PADA bulan Mei 1998, Indonesia diguncang kerusuhan. Kekerasan berlatar perbedaan ras berkobar di seantero negeri, terutama di Medan dan Sumatra Utara.
Kerusuhan-kerusuhan yang banyak menagih korban dari etnis Tionghoa ini turut menyeret Presiden Soeharto turun dari tahta, sekaligus meluluhlantakkan rezim Orde Baru.
Hari ini, salah kandidat presidensial, Prabowo Subianto, bisa menikmati warisan para korban tersebut dengan leluasa.
Perdebatan tentang dugaan keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan-kerusuhan tersebut, hampir selalu dihubungkan dengan masalah-masalah teknis seperti urutan kejadian, tempat-tempat, serta karakterisitik dan pola gerakan para aktor di lapangan; semuanya tampak sebagai sebuah misteri yang hanya bisa dipecahkan oleh ‘bukti fisik’.
Tentunya ada pertemuan-pertemuan antara Prabowo dengan pihak-pihak lain yang, ditambah dengan sumirnya keberadaan Prabowo pada waktu itu, bisa mengaitkan sang Jendral pada peristiwa-peristiwa Mei 1998—entah sebagai dalang atau sekadar kaki tangan. Menurut Tim Gabungan Pencari Gakta (TGPF), Prabowo Subianto adalah tokoh kunci dalam keterlibatan militer dengan perusuh-perusuh di Jakarta.
Namun demikian, kekurangan dari laporan serta penyelidikan atas kasus tersebut adalah tiadanya hubungan ideologis antara Prabowo dengan kerusuhan-kerusuhan anti-Tionghoa.
Jarang sekali diingat bahwa pada 26 Januari 1998, Prabowo mengundang sekumpulan pemuka dan intelektual muslim dalam sebuah acara buka puasa di markas Kopassus, Cijantung, Jakarta. Ketika Prabowo berceramah tentang ancaman asing terhadap stabilitas nasional, ajudannya membagi-bagikan buku pada kurang lebih 5000 peserta. Buku tersebut berisi data mengenai dominasi etnis Tionghoa peranakan atas ekonomi Indonesia.
Menurut Prabowo, krisis moneter yang menerpa Indonesia pada waktu itu adalah hasil dari konspirasi internasional yang bekerjasama dengan cukong-cukong Peranakan. Secara khusus ia menuding Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) dan saudaranya, Yusuf Wanadi (Liem Bian Kie), beserta think-tank jempolan CSIS yang mereka kelola. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan ceramah itu, gerombolan orang mengepung kantor CSIS di Jakarta selama 2 hari (26 hingga 27 Januari 1998).
Dalam memoar politik Shades of Grey, Jusuf Wanandi menulis bagaimana Prabowo mengintimidasi CSIS dengan mengirim ratusan demonstran ke kantor pusat lembaga tersebut. Wanandi juga menulis bahwa Prabowo menyalahkan pengusaha Tionghoa peranakan atas krisis yang sedang terjadi. Lebih jauh lagi, Prabowo menuduh pengusaha-pengusaha tersebut melakukan sabotase ekonomi untuk menjatuhkan Soeharto.
Sebelum krisis keuangan tahun 1997, Hashim Djojohadikusumo memiliki sejumlah bank, di antaranya Bank Pelita, Bank Industri, Bank Papan Sejahtera, dan Bank Niaga. Krisis moneter tahun 1997 mendesak nasabah bank-bank tesebut untuk mengungsikan uang mereka ke Singapura dan Hongkong. Bank-bank yang dimiliki Hashim merasakan imbasnya. Resesi ekonomi menghantam keluarga Djojohadikusumo dengan telak. Prabowo melihatnya sebagai konspirasi internasional yang melibatkan kaum Tionghoa peranakan.
Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto
Gayung bersambut. Pada 8 Februari 1998, sejumlah tokoh, di antaranya Ahmad Soemargono (KISDI) dan Kiai Haji Cholil (MUI dan DDII), berkumpul di masjid Al-Azhar. Kedua tokoh tersebut memiliki pandangan yang serasi dengan Prabowo. Selain ikut mengutuk Sofyan Wanandi dan CSIS, salah satu pembicara dalam pertemuan tersebut juga menuduh peranakan Tionghoa dan kelompok non-muslim sebagai biang keladi kehancuran Indonesia. Sementara itu pembicara lain menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata dan Islam harus bersatu untuk mengatasi masalah ini.
