TINGGINYA angka pertumbuhan ekonomi Indonesia, dirayakan di tengah maraknya pengungkapan korupsi yang melibatkan para pejabat dan politisi. Elektabilitas partai-partai besar turun karena petinggi dan kader-kadernya terlibat korupsi. Saat yang sama, potret penderitaan warga akibat perluasan investasi yang bertumpu pada pengerukan kekayaan alam meningkat dan meluas. Pada kondisi ini Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) diusung. Proyek ini menjanjikan mimpi Indonesia menjadi sepuluh negara besar di dunia pada 2025.
MP3EI berlabel Not Business As Usual dengan menu lama, yaitu sektor industri ekstraktif, kehutanan, dan perkebunan skala besar yang rakus lahan dan buruh murah. Proyek seperti ini telah terbukti melahirkan kasus-kasus perampasan lahan, penurunan mutu fungsi-fungsi alam, serta bencana industrial yang menyingkirkan permukiman dan ruang-ruang ekonomi, seperti kasus luapan lumpur Lapindo.
Guna memuluskan jalannya proyek ini, gincu-gincu kepedulian ditempel di sana sini, seperti janji menurunkan laju emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen hingga 41 persen, dan meningkatkan kesejahteraan. Tetapi, kenyataannya MP3EI masih mengandalkan sektor-sektor yang rakus lahan, infrastruktur pengangkutan, sumber energi dan buruh murah. Itu sebabnya hampir 80 persen investasi MP3EI untuk pengadaan fasilitas pengangkutan dan energi. Konsekuensinya, pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM) menjadi niscaya. Laporan yang diungkap Komisi Nasional (Komnas) HAM menunjukkan, sebagian besar pelanggaran HAM yang terjadi akibat investasi rakus lahan dan bertumpu pada buruh murah. Ini membuka mata kita bahwa MP3EI adalah rencana induk bagi perluasan tingkat derita dan bencana bagi warga.
Bagaimana dengan buruh murah? Masih resep lama. Alih fungsi lahan dan hutan besar-besaran akan melahirkan orang miskin baru, yang tak punya pilihan dan bersedia menjadi buruh murah. Laporan pemetaan perempuan dan pemiskinan pada lima tahun terakhir yang dikeluarkan Komnas Perempuan (2012), menegaskan terjadinya Pencerabutan sumber-sumber kehidupan perempuan secara sistematis. Berbagai kebijakan Negara menghasilkan peningkatan konsentrasi lahan kepada segelintir orang. Mereka yang tergusur dari tanahnya berakhir di sektor perburuhan, pekerja rumah tangga, pekerja seks dan buruh migran – sektor-sektor yang minim perlindungan Negara. Jumlah buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan, angkanya justru paling tinggi pada kawasan lumbung-lumbung Padi, seperti Indramayu, Karawang, Cianjur, Lombok dan Sumbawa.
Dekorasi Ulang
Berpayung pada dogma neoliberalisme, lewat intensifikasi dan ekstensifikasi privatisasi dan finansialisasi sektor-sektor publik, MP3EI bukanlah sebuah rancangan baru. Justru ini merupakan rancangan reka-ulang dan dekorasi ulang (refurbishing) resep pembangunisme a la Orde Baru. Resep yang melibatkan pemangkasan hambatan regulasi, pemberian insentif, hingga percepatan pembangunan infrastruktur mendukung pelaku ekonomi.
Tajuk yang dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia incorparated, tak lebih dari langkah kolosal privatisasi dan finansialisasi sektor-sektor publik, yang melawan dan merendahkan Konstitusi. Maka jangan terkejut bila di sekujur Nusantara bertebaran 10.677 ijin pertambangan mineral dan batubara yang terbit tanpa persetujuan masyarakat sekitar, yang nantinya akan dipinggirkan atas nama keamanan dan kenyamanan investor.
Padahal tanpa MP3EI pun tekanan terhadap keselamatan warga dan kemerosotan fungsi-fungsi alam terus berlangsung. Masih hangat dalam ingatan, bagaimana warga Kolo Bawah ditembaki dan meninggal saat protes dan menuntut PT. JOB Medco di Tiaka Sulawesi Tengah, karena menganggu kawasan tangkap nelayan. Atau pelanggaran HAM pada konflik warga dengan PTPN VII Cinta Manis di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, yang berakibat satu remaja tewas ditembak, enam lainnya terluka. Pada 2011, JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) mencatat sedikitnya 174 konflik pertambangan, sementara Komnas HAM mencatat angka tertinggi konflik warga adalah konflik agraria yang mencapai 738 kasus, dari tindakan kekerasan hingga pembunuhan.
Sumber bencana
Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007 menyatakan, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Namun daya rusak industri ekstraktif tambang, kehutanan dan perkebunan yang senantiasa menimbulkan dampak yang dijelaskan undang-undang ini, tak dianggap bencana.
Bencana masih dianggap peristiwa alami, tidak ada urusannya dengan tindakan manusia, mengabaikan fakta bencana alami itu kerap merupakan dampak kumulatif kerusakan fungsi-fungsi alam. Akibatnya, tindakan Negara menangani kemerosotan keselamatan warga pada kejadian bencana tidak lebih dari tindakan tanggap darurat.
Abainya negara dalam menjamin keselamatan warga dapat dilihat pada kejadian ketika lima anak meninggal di lubang tambang batubara di Samarinda, dalam tiga tahun terakhir. Atau banjir rutin yang meluas dari 29 titik menjadi 35 titik banjir tahun lalu, sejak 70 persen lebih kawasan Samarinda menjadi konsesi tambang batubara. Ironisnya, derajat derita warga diperparah cuaca ekstrem karena dampak perubahan iklim.
Jelas MP3EI secara terencana tak memasukkan derajat derita warga yang terus meningkat dalam kalkulasi proyeksi laba. Rencana induk ini masih mengadopsi mantra Orde Baru, trickle down effect, yang percaya pertumbuhan ekonomi pelan-pelan akan menetes kepada warga. Oleh karena itu untuk melancarkan rencana perluasa pertumbuhan ekonomi ini, warga harus mengalah dan menyingkirkan kepentingan yang dianggap kecil dan tidak berarti.
Sulit diterima akal sehat, MP3EI yang bertumpu pada industri ekstraktif pertambangan, kehutanan dan perkebunan skala besar ini bisa mewujudkan mimpi Indonesia sebagai sepuluh Negara besar dunia.***
Siti Maimunah, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)