MAKNA apa yang bisa diambil dari membaca The Communist Manifesto, setelah 163 tahun sejak publikasi pertamanya pada 1848? Bagi sebagian orang, buku ini ibarat barang antik yang menjelaskan gejolak politik revolusioner pada abad ke-20 dengan romantisme pembebasannya, revolusi politik yang membuat tatanan ekonomi politik tunggang-langgang, maupun keteguhan para aktivis dan intelektual kiri dalam memosisikan diri pada front kelas pekerja. Mereka membaca karya ini seperti kaum puritan membaca kitab suci, sebagai teks yang memfosil dan harus direalisasikan dengan tepat kalimat demi kalimatnya, tesis demi tesisnya tanpa kurang sedikitpun dalam realitas bumi manusia. Sementara bagi sebagian lainnya, sebagai sebuah buku yang memotret sejarah abad ke-19 dan 20, karya ini dipandang tidak memberikan inspirasi apa-apa bagi masa kini dan masa depan.
Di antara dua titik ekstrimitas tersebut, tulisan ini belajar menyelamatkan api progresif di balik rangkaian kata-kata yang tertoreh dalam kitab Manifesto Komunis (selanjutnya disebut Manifesto). Di satu pihak, saya ingin melampaui penyepelean oleh kalangan yang ingin memusiumkannya, tanpa pernah menyadari bahwa apa yang ditulis Marx dan Engels tentang sistem kapitalisme, baik aspek revolusioner maupun aspek eksploitasinya terhadap manusia masih relevan hingga kini. Di pihak lain, saya juga menolak membaca kitab ini seperti sebuah risalah suci, yang menempatkan Manifesto sebagai buku petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis dalam menganalisa peristiwa-peristiwa horor abad ke-20, dengan menerjemahkan kitab ini sebagai tuntunan program untuk membangun perencanaan ekonomi-politik yang ketat dengan menempatkan manusia sebagai bahan material dari bangunan yang mereka impikan. Kedua posisi tersebut, sadar atau tidak, telah membiarkan tumpukan piramid kurban manusia terbangun dalam sejarah manusia abad ke-20.
Siapapun, termasuk mereka yang mengabaikan dan menempatkan buku ini sebagai bagian dari musium sejarah abad ke-19 dan abad ke-20, tak akan bisa menolak tesis bahwa penggambaran Manifesto tentang formasi kapitalisme lebih relevan saat ini daripada 163 tahun yang lalu. Seperti tertera dalam kutipan Manifesto:
“The bourgeoisie has through its exploitation of the world market given a cosmopolitan character to production and consumption in every country. To the great chagrin of Reactionists, it has drawn from under the feet of industry the national ground on which it stood. (…) In place of the old local and national seclusion and self-sufficiency, we have intercourse in every direction, universal inter-dependence of nations. And as in material, so also in intellectual production.”
(Kaum borjuis melalui eksploitasinya atas pasar dunia telah memberikan karakter kosmopolitan terhadap produksi dan konsumsi di setiap negara. Dengan kegusaran dari kaum reaksioner, kaum borjuis telah bangkit dari bawah kaki industri pada basis nasional di tempat mereka berdiri. Dengan menggantikan usaha lokal lama dan keterpisahan nasional yang memenuhi kebutuhannya sendiri, terbentuklah pertemuan dari segala arah ketergantungan universal dari setiap bangsa baik dalam basis material maupun karya intelektual).
Demikianlah rejim kekuasaan global neoliberalisme saat ini, telah menuntaskan deskripsi ketat dari Karl Marx dan Frederick Engels dalam Manifesto, tentang wajah dunia di bawah formasi kapitalisme. Deskripsi Manifesto ini menunjukkan bahwa analisis Marxis terhadap pembentukan formasi kapitalisme bukanlah suatu hal yang dangkal, yang dibentuk oleh suara kebencian dan memaknainya semata-mata sebagai sebuah sistem yang buruk. Manifesto justru melihat karakter revolusioner dari sistem kapitalisme dalam mengubah wajah dunia dari formasi feodalisme menuju formasi sosial yang lebih baru. Melalui sistem kapitalisme, interaksi antar manusia melalui perdagangan dunia dapat semakin bebas dan terbuka sehingga memberikan cakrawala kosmpolitanisme dalam relasi produksi dan konsumsi.
