1. Beranda
  2. /
  3. Topik
  4. /
  5. LKIP Edisi 04

LKIP Edisi 04

Edisi LKIP04

Phytagoras pernah berujar dahulu sekali, “musik adalah penyembuh jiwa.” Tentu ada sesuatu yang lain dan pemikiran tertentu yang melatarbelakangi apa yang dikatakannya itu. Tetapi cukuplah untuk pengantar ini kita mengutip sepenggal kalimatnya tersebut dan membiarkan ide lain di baliknya diam dulu. Dengan demikian, kita tentu bisa dengan mudah setuju dengan hal itu. Hampir setiap kita di zaman ini punya lagu-lagu favorit, punya musisi kesayangan, dan juga mendengarkan musik dengan cara apa pun dan melalui media mana pun. Apalagi dengan teknologi informasi yang memudahkan begitu rupa, kita lantas bebas dan terbuka untuk memilih dan memiliki musik-musik seperti apa pun juga. Di sisi lain, teknologi rekaman dan produksi musik yang dibantu komputer yang semakin maju memungkinkan musik diciptakan bahkan dengan seorang diri di kamar; hanya bersenjatakan sebuah gitar dan program fruity loop.

Makin Terbatas, Makin Luhung: Surat untuk Samin tentang Musik Non-Arus-Utama di Jakarta

Gimana kabarmu, Min? Sudah jadi PNS, Min? Kaupasti sudah punya sepeda motor seperti layaknya pemuda desa, ‘kan? Kredit motor ‘kan murah, belilah satu biar kausama dengan mereka. Sumber, kampung kita, pastinya sudah maju ‘kan?

Namun, tampaknya semaju apa pun Sumber[1], aku belum mau pulang. Jakarta belum memberikan apa yang kuharapkan. Gajiku masih digerogoti sewa kostan yang mencekik. Dan jangan tanya masalah kelas sosial; konon pekerja kantoran level manajer rendahan sepertiku ini sudah masuk kelas menengah, tapi aku tak percaya. Wong, rasanya sama saja. Hidup cuma habis di bus kota dan kostan, atau khusus untuk aku, di pagelaran musik.

Banyak Orang Menebang Hutan

Saut Situmorang lahir 29 Juni 1966 di sebuah kota kecil di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, tapi ia dibesarkan sebagai “anak kolong” di Asrama Kodam I/Bukit Barisan, Medan Sunggal, Medan. Pendidikan S1 (Sastra Inggris, Film, dan Creative Writing) dan S2 (Sastra Indonesia yang tidak selesai) dilakukannya di Selandia Baru yang menjadi tempat ia hidup merantau sebagai imigran selama 11 tahun. Saut mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia selama beberapa tahun di almamaternya, Victoria University of Wellington dan University of Auckland, Selandia Baru.

Persetan Media

Ilalang Zaman adalah band multigenre yang menuliskan lagu-lagu yang mengangkat permasalahan-permasalahan sosial, antara lain berhubungan dengan kritik terhadap media korporat (“Persetan Media”, “Jurnalis Palsu”), common sense (“Apa yang Kita Rayakan?”), dan penindasan (“Sesaji Raja untuk Dewa Kapital?”, “Kalimantan”, “Palestina”, “Jangan Diam”, “Papua”). Nama Ilalang Zaman dipilih karena dinilai merepresentasikan gagasan yang diusung para personelnya dalam lagu-lagu mereka. Seperti ilalang dalam arti sebenarnya—gulma bagi tanaman mapan—Ilalang Zaman pun beritikad untuk menjadi gulma bagi kemapanan di zaman mereka hidup. Kini, Ilalang Zaman tengah menggarap album indie perdananya.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.