tanah dan bensin), biaya untuk pendidikan sekolah anak, perawatan kesehatan, transportasi dan pemukiman.
Ibu-ibu rumah tangga di wilayah pedesaan mengeluarkan belanja untuk pangan lebih murah ketimbang di perkotaan, sebab mereka mengalokasikan sebagaian panen padi, jagung, sorgum, atau lainnya untuk dikonsumsi sendiri. Lain halnya ibu-ibu yang tinggal di wilayah perkotaan, mereka 100 persen belanja untuk membeli pangan. Tetapi, mengenai air –terutama untuk air minum, baik ibu tangga di wilayah perkotaan dan pedesaan kini sama-sama membeli air minum. Sebab, kerusakan lanskap kota maupun di desa saat ini telah menimbulkan problem air bersih dan air surut. Adapun pengeluaran untuk energi, baik ibu rumah tangga di pedesaan dan perkotaan telah menggunakan gas untuk pengolahan pangan, bensin untuk alat transportasi sepeda motor dan listrik untuk penerangan. Harga energi selalu naik, sementara ibu-ibu rakyat pekerja tidak mempunyai pilihan untuk tidak menggunakannya.
Mengenai biaya pendidikan anak melonjak tinggi, bukan karena pembayaran sekolah, melainkan biaya transportasi, seragam sekolah, alat-alat tulis, kegiatan ekstra –termasuk rekreasi, dan uang jajan. Anak-anak perempuan di pedesaan yang infrastrukturnya belum terbangun, pada umumnya tidak melanjutkan sekolah sampai SLTP karena sekolah itu jauh dari rumahnya. Harga mahal juga dikeluarkan untuk perawatan kesehatan, meski sebagian telah mempunyai BPJS Kesehatan, namun hal itu belum didukung oleh infrastruktur kesehatan. Sedangkan pemukiman merupakan masalah bagi ibu rumah tangga perkotaan karena uang sewa rumah tak pernah turun. Sementara mereka tak cukup punya uang untuk membeli rumah. Lalu tentang alat transportasi, ibu rumah tangga dari pedesaan dan perkotaan memilih memberi sepeda motor dengan cara kredit, yang hal ini semakin membengkakkan pengeluaran mereka.
Pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan primer ini paling besar dibanding sekunder dan tersier, dan harga-harga untuk kebutuhan ini makin hari makin naik. Sementara dalam kehidupan sehari-hari di bawah kapitalisme ini –bahkan di pedesaan yang pelosok pun— ibu rumah tangga rakyat pekerja di”paksa” untuk belanja kebutuhan sekunder berdasarkan gaya hidup. Harga kosmetik, perawatan tubuh (bahkan yang utama seperti sabun dan pasta gigi), pakaian, sepatu, tas, semuanya cenderung naik. Lagi-lagi jika para ibu tak mampu membayar tunai, pilihannya adalah hutang atau kredit. Masalahnya kemudian, ketika mereka kerja produktif untuk mendapatkan upah, upah tersebut pada akhirnya sebagian besar dipergunakan untuk membayar hutang. Akibatnya, ibu-ibu rumah tangga itu kekurangan uang untuk belanja konsumsi selanjutnya, sehingga hutang lagi dan hutang lagi.
Itulah lingkaran kemiskinan menurut ibu rumah tangga rakyat pekerja yang kemudian membelenggu hidup mereka atas beban untuk mereproduksi tenaga kerja. Itulah masalah yang telah membuat ibu rumah tangga mempunyai aneka keluhan sakit: sakit kepala, sakit lambung, dan atau “ingin marah-marah” dalam kisah harian mereka. Uniknya masyarakat lantas memberi label “emak-emak suka marah” tanpa mengklarifikasi sumber masalahnya. Dalam kenyataan sehari-hari, ketiga masalah ini bagai rantai yang membelenggu waktu, ruang kebebasan perempuan, dan tenaga kerja mereka. Maka ibu rumah tangga rakyat pekerja itu menjadi miskin atas kemiskinan yang dipanggulnya.
Kesatuan Dalam Dialektika
Dalam sebuah lokakarya buruh-buruh perempuan manufaktur di Jawa Barat, muncul pandangan mereka yang mengejutkan bahwa “sebenarnya upah buruh tak perlu naik, seandainya harga-harga untuk reproduksi sosial turun, dan fasilitas untuk kesehatan, pendidikan, transportasi dan perumahan murah sampai dengan gratis”. Pendapat (bahkan semacam kesimpulan) para buruh perempuan ini sangat menarik dan seharusnya melengkapi perjuangan buruh untuk kenaikan upah. Artinya perjuangan buruh untuk kenaikan upah sudah seharusnya disertai dengan perjuangan untuk menurunkan harga-harga barang/pangan untuk reproduksi sosial. Kesatuan perjuangan di ranah produksi dan reproduksi justru untuk melawan kontradiksi antara produksi dan reproduksi yang diciptakan oleh kapitalisme-patriarkis.
Maka belajar dari cara pandang ibu rumah tangga rakyat pekerja mengenai kemiskinan itu, seharusnya membuat kita sadar bahwa selama ini pun perjuangan rakyat pekerja masih meneguhkan kontradiksi antara problem produksi dan reproduksi sosial. Perjuangan buruh, tani, nelayan, hanya mengarah pada masalah produksi tanpa memperhatikan problem reproduksi sosial, sehingga membiarkan ibu rumah tangga rakyat pekerja berhadapan sendiri dengan mekanisme pasar.
Saatnya perjuangan rakyat pekerja menyatukan unsur produksi dan reproduksi sosial dalam kesatuan yang dialektis. Semoga!***