Lalu apakah yang mereka kritik dari sistem kapitalisme ini bagi hubungan sosial bagi umat manusia? Watak apakah yang merugikan umat manusia sehingga sistem ini harus ditransformasikan, bukan saja karena tuntutan sejarah tapi bagi aktualisasi dari kapasitas humanitas manusia?
Banyak hal yang dapat kita temukan tentang dampak destruktif dari sistem kapitalisme dalam karya-karya Marx dan Engels. Misalnya, ketika menjelaskan salah satu karakter eksploitatif dari sistem kapitalisme terhadap manusia, yakni mengenai kerja dan alienasi (keterasingan) manusia. Seperti diuraikan Allen W. Wood (2004) dalam karyanya Karl Marx: Arguments of The Philosphers, dalam formasi sistem kapitalisme-lah manusia mengalami keterasingan yang lebih dalam dari masa sebelumnya. Dalam sistem kapitalisme yang mensakralkan kepemilikan privat bagi alat-alat produksi, Wood menjelaskan gagasan Karl Marx tentang keterasingan manusia. Bahwa manusia, yaitu kelas pekerja, terpisah dari produk yang ia buat, terasing dari kondisi kerja di lingkungan tempat ia bekerja dan terasing dari kerja yang ia lakukan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, pembagian kerja manusia dalam sistem kapitalisme berkarakter ”mengasingkan” manusia. Kapitalisme memisahkan manusia dalam kategori-kategori kaku, menempatkan manusia dan aktivitasnya dalam relasi yang saling terasing dengan yang lainnya melalui spesialisasi kerja bagi tiap-tiap orang yang menghancurkan individualitas dan integritas manusiawinya.
Jonathan Wolff (2002) dalam Why Read Marx Today?, memberikan penjelasan yang lebih rinci menyangkut cara kerja kapitalisme yang mengasingkan manusia. Menurut Wolff, ada lima hal penting yang dilihat Marx sebagai efek negatif kapitalisme bagi kelas pekerja: pertama, di dalam kapitalisme kelas pekerja tidak memiliki posisi otonom dalam menentukan standar upah bagi dirinya. Bahkan untuk menghindari rasa lapar sehari-hari maka ia harus menerima upah kerja minimum yang diberikan oleh borjuasi di bawah hukum penawaran dan permintaan; kedua, bagi sebagian besar kelas pekerja di seluruh dunia bahkan sampai saat ini, kerja adalah hukuman bagi mereka. Mereka harus rela menerima kondisi kerja yang memprihatinkan dengan jam kerja yang panjang demi menerima upah yang telah ditetapkan; ketiga, sistem kerja di bawah sistem kapitalisme telah menggerus kemanusiaan manusia dan mengubahnya menjadi sekrup-sekrup mesin dalam sistem kapitalisme; keempat, dalam sistem kapitalisme manusia melalui kerjanya tak lebih sekadar komoditi yang diperjualbelikan tanpa landasan kepastian (seperti sistem outsourcing pada saat ini); dan kelima, melalui kerja di dalam kapitalisme, manusia menjadi obyek dari dominasi kekuatan di luar dirinya, yaitu nafsu untuk menumpuk kekayaan dan logika gravitasi kapital.
