Penyegaran dan “Modernisasi” NU tidak lepas dari keberhasilan PMII. Kader-kader PMII menyebar hampir kesemua lini NU se-Nusantara. Ketaatan kultural terhadap Ulama yang membangun Jam’iyah NU tidak berubah, tetapi lebih kritis mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan yang sejalan dengan dinamika zaman. (M. Said Budairy – salah seorang deklarator PMII)
57 TAHUN yang lalu, beberapa aktivis Nahdlatul Ulama (NU) yang tersebar di berbagai kampus sibuk mondar-mandir melakukan konsolidasi besar-besaran. Mereka mendesak pimpinan PBNU–waktu itu KH. Idham Chalid–agar secepatnya membentuk organisasi mahasiswa NU. Alotnya perdebatan antara PBNU dengan mahasiswa NU mengindikasikan adanya dua pemikiran yang bersinggungan, yakni Idham Chalid dengan karakter politisnya dan aktivis NU dengan populisnya–seperti yang terjadi di tahun-tahun setelahnya dalam catatan Fealy, dkk (Yogyakarta: LKiS, 2010). Di satu sisi, ghirrah untuk membuat wadah yang memperteguh sekaligus memperkuat ideologi gerakan mahasiswa ahlus sunnah wal Jama’ah (aswaja) an-Nahdliyah di tengah pembasisan kultur dan sosial dirasa urgen untuk mereka segerakan-seperti yang sebelumnya dilakukan oleh partai dan golongan Islam lain untuk membuat organisasi mahasiswa underbow-nya, seperti Masyumi-HMI, Muhammadiyah-IMM, PSII-SEMII, Perti-KMI, dll (Modul Ashram Bangsa, 2014). Namun di sisi lain, Idham Chalid masih mempertimbangkan (ihtiyath) efektifitas organisasi, mengingat keberadaan IPNU yang masih menjadi rujukan kaum pelajar NU.
Setelah berbulan-bulan melakukan lobi, akhirnya restu dari PBNU berhasil dikantongi lewat hasil Konferensi Besar IPNU bulan Maret 1960. Sebulan setelah keputusan itu, 13 orang yang dipilih untuk menjadi punggawa konsolidasi lanjut segera mengumpulkan semua aktivis-mahasiswa NU di Surabaya. Walhasil, lahirlah dengan sempurna perkumpulan yang mendasarkan diri pada tugas dan tanggung jawab mahasiswa Islam atas nama PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Dalam perjalanannya, PMII sudah menghadapi pasang-surut gerakan, mulai dari tuduhan kacung NU (saat itu menjadi Partai NU), kacang lupa kulitnya (saat PMII memutuskan hubungan struktural dari NU), penegasan interdependensi PMII dengan NU, sampai yang terbaru adalah tuntutan PMII agar menjadi Banom NU. Dari semua pergulatan PMII itu– terutama yang ditulis oleh Otong Abdurrahman (Jakarta: PB.PMII, 2005)–, penulis menaruh fokus refleksi dan minat kajian pada aspek PMII sebagai produsen arah gerakan intelektual.
Tradisi Berpikir
Penulis dalam hal intelektualisme PMII tidak akan melepaskan dari akar tradisi berpikir NU, mengingat PMII masih menerapkan intellectual chains–meminjam bahasa Zamakhsyari Dhofier–, yakni tali pengikat keluhuran berpikir yang merujuk pada tokoh-tokoh Islam aswaja an-Nahdliyah. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh pemikir NU, santri atau kaum terpelajar Islam jebolan pesantren akan dipandang berilmu jika menerapkan tiga prinsip, yakni lelana belajar, hormat pada ahli ilmu, dan mengaplikasikan ilmunya di masyarakat sesuai konteks kebutuhan–konklusi dari paparan Ben Anderson (1988). Mengingat NU sangat memegang erat kaidah gerakan “mempertahankan tradisi baik dan mengambil suatu hal baru yang dipandang baik bagi masyarakat”, maka identifikasi demikian membawa implikasi kepada platform aktivis NU sampai detik ini selaku pemikir yang tidak melepaskan diri dari teks klasik, lokalitas masyarakat, dan kemajuan zaman.
