BEBERAPA tahun sebelum Kapital terbit, Marx pernah berbincang dengan Engels tentang karya salah satu kawan mereka, Ferdinand Lassalle, seorang sosialis veteran aktivis Revolusi 1848. Dalam karya ekonomi-politiknya, Lassalle berupaya melakukan hal yang sekilas amat mirip dengan yang Marx lakukan dalam adikaryanya kelak, mengkaji ekonomi-politik via asas filsafat negasi Hegel; “yang Ideal adalah yang Riil” dan “yang Universal adalah yang Partikular”. Hasilnya, Lassalle menyimpulkan dalam ekonomi; “emas adalah uang, dan uang adalah nilai”. Emas benar adalah uang, kata Marx, namun uang bukanlah nilai. Jauh sebelum Marx, barisan ekonom-politik Klasik sudah membuktikan hal ini dan justru hal ini yang jadi poin perlawanan teori nilai-kerja Klasik terhadap para pemikir-pedagang merkantilis. Mengomentari upaya kawan seperjuangannya ini, Marx mengatakan pada Engels,
Ia akan menemukan dalam usahanya bahwa adalah satu hal bagi sebuah kritik untuk membawa ilmu pengetahuan ke titik penyajian dialektis, dan hal lain untuk menerapkan sebuah sistem logika abstrak, siap-pakai, untuk menaksirnya secara samar”. [1]
Metode Marx, bukan penerapan sistem Hegel ke kajian ekonomi-politik. Metodenya, bukan sebuah “sistem logika abstrak, siap-pakai” tertentu.
Dalam proses pembuatan Kapital, Marx memang mengaku memperoleh bantuan amat besar setelah membaca ulang Ilmu Logika Hegel.[2] Ia bahkan dengan bangga menyatakan diri sebagai murid dari “sang pemikir besar”. Hutang pemikiran ini dikenali oleh Lenin kemudian ketika ia sengaja menghabiskan waktu mempelajari Ilmu Logika Hegel dan agak merepotkan kita dengan menyatakan mustahil memahami Kapital tanpa membaca dan memahami seluruh Ilmu Logika Hegel.[3] Makanya tak heran banyak penafsir Kapital kontemporer yang berwatak Hegelian, seperti kelompok Bentuk-Nilai (Value-Form) dan neue Marx-Lektüre yang populer di Jerman beberapa tahun terakhir.
Problem Lassalle pada dasarnya adalah ia kurang selangkah materialistik lagi untuk jadi revolusioner. Lassalle melupakan bahwa Marx sejak awal, ‘Marx muda’, adalah seorang materialis. Segala penghormatan dan hutang atas Hegel oleh ‘Marx matang’ harus mengingat bahwa formasi pemikirannya pertama-tama justru dilakukan lewat kritik serta perlawanan atas Hegel dari titik pijak seorang materialis. Membaca, menafsirkan, atau mengkaji ekonomi-politik tanpa menyadari hal ini, rentan membawa pada problem Lassalle; mengidentikkan nilai dengan harga, menyamakan ekonomi-politik dengan filsafat.
Pertama-tama, baik mengingat bahwa Kapital disusun dengan amat strategis. Metode dialektis yang Marx maksud dalam Kapital tidak lebih dari metode penyajiannya (method of presentation). Jadi ini yang akan kita temukan ketika membuka Kapital. Ini differentia specifica analisis Marx dibanding pemikir ekonomi-politik sebelumnya. Dengan ini cara produksi kapitalis dianalisis dalam totalitasnya, dalam koherensi internalnya, dari kategori-kategori yang diturunkan secara logis dari bentuk konkrit hubungan produksinya sendiri. Strategi penyajian ini penting karena dengan ini Marx mampu memperlihatkan arah gerak perkembangan cara produksi kapitalis tanpa terpengaruh tinggi-rendahnya tingkat perkembangan kapitalisme. Negara Inggris abad-19 yang ia pakai sebagai data empiris hanyalah ilustrasi historis.[4] Lewat strategi penyajian dialektis Marx mau menunjukkan kapitalisme bukan semacam konspirasi jahat satu kelas terhadap kelas lain, melainkan membuktikan bagaimana kapitalisme dituntun oleh logika, oleh hukum gerak, yang tidak ada hubungannya dengan moral atau kesadaran dari kelas-kelas itu melainkan malah membentuknya. Makanya, kita bisa bilang bahwa kritik Marx terhadap kapitalisme bersifat struktural, a-normatif, dan karenanya objektif.