Keterasingan kelas pekerja dalam sistem kapitalisme ini, dijelaskan lebih mendasar oleh Alex Callinicos (2003) dalam bukunya An Anti Capitalist Manifesto. Menurut Callinicos, Marx menjelaskan bahwa watak fundamental kapitalisme ditandai oleh proses eksploitasi terhadap upah buruh (exploitation of wage-labour) dan kompetisi dalam akumulasi kapital (competitive accumulation of capital). Kedua hal ini menjadi relasi fundamental dalam formasi kapitalisme yang menandai kontradiksi baik antara kapital dan kelas pekerja maupun di antara kelas kapitalis itu sendiri dalam relasi sistemik sistem kapitalisme. Untuk mencapai sirkuit perburuan keuntungan maka eksploitasi kapital terhadap kerja yang dilakukan oleh kelas pekerja menjadi semakin dalam dan semakin mengasingkan mereka. Dalam pertarungan untuk memperebutkan keuntungan setinggi-tingginya tanpa akhir di kalangan borjuasi inilah maka eksploitasi terhadap kelas pekerja terjadi. Inilah yang dikatakan Marx, ketika ia menjelaskan kondisi konkret kehidupan kelas pekerja: ”Para pekerja yang selama 10-12 jam hanya menenun, memintal, menyekop, merangkai, dan mengangkat barang sebagai manifestasi kehidupannya. Maka bagi mereka hidup baru dimulai saat mereka duduk di meja makan, sewaktu berkumpul dipertemuan atau berbaring di tempat tidur.” Itulah sebabnya, menurut Marx, di dalam sistem kapitalisme relasi antara pemilik kapital yang mendapatkan keuntungan besar dari sistem ini dan kelas pekerja yang bekerja dalam proses perburuan keuntungan berada dalam relasi antagonisme yang tak terdamaikan.
Membangun Tatanan Demokratik Kerakyatan
Dengan mengerti proses keterasingan manusia dalam sistem kapitalisme ini, maka pembicaraan kita tentang demokrasi menjadi lebih utuh. Mekanisme politik demokratis yang eksis dalam sistem kapitalisme, ternyata telah melahirkan rejim kediktatoran baru, yang saya sebut kediktatoran pemilik modal. Rejim diktatorial baru ini, hanya bisa eksis dengan mengeksploitasi kelas pekerja di ranah ekonomi, tempat yang tak terjamah oleh otoritas politik, terutama sejak berkuasanya rejim kapitalisme-neoliberal. Dalam sistem kapitalisme – pada konstruksi ekonomi-politik- klaim demokrasi politik menjadi kehilangan relevansinya. Kesetaraan manusia dalam ruang politik menjadi retorika tak bermakna, saat dalam aktivitas produktifnya manusia berada di bawah tirani kepemilikan privat dari kaum borjuis.
Meminjam uraian yang lebih sederhana, dari Ir.Soekarno dalam Lahirnja Pantjasila
”Di dalam parlementaire democratie…tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlemen…wakil kaum yang mempunyai hak politik itu, di dalam parlemen dapat menjatuhkan minister, ia seperti raja. Tetapi di dalam tempat bekerja-di dalam pabrik-sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat di lempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa.”
Dalam uraian-uraian di atas maka dapat kita simpulkan, adalah pendek pikiran ketika kita memahami begitu saja bahwa marxisme adalah paham yang menolak demokrasi. Kritik Marx terhadap demokrasi liberal adalah bahwa emansipasi politik maupun hak-hak sipil dan politik yang dijamin rejim demokrasi liberal kepada warganegara, tidaklah cukup dan tidak memberikan makna apa-apa terhadap kemerdekaan manusia, pemenuhan kebebasan manusia untuk bekerja dalam aktivitas konkret dalam berproduksi maupun dalam membangun ikatan-ikatan sosial dengan yang lainnya.