Sebagai medium memahami PMII sebagai basis gerakan intelektual bisa dilihat dari tulisan ciamik Mahbub Junaedi di bawah ini:
Ada satu sebutan yang dijauhi rektor seperti penduduk kampung menjauhi muntaber: politikus. Tak ada itu politik-politikan karena yang tersedia cuma ilmiah-ilmiahan. Jika politik itu jalan besar, universitas akan bikin jembatan penyeberangan melintasi kepalanya. Kaum kampus berpikir ilmiah, kaum politik berpikir entah cara apa, itu pun kalau boleh disebut berpikir. Pencemaran harus dicegah mulai dini, karena itu sebaiknya kampus hanya diberi air susu Ibu. (Mahbub Junaedi, 1982)
Kelakar Mahbub tentang kondisi kampus dengan dunia luar mengingatkan penulis pada pendapat luhur KH. A. Wahid Hasyim yang menyatakan, bahwa kemunduran berpikir Indonesia disebabkan orang lebih mengapresiasi pejabat partai daripada terpelajar kita, di samping juga banyaknya terpelajar yang terlepas dari nalar common (mudahnya: bermasyarakat).
Di tahun yang sama, Mahbub memberikan suatu prinsip berpikir PMII yang penting untuk direfleksikan. Dengan memberikan gambaran tauladan dari Kiai As’ad Situbondo, Mahbub menegaskan bahwa berpikirnya kaum santri adalah berpikir tentang pertanggungjawaban sebagai makhluk lintas generasi. Kiai As’ad ingin mempertebal i’tikad para santri dengan mematahkan-secara otomatis-berbagai wacana sosiolog manca negara yang memposisikan santri sebatas grudak-gruduk desa. Pertanyaan eksplisitnya, bagaimana bisa dikatakan ’sebatas’, padahal terbukti langkah persuasif kiai kampung telah membuat NU menjadi organisasi yang memiliki cabang terbanyak di Indonesia (sejak KH. A. Wahid Hasyim memaparkan data itu di tahun 1938)?.
Dalam konteks PMII, Mahbub-sebagaimana Wahid Hasyim-tidaklah menafikan keharusan intelektual Islam untuk merespon berbagai kondisi masyarakat, baik aspek sosial-kultur maupun ekonomi-politik. Bahkan dengan tanpa menerjunkan diri pada kondisi masyarakat, intelektual Islam akan cenderung apatis dan sok netral padahal sedang berdiri di depan masyarakat yang terkapar. Meski demikian, hal yang perlu dicatat adalah seringkali terjunnya PMII di ranah itu membuat ia terperangkap dalam nalar pragmatis-praktis atau malah romantis merasa sudah aktivis. Keinginan merespon keadaan tidak dibarengi dengan konsistensi pada nilai dasar pergerakan yang menekankan proses–oleh karenanya dilarang berpuas diri–dan totalitas–oleh karenanya dimohon tidak mengharapkan ‘profit’–.
Oleh karena spirit intelektualisme PMII menerapkan pola pikir ‘kritis-akomodatif’ (sebagaimana model bahtsul masail) terhadap tradisi luhur dan kebaruan yang diperlukan plus tidak arogan untuk melakukan gerakan perubahan sosial, maka penulis memandang bahwa intelektualisme di PMII layak ditempatkan sebagai prototype yang berguna sekaligus mengoreksi–kalau tidak ingin disebut membantah–intelektual dalam teori Gramscian. Menurut Antonio Gramsci ada dua macam intelektual: pertama, intelektual tradisional, yakni kaum pemikir yang segala aktivitas pengetahuannya hanya berkutat pada persoalan teori, dan sering kali mengabdikan teori tersebut untuk mempertahankan status quo dengan para pemegang kekuasaan. Kedua, intelektual organik, yakni para pemikir yang mampu membuat konvergensi antara teori dan realita sosial untuk kemudian dijadikan sebagai analisa utama dalam relasinya dengan struktur dan perubahan sosial.
Kategorisasi Gramsci terbilang ambigu jika PMII harus masuk ke dalam salah satunya. Bagaimana bisa dimasukkan di intelektual tradisional, sedang PMII meski mempertahankan tradisi namun tidak pernah monopoli keilmuan dan memuja status quo–harusnya demikian, entah aktornya–? Bagaimana mungkin masuk di intelektual organik jika makna organik dihadapkan secara biner (plus dikotomik) dengan tradisional, padahal PMII insaf untuk merangkul ke-tradisional-an yang luhur?.
Akhirnya di harlah PMII ke-57 ini, sebagai sebuah organisasi yang telah merentang berbagai zaman, seyogyanya jujur diakui bahwa hal ikhwal yang dicita-citakan seringkali macet saat berhadapan dengan dunia yang sebenarnya terjadi. Bahwa kemandekan gerakan PMII telah mengindikasikan banyaknya persoalan di Internal yang mustilah diperbaiki secara simultan oleh seluruh keluarga besar. Pertanyaannya, keluarga PMII akan memperbaiki yang mana dan dengan cara apa?***
Penulis adalah aktivis PMII D.I.Yogyakarta