Lassalle sang kawan seperjuangan, agaknya juga lupa kalau Marx dalam karyanya mengingatkan ada perbedaan antara metode penyajian dan metode penyelidikan (method of inquiry).[5] Ini pemilahan dua metode yang biasa digunakan dalam kajian ekonomi-politik. Sebagai perbandingan, pemikir Pencerahan Adam Ferguson (1769),[6] ekonom liberal James Mill (1865),[7] dan ekonom Marxis, Ernst Mandel (1968),[8] sama-sama memilah dua metode ini dalam kegiatan ilmiah. Metode penyelidikan (atau analitik, dalam istilah Ferguson) adalah momen ketika sang peneliti mengajukan pertanyaan awal, memeriksa fakta-fakta mentah, membuat kategori, memeriksa kesalinghubungannya, dan dari situ merumuskan hukum-hukum yang mengatur fenomena. Artinya metode ini berangkat dari fakta untuk menemukan hukum-hukum umum. Corak argumennya a posteriori. Sedang metode penyajian persis kebalikannya. Argumennya a priori. Ini adalah momen pengujian hasil penyelidikan yang sudah dijalankan—hukum-hukum umum dibuktikan pada kasus khusus lewat fakta-fakta. Jadi yang pertama berkenaan dengan alur penemuan hukum-hukum sejarah, sedang yang kedua berkaitan dengan alur pembuktian hukum-hukum sejarah. Dengan kata lain, cara penyajian bersandar pada cara penyelidikan. Ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum mampu menyajikan analisis atas cara produksi kapitalis secara dialektis. Syarat ini tak lain adalah metode penyelidikan materialis yang Marx warisi dari pemikir sebelum dirinya, yakni dari tradisi naturalis Yunani Kuno, sains modern, dan ekonomi-politik Klasik.[9]
Ilmu Ekonomi-politik bagi Marx, dimulai oleh William Petty, diteruskan oleh Adam Smith, dan mencapai puncaknya pada David Ricardo. Selain ketiga nama ini, terutama kepada para ekonom pasca-Ricardo yang tidak menyelam ke dalam fenomena ekonomi, yang mengira hukum penawaran-permintaan sebagai pengatur jalannya roda ekonomi, Marx biasa menjuluki mereka sebagai ekonom vulgar.[10] Mengenai Petty, Roncaglia (2005) dan Suryajaya (2013) mengatakan metode penyelidikan kuantitatif Petty (aritmatika politik), dibentuk oleh Thomas Hobbes dan Francis Bacon. Keduanya adalah seorang materialis yang membawa asas-asas atomistik pemikir Yunani Kuno ke ilmu alam era Pencerahan. Hobbes adalah murid dari Bacon yang disebut Marx “mensistematisasi materialisme Baconian”, sedang Bacon adalah,
“…pendiri sesungguhnya dari materialisme Inggris dan semua ilmu eksperimental modern. Baginya filsafat alam adalah satu-satunya filsafat sejati, dan fisika yang berdasar pada pengalaman inderawi adalah ciri utama dari filsafat alam. Anaxagoras dengan homoeromeria-nya serta Demokritos dengan atom-atom-nya adalah otoritas-otoritas yang kerap dirujuknya…”[11]
Marx menyadari ada keterkaitan langsung antara para naturalis Yunani Kuno, pembaharu sains modern, dan ilmu ekonomi-politik. Hubungan ketiga tradisi keilmuan ini disatukan oleh kesamaan untuk memulai penyelidikan dari objek di luar manusia via pancaindera dan pikiran. Sarana pertama untuk menuju pengetahuan atas alam adalah serapan inderawi atau pengalaman (empeiria). Dalam hal ini, Bacon amat mirip dengan Demokritos (“sang empirisis”, kata Marx) dan Epikuros.