Bagi Marx, dalam rejim demokrasi liberal, pada level permukaan, meski tiap-tiap orang memiliki daftar hak-hak yang begitu kaya, namun dalam kedalaman relasi sosial ekonomi di ranah masyarakat sipil (tataran aktivitas ekonomi berlangsung), yang justru terjadi adalah hubungan yang eksploitatif. Eksploitasi ini terjadi ketika suatu kelas berlomba untuk memperoleh keuntungan ekonomi melalui kepemilikan eksklusif terhadap aset produksi dengan mengeksploitasi habis-habisan terhadap mereka yang menjalankan aktivitas produksi tersebut. Dalam konteks ini, Marx menegaskan bahwa demokrasi liberal borjuis adalah bagian dari fase demokratik yang harus ditransformasikan dalam fase demokrasi yang secara utuh menghormati otentisitas manusia terhadap kerja yang dilakukan, produk yang dihasilkan, lingkungan kerja yang ia alami dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Lebih lanjut Marx mengatakan, pemenuhan terhadap kondisi-kondisi tersebut dapat dilakukan ketika sistem kapitalisme dilampaui dan jantung dari persoalan tersebut, yaitu hak kepemilikan personal atas alat-alat produksi, yang menjadi akar dari kemampuan kelas borjuis untuk berburu keuntungan sekaligus memeras kerja dari kelas pekerja, ditransformasikan menjadi hak kepemilikan kolektif dalam aktivitas produksi.
Ketika alat-alat produksi telah dikuasai bersama secara kolektif dan demokratik, maka semua orang menyadari bahwa dirinya adalah sumber dari kekuasaan memerintah, untuk dirinya sendiri dan untuk kepentingannya sendiri. Di titik inilah tujuan dan proyek politik demokrasi sosialis menemukan relevansinya, yakni kebebasan seseorang menjadi prasyarat bagi kebebasan orang lain.
Renungan Kritis
Sayangnya, kalau kita tengok ke belakang perjuangan revolusi kaum marxis abad ke-20, kita menyaksikan bahwa sapuan indah gambaran makro tentang gagasan yang tertuang dalam Manifesto, berbicara dalam kenyataan yang berbeda. Risalah Manifesto kerapkali menjelma menjadi cetak biru bagi praktik-praktik horor politik abad ke-20 dalam riwayat kaum Bolshevik (setidaknya secara konsensual disepakati oleh banyak kelompok kiri setelah dipimpin oleh Stalin) dan rejim-rejim komunis di Eropa Timur, Rejim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot di Kamboja, dalam beberapa fragmen perjuangan kaum Marxis di China pada era Mao, dan banyak tempat lainnya. Sebagian di antaranya disebabkan oleh ambisi pribadi para pemimpin dan aktivis politiknya, sebagian di antaranya disebabkan oleh idealisme kaum marxis yang membawa teori-teori marxisme pada level ekstremitasnya.
Karena itu, kita tidak menutup kemungkinan bahwa ada yang harus dikritik, dipikirkan kembali, dan diremajakan dalam teks-teks yang diuraikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, untuk mengembalikan semangat demokratik dari pemikirannya, seperti yang tertuang dalam Manifesto.
Salah satu perdebatan menarik yang dielaborasi oleh Filip Spagnolli (2010) dalam The Neo-Communist Manifesto, patut untuk direnungkan. Benar bahwa Marx dan Engels dalam Manifesto menjelaskan bahwa transformasi hak milik dari privat menuju kolektif adalah terkait dengan hak milik dalam konteks alat-alat produksi, namun demikian, menurut Spagnolli, kepemilikan hak milik privat dalam konteks alat-alat produksi melindungi berbagai bentuk kepemilikan privat lainnya. Mengingat hak milik privat tetap penting dalam menjaga kebebasan manusia, karena dengan hal itulah maka manusia dapat terlindungi dari kemungkinan tirani mayoritas, membuat mereka tetap independen dan secara otonom dan kreatif menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Berangkat dari pendasaran di atas, Filip Spagnolli menguraikan bahwa hambatan-hambatan yang terkait dengan pentingnya hak milik privat dalam membangun otonomi dan kebebasan manusia, bukanlah hambatan bagi proses demokratisasi wilayah sosial-ekonomi, sesuatu yang tetap membuat fondasi demokrasi menjadi tirani kaum borjuis. Spagnolli kemudian memunculkan tesis tentang konsep corporate democracy dan corporate participatory, yaitu proyek demokratisasi wilayah ekonomi untuk menentukan aktivitas yang dilakukan dalam proses produksi maupun hak-hak dalam ruang ini yang tidak hanya melibatkan pemilik modal maupun saham, namun secara penuh mengikutkan seluruh manusia yang terlibat dalam proses produksi tersebut, yaitu kelas pekerja. Agar proses ini bekerja, maka tugas negaralah untuk mengontrol agar kepemilikan privat dalam proses produksi tidak menjadi eksesif dan melanggengkan kerja eksploitasi manusia atas manusia. Dengan agenda memperjuangkan kerangka demokrasi korporat, masih menurut Spagnolli, kaum kiri harus turut aktif memajukan agenda-agenda Hak Asasi Manusia maupun demokrasi partispatoris, yang mencoba mendemokratisasikan ranah ekonomi-politik dengan memperkuat kuasa kaum pekerja dalam ruang-ruang ekonomi.