Dalam Buku Putih Prabowo hal ini digambarkan demikian:
Prabowo memupuk hubungan dengan pemimpin-pemimpin Islam yang merasa menjadi korban ketidakadilan militer yang dipengaruhi oleh orang-orang Kristen dan pemerintah, serta diisolasi oleh ekonomi yang didominasi etnis Tionghoa. Di antaranya: Amien Rais, profesor dari Yogyakarta yang meneruskan kritik atas kekuatan Kristen dan modal Tionghoa menjadi kritik terbuka atas Soeharto.
Namun Prabowo menyangkal tuduhan sebagai anti-Tionghoa. Sambil berkata bahwa ekonomi yang didominasi minoritas peranakan Tionghoa adalah tidak sehat, ia menekankan bahwa: ‘pengusaha-pengusaha Tionghoa berpikir saya mau menyingkirkan mereka. Sebaliknya, model yang saya gunakan adalah Peraturan Ekonomi Baru (PEB—New Economic Policy, NEP) di Malaysia.’
PEB adalah model ekonomi Malaysia yang diterapkan untuk menciptakan kesetaraan antara Pribumi (baca: Malay) serta etnis-etnis lain (terutama Tionghoa-Malaysia) serta modal asing di Malaysia. Sistem ini diterapkan sejak tahun 1969 setelah meletusnya kerusuhan ras yang menelan banyak korban jiwa.
Sebagian orang berpendapat kerusuhan terjadi karena tingginya tingkat kemiskinan rakyat Malay di Malaysia ketika itu. Pemerintah Malaysia kemudian melembagakan PEB untuk meredistribusikan kekayaan dari minoritas Tionghoa ke mayoritas bumiputra.
Mungkinkah Prabowo berpikir bahwa, untuk bisa menerapkan model ekonomi yang sama di Indonesia, dibutuhkan juga kerusuhan ras sebagai dalih untuk mencanangkan PEB versi Indonesia? Yang jelas, kerusuhan Mei 1998 gagal mencapai tujuan tersebut.
Prabowo membantah ia mau menyasar peranakan Tionghoa hanya untuk menerapkan PEB:
‘Katakanlah Anda tidak percaya saya punya perikemanusiaan… kalau kita memberantas orang-orang Tionghoa, ekonomi kita juga akan lumpuh. Sama saja bunuh diri…’
Tentu saja, seperti kerusuhan 1969 di Malaysia yang berujung pada penerapan ‘solusi’ PEB, kerusuhan Mei 1998 di Indonesia juga tidak dirancang untuk ‘mengganyang’ semua peranakan Tionghoa, melainkan sebagai hukuman atas dominasi ekonomi mereka. Pada saat yang sama, kerusuhan ras bisa menjadi dalih untuk menerapkan PEB yang akan menguntungkan pengusaha ‘Pribumi’, seperti Hashim dan keluarga Djojohadikusumo.
Kalau kita perhitungkan semua hal di atas, kita bisa melacak hubungan antara sikap anti-Tionghoa Prabowo, serta kepentingan ekonomi-politik keluarganya. Kita telah menemukan kepingan puzzle kerusuhan 1998 yang hilang.
Banyak yang bertanya-tanya, mengapa kerusuhan-kerusuhan pada Mei 1998 bisa berujung pada kekerasan rasial terhadap kaum peranakan Tionghoa, padahal reformasi yang dipimpin mahasiswa tersebut membawa aspirasi pembebasan bagi seluruh lapisan masyarakat yang ditindas Orde Baru?
Namun, Reformasi yang dipimpin mahasiswa adalah gerakan sosial yang bertujuan untuk menelanjangi otoritarianisme Orde Baru, termasuk penindasan terhadap etnis Tionghoa. Pada sisi lain, kerusuhan anti-Tionghoa adalah usaha terselubung untuk menghukum Tionghoa peranakan sebagai kaki tangan konspirasi internasional. Keduanya adalah peristiwa yang sama sekali berbeda; yang satu tidak menyebabkan yang lainnya.
Walau bagaimana pun, cukup sulit untuk mendapatkan bukti keterlibatan langsung Prabowo dalam kerusuhan anti-Tionghoa 1998. Namun, berdasarkan analisis di atas, setidaknya kita bisa menyimpulkan bahwa Prabowo punya kepentingan untuk memoles etnis Tionghoa peranakan sebagai kambing hitam atas krisis finansial tahun 1997.
Kalau kita perhitungkan sejarah ini, sungguh mengejutkan kalau beberapa minggu belakangan Prabowo kembali berbaris dengan kekuatan Islam yang sama, seperti FPI dan Amien Rais.***
Penulis adalah seorang dosen yang tinggal di Surabaya, Jawa Timur.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di laman New Mandala. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Penerjemah Yovantra Arief.