[12] Bagi Bacon, “pancaindra tidak pernah salah dan merupakan sumber dari segala pengetahuan.” Namun aroma empiris yang hadir, baik dalam naturalisme Yunani Kuno dan sains modern (1623-1658), bukan empirisisme yang hadir pasca Locke (1690), seperti dalam Barkeley, Hume, atau Comte, yakni yang membatasi pengetahuan hanya pada apa yang terberi pada cerapan indrawi dan mereduksi penjelasan soal objek kajian pada cerapan inderawi tersebut. Melainkan objek empiris yang ditangkap oleh cerapan inderawi sebagai titik berangkat dan landasan pengetahuan yang dari sana segala abstraksi, konsep, dapat dibuat dengan bantuan pikiran. Dalam ketiga tradisi pemikiran yang dihormati Marx ini, cerapan inderawi hanyalah titik berangkat, namun penjelasan atas fenomena tetap didasarkan pada, dalam istilah Bacon, kualitas inheren dari objek yang dikaji. Epikuros bicara soal ukuran, bentuk, dan bobot sebagai kualitas inheren atom, Bacon bicara soal gerak sebagai kualitas inheren materi, dan bahkan Petty berupaya “mengekspresikan diri dalam angka, bobot, atau ukuran” ketika mengkaji masyarakat manusia. Metode penyelidikan ini berangkat dari hal ihwal yang diketahui oleh pengamat menuju pada apa yang hanya ada pada objek yang dikaji. Tradisi ini asing terhadap masalah kaum idealis—soal watak mandiri kenyataan dalam hubungannya dengan manusia. Ilmu alam secara instingtif mengakui materialisme. Bagi mereka, hal ihwal, alam, jelas-jelas ada secara independen dari cerapan inderawi, pikiran, diri, dan manusia secara umum. Perdebatannya hanya berkisar pada apakah penampakan realitas itu adalah penampakan objektif (Epikuros) atau subjektif (Demokritos) bagi pengetahuan manusia, soal epistemologis. Bagi yang pertama penampakan realitas akan dijelaskan bersandar pada realitas itu sendiri, pada kualitas inherennya dengan bantuan pikiran; sedang bagi yang kedua penampakan realitas akan dijelaskan bersandar penampakan aktual itu sendiri, pada relasinya dengan yang di luar dirinya. Marx lebih bersimpati pada yang pertama.
Dalam konteks pemikiran Marx, pandangan soal kualitas inheren dari realitas ini yang ikut membantunya menjawab pertanyaan mengenai relasi-relasi legal, bentuk politik, dan negara modern dalam filsafat hukum Hegel (1843-1844). Pertanyaan Marx, apa syarat kemungkinan (conditio sine qua non) ide negara modern? Jawabnya masyarakat sipil (masyarakat borjuis/Bürgerliche Gesselschaft) dan keluarga (monogami modern). Marx kemudian kembali bertanya, apa (untuk kembali memakai istilah Bacon) kualitas inheren dari masyarakat sipil? Tak lain adalah cara manusia memenuhi kebutuhan hidup materialnya. Ronald Meek (1972), mengatakan bahwa sebelum Marx, Adam Smith dan Mazhab Historis Skotlandia telah berupaya menjelaskan bentuk-bentuk hukum dan pemerintahan dari cara manusia bertahan hidup (modes of subsistence).[13] Marx mengikuti hal ini dengan menyatakan “pengamatan empiris mesti mengungkapkan secara empiris, tanpa mistifikasi dan spekulasi apapun, hubungan antara struktur sosial dan politik dengan produksi.” Ia berangkat dari premis bahwa hanya dari cara manusia memenuhi kebutuhan hidup materialnya (yakni lewat syarat-syarat yang sudah diberikan alam, alat-alat manusia mengubah alam, dan pembagian pekerjaan alias kelas-kelas yang spesifik dalam tiap bentuk masyarakat) bentuk-bentuk pemikiran, ideologi, kesadaran, atau kebudayaan bisa diperikan. Ini yang kita kenal sebagai konsepsi materialis atas sejarah, sebuah rumusan yang berangkat dari premis nyata kehidupan manusia yang “dapat diuji secara sepenuhnya empiris.”, yang dari sanalah segala “abstraksi dapat dibuat dalam imajinasi”. Sekali kesimpulan umum ini digenggam, tugas selanjutnya adalah membuktikannya dalam cara produksi spesifik yang jadi fokus kajian Marx, cara produksi kapitalis.