Alternatif selanjutnya, yang sebenarnya masih terinspirasi pula dengan agenda emansipatoris Marxisme, adalah agenda yang dibawa oleh kaum post-marxist seperti Ernesto Laclau, Chantall Mouffe, Nancy Fraser dan Irish Marion Young. Mereka, misalnya, melihat bahwa dimensi-dimensi opresif terhadap kemanusiaan tidak hanya berlangsung di dalam relasi produksi, namun juga berlangsung dalam lokalitas posisi tiap-tiap subjek dalam persoalan partikularitasnya dalam ranah relasi gender, etnis, lingkungan hidup, transeksual dll. Dalam konteks ini, konstruksi pembebasan umat manusia dari alienasi terhadap dirinya juga harus mempertimbangkan kompleksitas koersi yang berlangsung pada ranah sosial, ekonomi, politik dan budaya yang lebih luas melalui proses dialog yang berkelanjutan. Namun demikian, agenda demokrasi plural radikal ini, bagi banyak kalangan kiri, telah bergeser dari agenda-agenda Marxisme yang otentik.
Sampai di sini, sepertinya masih banyak lagi alternatif dan upaya-upaya kreatif yang perlu dilakukan untuk mengembalikan watak emansipatoris dan menyusun kondisi demokratik di masyarakat yang terinspirasi oleh risalah Manifesto. Namun demikian, pergolakan pemikiran sepertinya masih cukup panjang. Ujian terhadap pemikiran ulang proyek Marxisme tetap menjadi agenda dialektis bagi kelompok kiri. Bagi mereka yang bersetia terhadap gagasan-gagasan orisinil yang dituangkan Marx dan Engels, tantangannya adalah bagaimana tetap membuktikan bahwa pikiran-pikiran tersebut masih relevan dalam lintasan agenda politik demokratik. Sementara kalangan yang berusaha menguraikan alternatif-alternatif gagasan yang melampui tesis-tesis Marx, juga ditantang untuk menunjukkan bahwa proyek mereka tetap dalam perjuangan pembebasan manusia dari penindasan oleh sesamanya.
Tetapi, yang paling penting dari ini semua adalah kerja-kerja intelektual-aktivisme untuk menunjukkan bahwa politik kiri, yang salah satunya terinspirasi oleh The Communist Manifesto, tetap konsisten dalam jalur politik demokratik!***
Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Kepustakaan:
Callinicos, Alex (2003), An Anti-Capitalist Manifesto. Polity Press.
Marx, Karl dan Freiderick Engels (2008), The Communist Manifesto. Pluto Press.
Spagnelli, Filip (2010), The Neo-Communist Manifesto. Algora Publishing.
Soekarno (2008), Lahirnja Pantjasila. Simpatisan Pembela Pancasila 1 Juni.
Wood, Allen W.(2004), Karl Marx: Arguments of The Philosopher.
Wolff, Jonathan (2002), Why Read Marx Today?. Oxford University Press.