DALAM lima belas tahun terakhir pasca Orde Baru, kita hidup dalam sistem politik demokrasi neoliberal. Dalam orde ini, seluruh sistem nilai dan kelembagaan politik yang terbangun ditujukan untuk memfasilitasi dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal bekerja sebagai sesuatu yang normal. Normal di sini berarti sesuai dengan hukum alam, wajar, sudah seharusnya begitu, sehingga menjadi aneh jika kita mempertanyakan dan kemudian menggugat keabsahannya.
Prinsip dan nilai-nilai demokrasi neoliberal itu adalah pasar sebagai penggerak dan tujuan utama dari seluruh aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Follow the money, not follow the people. Sisanya, baik dalam bentuk politik identitas berbasis ras, etnis dan agama atau retorika-retorika populis nan heroik, tidak lebih sekadar ornamen saja. Sejauh tidak mengganggu aktivitas pergerakan uang dan barang, maka segala bentuk hiruk-pikuk itu adalah bunga-bunga penghias pekarangan. Ya, letaknya persis hanya di pekarangan. Aceh boleh saja menerapkan syariat Islam, tapi jangan berani-berani menuntut soal pengambilalihan penguasaan kekayaan alam ke dalam tangannya pemerintah lokal. Ini sudah melampaui areal pekarangan yang bisa ditoleransi.
Akibat dari penerapan sistem demokrasi neoliberal ini, kita melihat bahwa terjadi kebebasan politik yang luar biasa tetapi tidak diikuti dengan redistribusi kemakmuran secara luas. Yang kemudian berlangsung dalam demokrasi neoliberal adalah kebebasan politik tidak berkorelasi positif dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi warga negara. Akibatnya muncul apatisme, sinisme dan aktivitas politik yang anti politik yang sangat luas di masyarakat, karena menganggap demokrasi hanya menjadi arena pergantian dan bagi-bagi kekuasan di kalangan elite politik dan bisnis, melalui praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sesuatu yang dipandang normal oleh kalangan neoliberal ini, lantas menciptakan situasi yang abnormal di masyarakat luas.
Rakyat bebas berpolitik (dengan pengecualian di wilayah Papua), tapi mereka tak cukup sumberdaya ekonomi untuk merealisasikan ambisi-ambisi politiknya. Kebebasan ini kemudian coba dikanalisasi melalui instrumen pemilihan umum secara periodik. Pada momen itu, rakyat dianggap memiliki kekuasaan politik mutlak untuk menentukan pemimpin dan wakil-wakilnya di parlemen. Tapi, telah ada begitu banyak studi yang menunjukkan bahwa akibat dari kurangnya sumberdaya ekonomi ini membuat keikutsertaan rakyat dalam pemilu sarat politik uang serta rawan kooptasi dari oligarki neoliberal yang beroperasi melalui mesin partai dan figur-figur lokal yang kharismatik. Intinya, dalam momen pemilu partisipasi politik rakyat berlangsung secara mekanistik, karena waktunya pemilu ya harus memilih. Selepas pemilu, rakyat kembali kehilangan kekuasaan politiknya, lupa bahwa mereka adalah pemilik sejati dari kedaulatan politik, gagal atau tak lagi sanggup mengontrol pemimpin dan wakil-wakil yang barusan diberikan mandat kekuasaan, karena harus kembali menjejakkan kaki ke kehidupan nyata yang serba keras dan berat, bahkan hanya untuk mencari sesuap nasi.
Di lain pihak, para pemimpin dan wakil-wakil yang barusan mendapatkan mandat rakyat itu, dengan segera memunggungi si pemberi mandat. Sang pemimpin kini lebih mengabdi pada kepentingan oligarki neoliberal. Wakil rakyat kembali menjadi petugas partai, yang mati hidupnya ditentukan oleh penguasa partainya. Kalau berbicara kepentingan rakyat, kembali itu hanya merupakan bunga-bunga penghias pekarangan.
Tidak berarti bahwa dalam demokrasi neoliberal tidak ada ruang bagi partisipasi warga dalam pembentukan kebijakan publik. Melalui seperangkat aturan dan kelembagaan yang ada (misalnya wadah Musrenbang), partisipasi warga itu coba diwadahi dan dikanalisasi. Tetapi masalahnya, partisipasi warga itu tidak ditujukan untuk mengoreksi ketimpangan redistribusi ekonomi yang bersifat struktural akibat penerapan kebijakan neoliberal, melainkan sekadar untuk memperoleh legitimasi warga atas program-program ekonomi dan politik yang telah didesain oleh para pejabat publik dan teknokrat yang menganut paham neoliberal.
Tidak aneh, karena musrenbang itu adalah sesuatu yang abnormal dalam kapitalisme neoliberal yang mensyaratkan ketidakhadiran warga secara luas dalam politik. Dalam dunia perburuhan, misalnya, kapitalisme neoliberal jelas tidak menghendaki serikat buruh yang kuat, yang menjadi alat buruh untuk bernegosiasi dengan si kapitalis. Bermacam-macam cara digunakan untuk melemahkan serikat buruh, yang tujuannya agar buruh hanya memikirkan bagaimana bisa bekerja seproduktif-produktifnya. Dalam lingkup ini, musrenbang tak ada relevansinya.
Ini berarti, jika kita ingin mengampanyekan perlu dan pentingnya partisipasi rakyat yang luas dalam penentuan kebijakan publik yang berkaitan langsung dengan kehidupannya sehari-hari, maka syarat pertama adalah kita harus melawan keberadaan demokrasi neoliberal yang sudah dipandang normal ini. Kita harus mulai mengatakan bahwa sistem ini tidak normal. Kita harus segera mengatakan tidak pada sistem ini. Kita butuh demokrasi, tapi bukan demokrasi neoliberal.***