Apakah dengan mendekat-dekatkan metode penyelidikan Marx dengan ilmu alam Yunani Kuno dan sains modern tuduhan lama soal watak deterministik dari materialisme ilmu alam jadi ikut hadir dalam kajian ekonomi-politik? Apakah karena penyelidikan Marx berangkat dari kualitas inheren realitas, maka konsekuensinya dalam dunia sosial Marx mengandaikan tatanan sosial yang kodrati sifatnya dan tidak bisa berubah? Ini meleset. Sebabnya terlihat posisi Marx yang condong pada posisi materialisme Epikuros dibanding Demokritos di disertasinya. Filsafat alam Epikuros dihargai oleh Marx karena berhasil menjelaskan gerak penyimpangan acak (clinamen) dalam atom dari argumennya soal swa-determinasi atom sebagai penyebab gerak pertama. Epikuros berhasil menjelaskan gerak atom dari atom tunggal itu sendiri tanpa mensyaratkan hubungannya dengan atom yang lain. Karena gerak pertama-tama dihasilkan oleh daya tolak-menolak dalam atom itu sendiri, maka arah perkembangannya tidak dapat terprediksi. Apabila perkembangan realitas sebelum adanya manusia pada dasarnya berjalan non-deterministik, maka penggunaan metode ilmu alam pada ranah ilmu sosial tidak akan mengandaikan tatanan sosial yang kodrati.
Penyajian dialektis karenanya bersandar pada metode penyelidikan materialis. Melompati tahap penyelidikan ini (seperti Lassalle), niscaya akan menggiring ekonomi-politik pada sejenis ajaran Tao. Materialisme Marx bukan materialisme filosofis-metafisis, ia lain dari label, ia beda dengan slogan. Materialismenya adalah materialisme ilmiah dalam pengertian selalu mengacu pada kenyataan yang spesifik-konkret. Oleh Marx ini yang ia praktikkan dengan proses yang amat panjang dan obsesi yang tinggi pada detail empirik dalam penyusunan karyanya. Jenis materialisme ini yang membuat Kapital tidak dibuka oleh ‘konsep nilai’, atau konsep apapun juga, tapi dimulai dari hal konkret-material yang tak satupun dari kita saat ini yang tidak mencerapnya secara inderawi.[14]
Yogyakarta, 28 Maret 2016
—————
[1] “[]He will discover to his cost that it is one thing for a critique to take a science to the point at which it admits of a dialectical presentation, and quite another to apply an abstract, ready-made system of logic to vague presentiments of just such a system.” (MECW, 40: 261).
[2] MECW, 40: 248.
[3] LCW, 38: 180.
[4] “What I have to examine in this work is the capitalist mode of production, and the relations of production and forms of intercourse [Verkehrsverhiiltnisse] that corres pond to it. Until now, their locus classicus has been England. This is the reason why England is used as the main illustration of the theoretical developments
I make.”(Marx, 1990: 90).
[5] “[…] Metode penyajian, sudah tentu, mesti berbeda bentuknya dari metode penyelidikan. Metode penyelidikan mesti melahap bahan dengan rinci, menganalisis berbagai bentuk perkembangan dan melacak keterhubungan internalnya. Hanya setelah ini dilakukan barulah gerakan yang sesungguhnya dapat secara tepat disajikan. Jika berhasil (jika intisari pokok ihwal segera dicerminkan kembali dalam gagasan)—maka hal itu akan tampil seolah-olah kita berhadapan dengan konstruksi a priori.” Terjemahan penulis, (Marx, 1990: 102).
[6] “method in science is of two kinds, analytic and synthetic. Analytic method is that by which we proceed from observation of fact, to establish general rules. Synthetic method, is that by which we proceed from general rules to their particular applications. The first is the method of investigation. The second of communication, or of the enlargement of science. Argumet is of two kinds: A priore, and a posteriore. By an argument a priore, the fact is proved from the law. By an argument a posteriore, the law is proved from the fact.” Ferguson dalam Institutes of Moral Philosophy, Sect. II: “Of Science”. Trims buat http://books.google.com/.
[7] Dalam August Comte and Positivism (1865) Mill menulis; “The philosophy of Science consists of two principal parts; the methods of investigation, and the requisites of proof. The one points out the roads by which the human intellect arrives at conclusions, the other the mode of testing their evidence. The former if complete would be an Organon of Discovery, the latter of Proof.” Positivisme Comte menurut Mill, hanya memberi sumbangsih pada metode penyelidikan.
[8] Karya Mandel, Marxist Economic Theory(1971), disusun dari kesadaran atas perbedaaan ini. Ini sebabnya Mandel berani ‘melupakan’ Marx, dan memakai data empiris di abad-20 untuk menguji validitas proposisi ekonomi Marx.Lih. Hal. 17.
[9] “Titik pijak saya—yang melaluinya perkembangan formasi ekonomis masyarakat dilihat sebagai suatu proses sejarah alam…” terjemahan penulis (Marx, 1990: 92).
[10] Lih. Misal, catatan kaki no. 34 (Marx, 1990: 174).
[11] Lengkapnya “Pendiri sesungguhnya dari materialisme Inggris dan semua ilmu eksperimental modern adalah Bacon. Baginya filsafat alam ada satu-satunya filsafat sejati, dan fisika yang berdasar pada pengalaman inderawi adalah ciri utama dari filsafat alam. Anaxagoras dengan homoeromeria-nya serta Demokritos dengan atom-atom-nya adalah otoritas-otoritas yang kerap dirujuknya. Menurut Bacon pancaindra tidak pernah salah dan merupakan sumber dari segala pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan berdasar pada pengalaman dan dibangun dengan cara memahami data yang dicerap pancaindra lewat sebuah metode penyelidikan rasional. Induksi, analisis, perbandingan, pengamatan, dan eksperimen adalah bentuk-bentuk prinsipil dari metode rasional itu. Kualitas inheren yang paling pertama dan utama dalam materi adalah gerak, bukan hanya dalam bentuk gerak mekanis dan matematis, namun terutama dalam bentuk sebuah impuls, daya-daya vital, tegangan—atau dalam istilah Jakob Böhme ‘Qual’—dari materi. Bentuk utama dari materi adalah daya-daya keberadaan yang hidup dan terindividualisasi secara inheren di dalamnya yang menghasilkan perbedaan antar spesies. Terjemahan penulis (MECW, 4:128)
[12] “karena itu dari fenomena lah kita mesti menggali informasi tentang yang tidak diketahui. Karena semua ide diturunkan dari serapan indrawi, baik dari kontak aktual atau lewat analogi, atau dari fakta, atau komposisi, dengan sedikit bantuan penalaran”. Terjemahan penulis Marx, Notebooks on Epicurean Philosophy (MECW 1, hal: 406)
[13] Meek, R.L. Studies in the Labour Theory of Value, Monthly Review Press (1973) hal. 52.
[14] Soal ini terlihat dari komentar Marx atas Adolph Wagner yang mengira karyanya dimulai dari konsep atas nilai; “In the first place [De prime abord] I do not proceed from “concepts”, hence neither from the “concept of value”, and am therefore in no way concerned to “divide” it. What I proceed from is the simplest social form in which the product of labour presents itself in contemporary society, and this is the “commodity”.(MECW, 24: 544).